Warning (s); Oneshot panjang, agak membosankan, slight HiruMamo, banyak typo sepertinya, semi-AU atau emang AU, OOC nggak bisa dihindarin, ada deathchara juga, lalu ada chara yang 'seperti itu' karena memang dibutuhkan untuk jalan cerita, harap memaklumi. :)
.
Disclaimer; Eyeshield 21 © Riichirou Inagaki & Yuusuke Murata
Sementara itu, ide fanfiksi ini saya dapat dari sejarahnya Napoleon Bonaparte
Setengah jalan cerita sudah di-beta oleh Kak Raf Kowalski.
Ada satu kalimat yang saya pinjam dari Uchiha Itachi—dengan sedikit perubahan, tentu saja.
Rated: T untuk amannya.
Genre: Hiruma-Musashi-Kurita friendship, dengan crime yang nggak kerasa
Saya hanya mendapat kepuasan tersendiri dari fanfiksi ini. Intinya, saya tidak mendapat keuntungan dalam bentuk materi dari fanfiksi ini, suer deh ._.v
.
.
This fanfic is dedicated for Eyeshield 21 Indonesian Award
April-May;
Last Moment
.
"Held"
.
.
Shichibu zaki sudah tiba. Lihatlah, bunga sakura sedang bermekaran di tiap sudut taman kota. Merekah dengan indah, sungguh elok dipandang mata. Angin musim semi yang berhembus pelan membuat seluruh kota harum oleh bunga sakura, seakan-akan ada yang jahil menyemprotkan parfum ke langit-langit kota.
Ya, sejauh ini musim semi berlangsung dengan lancar. Matahari melaksanakan tugasnya dengan baik, membuat kehangatan melingkupi kota ini. Walau hawa sisa musim dingin masih terasa, tapi itu tak lantas membuat musim semi ini terganggu. Musim semi kali ini memang terlihat seperti biasa. Indah, menentramkan hati, dan penuh kehangatan. Itu yang terlihat secara sepintas. Namun, apakah yang sebenarnya juga sama?
Apabila kau melihat lebih dekat, kehangatan itu hanya ilusi yang diciptakan alam saja. Eh, tidak juga sih, udara hangat memang tengah menguar. Burung-burung memang asyik terbang di cakrawala, sesekali meliuk untuk menyambut indahnya hari. Tapi, apakah atmosfir sosial yang melingkupi kota ini sama hangatnya? Apakah ada senyuman yang merekah bersamaan dengan datangnya shichibu zaki?
Tidak.
Dan itu jawaban yang jujur—percayalah.
Bagaimanakah senyuman akan terbentuk jikalau hati tengah dirundung ketakutan?
Bagaimanalah bisa menikmati hanami dengan bahagia jikalau sebutir peluru siap bersarang di kepala setiap saat?
Dan itulah yang terjadi di Jepang; di seluruh kotanya, termasuk Kota Deimon. Keindahan musim semi tidak bisa mencairkan ketegangan yang mengendap di negara ini. Musim semi yang seharusnya dilewati dengan suka cita kini terasa seperti neraka. Tiada lagi seruan penuh semangat dari murid-murid yang akan memasuki semester baru. Tidak ada pula anak-anak yang sibuk bersembunyi di balik kokohnya pohon sakura—yang otomatis membuat orang tuanya mendapat pekerjaan tambahan. Tidak. Kalian tidak akan menemukan pemandangan seperti itu lagi. Tidak untuk saat ini.
Kini, yang ada hanyalah tatapan penuh kecurigaan, kebencian, kekhawatiran dan hal-hal negatif lainnya. Ya, kekhawatiran berlebihan, maksudku. Warga yang berjalan di kiri-kanan trotoar saling melirik penuh kecurigaan. Jendela-jendela ditutup, pintu-pintu dikunci, ketakutan menghantui. Astaga, kemanakah perginya keramahan antar warga yang biasanya dijunjung itu? Keadaan ekonomi negara menurun karena pekerja enggan meninggalkan rumahnya. Hei, isu itu benar-benar sukses membuat negara ini lumpuh.
Lalu, bagaimanalah dengan bunga sakura yang menghiasi taman di kota? Mereka tetap mekar walau tak ada satu pun warga yang memerhatikannya—lagi.
.
.
