Kehidupanku yang menyalahi aturan.

Keadaanku yang sangat berbeda dan tidak seharusnya.

Keberadaanku yang terasa salah.

Atau lingkungan dimana aku hidup yang tidak seharusnya dan bukanlah tempatku membuatku merasa selalu sesak dan sendirian. Aku berbeda dari mereka tapi itu tidak membuatku aneh. Aku berbeda namun justu terasa begitu normal. Tapi aku tahu ada yang salah dariku, dari kehidupanku, dari keadaanku, juga dari keberadaanku yang tidak seharusnya.

Ini seperti aturan yang terasa salah namun tetap di jalani. Ini seperti aturan yang benar namun semua orang melanggarnya. Ini seperti hukuman yang tidak seharusnya diberikan atau seperti hukuman yang terlalu ringan untuk perbuatan yang berat kesalahannya.

Semuanya terus berjalan tanpa bermaksud untuk dibenarkan. Semuanya terus terjadi tanpa maksud untuk diperbaiki. Semua kesalahan yang terjadi, seperti benang kusut yang sudah tidak dapat lepas dan digulung ulang. Aku, seharusnya tidak ada dan keberadaanku menyalahi aturan.

Tapi.. Seolah aku adalah benang kusut itu, semua orang tidak bermaksud membenarkannya. Mengembalikan keadaan seperti yang seharusnya. Keberadaanku mungkin sebuah kesalahan, tapi aku akan terus terus dan terus mencoba memperbaikinya. Perlahan namun pasti, benang yang kusut itu perlahan akan terlepas dan kembali benar.

Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto

Genre : Supranatual, Super Power, Mystery, Horror, Friendship, Drama, Humor.

Reated : T (Teenager).

Naruto menggigit yakisobanya tanpa minat. 'Hambar.' Pikirnya. Ia berjalan menyusuri daerah sepi sisi bukit untuk sampai di sekolahnya. Asrama laki-laki yang Naruto tempati saat ini berada di bawah bukit. Perlu lima belas menit melewati jalan sempit ini untuk sampai di sekolahnya yang ada di atas bukit. Terik musim panas semakin menambah perasaan tidak menentu Naruto.

"Naruto-kun, hayaku." Seseorang berteriak, nyaris lima belas meter jauhnya dari Naruto.

"Ha'i. ha'i." Naruto mebalas setengah malas, setengahnya lagi berusaha terdenggar seperti ia tengah mempercepat langkahnya walau ia tidak mengusahakannya sama sekali.

"Kau akan terlambat jika terus berjalan selama itu, Naruto-kun." Dia tertawa kecil. Tidak bermaksud mengejek namun Naruto merasa akan marah jika bukan orang itu yang bicara kepadanya. Karena secara tidak langsung orang itu mengatakannya ia lamban dan lelet.

"Kalau begitu… AWASSSS KAAUUUUU!" Naruto berlari menerjang orang itu yang juga ikut berlari menghindari Naruto.

.

.

Naruto terkejut dan bangkit dari posisi terkelungkupnya. Ternyata ia sedang tertidur di meja kelas dengan punggung membungkuk, hingga ketika ia duduk tegak rasa sakit dan pegal langsung mendera punggung kecilnya. Helaan nafas berat keluar dari mulut Naruto. Satu lagi hari yang berlalu dengan kesialan, pikirnya.

"Ohayou."

"Un, ohayou." Naruto membalas sapaan itu tanpa menyadari siapa yang menyapanya. Ketika menyadari siapa yang menyapanya Naruto terpekik karena terkejut. "Sensei!"

"Apa pelajaranku semembosankan itu, Kurokawa-kun?"

"Iie, Sensei."

"Bagus, kalau begitu kerjakan soal nomer tiga yang ada di depan. Sekarang!"

Dan di awal musim panas Naruto sudah mendapatkan kesialan dari guru matematika terkiller di sekolahnya.

