Malam ini, bulan bersinar terang. Membuat kota Rintis semakin terang. Suasana kota yang ramai tak luput dari sinarnya. Beberapa gang kecil pun tersinari meski remang.

Namun, disudut kegelapan suatu gang, terlihat sosok kecil yang berjalan dengan terhuyung-huyung. Beberapa kali ia menabrak barang-barang yang diletakkan merapat pada tembok bata yang disemen kasar.

"Iks, iks… huhuhu…," terdengar isakan dari bibir mungil sosok yang ternyata anak laki-laki. Ia bersimpuh sambil memeluk tubuh kecilnya, mencari kehangatan. Pakaiannya teramat kotor, kusut, bahkan sobek dibeberapa bagian. Tubuhnya pun penuh luka dan memar. Rambut hitamnya kotor penuh debu.

Penampilannya teramat kacau.

Tap tap tap

Suara tapak kaki yang menggema di seluruh gang, membuat anak itu tersentak. Dirinya beringsut semakin ke sudut sambil memeluk kedua lututnya. Ketakutan terpancar jelas di wajahnya. Kedua irisnya menatap takut pada sosok hitam nan tinggi dari ujung gang.

"Ah, ada seorang anak kecil rupanya," ucap sosok yang telah di dekat anak kecil tadi. Dari jarak yang lumayan dekat ini, anak itu bisa melihat rupa dari sosok hitam tadi.

Helaian dark ungu yang berantakan, paras tampan dalam bingkai kacamata berframe nila, namun anak itu tak dapat melihat jelas pakaian yang dikenakan pemuda di depannya. Terlalu remang di gang ini. Bukannya meminta perlindungan, si anak semakin beringsut mundur.

"A-ayah… i-ibuu… kakak…," cicitnya saat melihat senyuman pemuda di depannya. Ia sungguh tak ingin bertemu orang lain lagi. Ia hanya ingin ayah, ibu, dan kakaknya.

Ia takut.

Ia tak percaya orang asing.

"Hey, tenanglah. Aku tak akan berbuat jahat padamu," ucap pemuda itu lembut sembari berjongkok di hadapan anak yang telah terpojok.

Mengikuti insting bertahan hidup, anak itu berusaha untuk berdiri meski gemetar. Dengan tenaga yang tersisa, dirinya mendorong pemuda itu hingga terjatuh. Dirinya berlari menuju luar gang. Di mana keadaan kota yang ramai sangat mengganggunya.

"Hey, tunggu!"

Mendengar itu, ia kembali berlari ke sembarang arah. Ia tak peduli dengan keramaian yang tak disukainya. Ia tak peduli dengan orang-orang yang ditabraknya. Ia tak peduli dengan semua orang yang mengumpat padanya.

Ia tak peduli!

"Hah, hah, hah," nafasnya terengah padahal belum lama berlari. Tubuhnya sudah memberontak untuk berhenti, namun rasa takut pada lelaki itulah yang membuatnya dapat berlari hingga sekarang.

"Tunggu, dik!"

'Ya Allah, tolong aku,' batinnya takut saat mendengar suara lelaki itu semakin mendekat. Tanpa sadar, air mata telah mengalir deras dikedua pipinya.

Air mata itu mengaburkan pandangannya. Namun, dirinya tetap berlari sambil sesekali mengusap air mata yang tak dapat dihentikan. 'Ayah… ibu… kakak…,' rapalnya berulang kali dalam hati.

Duk!

"Uwaaa…"

Brukh

"Sa-sakitt," ringisnya kembali saat tersandung pinggir trotoar.

TIIINN! TIIINNNNN!

"AWAASSS!"

BRAKH!

DZIIINGGG!

BRUGH!

Seketika hening melanda. Hanya terdengar suara klakson kendaraan yang bersahut-sahutan. Detik selanjutnya, teriakan panik pun meledak. Banyak pejalan kaki yang menghampiri korban tabrakan lari tadi. Ada yang menangis ketakutan, ada yang langsung menelpon ambulans, ada yang mengangkat para korban ke trotoar agar tak menghalangi jalannya kendaraan, dan lainnya.

"Gawat! Lukanya parah."

"Eh? Ada anak kecil dipelukannya!"

"Apa?"

"Panggil ambulan! Cepat!"

"Sedang dihubungi."

Dan masih banyak lagi yang terucap dari para pejalan kaki, maupun pengendara yang penasaran akan kejadian tabrak lari ini.

"Ngh…," lenguhan kecil itu tak terdengar jelas.

"Ka-kau… tak-ukh… apa, dik?" suara serak itu mengundang tatapan anak kecil dalam pelukan sang pemuda. Orang-orang disekitarnya yang mendengar pun membelakkan mata.

"Hey! Dia sadar!"

"Nak, apa kau baik-baik saja?"

"Tetaplah sadar, nak. Ambulan sebentar lagi datang."

Pemuda itu mengabaikan semua perkataan yang dilontarkan padanya. Manik dalam bingkai kacamatanya yang retak, menatap anak kecil yang menatapnya balik.