Begitu pula dengan yang dilakukan Musashi. Lelaki itu tetap melakukan pekerjaannya walaupun bahaya mengancam nyawanya. Ya, di tengah ketidakkondusifan keadaan, Musashi tetap datang ke tempat kerjanya; ke sebuah proyek bangunan sekolah yang hampir selesai. Wajah tenangnya menghiasi sudut-sudut konstruksi bangunan itu. Kini, tidak ada lagi orang lain selain mantan kicker Deimon yang berkeliaran di sana. Dalam hati, Musashi bersyukur isu itu merebak di saat pekerjaannya tinggal melakukan sentuhan terakhir saja. Kalau isu itu datang di saat bangunan masih dalam tahap perencanaan, ia bisa mati kelelahan karena mengerjakan proyek itu sendirian. Baginya, proyek ini penting. Semua proyeknya penting. Ah ... sepertinya lelaki yang berumur duapuluh enam tahun ini terkena sindrom workaholic. Tapi nampaknya, kata terkena tidaklah cocok karena Musashi memang membutuhkan sifat itu.
Setelah berjam-jam menghabiskan waktu untuk memeriksa bangunan sekolah seluas tiga hektar ini, Musashi memutuskan untuk beristirahat barang sejenak. Ia melangkah ke lahan terbuka. Pusing juga ia berada berjam-jam di ruangan tertutup. Ia membutuhkan udara segar. Tidak aneh, saat ia sudah berada di luar gedung, ia langsung menghirup napas dalam-dalam. Ah, wangi bunga sakura terdeteksi oleh indra penciumannya. Musashi melirik ke kiri dan ke kanan kemudian tersenyum sedikit saat menemukan taman kecil di sebelah lokasi proyeknya. Taman yang dari kejauhan tampak seperti permen kapas.
"Ah ... rupanya bunga sakura sudah mekar," gumam lelaki itu sambil mengorek telinganya. Saking sibuknya, Musashi baru sadar kalau hari ini shichibu zaki. Tapi walaupun ia ingat kalau hari ini shichibu zaki, ia tidak tahu akan melakukan apa. Sudah lama ia tidak hanami dengan keluarganya sampai-sampai keinginan untuk melakukannya lagi terasa sangat jauh.
Walaupun begitu, dia tetap melangkah menyusuri jalan setapak di taman itu. Sudah ia duga—dan memang beginilah keadaannya, taman ini sepi. Bangku-bangku taman kosong, tidak ada anak-anak yang sibuk berlarian, tidak ada pula tikar yang dibentangkan oleh keluarga yang berniat piknik di hari yang cerah ini. Sepertinya, isu itu membuat pesona taman ini terabaikan. Padahal bunga sakura yang bermekaran di taman ini tampak elok dipandang. Setidaknya, warnanya yang cerah bisa menjadi obat bagi hati yang keruh oleh ketakutan. Begitu pula dengan maksud Musashi mendatangi taman ini. Setidaknya warna merah jambu itu bisa menyegarkan matanya. Melihat kelopak bunga sakura yang mekar lebih baik daripada melihat tatapan curiga dari orang-orang, bukan? Tapi untuk saat ini, kebanyakan orang memilih untuk mengamankan nyawa mereka daripada melihat bunga sakura yang bisa dilihat tahun depannya lagi.
Ya, semuanya sudah berubah, pikir Musashi.
"Musashi."
Sebuah suara yang amat ia kenal kini memecahkan keheningan di taman itu. Refleks, Musashi dengan cekatan mengambil pistol dari balik jaketnya dan menodongkannya ke arah sumber suara itu. Melihat perawakan gendut yang berdiri di belakangnya, Musashi tersenyum tipis—senyuman itu terlihat amat lega. Kecurigaannya tidak beralasan sama sekali.
"Hei, Kurita," seru Musashi sambil memasukkan kembali pistol itu ke dalam jaketnya.
"Huaaa ... Musashi! Aku tadi mencarimu ke tempat proyek! Tapi kau tidak ada. Kukira kelompok itu sudah ... sudah ...! Aku khawatir dan kau hampir saja menembakku!" Lelaki yang dipanggil Kurita itu mendadak berlari ke arah Musashi dengan tangan yang terjulur ke depan; hendak memeluk Musashi rupanya. Musashi sweatdrop di tempat.
Namun ia sempat berkata, "Kau datang ke sini bukan untuk menangis, bukan?"
Kalimat itu membuat langkah Kurita terhenti. Raksasa lembut itu kemudian mengelap air mata yang entah sejak kapan mengalir dari matanya. Namun, sedetik kemudian Kurita tersenyum lebar. "Tidak, aku datang ke sini untuk menyerahkan bekal ini. Tadi pagi kau terlalu terburu-buru sampai melupakannya!" Kurita menyerahkan bungkusan yang sedari tadi ia genggam pada Musashi.