"Ini gila." Keluh Naruto ketika istirahat. Untungnya Naruto terselamatkan oleh bel tanda istirahat yang berdering tepat ketika ia maju untuk mengerjakan soal. Untungnya lagi Sensei gila itu langsung menyuruhnya duduk dan bukannya memaksanya untuk tetap mengerjakan soal jahanam di papan tulis.

Naruto membuka kantung plastik dari kantin yang berisi anpan dan yakisoba juga dua kardus susu berperisa jeruk. Dia menatap plastik berisi yakisoba di mejanya dengan tatapan sulit. Rasanya mimpi tadi merupakan ingatannya. Tapi Naruto tumbuh besar di Suna, kota kecil tanpa hutan, bukit, atau laut.

Naruto memakan yakisobanya. 'Hambar.'

.

.

Kereta yang padat, hawa hangat awal musim panas, dan bunyi bising khas jam padat menjadi hal yang selalu dialami Naruto akhir-akhir ini. Pendingin ruangan yang belum dinyalakan karena ini masih di awal musim. Juga banyak pamflet hologram di atas langit-langit kereta yang selalu sama, bergetar karena pergerakan kereta.

Di situlah Naruto. Berdiri diantara orang-orang yang baru saja pulang dari sekolah atau kantor mereka. Atau orang-orang iseng yang ingin menghabiskan waktu senggang dan membutuhkan transportasi umum. Dan sayangnya apartemen sewaan Naruto berada di tengah kota dimana jalur keretanya benar-benar ramai sepanjang waktu.

'Aku harus melepas gakuranku besok. Hari ini sudah mulai panas.' Naruto membuka kancing terakhir gakurannya dan memperlihatkan kaus hitam tipis di baliknya. Untunglah hari ini Naruto tidak mengenakan kemeja putihnya yang kebasahan karena hujan.

Seseorang tanpa sengaja menyenggol bahu Naruto. Membuat Naruto oleng karena tidak berpegangan. Ia nyaris saja tersurung ke depan jika tidak ada sesuatu yang menahannya. Naruto menoleh ke samping kiri agak depan, dimana sesuatu yang ia yakini tadi menahan tubuhnya.

Tapi hanya ada seseorang yang berdiri membelakanginya yang tampak sibuk dengan ponselnya. Naruto mengerutkan dahi kebingungan, tapi ia segera menepis pikirannya dan kembali berdiri tegak dan kali ini ia bepegangan pada tiang besi di dekatnya.

Kereta itu berhenti di jalur Kawamori, di stasiun dekat rumah Naruto. Daerah itu tetap saja ramai walau jam sudah menunjukan pukul delapan lebih. Naruto membenarkan posisi tas selempangnya yang agak merosot setelah berdesakan turun dari kereta.

Langit masih bertaburan bintang dan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Setelah memantapkan diri Naruto mulai berlari keluar dari stasiun bawah tanah. Butuh sepuluh menit berlari untuk sampai ke rumahnya, dan Naruto harus mampir ke konbini untuk membeli bento siap saji untuk makan malam. Malam ini dia terlalu lelah untuk membuat makan malamnya sendiri.

Angin malam yang agak dingin berhembus. Naruto agak menyesali keputusannya melepas gakuran hitamnya tadi. Ia terus berlari dan berharap hujan tidak akan segera turun walau langit masih terang. Awal musim panas sudah seperti musim hujan di Jepang.

Naruto melewati jalan perumahan dan kompleks apartemen yang mulai agak sepi. Daerah ini cukup ramai sebenarnya, andaikan saja ini bukan musim panas dan hujan bisa turun kapan saja walau ramalan cuaca mengatakan hari ini akan cerah.

Naruto berhenti di depan konbini 24jam. Ia segera masuk dan membeli bento cepat saji, beberapa sayuran, daging, dan ramen cup. Juga sekarton besar jus jeruk dan susu. Ia juga membeli beberapa keperluan pribadi yang menurutnya persediaan di apartemennya sudah mulai habis.

