Tenten & Gaara

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

AU, OOC, abal, typo(s) bertebaran, mainstream—mungkin, dll


.

I, Average

.

.

"Dapat tujuh puluh lagi, ya?"

Tenten mengalihkan pandangannya dari kertas hasil tes di tangannya ke arah gadis bermata amethyst yang duduk di samping bangkunya. Dia tersenyum lebar sambil berkata, "Paling tidak aku tidak perlu mengulang. Kau pasti dapat nilai sempurna, kan?"

Hinata tersenyum malu. "Ini karena aku sempat belajar. Tenten-chan, kan, harus membantu Chiyo-obaa-san tiap pulang sekolah."

Tenten tertawa. Dia memasukkan kertasnya ke dalam tas, sambil membayangkan ekspresi nenek angkatnya yang campur aduk antara tidak puas, marah, dan bosan. Lalu dia akan mendengar gerutuan, "Selain mengangkat boks sayuran dan buah, apa lagi yang kau bisa, hah? Aku sudah berkali-kali bilang supaya tidak usah membantuku di toko, tapi kau—" dan setelah itu pasti ada helaan napas panjang.

"Mau ke kantin?" tanya Hinata.

Gadis bercepol dua itu menggeleng.

Hinata mengernyit. "Ada apa? Ini, kan, bukan akhir bulan."

"Aku harus menabung supaya bisa masuk universitas tahun depan," kata Tenten. "Lagian, aku bawa bekal, kok."

Gadis Hyuuga terdiam sejenak, kemudian berkata, "Kalau begitu, aku beli makanan dulu, lalu aku segera kembali."

Tenten tersenyum.

Setelah Hinata meninggalkannya, rasanya dia merasa sedikit kesepian. Bukan apa-apa—sudah jadi tradisi kalau tiap bel jam istirahat, hampir semua orang akan keluar. Entah mau ke kantin, perpustakaan, lapangan, atau ke kantor klub ekstrakulikuler mereka. Tenten tidak masuk ke klub apapun, dan dia tidak terlalu suka membaca, jadi satu-satunya tempat yang bisa didatanginya cuma kantin sekolah.

"Tumben kau tidak ke kantin," kata sebuah suara dari belakangnya.

Tenten memutar badannya, kemudian menyapa, "Hai, Shikamaru. Aku tidak tahu kau duduk di belakangku hari ini."

Shikamaru yang mengelosorkan badannya sampai dagunya menyentuh meja, cuma meringis, lalu bilang, "Aku dari tadi tidur. Terima kasih sudah menutupiku dari pandangan sensei," dan matanya terpejam.

Tenten mengeryit. "Oke."

Karena merasa laki-laki paling pintar di sekolahnya itu tidak berkata apa-apa lagi—bahkan para guru heran kenapa orang semalas itu bisa punya IQ tinggi—akhirnya Tenten mengambil bento yang disiapkannya pagi tadi, menghadap ke depan, kemudian dia mulai makan. Sesekali dia melirik, memperhatikan situasi di kelasnya. Nyaris tersedak, ternyata bukan cuma dia dan Shikamaru saja yang duduk di kelas ini.

Di pojok kelas, dengan kacamata hitam yang tebal, duduk Shino yang sedang sibuk bermain handphonenya—Tenten bisa mendengar suara game yang dimainkan lelaki Aburame itu. Di tengah-tengah kelas, ada Sasuke—salah satu murid paling terkenal karena tampangnya, termasuk punya nilai di atas rata-rata, anak konglomerat, masuk klub sepakbola—terlihat sedang ngobrol dengan Naruto yang cuma beda satu hal saja sama Sasuke—sudah tak terhitung berapa kali dia mengulang tiap kali ada tes. Di depan ada Sai yang sedang menggambar—sepertinya. Dua meja di depannya, ada seorang perempuan duduk sendirian—murid baru, baru pindah sehari lalu. Kalau tidak salah ingat, namanya Matsuri.

"Hinata mana?"

Tenten mendongak. Dia buru-buru menelan makanannya ketika menyadari yang bertanya adalah seorang laki-laki bermata amethyst yang sudah sebulan dilantik jadi Ketua Murid.

"Neji-senpai—" Tenten mengerjap-ngerjapkan matanya. Kaget, aneh, dan canggung saat melihat kakak kelas bicara di sampingnya tiba-tiba. Meskipun itu sepupu sahabatnya sendiri. "Pergi ke kantin. Sebentar—katanya dia mau ke sini setelah membeli makanan."

Neji hanya berkata, "Oh," sebelum dia keluar kelas.

Bahkan Tenten tidak percaya cuma diperlukan waktu tiga detik bagi seorang Hyuuga Neji untuk berjalan dari mejanya yang terletak di samping jendela pintu kelas yang letaknya di seberang ruangan. Mungkin karena dia Ketua Murid, batinnya.

Makanannya sudah habis, dan Hinata belum juga kembali. Tenten memasukkan kotak makannya, minum beberapa teguk air, lalu dia membuka buku pelajaran—karena besok ada tes, lagi.