"Arigatou, Kurita. Maaf aku jadi merepotkanmu." Musashi tersenyum penuh penghargaan. Di tangannya kini terdapat bekal makanan yang terbungkus kain cokelat. Ia menatap bungkusan itu lama kemudian kembali melirik Kurita. "Soal yang tadi, maafkan aku. Itu hanya refleks, kau tahu kan?" sambung Musashi dengan nada bersalah.
Yang diberi senyuman hanya menggaruk bagian belakang kepalanya. "Aah, tidak apa-apa, aku mengerti." Kurita kemudian melirik ke arah pohon sakura yang tengah berbunga itu. "Bunganya indah, ya?"
Musashi mengikuti pandangan Kurita dan ikut menatap bunga sakura yang sedang mekar-mekarnya. Merah muda yang mewarnai kelopaknya itu nampak seperti gulali. Memang indah. Ia kemudian mengangguk setuju.
"Shichibu zaki tahun lalu sangat berbeda dengan tahun ini, ya?" Suara lembut Kurita kembali menghiasi taman kecil ini. Musashi hanya mengangguk, membiarkan Kurita berbicara. Ia tahu, sejak lama Kurita ingin berbicara.
"Tahun lalu ... kita masih bisa bermain amefuto bersama. Tapi karena isu dan kejadian itu ... kita bertiga tidak bisa lagi bermain," lanjut Kurita. Ia kini menatap lirih bunga-bunga mungil yang cerah itu. Duh, mendung sudah menggumpal di matanya. Kontras dengan cuaca hari ini yang tengah cerah. Musashi yang menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu hanya bisa memegang pundak sahabatnya sebagai bentuk dukungan. Ia sungguh tidak tega melihat wajah sedih Kurita.
"Bagaimana kalau kita mengajak Hiruma hanami bersama di sini?" Ide itu tiba-tiba meluncur keluar dari mulut Musashi tanpa berkompromi dahulu dengan otaknya. Kurita menoleh dengan antusias dan Musashi bisa bersumpah saat itu juga ia bisa melihat ada cahaya aneh yang muncul dari mata sahabatnya itu.
"Ah ..." Musashi kini mengeluh pelan. Penyesalan mendadak merasuki pikirannya. Ini akan jadi hari yang merepotkan.
.
.
"Ke ke ke ke ke! Kau sudah gila, Gendut Sialan."
Bisakah kalian menebak apa yang tengah terjadi?
Ya, itu adalah respon pertama dari Hiruma Youichi saat Kurita menyampaikan idenya. Oke, ide milik Musashi yang tidak mau diakui empunya—Musashi masih menyayangi nyawanya. Hiruma yang tengah dibujuk Kurita itu hanya memandangi laptopnya sambil sesekali mengetik sesuatu.
Kini, mereka berada di ruang tengah apartemen yang sejak setahun lalu mereka tinggali bertiga. Apartemen yang berada di pinggiran kota Deimon ini merupakan tempat yang sangat cocok untuk menjauhkan diri dari keributan di pusat kota. Walaupun begitu, apartemen ini tidak bisa dibilang layak untuk ditinggali oleh tiga orang dewasa. Ruangannya cukup sempit, apalagi dengan adanya Kurita yang memakan ruangan ekstra. Tapi baik Kurita maupun Musashi—yang tidak memiliki keluarga sejak setahun lalu—tidak bisa menolak saat Hiruma mengajak mereka tinggal di sini. Apalagi Kurita, dia sama sekali tidak keberatan dengan ide itu. Masih teringat dalam benak kedua orang itu bagaimana senyuman Kurita yang mengembang saat ia menata tempat tinggal baru mereka dengan gaya tradisional.
"Ayolah Hirumaa~ aku ingin melakukannya!" Tidak mau kalah, Kurita membujuknya dengan suara yang lebih memelas, membuat ruangan apartemen mereka menjadi berisik. Musashi yang berdiri di belakang mereka hanya mengorek telinganya pelan. Bibirnya berkedut menahan senyuman—tawa—yang sedari tadi ia tahan. Bagaimana tidak? Ia harus menonton dua orang pria berumur duapuluh enam tahun yang sedang saling merajuk. Ralat. Yang satu merajuk dan yang satu lagi tidak mau mengalah. Dan di mata Musashi, sikap mereka itu sungguh kekanak-kanakan.
"Kau ingin melakukannya? Ke ke ke ke, rupanya cream puff sialan itu juga sudah meracuni otakmu," balas Hiruma dengan penekanan aneh pada kata cream puff. Umurnya yang makin bertambah rupanya berbanding lurus dengan kecekatannya saat berkelit dari berbagai pernyataan. Lelaki itu menyeringai sambil meneguk kopi hitam yang ia buat sendiri dan meletakkan cangkirnya di pinggir laptop. Tidak memerdulikan Kurita yang sedang menyiapkan sesuatu.