Setelah membayar barang-barang berlanjaannya, Naruto kembali berlari untuk sampai di apartemennya. Apartemen sewaan naruto berukuran sembilan tatami. Yang hanya berisi satu kamar, kamar mandi, dan dapur kecil. Ia menggunakan kamar itu untuk segala aktifitasnya di rumah.

Ia sampai di bangunan apartemen bertingkat dua yang terbilang agak tua. Induk semangnya tinggal di lantai dasar, tepat di bawah kamar Naruto. Untungnya induk semangnya begitu baik dan ramah. Ia sesekali membawakan Naruto nabe lobak sejak kepindahannya empat bulan lalu.

Naruto membuka pintu apartemennya dan masuk. Ia menyalakan lampu dan ruangan kurang dari 6x6 meter itu langsung terang benderang. Naruto meletakan plastic belanjaannya di atas meja di ruang tengah yang merangkap ruang tidurnya.

Diusianya yang baru dua belas tahun Naruto harus tinggal sendiri di distrik Yokohama. Ia seharusnya tinggal di kota Suna bersama neneknya. Tapi kota itu begitu ketat dan memuakan. Mereka tidak diizinkan ada di sana dan terkadang itu membuat Naruto merasa tidak nyaman.

Naruto menyudahi acara makan malam sederhananya dan mulai bersiap-siap tidur. Ia menepikan meja dan menggelar futon. Ia memasuki kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka. Setelahnya ia mengganti seragamnya dengan pakaian tidur.

Naruto menarik tali lampu di atas kepalanya. Ia merebahkan diri di atas futon dan memejamkan mata, mencoba tidur. Ketika ia merasakan kesadarannya mulai terasa samar, Naruto melihat bayangan gelap melintasi wajahnya. Dan hari itu berganti tanpa ada hal yang terjadi seperti biasanya.

.

.

Hari ini merupakan jadwal Naruto untuk membersihkan kelas sepulang sekolah. Tapi di tengah pelajaran mungkin saja ada guru kejam yang malas mengambil buku paket, peta, atau hal semacam itu hingga menyuruh murid yang piket untuk ganti mengambilnya.

Dan sialnya guru sejarah ingin mengambil peta Jepang dan peta dunia tanpa bergerak. Yang artinya harus ada yang menggantikannya. Sialnya lagi, Naruto tanpa mengetahui apapun sudah disepakati oleh teman-teman piketnya untuk mengambil peta terkutuk itu.

Guru itu menatap Naruto tanpa minat. "Ambilkan itu di ruangan peyimpanan sejarah, di tempat penyimpanan barang lama dekat globe." Katanya dengan nada malas.

"Ha'i, Sensei." Naruto berjalan bersungut-sungut menuju ruangan yang dimaksud gurunya. Ada di gedung lama, gedung yang bersebrangan dengan gedung kelas Naruto. Dan artinya Naruto harus menyebrangi lapangan tengah di bawah terik matahari yang menyengat. Oh, maaf, ini awal musim panas, kawan.

Naruto langsung berlari dan berhenti ketika ia sampai di koridor gedung penyimpanan. Ini merupakan gedung terlama di Katayama Chuugakko. Dinding, langit-langit, dan lantainya masih berupa kayu dan berderit ketika Naruto menginjakan kakinya di bagian tertantu.

Naruto segera menaiki tangga untuk mencapai lantai dua dimana ruang sejarah berada. Tempat itu benar-benar parah seperti mata pelajarannya. Tua, berdebu, memuakan. Juga penuh sesak entah berisi apa saja. Naruto mulai mencari peta yang dibutuhkannya dan berniat segera pergi setelah menemukannya.