Tatapan terkejut dan takut.

"Ssshhh… te-tenanglah. Aku tak ber-bermaksud uhuk… menak-nakutimu… Ukh... OHOK!"

"Hey, nak! Jangan berbicara dulu! Tenanglah, kau dan anak kecil itu pasti selamat," seorang pria yang paling dekat dengan kedua korban itu tambah panik saat melihat darah yang keluar dari bibir pucat sang pemuda.

"Ambulannya di mana? Kenapa lama sekali?"

NGIIIIUUUNGG NGIIIIUUUNGG

"Itu ambulannya!"

"DI SINI! DI SINI!"

Kerumunan itu pun merenggang saat petugas ambulan mendekati kedua korban. Beberapa petugas berusaha melepaskan pelukan sang pemuda terhadap anak kecil itu. Sayangnya, sang pemuda tak mau melepaskannya.

"A-aku… tak mau pis-pisah… hah, hah… da-rinya," pemuda itu tersenyum tipis dengan nafas terengah. Ia memang tak menginginkan anak dalam pelukannya menjauh. Padahal, ia hanya khawatir dengan keadaan anak dalam pelukannya yang sangat memprihatinkan. Namun, tak ia sangka begini kejadiannya.

Mengiyakan permintaan sang pemuda, petugas itu pun mengangkut keduanya dalam satu mobil.

"Periksa tekanan darahnya. Bersihkan dan tutup beberapa luka kecil."

"Baik, Dok."

"Anak ini juga, ada beberapa luka dan memar pada tubuhnya."

"Baik, Dok."

Sementara suster dan dokter yang berada pada mobil ambulans menangani pemuda dan anak kecil itu, pandangan si anak tak lepas dari pemuda disampingnya. Ia dapat melihat nafas tak beraturan yang keluarkan sang pemuda. Di sekitar mulut dan hidung pemuda itu terdapat sebuah alat yang ia sendiri tak tahu namanya apa. Yang ia tahu, alat itu mengeluarkan oksigen.

'A-aku jahat ya?' batinnya mulai bermonolog.

'Aku… membuat kakak itu terluka,' bibir anak itu mulai bergetar.

"Iks…," isakan pun lolos kembali dari bibir mungil itu. Mengundang tatapan prihatin dari dokter dan suster di dekatnya.

"Sshh… tenang ya, dik. Dia akan baik-baik saja," ucap suster itu dengan senyuman lembutnya.

"Iks… ma-maaf… huwaaa~," isakan itu pun berubah menjadi tangisan. Tangisan yang mengiris hati dokter dan suster. Pemuda itu? Dia dalam ambang kesadarannya. "Ja-jangan menang… ngisshh, hah, hah…"

Anak itu membelak kala mendengar suara lirih nan serak dari pemuda di sampingnya. Ia pun menatap pemuda yang tak lagi memakai kacamatanya itu. Spontan, dirinya memeluk tubuh sang pemuda dengan lembut. meneriakkan kata 'Maaf' berkali-kali disertai tangisan yang entah kapan berhenti.

'A-aku jahat! Aku membuat kakak itu terluka. Padahal aku yang seharusnya terluka parah,' batinnya kembali mengutuk diri.

'Aku malah kabur seenaknya dari kakak baik itu. Aku bodoh! Sangat bodoh!'

It's Life

.

Angst – Family – Friendship

.

BoBoiBoy milik AniMonsta. Gempa dan Air milik Nayu *dilempar ke mulut dino sama kru monsta*

.

Dedicate for #BoBoiBoyKopiPadaParfum Challenge

.

Warning : OOC, AU, Typo, DeathChara, No Pair, POV berganti TANPA PERINGATAN!, Alur maju mundur, etc.

Hidup itu tak seindah yang terlihat.

Hidup juga tak semengerikan yang dibayangkan.

Hidup seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri.

Apakah dirinya ingin menjadi baik atau tidak baik, tergantung jalan yang diambilnya.

Banyak hal yang tak pernah kita bayangkan, atau yang tak pernah terpikirkan, terjadi didalam hidup kita.

Mental yang kuat, pasti menganggap semua itu adalah cobaan sebelum kembali pada-Nya.

Mental yang lemah, akan mengutuk, mengumpat, mengeluh, bahkan menyalahkan takdir yang dijalaninya. Dan pada akhirnya, mengambil jalan bunuh diri.

Hidup memang tak mudah, namun tak sulit jika dilakukan dengan benar.

Semenderita apapun, pasti ada beberapa hal menyenangkan yang terselip didalamnya.

Semenyenangkan apapun hidup kita, pasti ada konflik yang terjadi.

Semua itu tak memandang kaya-miskin, muda-tua, bos-buruh. Semua mempunyai jalan hidupnya masing-masing dengan warna yang berbeda.

Don't Like?

DON'T READ THIS FICTION!

Happy Reading~

Criingg~

"Selamat datang!"

Seorang pemuda menganggukkan kepala dengan senyum diwajahnya, pada pelayan yang menyambut kedatangannya di sebuah Café.