"Hiruma, onegai ..." Kurita mengeluarkan senjata terakhirnya—puppy eyes. Hiruma meliriknya sedikit kemudian ia memasang ekspresi kau-sangat-menjijikan—kita semua tahu dia berakting. Setelah beberapa lama dipandangi seperti itu oleh Kurita, terdengar helaan napas yang dikeluarkan Hiruma. Ia menutup laptopnya dan beranjak dari kotatsu. Kurita kini menatapnya dengan setumpuk harapan.
"Kalau kau ingin melakukannya, lakukan tanpaku." Dan jawaban itu membuat badai musim dingin tiba-tiba menyambar hati Kurita.
Hiruma kemudian membawa laptopnya dan berjalan menuju kamarnya. Membiarkan setumpuk harapan yang disusun Kurita berjatuhan dari langit dan tanpa ampun menghujam bumi.
"Sudahlah, Kurita. Hiruma kan bukan tipe orang yang mau diajak ke acara seperti itu," ujar Musashi sambil menyentuh pundak sahabatnya yang kini terlihat lesu. Kurita hanya mengangguk mengiyakan.
"Tapi ... idemu sungguh bagus, Musashi. Kupikir hanami akan menghibur Hiruma yang tidak pernah keluar rumah sejak—" Kurita menggantungkan kalimatnya; tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia menghela napas dan meneguk segelas ocha hangat yang berada di atas kotatsu.
"Ya, sejak hari itu," sambung Musashi agak ragu. Ia kini melipat kedua tangannya di atas dada. Matanya menerawang jauh ke hari itu. Ruangan yang beralaskan tatami itu kini mendadak sepi. Mereka berdua kini sedang menyelam dalam sebuah memori yang menyimpan kejadian itu. Walau mereka sedang melamun, samar-samar mereka bisa mendengar suara Hiruma yang sedang mengetik sesuatu-yang-hanya-dirinya-sendiri-dan-Tuhan-yang-tahu.
Musashi menghela napas. "Baiklah, aku akan berbicara pada Hiruma," ujarnya—lebih tepatnya berbicara pada diri sendiri. Musashi kemudian melangkah ke kamar Hiruma.
Srek,
Ia menggeser pintu bergaya tradisional itu dengan pelan. Takut mengganggu Hiruma. Tapi, yang Musashi dapatkan adalah Hiruma yang tengah mendelik padanya. Padahal ia belum mengatakan apapun. Tuh, kan, masih saja kekanak-kanakan, pikir Musashi sambil memutar bola matanya. Ia kemudian masuk ke kamar di mana Hiruma menyimpan segala senjatanya. Kamar yang lebih pantas disebut gudang senjata itu lebih sempit dibanding kamar Musashi maupun Kurita. Tapi Hiruma tidak pernah terlihat keberatan.
"Jangan coba-coba merayuku, Orang Tua Sialan," sahutnya sambil kembali memandangi laptopnya. Membuat kalimat yang disusun Musashi hilang entah kemana. Setelah berdiri agak lama, Musashi kemudian memutuskan untuk duduk di hadapan Hiruma.
Diam-diam Musashi memerhatikan lelaki yang ia kenal dalam setengah hidupnya itu. Satu kata kemudian muncul dalam benak Musashi saat melihat sahabatnya itu. Lelah. Ya, di mata Musashi, Hiruma terlihat lelah dengan bola mata hijaunya yang terlihat sedikit redup, garis wajah yang tidak terlihat tegas seperti biasa, dan ... sikapnya yang tidak 'seaktif' dulu itu dengan jelas menyatakan ada yang salah dengan Hiruma.
Dalam setahun ini, Musashi hampir tidak pernah mendengar suara letusan senjata yang selalu dibawa Hiruma. Ia juga sering menemukan Hiruma dalam keadaan tertidur. Well, itu mungkin normal-normal saja sebelum Musashi akhirnya menyadari ... kening Hiruma berkerut saat ia menjelajahi dunia mimpinya; terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia juga menyadari poker face Hiruma semakin tebal sampai-sampai Musashi kini kesulitan mengintip isi hati sahabatnya itu. Ia merasa ada yang disembunyikan Hiruma—dan hanya ditunjukkan lelaki itu saat tidur, itu pun tidak sengaja. Bahkan ia pernah mengira lelaki yang ada di hadapannya itu bukanlah Hiruma kalau saja Hiruma tidak mengeluarkan buku ancamannya. Walau kini ia yakin lelaki yang tinggal bersamanya ini adalah Hiruma yang ia kenal, ia tahu ada yang salah dengan sahabatnya itu. Ia bahkan tahu alasan Hiruma seperti ini. Dan semua keanehan itu berawal dari hari itu. Hari yang—
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Orang Tua Sialan?" Hiruma bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Membuat lamunan Musashi terputus.