Ia akhirnya menemukan peta itu tepat seperti yang dikatakan gurunya, di samping globe tua yang gambarnya sudah pudar. Naruto agak bingung kenapa gurunya tidak menggunakan layar saja. Malah susah-susah menggunakan peta tua yang terlihat sudah berumur seabad ini. Naruto memeluk kedua peta itu dan mulai berjalan meninggalkan gedung penyimpanan.

Ketika ia berjalan di depan pintu di samping ruang sejarah, sesuatu berderak seperti tikus yang berlari di atas kayu tua yang rapuh. Membuat Naruto berjengit takut karenanya. Ayolah, kau pria, dua belas tahun, dan masih menjadi penakut? Yang benar saja.

Naruto meletakan tangannya di pegangan pintu dan secara perlahan menggeser pintu kayu tua itu dengan hati-hati. Tapi ketika pintu terbuka seutuhnya tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada ruangan khas tempat penyimpanan. Naruto meletakan peta di samping pintu dan melangkah masuk ke dalam.

Ada rak khusus untuk berbagai macam tabung reaksi dan tabung kaca berisi cairan aneh. Juga rak berisi alat percobaan yang sebagian Naruto kenal. Naruto segera berbalik dan begitu terkejut ketika melihat kerangkat manusia di samping pintu masuk.

"Aaa.." Naruto segera menghentikan teriakan (yang nyaris tidak keluar) ketakutannya. "Sial." Makinya marah. Entah kepada dirinya yang begitu penakut atau kepada orang sialan yang meletakan kerangka tiruan di situ.

"Ah, gawat." Naruto segera mengingat tujuan awalnya dan berniat keluar dari ruangan itu andai saja pintu di dapannya tidak tiba-tiba tertutup. Naruto akan menanggap itu angin dan langsung ingat jika itu pintu geser dan bukan pintu berengsel.

"Chikuso." Pekik Naruto takut. Ia segera membuka pintu itu namun sulit sekali. Seperti ada yang mengganjalnya dari luar mengingat pintu ini tidak memiliki kunci. Naruto mengambil langkah mundur dan mulai menendang pintu itu. Perduli setan jika ia merusak pintu sekolah. Ia benar-bernar takut sekarang.

Pintu itu masih tertutup dan tidak bisa digeser seperti yang seharusnya. Naruto mengedarkan pandangannya. Tidak ada linggis, atau benda apa pun yang bisa mencongkel atau merusak pintu terkutuk itu. Naruto panik dan menggeser langkahnya ke samping hanya untuk melihat tengkorak manusia.

"Na.. Nani?" Naruto melangkah mundur. Namun itu malah menjadi langkah kematiannya karena ia tersandung sesuatu dan jatuh ke belakang dengan punggung menghantam lantai kayu. Naruto mengerang keras-keras.

Naruto berusaha bangkit tapi sesuatu seolah menahan kakinya. Naruto melihat sesuatu yang hitam melilit kakinya. 'Ular?'

Ketika ia ingin mengusirnya dengan tangan, benda hitam itu juga menahan tangannya. Lengan Naruto yang telanjang tidak merasakan sesuatu seperti kulit ular, tapi hal itu menahan tangannya untuk terus menempel di lantai.

"Ku.. sooo.." Naruto menarik paksa tangannya. Ia menggeliat hingga celananya robek tersangkut paku menonjol di lantai. Naruto terus berusaha, ia mengepalkan tangannya dan menariknya kuat-kuat. Naruto mengerang ketika bayangan hitam itu merambat melalui kakinya dan kini mulai membelit tubuh bagian atasnya hingga ke perut.

Rasa sakit membuat kesadaran Naruto menipis. Perlahan-lahan kepalanya terasa semakin berat dan pandangannya menjadi kabur. Tapi bayangan hitam itu terus melilit tubuhnya. Hal yang terakhir Naruto lihat adalah kilatan kuning keorangean seperti cahaya matahari yang hangat sebelum kesadaran sepenuhnya meninggalkan tubuhnya.

.

.