Manik kembarnya menatap sekitar. Mencari tempat yang sekiranya cocok dengan keinginannya.

"Hey, Gempa!"

Mendengar namanya dipanggil, kepalanya pun menoleh pada asal suara dan mendapatkan seorang pemuda sebayanya melambaikan tangan padanya.

"Loh, Taufan? Makan siang di sini? Tidak biasanya," basa-basinya setelah menduduki kursi yang bersebrangan dengan pemuda yang memanggilnya, Taufan.

"Hehehe… sebenarnya, aku ada janji bertemu dengan seseorang di sini," jawabnya dengan cengiran.

"Eh? Siapa?"

"Ah~ kau sih tidak kenal, tapi pasti kau akan terkejut melihatnya!" Taufan menggebu-gebu membayangkan reaksi Gempa saat melihat orang yang akan ditemuinya hari ini.

"Kenalanmu?"

"Err… sebenarnya sih baru kenal. Hehehe… aku dan dia bertemu dua hari yang lalu di perpustakaan. Kejadiannya kayak didrama-drama lagi. Hahaha…"

Gempa menautkan alisnya. Merasa heran dengan Taufan yang tiba-tiba tertawa. "Kejadiannya?"

"Kejadiannya itu, kami ingin ambil buku yang sama. Dan sempat terjadi aksi rebut-merebut. Mana tuh buku hanya satu lagi. Akhirnya, aku memberikan padanya, karena dia ada tugas mendadak yang harus menggunakan buku itu. Kalau aku sih, hanya cari bacaan saja. Hehehe…."

Gempa menggeleng-gelengkan kepala mendengar cerita Taufan. "Jadi, hari ini kalian janji ketemuan, lalu ke perpustakaan bersama?"

"Nah! Tuh tau!" seru Taufan girang. "Ah! Sudahlah. Kau pesan apa, Gempa? Katakan saja, hari ini biar aku yang traktir."

Pemuda yang bernama Gempa itu hanya terkekeh geli melihat teman kuliahnya yang kelewat semangat. Yah, memang setiap hari sih pemuda serba biru itu bersemangat.

Biru?

Ya, hampir semua pakaian yang dikenakan pemuda bertopi ke samping itu, berwarna biru. Dan Gempa hanya tersenyum sendu saat mengingat salah satu warna dasar itu.

Namun, perkataan Taufan tadi membuat pikirannya teralihkan dari warna biru itu. Membuat senyuman sendunya berganti dengan raut penasaran. 'Aku akan terkejut?' beo-nya dalam hati.

"Woi, Gempa!"

"Eh?"

"Kau melamun?! Ya Allah... apa segitu memikirkan perkataanku tadi, sampai-sampai kau melamun? Hahaha… santailah, Gempa." Taufan mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Gempa.

"Huh! Habisnya, kau bilang aku akan terkejut. Memangnya orang itu sangat langka?"

Taufan nyengir lebar mendengar perkataan Gempa. "Ya, dia manusia langka, Gempa."

Gempa menatap Taufan tak percaya.

"Ah! Cepat katakan pesananmu! Di tunggu sama pelayannya nih."

Menghela nafas pasrah, Gempa pun menyebutkan pesanannya yang kemudian dicatat si pelayan. "Saya ulangi pesanan anda. Tiramisu Cake, Brownies, dan Ice Coffe." Gempa mengangguk, tanda membenarkan. "Apa tidak ada tambahan lainnya?"

"Nanti saya panggil lagi," jawab Taufan.

"Baiklah, mohon ditunggu pesanan anda," sang pelayan pun menjauh dari meja yang dihuni oleh Taufan dan Gempa.

"Kau tak pesan apa pun?"

Taufan terkekeh mendengar pertanyaan Gempa. "Aku sudah pesan, kok. Sebentar lagi pasti datang. Lagi pula, aku sudah selesai memesan saat kau masuk ke Café ini."

Gempa tersenyum canggung, "Ah, begitu rupanya."

Keheningan melingkupi kedua pemuda ini. Taufan yang tak biasa dalam keadaan sepi, merasa risih. Tapi, masih ada hal yang harus ditunggunya.

"Emm, Taufan?"

'Yeah! Akhirnya~,' batinnya riang mendengar panggilan Gempa. "Ya, Gempa?" Taufan berusaha agar suaranya terdengar normal. Dirinya pun menatap polos Gempa. Dalam hatinya…

'Bwahahaha… hahaha… wajah penasarannya memang sangat lucu. Hihihi… wajar saja kalau dia sering dikerjai.'

… Taufan tertawa ngakak.

Gempa terlihat ragu ingin mengutarakan pertanyaannya. Tapi, kalau tak ia utarakan, nanti dirinya akan menyesal. "I-itu… emm, orang itu–"

Criingg~

Suara lonceng –tanda datangnya pengunjung lain– memotong perkataan Gempa.

"Hey! Di sini!" seru Taufan saat menyadari kalau pengunjung itu adalah orang yang dinantinya.