"Ada hal yang ingin kutanyakan," jawab Musashi seadanya. Hiruma sendiri terlihat tak acuh pada jawaban Musashi. Kristal hijaunya tertumpu pada layar laptop VAIO kesayangannya. Sementara jari-jarinya lincah meloncat dari satu huruf ke huruf lain, membuat sebuah melodi khas yang mengisi ruangan itu.
"Langsung saja, beberapa lagi hana-fubuki datang. Apa kau tidak akan datang ke tempat itu?" Suara Musashi kini mengambang di langit-langit kamar. Hanya suara ketikan keyboard yang menyahutinya, dan jelas itu bukan jawaban yang diharapkan Musashi.
"Aku tidak punya waktu untuk mengurus seseorang yang sudah mati." Dan itulah jawaban yang keluar dari bibir Hiruma beberapa saat kemudian. Jawaban yang membuat Musashi menghela napasnya.
"Lalu ... bagaimana dengan permintaan Kurita? Kurasa itu bukanlah ide yang terlalu buruk," sahut Musashi sambil memandangi langit-langit kamar.
"Kau dan Gendut Sialan itu sudah gila."
"Kalaupun iya, itu tetaplah bukan ide yang—"
Brak,
Hiruma menutup laptopnya. Tidak terlalu keras, namun cukup membuat kalimat yang hendak diucapkan Musashi terpotong. "Apa kau semakin pikun, Orang Tua Sialan? Tidak bisakah kau lihat keadaan di luar sana?" sahut Hiruma sinis. Sangat sinis sampai Musashi bisa merasakan mata Hiruma berkilat tajam.
Keheningan kemudian mengambil alih.
Baik Hiruma maupun Musashi tidak ada yang berniat memulai percakapan lagi. Hiruma malah mengambil headphone berwarna hitamnya, memasangkannya di telinga elf-nya dan kembali menyalakan laptopnya. Jelas menolak untuk melanjutkan pembicaraan. Musashi sendiri sedikit setuju dengan alasan penolakan Hiruma. Keadaan memang tidak memungkinkan untuk keluar dan bersantai-santai, apalagi bagi Hiruma yang jelas-jelas terkena imbas dari isu itu.
"Lalu ... sampai kapan kau akan tetap bersembunyi di sini? Aku tahu kau tidak pernah takut dengan isu itu. Kau ... kau hanya merasa bersalah, kan?" sahut Musashi pelan. Tanpa menunggu respons dari Hiruma, ia kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Dalam hati, ia sudah siap merangkai penjelasan pada Kurita. Ia yakin sahabatnya itu pasti mengerti—dan ia memang selalu mengerti.
.
.
("Hei, sudah hampir setahun dan setan sialan itu tidak menampakkan dirinya lagi.")
("Iya, dia memang setan terkutuk. Dulu dia sudah cukup merepotkan kita dengan buku ancamannya dan sekarang dia malah membuat negara kita seperti ini.")
("Seandainya saja polisi berani menangkapnya.")
("Hei, mana ada polisi yang berani menangkapnya?")
("Oaah! Aku sangat berharap dia mati!")
("Ehh, aku—dan mungkin saja semua orang juga sangat berharap dia mati, atau setidaknya pindah ke dimensi lain. Ugh, membayangkan dia sedang mentertawakan kita membuat aku ingin mencekiknya!")
("Kalau dia sudah mati, pasti semua akan kembali normal, bukan?")
Hiruma membantingkan headphone-nya ke lantai. Enggan mendengarkan lanjutan ouput dari alat penyadapnya.
Sudah tiga jam berlalu sejak pembicaraannya dengan Musashi. Kini, matahari sudah kembali ke tempat peraduannya. Langit bahkan sudah gelap dan bintang-bintang yang bertaburan di kanvas hitam itu nampak berpijar terang. Bulan pucat yang baru muncul setengahnya pun hanya bisa menerangi sebagian wajah Hiruma lewat sinarnya yang berhasil menerobos salah satu jendela di kamar lelaki itu. Namun, cahaya lembut yang dipancarkan satelit alami itu tak mampu menerawang gelapnya isi hati Sang Komando dari Neraka tersebut.
Di balik wajah datarnya, otak Hiruma masihlah sibuk memproses segala data. Termasuk percakapannya dengan Musashi. Hiruma masih bisa mengingat setiap kalimat yang diucapkan Musashi. Mengingat kejadian seperti itu memang bukan pekerjaan yang sulit bagi otak superior Hiruma, tapi ... kalimat itu bukan hanya teringat, namun tidak bisa terlepas.