Naruto mengerang kesakitan. Rasanya kepalanya seperti habis dihantam oleh palu atau beton dan tubuhnya baru diremas kuat-kuat seperti spons. Hal paling menyakitkan adalah bagian tubuhnya yang tadi…

Yang tadi?

Naruto menyentuh belakang kepalanya yang berdenyut-denyut. Pemuda bersurai pirang itu bangun terduduk. Ia menyibakan selimut yang menutupi tubuhnya.

"Kau sudah bangun, eh?"

"Ah, Sensei. Apa yang?" Naruto terkejut melihat guru kesehatan itu tiba-tiba menyibakan tirai yang membatasi tempat tidur yang kini Naruto gunakan dengan tempat tidur di sampingnya.

"Kau pingsan di depan gedung penyimpanan. Anemia."

"Anemia?" Ulang Naruto.

"Begitulah. Ah, tadi temanmu sudah kuminta untuk meminta izin ke guru pengajar di kelasmu. Dia juga yang menemukanmu. Kau harus berterima kasih nanti." Ujarnya sambil tersenyum manis.

"Baiklah. Jam berapa saat ini, Sensei?" Tanya Naruto linglung.

"Eto.." Wanita itu melirik jam di pergelangan tangannya. "Hampir jam empat. Apa kau mengikuti klub?" Tanyannya.

"Ya. Sensei, arigatou sudah mau merawat dan menungguiku." Naruto membungkuk sopan. "Kalau begitu saya permisi terlebih dahulu."

Naruto langsung berlari ke kelasnya dan menemukan mejanya yang bersih dan tasnya di samping meja. Juga pesan di papan tulis yang berisikan kalau tugas piketnya sudah di gantikan dan dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

Naruto berjalan keluar kelas setelah menghapus pesan itu. Ia lalu mengganti uwabakinya dengan sepatu pantofelnya di ruang loker. Gedung utama sudah sepi dan hanya ada beberapa klub olah raga di lapangan. Sisanya ada di gedung klub budaya di dekat gedung olah raga.

Naruto memasuki gedung klub kebudayaan namun seseorang segera menghentikan langkahnya. "Bunchou?"

"Naruto, sudah kuduga kau akan ke sini. Kau bisa langsung pulang saja. Kudengar kau pingsan karena anemia, benar?"

"Ya, tapi…"

"Sudahlah." Pemuda yang dua tahun di atasnya itu menepuk bahu Naruto. "Kau pulang saja. Jaga kesehatanmu seperti kau menjaga nyawa mengerti?"

Naruto sedikit tidak mengerti apa yang ketua klubnya itu katakan. Tapi Naruto menangguk dan meminta izin untuk pulang. "Kalau begitu aku pulang dulu, Bunchou."

"Aa. Hati-hati di jalan, oke?"

"Baik." Naruto mulai melangkah meninggalakan sekolah. Ia sampai di halte bus di depan sekolah dan memilih menunggu bus ketimbang menggunakan kereta. Ia menoleh ketika merasakan seseorang duduk di sampingnya.

"Keberatan aku duduk di sini?"

"Tidak. Tentu saja tidak." Gadis itu tersenyum datar. Jenis senyum yang akan kau keluarkan pada siapapun yang tidak kau kenal. Tentu saja Naruto membalas dengan senyum yang sama.

Naruto hanya terdiam. Ia membuka ponselnya yang sedari tadi mati dan mendapatkan lima miss call, sepuluh pesan, dan enam email. Setengahnya berasal dari orang yang sama. Dua miss call berasal dari Neneknya.

"Hmmm.. Hmmm.. Hnnmmm.." Gadis di samping Naruto bersenandung.

'Naka..' Naruto berguman dalam hati.

"Kau tahu?" Naruto berucap setengah berbisik.

"Huh?"

Gadis itu menoleh. Naruto bisa melihat kilatan di matanya yang cantik. Seperti..

