hatimu, dalam tangan ini
disclaimer: mobile legends: bang-bang (c) moonton.
chapter 1: desideratum; gusion/karina [reincarnation au.] – 1 maret 2018.
sinopsis: gusion sadar, bara di mata wanita itu bukanlah cinta, melainkan dendam.
note: ini awalnya mau update daily, tapi gajadi deh, ribet hehehh. jadi ini update bila memungkinkan. oh, dan diperkenankan untuk request, boleh segala macam pair (lebih baik lagi kalo ada prompt-nya!).
.
.
Ada pedang dengan pisau ganda yang tertancap di sisi bangunan gereja.
Gusion melihat-lihat benda itu dengan heran dari puncak menara jam. Cahaya bulan membuat ujung runcing benda itu berkilat sinis, warnanya kehijauan, seperti permata. Berpendar bersih berbahaya, namun seperti belum pernah digunakan untuk membunuh. Gusion harap demikian.
Belati cahayanya ia lontarkan ke arah jendela, tepat di samping pedang itu—lalu benang-benang cahaya menariknya ke sana. Tangannya ia eratkan pegangannya pada gagang pedang di sampingnya. Ia memanjat masuk ke dalam lantai dua gereja. Tidak ada doa yang ia panjatkan sebelum menapaki gedung—semoga Tuhan memaafkan perbuatannya.
Di dalam, ia melihat sosok seseorang, tubuhnya bersimbah darah.
Di bawah lantai di ruangan remang-remang, seorang gadis kecil, tubuhnya mungil, tergenang darah yang merembes dari gaun malamnya. Gadis itu terbatuk, ia melingkari tangannya sendiri ke perutnya, berharap darahnya tak lagi keluar.
Ia terlalu terkejut sehingga tak bisa bereaksi apa-apa—namun saat sadar, ia melempar belatinya ke arah wanita itu, tiga totalnya. Wanita itu, gesit tubuhnya, melompat mundur, dan bertengger pada kandil baja besar yang tergantung dari langit-langit gereja. Mata mereka bertemu, menginspeksi satu sama lain.
Sepersekian detik kemudian, wanita itu melemparkan pedangnya melewati Gusion—yang lengah, karena kemudian wanita itu memanfaatkan momen itu untuk melompat dan menendangnya tepat di wajah, untuk kemudian melarikan diri.
Ada perasaan yang familiar di dadanya. Mata wanita itu.
Sesuatu menariknya kembali untuk meminta lebih.
Wanita itu, jenjang lehernya, menatap lurus seorang ilmuwan yang sedang mempresentasikan penemuannya di aula kota. Ia mendengus, lalu menyilangkan kakinya dan mulai bekerja untuk mempertajam pedangnya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Gusion—yang, reflek, mendapat respon yang sepenuhnya diprediksi; wanita itu menyerangnya, cepat namun brutal. Gusion melangkah mundur, satu langkah, dua, lalu melempar belatinya ke gedung di sebelahnya, dan menarik dirinya menuju ke sana.
Tak membiarkannya pergi karena kini ia memiliki satu set senjatanya, wanita itu melompat—dan Gusion menyadari bahwa wanita ini bukanlah manusia seperti dirinya. Di samping matanya yang berkilat menentang bulan, ada satu karakteristik lain yang semula tak nampak karena helaian rambut indigonya.
Ia seorang elf.
Melalui warna kulitnya, asumsi Gusion ia adalah seorang elf malam.
"Mau kenalan?" ia memulai. Wanita itu menebasnya, namun Gusion cepat bereaksi. Ia menapaki bahu wanita elf itu, lalu melompat dan berdiri tegak di belakangnya. "Kau… terlihat kesepian."
Wanita itu menjerit—ia mengertakkan giginya, melompat dan mengayunkan pedangnya tidak teratur. Matanya berkilat, luapan emosi saat ayunan pedangnya dihentikan oleh sebilah belati cahaya milik Gusion, yang saat ini tersenyum hangat ke arahnya.
"Pikirkan aku sampai pertemuan kita selanjutnya, ya?"
Jantungnya berdebar kencang saat mata mereka bertemu—heh. Mata adalah jendela jiwa. Mungkin ada benarnya.
