Cerita ini original milik penulis a.k.a Chanie (chaniethor)

Cerita ini merupakan fanfiction, tidak bermaksud menjelekkan pihak manapun. I Love BTS :*

BTS Fanfiction

Salah siapa? Menurutku itu adalah pertanyaan paling sombong, egois, dan kawan-kawannya. Karena, manusia itu tidak ada yang sempurna.

Am I wrong?

Chapter 1

Malam itu dingin. Musim dingin belum dimulai. Ini juga belum desember. Tapi, angin malam itu membekukan pembuluh darah paling ujung, perifer. Sehingga terasa beku. Beku sekali.

Berjalan di luar tanpa pakaian hangat sama seperti masokis, menyiksa diri. Singkirkan dulu sebagian orang yang memang tahan dingin. Akan tetapi, manusia seperti aku adalah golongan yang tidak mungkin demikian. Bahkan, mandi air dingin di pagi buta saja tidak mampu. Sekarang harus mencoba berjalan di udara dingin tanpa pakaian hangat?

Aku benci dingin. Kulitku sepertinya terlahir tipis. Aku lebih memilih bermalas-malasan di kamar tanpa kipas angin saat musim panas, masokis juga, tapi tidak juga. Karena aku lebih tahan panas. Toh, di musim panas masih punya kipas angin. Benda murah yang tidak perlu ribet mencari pinjaman untuk mendapatkannya.

Kalau musim dingin, untuk tinggal dengan nyaman masih butuh banyak perjuangan. Heater, selimut tebal, reparasi ventilasi ruangan, jaket tebal, makanan yang banyak—dan kesemuanya itu butuh uang yang banyak. Tidak masalah sih, untuk kalian yang termasuk golongan berada. Untuk anak buangan seperti aku, itu adalah masalah.

Aku bukan benar-benar anak buangan, hanya saja orang tuaku memang sudah lepas tanggung jawab 'pembiayaan' kehidupanku setelah merantau ke sini. Ke Seoul. Aku berasal dari Daegu. Semua hidupku aku sendiri yang menanggung. Makan, minum, tidur, buang air, semuanya urusanku sendiri. Ayah-ibu tidak urusan lagi.

Aku sakit, aku kenyang, aku ketakutan, atau aku kelaparan pun hanya menjadi urusanku sendiri. Aku rindu pada kenangan lama pun menjadi masalahku sendiri. Ingin, ketika sangat tidak sanggup pada semua hal, ingin kembali. Ke pelukan ibu. Healing. Tapi, aku tidak tahu kapan bisa kembali lagi ke pelukan ibu. Aku sibuk menyelamatkan nyawaku sendiri di sini.

Di sudut kota metropolis, masih ada bagian ini. Bagian terkumuh, bagian tak tersentuh, bagian yang gelap, dan aku berada di antaranya. Aku, Min Yoongi. Usiaku 23 tahun.

Aku bekerja serabutan, menjadi pencuci piring, menjadi buruh angkut, atau pun penjaga toko-toko. Pekerjaan sangat bawah, kecuali bekerja di toko alat music. Bagiku ini pekerjaan yang mewah, karena aku cinta music.

Aku bekerja di toko ini sekarang. Setiap jam 1 siang hingga jam 10 malam alias toko tutup. Sangat menyenangkan, meskipun gajinya tak seberapa. Aku bahagia karena di sana aku bisa sekalian mencoba beberapa alat musik. Sungguh suatu kehormatan.

Musik adalah hal yang paling aku hormati dan segani di dunia ini. Musik adalah hal yang tidak pernah buruk di mataku. Musik adalah hal yang mewah, dan aku selalu ingin terbang di antaranya. Maka, sore itu ketika aku berangkat ke toko alat music tempatku bekerja, aku sengaja berangkat lebih awal, tak sabar berada dalam dunia yang kuidamkan meski hanya menjaga alat-alatnya.