"Aku merasa pernah melihat matamu."

"Doko wa?"

Naruto meremas helaian pirangnya. Mata birunya terpejam. "Aku.. Tidak ingat." Katanya dengan dahi berkerut.

"Kalau begitu hanya perasaanmu, kan?" Gadis itu mengibaskan rambut di bahunya. Matanya yang teduh menatap Naruto.

"Benar. Hanya perasaanku saja." Naruto berguman. Ia berniat kembali bertanya tetapi bis yang ditunggunya sudah datang. Hal terakhir yang dia lihat ketika mengintip dari jendela, gadis itu sudah menghilang dari halte dan hanya ada daun kering di atas kursi yang tadi diduduki gadis itu.

.

.

Naruto merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Hari ini minggu dan sekolah libur. Yang lebih baik dari itu, Naruto akan pergi keluar dengan teman-temannya siang nanti. Rasanya akhir-akhir ini pikiran Naruto semakin penat saja. Dan jalan-jalan akan membuatnya sedikit lebih rileks.

Pemilik mata biru itu membersihkan diri dan memakai pakaian yang cukup bagus dari biasanya. Naruto mengambil tas selempangnya, memasukan ponsel, dompet, tisu, uang kecil, dan beberapa hal lainnya yang ia anggap perlu untuk dibawa.

Naruto berjalan menuju washtafel, ia mengenakan kalung berbandul biru. Ia menggenggam kalung itu erat-erat dan menatapnya lama. "Baa-chan."

"Kau harus menjaga ini baik-baik, Naruto. Pakailah selalu."

"Nande?"

"Kau tidak perlu tahu."

"EHHHH?"

Naruto kembali mengingat kata-kata neneknya dan menyadari tiga hari terakhir ini ia tidak mengenakan kalung itu.

Naruto menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di atas wastafel. Ia melihat dahinya yang tertutup poni. Sedikit menyibakan rambut pendek itu dan dia melihat titik merah berada di tengah-tengah dahinya. Ia terdiam cukup lama dengan posisi seperti itu.

Getaran di tasnya menyentak Naruto dari lamunanya. Diambilnya benda persegi itu dan melihat sebuah pesan baru masuk. Dari temannya. Segera Naruto buka pesan itu dan kesal karenannya. Mereka membatalkan acara jalan-jalannya.

"Bagus. Sekarang apa lagi yang bisa kulakukan?" Guman Naruto geram.

Naruto menghela nafas dan berjalan ke ruang tengah. Ia duduk di kusen jendela yang terbuka dan menatap langit sampai bel pintu yang tidak pernah berbunyi selama tiga bulan itu mengeluarkan suara.

"Tamu?"

Naruto dengan tergesa menuju pintu depan dan membukanya. Saat ia melihat siapa yang ada di depan pintu Naruto hanya bisa berseru terkejut. "OMAEE?"

*Tsuzuku*

Note :

"…" : Percakapan

Italic : Bahasa Asing

'Bold' : Dalam Pikiran

Underline : Flashback

Ini Chapter pertama, Summer no Nichijou, Kehidupan Sehari-hari di Musim Panas. Mungkin terlalu membosankan karena hanya menceritakan kehidupan normal Naruto. Awal adalah awal, dan jalan cerita akan selalu berubah seiring waktu.

Di chapter ini Naruto baru berusia 12 karena dia baru akan berusia 13 dibulan Oktober. Dan seting cerita ini sekitar bulan Juli. Musim panas bisa berarti banyak hal. Karena itu saya memulainya sejak musim panas dan bukannya musim semi.

Karena genrenya horror jadi saya buat adegan menegangkan yang tidak menegangkan sama sekali. Yah, silahkan anda menentukan setelah membaca ceritanya karena ini baru prologue. Review jika anda sekalian berkenan. Sebisa mungkin akan saya balas.

Dan terima kasih sudah membaca. ^.^

Hiruma Enma 01