Ada bara api di mata wanita itu semenjak pertama kali mereka bertemu.
Pertemuan mereka berlangsung seperti ini: elf itu berdiri di salah satu lokasi terisolasi, seperti, menara jam, lalu Gusion akan datang dan mengejutkannya. Wanita itu akan menyerangnya, tidak banyak bicara, dan Gusion akan mengindarinya tiap saat, tertawa dan girang merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan menyelami dadanya.
Saat pedang dan belati mereka beradu memperebutkan dominasi, Gusion tersenyum pada wanita itu, yang mengertakkan giginya, dan bara yang menyala dimatanya, mengundangnya untuk semakin mendekat. Seperti kelakatu, tertarik pada cahaya lampu pada malam gulita yang dingin.
Kemudian: "Aku sangat menyukai matamu."
Disitulah wanita itu kehilangan kendalinya—ia berteriak, seperti seruan perang. Gusion melompat mundur, sinkron dengan aksi wanita tersebut. Tetapi kemudian wanita itu menerjang lurus ke arahnya—tidak diduga-duga.
Lalu wanita itu menghunuskan pedangnya pada Gusion.
Gusion tertawa—tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Mungkin ia terlalu percaya diri hingga mengabaikan tanda peringatan yang diberikan wanita itu padanya. Ia jatuh tersungkur ke lantai kayu puncak menara jam, kemudian hak tinggi wanita itu menginjak pipinya. "Mau dengar cerita?"
Pedangnya bergelimang sinis di atas cahaya bulan dalam ruang remang-remang. Tetes-tetes darah mengalir dari ujung runcingnya, hingga tak ada lagi darah di permukaan pisaunya. "Pada zaman dahulu kala, ada seorang raja muda yang egois." Mulainya. "Suatu hari, dalam perjalanannya kembali setelah mempererat hubungan diplomasi dengan negeri tetangga, ia tiba di sebuah danau dengan bintang-bintang di permukaan airnya yang tenang."
Pandangannya mulai mengabur.
Wanita itu menginjaknya, lebih kasar, memaksanya untuk tetap bertahan. "Di sana, seorang anak perempuan berdiri seorang diri. 'Kau nampak kesepian.' Kata sang raja. Anak perempuan itu, bersih tak mengetahui keburukan yang mengintai, meraih tangan sang raja, lalu dibawalah ia kembali ke kastil."
Gusion merasa seperti ia tahu ke arah mana cerita ini akan berakhir. Tetapi ia tetap diam. "Sang raja mulai menaruh hati pada anak perempuan itu. Senyum dan tawanya, serta matanya yang seolah ditaburi bintang-bintang menjeratnya dalam keinginan untuk memiliki." Wanita itu menarik kerahnya, lalu melempar tubuhnya ke dinding.
Ia mengaduh, merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit. Wanita elf itu menghampirinya dan menginjak lukanya yang terbuka; ia mengerang kesakitan namun wanita itu tak sedikitpun menorehkan emosi di wajahnya. "Saat anak perempuan itu ingin pergi, sang raja tak rela." Katanya. "Kau tahu apa yang kau lakukan selanjutnya? Kau meracuniku, memenjarakanku dalam menara itu."
Wanita itu tertawa histeris. "Saat aku mulai melawan ingin bebas, kau mengikat tanganku, merantai leher ini. Kau membakar telapak kakiku agar aku merasa kesakitan tiap kali aku melangkah. Saat lidahku mulai banyak bicara, kau memotongnya."
Gusion menutup matanya; ingatan dari suatu zaman hadir seperti hantu dalam ingatannya. Wanita ini bukan cahaya lampu untuk laron-nya; melainkan matahari untuk Ikaros-nya.
"Saat kau lihat, mataku sudah tak lagi memiliki keindahan yang sama seperti dahulu, kau mencungkilnya keluar." Gusion melihat lekat-lekat wanita itu.
Ada bulir-bulir air mata mengalir ke pipinya.
"Tapi… kendati demikian… aku masih tetap mencintai orang yang kutemui di danau pada hari itu."
.
.
[end.]