Gempa yang melihat Taufan berdiri pun ikut berdiri. Entah kenapa, jantungnya berdetak kencang. Ia pun merasa aneh. Tak biasanya dia gugup jika akan bertemu dengan orang asing.

"Nah, ini dia orangnya– aduuhh… berbaliklah, Gempa." Taufan mendekati Gempa, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke pemuda lainnya.

DEG!

"Nah~ kau terkejut, bukan?! Eh? Ka-kau kenapa, Gempa?" Taufan yang awalnya menantikan ekspresi terkejut nan horror dari Gempa, malah panik saat mendapati wajah berlinang air mata dari Gempa.

"Uwaaaa~ kau kenapa?! Kau sakit? Hey! Jangan bengong begitu! Kenapa pula kau menangis?!"

Segala ucapan Taufan tak dipedulikan Gempa. Kedua maniknya yang basah, masih bertatapan dengan manik lain yang persis dengan miliknya.

'Wajah itu…'

Wajah pemuda di depannya pun persis dengan wajahnya. Dan sekarang, Gempa tau mengapa Taufan mengatakan orang yang janjian dengannya sangat langka. Tapi, bukan itu yang Gempa pikirkan. Melainkan…

"Air…"

Brugh

Kedua mata pemuda yang baru datang itu semakin terbelak kala Gempa memeluknya. Binar haru pun terpancar dari kedua iris coklat sang pemuda yang bernama Air.

Tes…

Air mata pun lolos. Bibirnya bergetar, hendak mengucapkan sesuatu. Kedua tangannya perlahan memeluk Gempa.

"Iks… Air… Airrr!" isak tangis Gempa pun sangat jelas ditelinganya. Dirinya sendiri tak percaya dapat melihat orang yang ia pikir, tak dapat ditemuinya lagi.

Gyuutt

"Ka… kak. Kakak. Kak Gempa," lirihnya tanpa isakan, menangis dalam diam. Memeluk tubuh pemuda yang dipanggilnya kakak dengan lembut.

Sedangkan Taufan, hanya speechless melihat adegan haru di depannya. Sesungguhnya, ia pun kurang paham apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya berusaha memahami situasi yang terjadi sekarang. Gempa datang ke Café ini pun diluar perkiraannya.

Awalnya, ia ragu untuk memberitahu Gempa perihal alasannya berada di Café –yang sangat jarang didatanginya apalagi saat istirahat–. Namun, karena rasa penasaran melihat raut wajah Gempa, ia pun mengatakannya. Dan ia pikir, Gempa akan terkejut setelah bertemu orang lain yang memiliki paras persis dengannya –Itu pun terjadi padanya saat baru bertemu dengan Air. Namun, tak ia sangka kalau ternyata, Air kenal dengan Gempa. Begitu pula sebaliknya.

'Mereka saudara? Kembar?' itulah yang dapat disimpulkan Taufan saat ini.

[] It's Life []

Hidup itu sulit diprediksi.

Tiap detik, menit, dan jamnya, pasti ada yang tak sesuai keinginan kita.

Menemui hal yang tak pernah kau bayangkan, atau pun kejadian yang tak terbayangkan, entah dapat dikatakan anugrah atau bencana.

Namun, semua itu patut disyukuri.

[] It's Life []

"Kak Fang, aku… bertemu dengan kembaranku."

Tak ada sahutan apa pun dari lawan bicaranya, tapi ia tetap melanjutkan apa saja yang ingin diutarakannya.

"Ya, aku sudah cerita padamu, 'kan? Namanya Gempa. Dia kakak kembarku, dengan selisih waktu kelahiran 10 menit. Kami terpisah, karna sekelompok penjahat membakar rumah kami. Ayah dan ibu saat itu menyuruh kak Gempa membawaku pergi dari rumah," dirinya memejamkan mata. Mengingat sedikit demi sedikit memori yang tak terlupakan.

"Kak Gempa menyuruhku pergi saat dirinya tengah melawan salah satu penjahat yang hendak membunuh kami," meski ia bercerita dengan wajah datar, namun terpancar kesedihan yang mendalam.

"Saat itu, aku takut. Aku tak ingin mati. Aku masih ingin hidup. Karenanya…," menjeda ucapannya, Air mengambil sebuah foto baru dari saku bajunya. "… aku meninggalkannya dan pergi tanpa tujuan."

Diusapnya potret pemuda yang persis dengannya, Gempa. Foto itu diambil Taufan saat pertemuan mereka siang tadi. Setelahnya, ia mampir ke tempat cetak foto dan jadilah selembar foto ukuran 3R yang pegangnya.

'Pertemuan yang tak terduga.'

"Lalu, yah… kau pasti tau apa yang terjadi selanjutnya. Aku bertemu denganmu, aku kabur, kau mengejarku, dan terjadilah tabrak lari," iris coklatnya menggelap mengingat kejadian masa lalunya.

Masa lalu yang menghantuinya sejak 11 tahun lamanya.