"Sialan," gumam Hiruma.
You've got one voice mail, ke ke ke ke ke
Hiruma melirik tas yang menyimpan handphone-handphone-nya. Keningnya sedikit berkerut. Tumben ada yang meninggalkan voicemail?
Maka dengan rasa heran, ia mengambil tas tersebut dan mengambil handphone yang layarnya menyala itu.
You've got one voice mail from unknown number
Hear it now/Hear it later?
Tanpa rasa ragu, Hiruma memilih hear it now. Ia tidak punya banyak waktu dan masih banyak hal yang harus ia kerjakan.
"Halo, Sonny. Kuharap kau sudah memiliki jawaban di tanganmu."
Kalimat berbahasa inggris dengan aksen amerika yang kental kini terdengar dari telepon genggam itu dan seketika, mata Hiruma membulat sempurna. Ia bisa merasakan adanya perasaan aneh menjalari hatinya. Perasaan yang membuatnya ingin menghancurkan sesuatu. Dengan susah payah, Hiruma menahan dirinya agar tidak melemparkan telepon genggamnya.
"Aku tidak akan menerima penolakan lagi, kau tahu itu. Lagipula ... kita tidak mau kejadian setahun lagi terulang lagi, bukan?" Suara itu bertanya seakan-akan mereka sedang mengobrol. Hiruma meletakkan handphone itu ke atas laptopnya—sebelum ia benar-benar serius untuk melemparkannya. Sedangkan kedua tangannya ia lipat di belakang kepalanya. Ia bersandar ke tembok sambil menutup matanya. Mulutnya sibuk mengunyah permen karet rasa mint kesukaannya. Tidak terlihat gelagat akan menjawab pertanyaan retoris itu.
"Kurasa kematian Anezaki Mamori bisa membuatmu sadar kalau aku masih memiliki banyak kartu untuk digunakan. Kau tahu dimana tempat aku akan menunggumu, bukan? Sampai jumpa, Bocah."
Stop.
Hiruma menekan tombol itu. Ia kemudian meletakkan handphone itu ke tasnya, menyalakan laptop perak kesayangannya dan kembali memasangkan headphone di kepalanya. Ia fokus pada layar laptopnya dengan wajah yang sesekali dihiasi seringai setannya. Semuanya terasa normal seakan ia tidak pernah mendengar apapun.
"Haah." Terdengar suara helaan napas dari luar ruangan.
Hiruma menyeringai.
Ada tikus kecil yang berani mengendap-endap rupanya.
.
.
Musashi baru saja akan menutup matanya saat telinganya menangkap nada dering handphone Hiruma. Walaupun samar-samar, ia cukup yakin pendengarannya itu tidak salah; mengingat keadaan sudah sepi dan jarak antar kamarnya dan kamar Hiruma hanya sepelemparan batu. Dan kini, Musashi tidak mengantuk lagi. Walau tubuhnya sudah minta diistirahatkan, hatinya berkata lain. Ada suatu keingintahuan yang meminta untuk dipenuhi. Bagaimana ia tidak penasaran kalau untuk pertama kalinya dalam setahun ini ia mendengar handphone Hiruma kembali berdering?
Maka, dengan berbekal kenekatan dan rasa ingin tahu, Musashi meletakkan futon-nya, mengambil alat penyadap yang pernah diberikan Hiruma dan melangkah keluar dengan sepelan mungkin. Sesampainya di depan kamar Hiruma, ia mempertajam pendengarannya. Namun sampai detik ini, ia tidak bisa mendengar apapun—
"Kurasa kematian Anezaki Mamori bisa membuatmu sadar kalau aku masih memiliki banyak kartu untuk digunakan. Kau tahu dimana tempat aku akan menunggumu, bukan? Sampai jumpa, Bocah."
—dan sungguh, ia berharap tidak mendengarkan apapun. Musashi menghela napasnya. Ia memang tidak sepenuhnya mengerti kalimat yang diucapkan dalam bahasa inggris itu. Namun mendengar nama mantan manajer DDB itu disebutkan membuatnya mengerti segalanya. Musashi kemudian mengusap wajahnya yang terasa kebas. Apa dayanya? Kalimat itu nyata dan ini bukanlah mimpi. Musashi kemudian membalikkan tubuhnya, hendak mengambil segelas air di dapur. Tenggorokannya mendadak terasa kering dan otaknya terasa membeku. Suara itu ...
"Apa yang kau lakukan?"
