Chocolate Love
Pair: mungkin aruji sudah bosan, tapi fic kali ini tetap AnMitsu TwT maafkan saya *bow*
Genre kali ini romance.. karena saya buat ini sebagai selingan aja, jadi.. saya males mikir yang berat-berat *ditabok*
WARNING! Sho-ai! A little bit yaoi. (lagi-lagi) AU. Idol life~ fict ini Full of Yasusada's POV. Ah, btw saya mendapatkan inspirasi ff dengan latar idol grup seperti ini karena terinspirasi FF milik author Anshie, dengan judul Tokenai Mahou, di web Archive of Our Own. Silakan di check di a . FF milik Anshie san semuanya keren-keren, monggo dibaca juga :') ah, tapi FF saya ceritanya tentu saja berbeda jauh dengan milik Anshie san ^^ hanya latar idol nya yang sama.
Disclaimer: Touken ranbu dan segala isinya dimiliki oleh DMM dan nitroplus, saya hanya menggunakan tokohnya saja.
Yap,
Happy Reading!
"Otsukare! Kerja bagus kalian semuaa!" sambut Mitsutada—manajer kami— setelah kami, para anggota grup turun menuju backstage.
"Hah.. capeknya.. panass.." keluh anggota yang bernama Izuminokami Kanesada. Entah kenapa saat dia mengeluh 'panas', diriku ingin sekali mengambil tindakan dengan memotong rambut panjang kemilau indahnya itu. Salah sendiri punya rambut sepanjang itu. Yah aku juga sih. Tapi setidaknya aku masih terikat rapi, tidak berkibar macam iklan shampoo begitu.
"Kerja bagus, Kane san! Ini minumannya," aku mendengar suara dari seorang bishounen—Horikawa Kunihiro—yang tiba-tiba berlari mendekati Kanesada sambil membawa handuk dan botol minuman.
"Thanks, Hori!" Kanesada mengambil handuk dan minuman dari tangan Hori, dan wajah Hori yang bermandikan peluh itu tersenyum cerah.
Beruntungnya Kanesada. Memiliki kekasih sempurna macam Horikawa. Kemanapun selalu bersama, bahkan saat kerja seperti ini. Yah, karena mereka juga member satu grup idol sih.
Apa?
Aku terdengar iri?
Lebih baik aku juga mencari kekasih?
Ah tidak, tidak. Aku belum bisa memikirkan hal itu. Yang kupikirkan sekarang adalah karir ku. Lagipula untuk sekarang ini, hal-hal yang berbau percintaan seperti itu masih membuatku bergidik ngeri. Aku.. mengalami suatu musibah tentang hal seperti itu, jadi seperti inilah aku sekarang.
"NAGASONE! Sudah kubilang, simpan keripik kentangmu sampai kita selesai makan setelah ini!" teriak salah satu member dengan rambut panjang juga.. berwarna ungu terang. Salah satu member ter elegan di grup kami, Hachisuka Kotetsu.
"Ah—aku sudah lapar, Hachisuka. Aku tidak bisa menunggu waktu kita makan nanti!" sahut seseorang berambut hitam dengan aksen pirang di bagian bawahnya –Nagasone Kotetsu.
Nagasone dan Hachisuka adalah keluarga. Kakak adik, yang selalu saja bertengkar walaupun karena perkara kecil. Namun menurutku, pertengkaran itulah yang bisa dikatakan sebagai bukti keakraban mereka.
Ya. Inilah idol grup kami. Idol grup yang selalu berisik, dengan tingkah laku membernya yang kelewat hyperaktif. Kami menamai grup kami adalah 'shinsengumi no guruupu'. Yah agak berlebihan dengan memakai nama 'shinsengumi'. Namun kata manajer kami, Mitsutada, nama itu sangatlah cocok dengan kami, entah kenapa. Yang jelas, kami adalah idol grup yang tenar sekarang ini. Dan leader idol grup aktif ini adalah aku, Yamatonokami Yasusada.
"Oi Yasusada, kenapa melamun?" tegur Nagasone yang tiba-tiba sudah ada disebelahku.
"Ah—tak apa. Aku hanya kepikiran sesuatu saja," kataku sambil tersenyum kearah Nagasone, lalu mulai berdiri dan berbicara, "Yosh. Semua, terima kasih untuk kerja keras kalian hari ini. Live hari ini sukses besar! Kalau kalian sudah menyeka keringat dan sedikit beristirahat, segeralah ganti baju, dan kita makan malam,"
"Baik!" tanggap seluruh anggota.
Aku tersenyum menanggapinya, kemudian aku mulai beranjak ke arah pintu keluar, menuju ruang ganti. Namun saat aku meraih gagang pintu, Mitsutada memanggilku.
"Ah Yasusada," panggil Mitsutada, dan otomatis aku menoleh padanya, "Ini masalah kontrak film mu. Kau benar mau ambil tawaran ini, kan?"
Ah iya.
Tawaran film. Ingin sih rasanya aku menolaknya. Tawaran kali ini.. menyusahkan. Aku tidak memiliki semangat menghadapinya, cenderung sebagai musibah bagiku. Topik ini selalu bisa membuat mood ku down drastis.
"Memang aku punya hak untuk menolaknya?" tanyaku langsung dengan nada yang—yah, aku sedikit merasa bersalah pada Mitsutada, nadaku memang dingin.
Mendengar jawabanku, Mitsutada langsung memandangku dengan pandangan.. iba? Yah semacam itu lah. Aku tak tahu.
Haah—sial. Aku jadi badmood mendadak saat diingatkan tentang tawaran film tersebut.
"Sudah selesai? Aku mau ganti baju dulu.." kataku, memandang Mitsutada.