"Lucu, ya? Padahal aku sudah menceritakan ini berkali-kali, tapi…," tangannya menggenggam tangan yang tekulai lemas diatas kasur putih. "… kali ini aku dapat bertemu dengannya dengan tak sengaja. Hal yang dulunya kuanggap mustahil. Hal yang kuyakini, ternyata terwujud."

"Kak Gempa juga terlihat lebih kurus dariku. Meski begitu, senyumnya masih selembut dulu," kembali ia mengingat senyuman Gempa saat berbincang dengannya di Café.

"Dan kuharap, kak Fang dapat sadar secepatnya," ia menatap wajah tirus pemuda yang menyelamatkan nyawanya belasan tahun lalu, dengan mengorbankan kesadarannya.

Ya, Fang dinyatakan koma setahun setelah kejadian ia menyelamatkan Air. Kembali terjadi pendarahan dalam otak, yang membuatnya menutup mata selama 10 tahun pasca operasi.

"Ah! Aku akan bertemu dengan kak Gempa lagi besok. Dan kami akan menukar cerita kembali. Tadi, kak Gempa mendapat telepon dari teman kuliahnya, katanya sih ada kelas dadakan. Jadi, aku belum bercerita apapun padanya," ia beranjak dari duduknya. Menatap kembali wajah Fang yang tampak terlelap dengan damai.

"Dia yang terus bercerita tadi. Mengenai dirinya yang diselamatkan oleh orang orang asing. Lalu, dia diangkat anak dan dibawa ke luar negeri. Dan akhirnya, dia kembali ke Malaysia untuk kuliah."

Menghela nafas, Air melanjutkan ceritanya, "Kampus kami berbeda. Karenanya, aku tak tau dia ada di Malaysia. Tapi, anehnya baru kali ini kami bertemu setelah setengah tahun dia tinggal di Malaysia. Menurutku sih agak aneh, tapi kupikir dia pasti banyak tugas."

Senyum tipis terukir diwajahnya. "Kalau sempat, akan kubawa dia ke sini. Aku akan menceritakan mengenai kak Fang padanya. Dan aku yakin, dia akan sangat terkejut melihat kondisi kak Fang saat ini."

Air menatap jendela yang tertutup tirai putih. "Kak Fang bilang, aku harus menjalani hidup dengan tegar, 'kan?" kepalanya menunduk. Menyembunyikan ekspresi dibalik rambut hitam miliknya.

Entah kenapa, topiknya agak melenceng dari sebelumnya.

"Aku mencoba tegar selama ini. Bahkan, aku hampir membunuh perasaanku jika tak mengingat perkataanmu." Air kembali duduk. Menyandarkan punggungnya pada kepala kursi. "Pertemuan dadakan ini membuat perasaanku berkecamuk. Aku bahkan bingung harus mengeluarkan ekspresi seperti apa siang tadi."

"Hah~ kurasa, kak Gempa menyembunyikan sesuatu dariku," kedua tangannya mengacak rambutnya. "Entah mengapa, aku merasa begitu. Yah, kami kembar sih. Jika ada hal yang terjadi, pasti akan terasa. Bahkan, kak Gempa yang awalnya kusangka telah tiada…," ia menghentikan ucapannya.

Enggan melanjutkan, enggan mengingat lagi.

"Cih! Aku benci perasaanku yang peka ini."

[] It's Life []

Menunggu.

Itu yang kulakukan saat ini. Menunggu kedatangan kak Gempa yang entah kenapa bisa terlambat. Padahal, dulu kak Gempa paling tidak bisa terlambat. Bahkan, lebih cepat dari waktu yang dijanjikan.

"Kakak, kakak. Beliin es krim~"

Aku menatap seorang gadis kecil yang merengek pada pemuda di sampingnya, yang kupastikan kakak-adik. Pemuda itu awalnya menolak permintaan sang adik, tapi akhirnya ia mengiyakan.

"Hee~ Air tersenyum?"

Aku terperanjat mendengar suara yang sebenarnya lembut itu. "Huh, memangnya salah kalau aku senyum?" ketusku pada kak Gempa yang hanya terkekeh.

"Maaf, habisnya tadi kakak sudah panggil Air dari kejauhan, tapi sepertinya Air asyik natap anak kecil itu. Sampai tersenyum lebar lagi."

Aku mengabaikan ucapan itu dan mengikuti arah pandangan kak Gempa. Ya, pemuda dan gadis itu memang sempat menyita perhatianku. "Ah! Ayo duduk, kak!" seruku saat sadar kalau kak Gempa masih berdiri di samping kursi taman.

"Makasih,"ucapnya setelah duduk di sampingku.

Setelahnya, kami hanya diam. Menikmati suasana taman yang ramai. Wajar sih, ini juga akhir pekan, pastinya banyak orang tua yang mengajak anak-anaknya jalan-jalan, ataupun para remaja yang saling bertemu.

Aku sesekali melirik wajah kak Gempa yang menatap langit. Sepertinya, kebiasaanya tetap sama kalau lagi memikirkan sesuatu. Mengikuti kebiasaannya, aku pun menatap langit. Warnyanya biru tanpa awan. Warna yang amat kusukai.

