Re-Play
A NARUTO FanFiction
With standart disclaimer applied
Alternative Universe (AU) Out of Character (OoC) Typo(es) DLDR!
Happy Reading!
Hope You Like!
[Sakura]
Aku berlari dijalanan berbata abu-abu ini, melirik sebentar kearah jam tangan dipergalangan tangan kiriku. Jam delapan itu yang kutahu, apa aku terlambat? Aku jadi teringat janjiku padanya.
"Apa kau akan datang besok?"
Aku mengangguk
"Kau berjanji tak akan terlambat?"
Aku kembali mengangguk padanya.
Aku cukup menyesal tak bisa menemaninya disaat latihannya, latihannya dimulai pukul tujuh dan sekarang pukul delapan. Aku terlambat bangun karena tak dapat mendengar jam beker yang terus berbunyi dikamarku.
Aku berbelok disebuah gedung tua ala eropa ini, gedung tari. Aku harap aku masih bisa melihat tariannya.
Cklek
Aku tersenyum, dia ada disana dengan wajah kesalnya. Kurasa dia dimarahi oleh guru tarinya kali ini, aku segera berlari kecil mencari bangku didekat mesin minuman dan memperhatikan dia menari. Aku tersenyum geli saat dia terlihat kesusahan untuk melakukan gerakan entah apa itu, membuka tas selempangku dan mengambil buku sketsa serta pensil. Aku meliriknya sebentar lalu melirik kertas kosong dipangkuanku dan mulai menggoresnya dengan ujung pensil.
Aku suka menggambar, dan berkatnya aku mulai senang melukis. Terus menggoresnya, aku hanya memikirkan sebuah tempat saat menggores buku sketsa ini.
Puk
Seseorang menepuk bahuku, aku menoleh. Dia telah selesai dari latihannya, aku bisa melihat tetesan keringat didahinya, meraih sebuah botol minuman yang kubeli dan memberikannya padanya.
Mata biru lautnya seolah mengucapkan terima kasih, sesegera mungkin aku memasukkan buku sketsa dan pensilku kedalam tas. Melirik sebentar kearah jam tangan delapan lebih dua puluh tiga, kurasa kami masih memiliki waktu untuk sampai disekolah.
"Bagaimana?" aku bertanya padanya, dia menatapku sejenak lalu memperlhatkan raut wajah kesal.
Aku terkekeh pelan.
"Guru itu menyebalakan." Ucapnya
"Kurumi-sensei?" dia menggeleng, lalu dia mengangkat kesepuluh jemari tangannya dan menekuk satu kelingking kirinya.
Dahiku sedikit mengerut, lalu aku berucap.
"Terumi Mei?" Dia semakin kesal saat aku tahu mengucapkan nama itu.
Dia pernah berkata, pertama kali dia latihan menari dengan Terumi-san, dia memang tak menyukai guru itu, katanya gaya guru itu terlalu membanggakan dirinya sebagai penari yang cukup terkenal walau itu memang kenyataannya, suaranya yang terlalu dibuat semakin membuat dia muak karena tak dapat mendengar penjelasan guru itu, dan yah... masih banyak hal yang tak disukainya terhadap Terumi Mei.
"Ayo!" Sepertinya dia berucap cukup keras padaku yang melamun, aku menatapnya yang mulai menyelampirkan tas selempang miliknya dibahunya.
Aku segera berdiri dan menysulnya yang berjalan duluan. Kami keluar dari bangunan ala Eropa ini, sebenarnya bukan hanya bangunan ini yang bergaya eropa tapi kota ini memang bergaya ala Eropa beberapa abad silam, dengan jalan berbata, rumah-rumah sederhana namun artistik dan beberapa hal lainnya. Namun masayarakat kota ini tak melupakan teknologi yang sekarang memang ada, seperti perangkat elektronik dan banyak lagi.
Aku pindah kesini sekitar saat masih duduk dibangku kelas dua Sekolah Menengah Keatas dan sekarang aku duduk dikelas tiga.
Kota ini dinamakan Hidden Leaf Town, kota ini memang berada dijepang namun entah kenapa bergaya ala eropa barat. Aku sendiri berasal dari luar kota, keluargaku kemari karena ingin memperbaiki ekonomi keluarga yang sempat sulit. Ayahku seorang pembuat kue, setiap hari aku dapat menghirup aroma kue buatannya.
"Ada anak baru." Dia berucap seperti itu dan menatapku, aku kembali mengerutkan dahiku lalu aku mengangguk.