Saat pulang, aku sengaja sedikit malam. Tidak peduli di luar begitu dingin, tidak peduli juga gang-gang malam menjadi lebih menyeramkan. Aku masih ingin berlama-lama. Aku terlalu cinta.

Tapi aku lupa, aku sakit, senang, lapar, dan kenyang berkat cinta pun menjadi urusanku sendiri. Malam itu aku berakhir dipukuli. Sekelompok orang mabuk. Yah, setidaknya aku tidak diperkosa, apalagi sambil berdiri.

-Am I Wrong-

"Yoongi, kau tahu? Lebih baik bekerja dari sore hingga pagi daripada di jam malam harus pulang ke tempat ini. Lihat, wajahmu jadi babak belur begini."

Aku mengaduh sesekali, Seokjin-hyung sedang membantuku mengobati wajahku yang hancur. Aku menggeleng pelan. "Aku masih mau bekerja di toko."

"Dan berkesempatan bertemu orang-orang jahat setiap pulang? Setidaknya, bisakah kau cari shift pagi? Jangan pulang di atas jam 10 malam ketika melewati gang-gang ini, Yoongi-ah.."

Aku meringis, mengaduh pelan ketika lukanya tersentuh lagi. Dia anak buangan juga. Kami tetangga kamar. Kami sudah bertetangga dan saling mengenal hampir 2 tahun lamanya. Dia bekerja di toko bunga, di pusat jalanan wisata dunia.

Dia menyelesaikan membersihkan lukaku sampai akhirnya bangun dan meninggalkan jaket bekas untuk dipinjamkan padaku. Dia baru dapat jaket baru, bonus gajinya turun kemarin pagi. Aku sedang bersiap tertidur sebelum dia keluar. Besok pagi aku dan dia akan berangkat bekerja lagi. Dia bekerja di toko bunga, aku di minimarket ujung jalan kota.

"Jangan lupa pakai selimutmu, Yoongi!" Teriaknya sebelum pintu ditutup dari luar.

-Am I Wrong-

Jam 10 malam lagi aku pulang dari bekerja menjaga toko alat musik yang sama. Hoseok, pelayan kafe sebelah toko ini sempat menawariku tumpangan, tapi aku menolak. Dia sepertinya cukup khawatir melihat luka lebam di wajahku. Aku sudah jelek, pasti tambah jelek. Belum lagi karena kulitku putih, lebamnya pasti tampak buruk sekali.

"Kau yakin, hyung? Akhir-akhir ini banyak penculik juga."

"Penculiknya tidak akan menculikku. Aku tidak berharta." Aku tertawa pelan, tak peduli Hoseok sudah menggumam tak kentara.

"Bagaimana dengan orang cabul? Orang-orang mabuk kemarin bisa memperkosamu juga," ujarnya, khawatir sekali sepertinya. Aku tak balas tertawa. Karena, aku sebenarnya takut itu juga. Tapi, mau diberi tumpangan oleh Hoseok atau tidak toh sama saja.

Gang-gang yang kulalui itu gelap, sempit, kumuh. Mobilnya tak bisa masuk. Atau Hoseok juga tak bisa keluar. Meskipun mobil lama, murah dijual juga, tapi gang-gang itu terlalu bau. Terlalu bau untuk menerima hal wangi seperti jok Hoseok yang sering dicuci.

"Aku akan lari jika bertemu mereka, Hoseok-ah."

Hoseok berucap lagi, aku menghela napas. "Terima kasih banyak. Aku pulang."

-Am I Wrong-

Salah siapa? Menurutku itu adalah pertanyaan paling sombong, egois, dan kawan-kawannya. Karena, manusia itu tidak ada yang sempurna.

Aku menerobos dingin hingga akhirnya sampai di gang-gang yang gelap, sempit, dan kumuh ini. Ujung gang itu adalah jalan ke kosku. Ini jalan satu-satunya yang harus kulewati. Karena, memutar ke jalan lain berarti harus berjalan sehari lagi. Aku tidak punya kendaraan.