Ternyata, menyenangkan juga. Aku merasa sedikit beban terangkat begitu melihat langit. Berbagai pertanyaan yang hendak kulontarkan pada kak Gempa pun mengalir begitu saja, namun aku masih belum ingin memulai pembicaraan.

"Air," panggilan lirih dari kak Gempa pun membuatku menoleh.

DEG!

Kenapa tiba-tiba jantungku berdetak kencang? Apa yang terjadi? Arrgghh… ingin kuhentikan detak yang memuakkan ini. Sungguh! Entah kenapa, aku merasa sebuat firasat buruk. Padahal, kak Gempa ada dihadapanku. Dia juga tersenyum. Tapi, kenapa wajahnya agak pucat?

'Tenang, Air. Tak akan ada lagi hal buruk yang terjadi. Percayalah,' batinku menguatkan. Namun, tetap saja aku was-was.

"Ya, kak?" untungnya suaraku terdengar normal.

"Mau melanjutkan perbincangan kemarin?"

Ah! Itulah yang sedari tadi ingin kutanyakan!

"Iya, kak!" aku mengangguk antusias. Mencoba tersenyum tipis sembari mengenyahkan perasaan memuakkan tadi.

Dan kami pun mengisi waktu itu dengan menukar cerita. Cerita kehidupan masing-masing yang telah dipisakan selama beberapa tahun, bahkan hal lainnya seperti berita di TV, beberapa bacaan novel horror yang dikoleksinya, dan lainnya.

Kalau aku, kuceritakanlah apa saja yang terjadi padaku. Bagaimana kehidupanku, orang-orang yang berperan di dalamnya, juga mengenai kak Fang.

Seperti biasa, kak Gempa lebih aktif dari pada aku. Dia merespon semua ceritaku dengan semangat. Aku sendiri terkadang hanya menatap dalam diam. Tapi, dari situlah aku bisa melihat bagaimana ekspresi yang dikeluarkannya.

Tatapan lembutnya yang persis seperti ayah. Tutur katanya yang terkesan kalem namun bersemangat seperti ibu. Dan gerak tubuhnya yang sederhana. Itu semua tak berubah.

"Apa kakak pernah sekarat?"

Entah bagaimana bisa, pertanyaan itu lolos dari bibirku. Pertanyaan yang menyelimuti hatiku sejak pertemuan pertama kami setelah sekian tahun.

Dapat kulihat wajahnya terkejut, namun dengan cepat senyuman tipis mengganti. Aku hanya terdiam. Membiarkan keheningan mendominasi. Menunggu kak Gempa menjawab pertanyaanku tadi. Yah, meski aku sendiri tak yakin–

"Kenapa?"

He? Dia bertanya balik?

"Aku penasaran," jawabku cepat.

"Kenapa?"

"Aku merasakan hal yang menyesakkan."

"Kapan?"

"Entah."

Ukh… bukan ini yang kuinginkan!

Aku tak ingin menjawabnya dengan datar begitu. Tapi, entah kenapa… bibirku… Aaakkhh! Ini memuakkan! Lagi pula, kenapa juga kak Gempa hanya bertanya singkat begitu!?

"Apa saat hari dimana kita terpisah?"

Aku menoleh pada kak Gempa, saat mendengar pertanyaan itu. Kuanggukkan kepalaku ragu, kurang yakin sebenarnya. Padahal, baru saja aku merasakan perasaan memuakkan itu.

Kulihat kak Gempa menghela nafas berat. Tampaknya…

'Memang ada yang dia sembunyikan dariku.'

"Sebenarnya, kakak tak ingin membahas ini," desahnya lelah. Tangan kanannya mengusap wajahnya kasar. Sekarang, aku merasa salah melontarkan pertanyaan. Tapi, tetap saja aku penasaran. Dan kata orang tua angkatku dulu –orang tua kak Fang–, aku harus bertanya jika penasaran akan suatu hal.

"Saat kau telah menjauh, salah satu dari mereka yang baru datang mencoba untuk mengejarmu," kak Gempa memulai ceritanya. Cerita yang tak ia katakan tadi.

"Kakak menghadangnya. Mereka pun menghajar kakak kembali. Kakak berusaha melawan, namun kekuatan kakak semakin lemah," wajahnya terlihat kelam. Dan aku tak suka itu!

"Dan kakak akhirnya pasrah. Jikalau kakak masih diizinkan untuk hidup, kakak akan berusaha menjadi kuat, lalu mencarimu. Dan kenyataannya…," senyum menghiasi wajah kak Gempa yang semulanya gelap. Entah kenapa, aku pun ikut tersenyum.

"Akhirnya, kakak menemukanmu!"

Aku tersentak saat kak Gempa memelukku. Dengan kaku, aku pun membalas pelukannya. Merasakan hangatnya tubuh kak Gempa. Kehangatan dari kakak yang kurindukan. Yeah, meski kemarin sudah kurasakan pelukannya. Entah kenapa, kali ini terasa…

… berbeda.