Musashi menoleh dan mendapati Hiruma sedang berdiri di belakangnya. Walaupun ruangan ini gelap, Musashi berani bertaruh ia melihat manik zamrud Hiruma menyelidiknya dengan sinis. Musashi mengorek telinga kanannya dan tersenyum sealami mungkin. "Apa aku membangunkanmu?"
Bagus, membalikkan pertanyaan adalah salah satu cara untuk elit untuk melindungi diri. Musashi tersenyum. Setidaknya ada hal 'baik' yang ia bisa pelajari dari sahabatnya yang satu itu.
"Tidak," jawab Hiruma singkat.
"Baguslah," sahut Musashi sambil melangkah ke dapur. Sebelum ia mengambil gelas, ia menyalakan dulu lampu di ruangan tengah—yang ikut menerangi dapur juga. Setelah itu, ia mengambil segelas air dari dispenser dan meneguknya.
"Count me in," sahut Hiruma datar. Musashi hampir saja tersedak mendengar kalimat yang terucap dari bibir Hiruma. Bukan hanya kaget, tapi ia mengerti arti kalimat itu dan maksud kalimat itu. Ia menoleh dan mendapati Hiruma sedang menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Musashi meletakkan gelas di meja makan dan berjalan mendekati Hiruma.
"Tadi kau tidak mau, sekarang kau berubah pikiran. Aku yakin kau pasti mempunyai rencana buruk." Ya, dan aku yakin itu ada hubungannya dengan Anezaki dan juga Clifford.
Hiruma menyeringai dan melipat kedua tangannya di atas dada. "Ke ke ke ke ke! Kau tahu saja, Orang Tua Sialan."
"Tentu saja, dan apakah rencanamu?" Musashi bertanya dengan nada ringan dan menatap Hiruma intens, seakan mencari setitik debu di tubuhnya. Kuharap kau tidak merencakan hal yang buruk. Lihatlah, Hiruma! Aku sekarang tidak bisa membaca pikiranmu lagi. Kau menutup dirimu sedemikian rupa sampai aku harus menanyakan apa yang kau sembunyikan!
"Aku akan membuat Si Gendut Sialan menyesal telah mengajakku. Pasti menyenangkan melihatnya menyesal dan menangis tersedu-sedu," jawab Hiruma sambil terkekeh pelan.
"Tadi kukira kau sudah menjadi orang baik, tapi ternyata kau masih punya rencana buruk. Kau ini sebenarnya lelaki seperti apa, sih?" Musashi bertanya dengan ekspresi geli sementara ia bisa merasakan kepalan tangannya mengeras. Sungguh akting yang sangat baik. Musashi memang belajar dari ahlinya. Sampai kapan kau akan membiarkan kami menebak-nebak jati dirimu, hm?
Hening kemudian merayap. Merasa pertanyaannya takkan dijawab, Musashi melangkahkan kakinya ke kamar.
"Kalau kau ingin tahu, teruslah jadi budakku. Kita tidak akan bisa menentukan kepribadian seseorang sebelum kematian menjemputnya. Jadi, pastikan dirimu ada di bangku VIP saat kematian itu menjemputku, Orang Tua Sialan." Jawaban Hiruma kontan membuat Musashi menghentikan langkahnya. Pria berambut mohawk itu kemudian membalikkan badannya dan tersenyum pada Hiruma.
"Ternyata kau lelaki yang cerewet juga, ya?" sahut Musashi datar. Menyadari AK-47 yang entah sejak kapan ditodongkan kepadanya, ia buru-buru masuk ke kamarnya. Dari dulu kau memang tidak pernah bisa mengatakan kata sahabat, ya?
.
.
"Apa?" sahut Kurita. Sumpit yang ia pegang kini terjatuh. Mulutnya menganga takjub.
"Tidak usah berlebihan juga, bisa kan?" Hiruma menimpali sambil meneguk kopi hitamnya. Sementara itu Musashi yang baru saja memberitahu Kurita kalau Hiruma akhirnya akan ikut dengan mereka hanya bisa tersenyum simpul sambil menatap kedua sahabatnya itu. Pagi hari ini mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi—yang kali ini dibuat oleh Musashi.
"Ta-tapi ... kemarin kau kan bilang—"
"Ya sudah, aku tidak jadi ikut," potong Hiruma dingin. Ia kemudian menyalakan laptopnya lagi.
"E-ehh!" Kurita yang panik hanya bisa mengirimkan tatapan meminta tolong pada Musashi. Yang ditatap hanya bisa mengangkat bahu. Tidak berniat ikut campur. Dan itu berarti Kurita harus berhadapan dengan Hiruma sendirian.