Aku terngiang ucapan Hoseok dengan nada khawatir. Aku juga teringat bentakan Seokjin kemarin, dini hari. Suara-suara itu mengumpul di kepalaku seperti gasing, memberi energy mekanik yang membuat mataku lebih tajam. Mungkin itu baterai, dan mataku jadi senter. Ah benar, aku berjalan dalam gelap tanpa penerangan. Benar-benar gelap.

Ketika aku mendengar suara botol plastic bekas diinjak, telingaku menajam dan kuda-kudaku siap. Aku harus lari, karena dalam gang-gang gelap, sempit, dan kumuh ini tidak ada hal baik. Tidak ada hal baik sama sekali.

"Arrrr…"

Geraman itu seperti hewan buas, bedanya itu kurang dalam. Lebih seperti orang yang melayang. Pengguna obat-obatan terlarang sepertinya. Dia sudah tidak waras dan berubah menjadi singa.

Aku berlari, menabrak beberapa tong sampah dan mencebur genangan kotor beberapa kali. Aku lupa mana-mana yang harus dipijak, sibuk lari. Dan suara kaki itu, aduh sialan sekali seramnya. Aku heran mengapa pengobat itu masih bisa berlari secepat ini.

Belum sampai ujung gang, aku ditarik ke sisi gang yang lain. Diajak lari, oleh seseorang berjubah hitam—entah siapa.

-Am I Wrong-

Salah siapa?

Seharusnya aku memilih segera mencari jalan menuju ke gang yang mengarah ke kosku dari pada masih mengikuti pria berjubah sampai di bawah jembatan seperti sekarang ini.

"Woy! Aku lelah!" Aku tidak tahu berteriak begini itu benar atau tidak. Aku hanya lelah. Lagipula si pecandu yang gila itu sudah tidak mengejar lagi. Kami sudah jauh. Sangat jauh, melewati pagar beton perumahan kumuh malah.

Sialnya, orang itu tidak berhenti, malah mencengkramku lebih erat dan masih mengajak lari. Kami baru benar-benar berhenti setelah berada di sisi lain jembatan, menyebrangi sungai kecil yang hampir membeku.

Ah, benar. Beku. Dingin. Aku baru sadar betapa tubuhku mulai menggigil. Aku mendengar gemertak gigiku sendiri ketika kami yang berdiri sebelahan hanya terdiam meneraturkan napas masing-masing. Aku menggigil, dan masih berusaha melirik si jubah hitam yang menatap sekitar penuh atensi.

"Siapa kau?"

Bukannya menjawab, si jubah bertubuh tinggi dengan bibir khas itu malah diam menatapku. Napasnya masih terengah, tapi mata bulat besarnya menatap polos. He? Dimana pikiranku yang mengira dia orang jahat? Wajahnya ini sempurna jika untuk mengelabuhi orang-orang. Bertopeng, tapi aku yang sudah hidup di dunia jahanam ini tidak semudah itu lengah. "Kenapa kau menyelamatkanku?"

"Kau kedinginan?"

Aku tertawa sarkastik, sejenak menunda gigil yang menyebabkanku sedikit kesusahan bernapas. Aku memicing. "Heh—"

Sebelum aku mampu menyelesaikan kalimatku, si jubah itu menarik pakaianku hingga koyak. Aku reflek membungkuk, menutupi kulitku yang digarang udara malam. Aku berteriak marah. "APA YANG KAU LAKUKAN?!"

Akan tetapi, si jubah seperti tuli. Rasanya ingin kutinju giginya yang seperti seri kelinci. Sebelum mampu melakukan itu semua, lagi-lagi si jubah menarikku. Kali ini membelitku dengan jubahnya, menggumam dengan sedikit pengeratkan belitannya.

"Jeon Jungkook, kau bisa memanggilku begitu."

-tbc-

Selamat datang di keabsurdanku yang lain..

Selamat malam.

Salam.

Sugarsister