Tubuh kak Gempa lebih panas dari kemarin.

Panas?

"Kakak sakit?" gumamku yang kuyakini pasti terdengar oleh kak Gempa.

"Air, mau tidak tinggal sama kakak lagi?" tanyanya mengalihkan pertanyaanku tadi.

Aku bingung. Kenapa kak Gempa tak menjawab dan malah bertanya hal lain? Lagi pula, aku tak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan dadakan itu.

"Kak Gempa sakit?" kembali kulontakan pertanyaan yang sama. Namun, dia tak menjawab. Hanya tersenyum sambil menatapku.

"Mau tinggal dengan kakak, Air?"

Kembali kak Gempa mempertanyakan itu. Oke, harusnya aku menjawab 'iya', karna itulah yang kuinginkan. Hidup dengan kakakku lagi. Keluargaku satu-satunya. Kembali mengisi hari bersama seperti dulu.

Tapi, di sisi lain ingin kujawab 'tidak'. Aku hanya merasa tak enak dengan kak Fang. Dirinya sebatang kara semenjak orang tuanya meninggal dua tahun lalu. Kondisinya pun masih dalam status 'Koma'. Dan sekarang, jika aku tinggal dengan kak Gempa…

'Apa aku masih bisa menjenguk kak Fang?'

Konyol. Pikiranku memang konyol. Tentu saja kak Gempa pasti mengijinkanku untuk bertemu kak Fang, penyelamat hidupku. Tapi, entah kenapa…

"Air?"

… aku merasa sedikit asing.

Asing dengan keinginan egois kak Gempa. Biasanya, dia tak akan memaksa. Yeah, dalam hal ini kak Gempa memaksa dengan lembut.

Aku tersenyum padanya. Kak Gempa pun membalas senyumanku. Namun, senyuman itu berubah setelah mendengar jawaban dariku.

[] It's Life []

Hari demi hari Air jalani seperti biasa. Bangun, mandi, pergi kuliah, makan siang, shalat, jenguk Fang, pulang, dan tidur.

Tapi, semenjak adanya Gempa, rutinitas itu berubah sedikit. Yeah, meski hanya ditambah bertemu dengan Gempa, mengobrol dengan Gempa, bermain dengan Gempa, makan siang dengan Gempa, dan hal lainnya yang bersama Gempa.

Sayangnya, itu tak setiap hari. Empat kali seminggu paling banyak. Bahkan, Air pernah semingguan tak bertemu Gempa. Katanya, ada tugas kuliah yang membuatnya pergi ke berbagai tempat untuk mencari referensi. Baik ke perpustakaan kota, warnet, atau ke rumah temannya yang satu jurusan.

Beberapa kali Air ingin menyusul ke tempat dimana Gempa berada. Namun, ada saja yang menghalangi. Entah mengerjakan tugas makalah, proposal, penelitian, atau pun Gempanya yang tak bisa ditemui.

Air merasa sepi jika tak ada Gempa di sampingnya. Namun, itu semua sudah konsekuensi yang ia terima, karena menunda keingingannya untuk tinggal bersama.

Saat itu, Air berkata ingin menjaga Fang sampai sadar dan pulih sepenuhnya. Setelah itu, baru tinggal bersama Gempa. Atau perlu ketiganya tinggal bersama. Air meyakinkan Gempa kalau Fang pasti akan menerimanya.

Gempa tersenyum lembut kala itu. Ia senang, karena Air memiliki hati yang baik. Namun, ia sedih karena tak bisa tinggal dengan Air dalam waktu dekat. Dirinya pun menyanggupi permintaan Air.

'Hah~ kenapa juga ada kelas dadakan? Seharusnya, kelas terakhir jam 10 tadi,' batin Air kesal.

Sekarang, dirinya sedang berjalan cepat di koridor rumah sakit. Niatnya, ia ingin menjaga Fang sebelum Gempa datang untuk mengajaknya makan siang. Namun apa daya. Api, teman sekelasnya, menelponnya dengan suara panik mengatakan kalau ada kelas dadakan dari dosennya yang paling nyentrik.

"Pak Zola kebiasaan deh. Padahal se-jam lagi waktu makan siang," gumamnya setelah masuk ke dalam bis.

"Sms kak Gempa dulu."

[] It's Life []

Hiruk piruk kelas diabaikan olehnya. Merasa buku bacaannya mulai membosankan, ia menutupnya. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, ia melepas kacamata miliknya.

Ia mengedarkan tatapannya ke penjuru kelas. Melihat kegiatan teman sekelas saat tak ada dosen yang mengajar.

Pemuda itu, Gempa, memejamkan kedua matanya. Terlintas wajah air dalam pikirannya. Membuat senyumnya terukir. Menantikan habisnya jam perkuliahan hari ini. Ia tak sabar mendatangi adiknya dan kembali menukar cerita selama tak bertemu dua hari ini.

'Tak terasa, sudah hampir setengah tahun semenjak pertemuanku dengan Air. Sebentar lagi UAS. Pasti akan sulit bertemu.'