Kami sedang berjalan menuju sekolah kami, Hidden Leaf High School. Jaraknya sedikit jauh, namun kami berdua lebih suka berjalan kaki kesana, banyak orang yang sama seperti kami. Mereka lebih suka berjalan kali dari pada menaiki kendaraan kecuali sepeda, bagi mereka itu terlalu merepotkan dan menimbulkan polusi.
Saat ini dia sedang memegang telepon miliknya, kurasa dia sedang berhubungan dengan kekasihnya. Dia Yamanaka Ino, dia teman pertama yang kumiliki. Ciri fisiknya, dia memiliki helaian pirang keemasan yang bagiku indah dan mata biru laut ysng terlihat cemerlang. Jika saja dia mengenakan baju ala eropa kerajaan, dia pasti akan terlihat seperti seorang putri. Dia orang yang kukagumi, dia yang mau berteman denganku saat kebanyakan anak disekolah kami menjauhiku dan mengataiku aneh. Dia seorang yang bermimpi menjadi penari, dia berusaha untuk memberikan warna baru pada yang namanya tari, dan aku bisa melihatnya. Melihat warnanya, warna yang mungkin akan membuat perubahan dalam apa yang akan diimpikannya.
Dia memiliki seorang kekasih yang menjadi seorang pelukis yang cukup digilai disekolah, namanya Shimura Sai. Dia orang yang hebat, dia membantuku untuk dapat menemukan warna saat aku kebingungan untuk mewarnai sebuah lukisan, aku dan Saik memiliki pemikiran yang sama tentang Ino, Ino adalah maha karya Tuhan yang bagi kami begitu indah. Sai dan Ino menjalin hubungan semenjak mereka berdua ditunangkan, aku sedikit mendengus geli. Tentu saja mereka terjalin hubungan dan hubungan itu pertunangan, mereka sama –sama canggung awalnya namun saat keduanya memiliki kesenangan dibidang seni. Mereka berdua menjadi dekat dan akhirnya mereka menjalin hubungan tanpa keterpaksaan namun dengan cinta.
Kami berjalan kearah sebuah jembatan, tujuan kami ada disebrang sana. Ino terus menatapku, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu namun... ragu'kah?
Saat kami sampai ditengah jembatan yang terbuat dari beton ini dia berhenti, tiba-tiba angin yang kencang dapat kurasakan. Kau memegang Hodie yang kupakai, aku melirik sebentar kearah Ino dan Ino menatapku lalu dia berjalan kesisi kiri jembatan dan menaruh kedua tangannya keatas pagar pembatasnya, aku mengikuti apa yang dilakukannya.
Mulutnya sempat terbuka namun kembali ter tutup lalu membuka lagi dan tertutup.
"Ada apa?" aku memulainya karena kurasa dia tak akan bicara jika aku tak bertanya, angin musim gugur ini semakin kencang.
"Aku tahu kau tak dapat mendengarnya." Aku menatapnya.
"Aku sahabat yang bodoh,"
"Aku bodoh padalah aku tahu kau tak dapat mendengar namun kau bersikap seolah kau dapat mendengarku." Aku menggelengkan kepalaku padanya dan sebelah tanganku memegang bahunya.
"Alat yang terpasang itu sama sekali tak berguna bukan?" Aku memegang telinga kiriku yang terpasang alat bantu dengar.
"Aku tak ingin kau berpura-pura mendengar padahal kau sama sekali tak mendengarnya, Sakura" Ino meraih telinga kiriku dan memegang tangan yang masih memegang alat bantu dengarnya.
"Maka dari itu, jangan membuatku senang tapi kau merasa tidak." Aku menggeleng, dia menatapku sendu.
Dari awal aku mengatakan apa yang diucapkannya, kerena aku tahu dia mengucapkannya. Alat bantu dengar ini Inolah yang membelikanku, berharap agar aku dapat mendengarnya, dia merasa semua ini sia-sia,
Aku tak dapat mendengar suara jam beker, aku tak dapat mendengar apa yang diucapkannya, aku juga tak dapat mendengar suara gerakan dedaunan yang digerakkan angin, maupun anginnya.
Namun aku membacanya, aku membaca gerakan bibirnya meski itu terkadang membuatku bingung. Aku terlahir normal, namun kecelakaan itu membuatku tak dapat mendengar lagi sekarang.
Aku memeluk Ino, aku tak ingin dia menyalahkan dirinya.
Aku seorang Tuna Rungu namun aku tak menyesalinya.
To Be Continue