"Kau pasti ikut karena ingin mencicipi bento buatanku, kan?" tanya Musashi sambil dengan ekspresi geli. Namun, yang disiratkan tatapan matanya sungguh berbeda dengan ekspresi wajahnya. Kau pasti ikut karena ada hal yang kau rencanakan dengan Clifford, kan?
"Eh? Jadi Hiruma seriusan mau ikut?" tanya Kurita heran. Bukankah tadi dia bilang nggak akan jadi ikut?
"Keh, jangan berisik, Gendut Sialan!" 'tegur' Hiruma sambil menodongkan AK-47-nya pada Kurita, kemudian mengalihkannya pada Musashi. "Dan kau juga, Orang Tua Sialan, jangan coba-coba merayuku."
"Baiklah, baiklah ..." Musashi mengangkat kedua tangannya sambil menahan senyumannya. Namun gagal. Dalam sepuluh jam terakhir, itulah senyuman pertama yang terlukis di wajahnya yang tampak lelah. Ya, kalau diperhatikan lebih dekat, wajah Musashi tampak tidak fit seperti biasanya. Kantung matanya terlihat jelas dan frekuensi menguapnya pun meningkat. Tapi, dalam hati, Musashi sedikit lega karena ia bisa melihat Hiruma 'aktif' seperti sedia kala. Walaupun begitu, Musashi tidak berhenti memerhatikan Hiruma. Pernyataan tadi malam meninggalkan sebuah keganjilan di hati Musashi dan dia tidak akan melepaskan rasa penasarannya itu.
"Umm, kalau begitu aku akan ke supermarket dulu. Kita pasti butuh banyak makanan yang harus dibawa, benar kan?" sahut Kurita sambil membereskan alat makan mereka.
"Ya, dan jangan lupa belikan yukata untuk Hiruma, setahuku di lemarinya tidak ada yukata," ujar Musashi sambil menepuk pundak lelaki pemegang gelar Komandan dari Neraka itu. Musashi kemudian tersenyum puas. Rencana berhasil.
"Jangan habiskan uang untuk hal yang tidak penting, Gendut Sialan. Dan kau, Orang Tua Sialan, berani sekali kau mengoprek isi lemariku. Kalian berdua mau aku berikan pada Cerberus hah?" ancam Hiruma sambil menyeringai.
Dalam waktu beberapa detik, Kurita sudah lari keluar rumah, menyisakan Hiruma yang terkekeh geli, kemudian kembali memandang layar laptopnya dengan sorot mata serius. Sementara Musashi masih saja nekat berada di dekat Hiruma. Tidak menghiraukan ancaman gigitan dari Cerberus yang kandangnya dipindahkan ke depan apartemen—Cerberus kini dipekerjakan sebagai anjing penjaga apartemen. Musashi hanya meminum ocha-nya. Masih terlalu pagi untuk mengecek tempat proyeknya. Lagipula, hari ini gilirannya untuk membuat bekal makanan untuk Kurita yang kini bekerja di toko Cream puff.
"Hei, Hiruma. Boleh kupinjam headphone-mu?" sahut Musashi sambil meletakkan gelasnya di atas meja makan. Berusaha menyembunyikan rencananya sendiri. Kalau Hiruma punya rahasia, aku juga berhak-berhak saja, kan? Sementara itu, Hiruma tidak merespons. Setan yang satu itu hanya menatap layar laptopnya dengan tatapan yang ... ganjil?
"Hirum—"
"Pergilah." Lelaki itu menatapnya dengan serius. Nada bicaranya tadi bukanlah jenis nada bicara yang bisa dibantah. Musashi hanya bisa mengerutkan keningnya. Sama sekali tidak memiliki ide mengenai ucapan lelaki bertelinga elf di hadapannya. Sebelum Musashi sempat membantah, Hiruma sudah mengacungkan AK-47-nya dengan tatapan yang tak lepas dari layar laptop.
"Pergi, Orang Tua Sialan!" Hiruma mendesis tajam. Tidak suka saat perintahnya diabaikan. Musashi kemudian beranjak dari kursinya, namun tidak benar-benar pergi dari ruangan itu. Ada sesuatu yang menahannya untuk tidak meninggalkan ruangan itu. Ia menatap Hiruma intens. Walau masih bersikap datar, Musashi tahu kalau Hiruma sedang gusar. Rahangnya terkatup rapat. Moncong AK-47-nya sama sekali tidak beranjak dari hidung Musashi. Matanya berkilat tajam, membahayakan.
Dalam sepersekian detik, Hiruma menggeser AK-47-nya ke daerah telinga Musashi. Hanya sedikit saja dan lelaki itu menekan pelatuknya tanpa keraguan sedikitpun.
DOR!
.
.
-To Be Continue—
Mind to leave a little precious thing called review? ;)