Gempa tersenyum miris saat suatu ingatan terlintas dalam benaknya. "Kapan aku akan mengatakannya," gumamannya tertelan oleh keramaian kelasnya saat ini.

"Gempa!"

Melirik sang pemanggil, Gempa menegakkan tubuhnya. "Taufan?"

"Hai! Hehehe… bagaimana kabarmu? Dua hari ini tak masuk kampus. Aku jadinya berdua Hali deh."

"Alhamdulillah baik. Hah~ biasa, kebanyakan tugas membuatku kelelahan." Gempa terkekeh hambar.

Memutar matanya bosan, Taufan pun duduk di atas meja Gempa. "Itu sajalah alasanmu."

"Hehehe… Terus, Hali mana?" iris kembarnya menatap pintu masuk. Meneliti jika saja ada seseorang serba merah berdiri di sana.

"Kau cari pun tak akan ketemu. Dia menyibukkan diri di perpus. Mau ke sana? Pasti kau mulai bosan dengan kelas kosong begini."

"Boleh juga."

"Bagaimana, Air? Kau bertemu dengannya selama dua hari kau tak masuk?" tanya Taufan dalam perjalanan mereka ke perpustakaan.

"Tidak. Dia ada tugas. Kasian kalau aku mengatakan diriku kurang sehat."

Taufan menggelengkan kepalanya tak percaya. "Kau selalu begitu. Beritahukanlah kondisimu pada Air. Aku kasihan padanya."

Keheningan menyelimuti. Taufan tau dia telah salah bicara. Tapi, ia tak tahan dengan interaksi antar saudara kembar yang masih seperti orang asing meski hampir setengah tahun bertemu.

"Ah! Kau akan menemuinya hari ini?" Taufan kembali bertanya. Gempa menganggukkan kepalanya.

"Tapi, dia bilang ada kelas mendadak."

"Kau harus menemuinya! Tunggu saja di tempat biasa kalian bertemu. Atau, di tempat orang bernama Fang itu. Jangan sia-siakan waktu yang ada!"

Gempa terkesiap dengan perkataan menggebu-gebu dari Taufan. Ia sendiri merasa, temannya ini ingin hubungannya dengan Air benar-benar layaknya saudara.

"Baiklah."

[] It's Life []

Berjalan dengan terburu-buru, Air sampai menabrak beberapa orang di koridor Rumah Sakit. Dengan mengucapkan 'Maaf' setiap menabrak, Air semakin mempercepat jalannya, bahkan sekarang tengah berlari. Senyum tak bisa lepas dari wajahnya.

Namun, perasaan memuakkan yang ia rasakan beberapa hari lalu kembali datang. Ia enyahkan semua itu. Ia berpikir, jika dirinya hanya kelelahan hingga jantungnya berdetak kencang dan terasa sesak.

"Kak Gempa menungguku. Kak Gempa menungguku," kalimat itu bagaikan jimat yang terus dirapalkannya sejak kelasnya selesai. Digenggamannya, terdapat kantung plastik yang tampak berisi beberapa camilan juga minuman kaleng.

Cklek

"Maaf aku tel–"

Air membelakkan matanya. Kantung plastik yang dipegangnya jatuh begitu saja. Tubuhnya bergetar.

"Tidak…"

Maniknya mulai berair. Siap menumpahkan cairan asin dari sana.

"SUSTER! SUSTER! CEPAT KEMARI!"

Teriaknya histeris dengan air mata yang mangalir deras.

[][][][][]

To Be Continue

[][][][][]

Holaaa~ Nayu datang dengan Fanfic baru! Nyahahahahaha~ ini Fic Challenge, makanya muncul duluan daripada Fic In Proggress milik Nayu yang lain.

Ini Fic Angst kedua Nayu. Entah kenapa, maunya buat Angst. Hehehe…

Ah! Bagaimana menurut readers sekalian mengenai Fic ini? Apa ada yang bisa menebak alurnya?

Hehehe… maaf ya kalau ceritanya agak mainstream. Padahal, Nayu harapnya gak mainstream. Bagi yang masih kurang jelas dengan chap ini, bisa bertanya melalui kolom review. Akan Nayu jawab selama bukan spoiler. Nayu juga bukan seorang yang ahli dalam bidang medis. Jadi, mengenai Fang yang koma karna pendarahan otak, hanya imajinasi Nayu saja. Yeah, menganalisis hal yang sekali-dua kali Nayu baca.

Ah! Mengenai maksud dari 'Kelas Kosong' yang diucapkan Taufan, itu perumpamaan kelas yang tak ada dosen/guru mengajar. Bukan berarti, kelasnya benar-benar kosong. Hehehe… Nayu dan teman-teman Nayu selalu bilang begitu.

Wokeh! Itu saja dari Nayu. Mohon berikan KriSar untuk Fic ini. Nayu belum menguasai EYD yang sempurna, juga kata yang harus dimiringkan apa saja. Makanya, Nayu harap ada yang bisa memberi tahu.

Sekian dari Nayu~

REVIEW MINNAA!