"Ehm, permisi…"

Tenten mengalihkan pandangannya. Gadis berambut coklat sebahu berdiri di depan mejanya sambil menggenggam kedua tangannya. Ekspresinya ragu-ragu ketika dia bertanya, "Toilet di mana, ya?"

Tenten tersenyum. "Mau kuantar, Matsuri-san?"

Gadis itu membalas senyuman Tenten dengan anggukan riang.

—"—

Begitu bel sekolah tanda pelajaran hari itu berakhir berbunyi, seluruh kelas yang awalnya sepi—berhubung gurunya adalah Ibiki—langsung ramai. Tenten bisa melihat Hinata menghampirnya dengan ekspresi minta maaf.

"Ma-maaf—"

"Tidak apa-apa," potong Tenten. "Pasti anak klub mading lagi, kan? Eh, tadi Neji-senpai mencarimu."

Hinata melirik Shikamaru, yang tampaknya masih malas beranjak dari kursinya. Akhirnya gadis Hyuuga itu berjongkok di samping meja Tenten. Katanya, "Aku benar-benar minta maaf. Apa kau menungguku? A-atau jangan-jangan, kau tidak makan?"

Sepertinya bukan keputusan yang tepat kalau Tenten bilang, "Tidak." Tapi dia juga tidak mau bohong, jadi dia ambil tengahnya saja. "Aku tunggu lima belas menit—sudahlah. Aku tahu kau sibuk, jadi tidak usah minta maaf begitu."

Hinata berdiri. Dia mengusap matanya yang basah, membuat Tenten menghela napas.

"Kau masih ada kegiatan, sore ini?" tanya Tenten. Dia memasukkan peralatannya ke dalam tas, kemudian menyampirkan tas ke bahunya sambil berdiri. "Aku harus segera pulang. Obaa-chan sedang tidak enak badan."

"A-aku ada rapat. Itu alasannya Neji-nii-san mencariku tadi. M-maaf, ya, Tenten-chan…"

Tenten tidak berkata apa-apa lagi. Kalau dia tidak segera pergi, Hinata yang suaranya sudah mulai gemetar itu bisa-bisa menangis. Dan Tenten tidak jadi pulang cepat karena harus menenangkan Hinata. Dan orang-orang yang mustinya rapat dengan si gadis Hyuuga harus menunggu, dan bertanya-tanya ada apa. Karena Hinata bukan tipikal orang yang gampang berhenti menangis, makan akan perlu waktu lama—sangat lama. Dan akhirnya, Neji mengirim seseorang ke kelas, dan menemukannya sedang berusaha membuat Hinata berhenti menangis. Lalu orang itu melapor pada Neji, dan Neji akan ke kelas ini, dan menemukan mereka berdua. Hinata makin takut—dan tangisannya makin parah—dan Tenten akan dimarahi. Dan Tenten, sudah dipastikan, tidak jadi pulang cepat.

"Iya, iya. Aku maafkan," sergah Tenten. Dia memeluk Hinata sedetik. "Aku pulang dulu. Sampai jumpa besok."

"E-eh—"

Tenten berlari ke luar kelas. Skenario yang terbentuk di kepalanya beberapa detik lalu langsung menguap. Sepanjang jalan, orang-orang yang mengenalnya memanggil namanya, melambaikan tangan padanya, berkata, "Eh, halo, Tenten-san," dan dia balas dengan serupa—memanggil nama mereka, melambai, dan berkata, "Halo juga!" dengan senyum dan napas ngos-ngosan.

Tinggal satu belokan lagi, dan Tenten akan mencapai koridor yang akan membawanya langsung menuju halaman luar sekolah. Dan itu menandakan dia akan berhenti berlari dari Hinata—bahkan dia sendiri tidak tahu kenapa dia masih berlari.

"Tenten—!"

Dia hanya melambai sekenanya, "Halo, Sasame—"

BRAAAKK!

JDUK!

"Ugh—"

Tenten mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia mengusap kepalanya, merasakan seperti ada benjolan di sekitar ubun-ubunnya. Salah satu sikunya terasa perih—matanya melebar ketika dia melihat ada darah di lengan bajunya.

"Sini, aku bantu kau berdiri," kata seorang perempuan sambil menariknya perlahan. "Kau tidak apa-apa, kan?"

Dia melihat beberapa orang melakukan hal yang sama pada seorang yang terduduk di depannya—laki-laki, berambut merah bata, dengan tangan yang juga mengelus-elus ubun-ubunnya.

'Uh, oh,' batin Tenten.

Tidak perlu waktu bagi Tenten untuk mengetahui siapa yang dia tabrak. Meski—kata Ino, teman sekelasnya yang bisa-bisanya meluangkan waktu mengelompokkan anak yang populer dengan tidak—laki-laki di depannya itu tidak masuk dalam kategori "sangat populer", tapi dia yakin semua orang mengenalnya. Sabaaku Gaara, ketua klub judo yang merupakan mantan olahraga favoritnya, masuk ke dua-puluh-lima-orang paling pintar di sekolah, anak pemilik restoran kecil di ujung gang rumahnya.

Punya penggemar, pastinya.

.

—to be continued—

.

.