Mitsutada mengangguk, dan seketika menoleh ke arah Horikawa. Apa pandangan mataku segitu menyeramkannya ya sekarang? Entahlah. Maafkan aku, Mitsutada.
Aku ada di ruang ganti sekarang ini. Ruang ganti masih kosong dengan staff yang masih berkeliaran di luar, dan member yang masih betah nongkrong di backstage. Aku melepaskan ikatan pada rambut berwarna biruku ini, dan mulai mengeringkan keringat yang menempel di rambutku dengan handuk yg khusus kupakai untuk keringat. Lalu aku melepas kostum dan kaos dalamku, hingga terlihatlah tubuh bagian atasku yang topless. Aku mulai mengambil handuk dari dalam tasku, bermaksud untuk mandi, kemudian gerakan tanganku terhenti, teringat dengan kata-kata Mitsutada.
Masalah tawaran film.. bukan berarti aku tak suka akting atau apa. Aku suka. Aku memang memutuskan untuk berkarir di semua bidang entertain, jadi tawaran film seperti ini bukan masalah. Apapun genrenya..
..yah, asal bukan yang 'gitu-gitu' lah. Ini hati dan mental belum siap.
Hm? Lalu kenapa tindakanku seperti itu saat Mitsutada bertanya?
…
Hahh.. yah. Jujur saja.. semua gara-gara dua orang.
Ayahku, dan seorang perempuan.
Ayahku lah yang menjadi produser beserta sutradara pada film kali ini. Ya, ayahku memang memiliki karir yang bagus di bidang entertain. Dan benar kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sekarang aku mengikuti jejaknya.
..bukan. Ini bukan berarti aku memiliki hubungan yang buruk dengan ayahku. Hubungan kami baik-baik saja. Seperti air dalam ember. Tenang. Yang jadi masalah adalah lawan main ku. Perempuan yang jadi lawan mainku. Namanya—siapa ya? Aku lupa. Dia lah pokoknya.
Ayahku dan ayah perempuan itu adalah teman dekat. Dan sialnya, perempuan itu rupanya adalah penggemarku, dan sangat menyukaiku. Parahnya lagi, ayahku menyuruh –memaksa—ku untuk lebih mendekatkan diri dengan perempuan itu. Yah awalnya aku kira 'dekat' yang dimaksud ayahku adalah dekat sebagai sesama entertainer, atau sebagai teman saja.
Ternyata aku salah.
Perempuan itu—dengan percaya diri penuh, mengatakan ingin bertunangan denganku.
..What the f.
Tapi lebih menyebalkannya lagi, ayahku dan ayahnya menyetujuinya, tanpa sepengetahuanku. Bayangkan bagaimana perasaanku saat ayahku tiba-tiba berkata kenyataannya, dan lalu memaksaku menerima tawaran main dengan perempuan itu—tanpa penolakan?
Jujur saja, aku hampir menjatuhkan diriku dari balkon lantai tiga. Aku sangat membenci perjodohan, apalagi macam ini—perjodohan sepihak. Aku SAMA SEKALI tidak punya perasaan apapun dengan perempuan itu—aku malah cenderung terganggu—, dan sekarang aku malah dipaksa main satu film dengannya, dengan peran tokoh utama bersama perempuan itu.
Ini benar-benar pekerjaan yang buruk.
Apa? Memaksa menolak? Tentu aku sudah melakukannya! Dan kalian tau apa hasilnya? Ayahku malah melakukan ceramah sepanjang tembok besar cina. Berkata kalau dia khawatir aku tidak akan menikah lah, tidak akan memberinya keturunan lah..
…plis, aku masih 23 tahun, dan ayahku sudah khawatir hal macam itu. Entah kenapa aku tidak percaya dengan alasannya.
Aku yakin sih alasan utamanya adalah, ayahku merasa tidak enak dengan ayah perempuan itu—yang notabene adalah teman dekatnya. Jadi beginilah, dia menumbalkan aku, anaknya sendiri demi kelanggengan pertemanan mereka.
Saat aku dipertemukan pertama kali dengan keluarga perempuan itu, aku sudah merasa risih. Perempuan itu bagaimanapun selalu mencari cara untuk bisa disampingku. Dan ada suatu waktu saat itu, dia menggandeng tanganku tiba-tiba dengan alasan takut jatuh karena heels tingginya.
Saat itu aku merasa ingin melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal gunung yang ada di mobilku agar dia berhenti menggandengku dan berjalan dengan aman.
Fix aku tidak suka perempuan itu. Aku sudah mencoba untuk menolak perjodohan ini dengan halus saat pertemuan itu, namun ayah dan ibuku malah berkata bahwa aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Aku hanya bisa menghela napas panjang.
"Sudahlah, terima saja. Lagi pula perempuan itu tidak terlalu buruk kan? Dia cantik dan berpendidikan, body nya juga lumayan,"
Aku teringat kata-kata ayahku yang mencoba memersuasiku. Tentu hal itu tidak mempan untukku. Hah.
Eh?
Jangan-jangan aku tidak suka perempuan katamu?
Jangan bicara sembarangan! Aku masih suka perempuan, kok..
…yah, tapi aku juga suka laki-laki.
…
APA LIHAT-LIHAT!? Salah emang kalau aku seperti itu?! Aku suka keduanya, aku bisa menjalin hubungan dengan siapa saja! Hak ku kan?!
Hah! Yah intinya, bukan masalah dalam diriku, namun pada perempuan itu. Perempuan itu annoying untukku. Bayangkan saja kalau kalian tiba-tiba dijodohkan dengan makhluk yang tidak kalian kenal sebelumnya, dan ternyata dia makhluk annoying macam itu, memang kalian mau? Tidak kan? Ya itu yang kurasakan.
Bahkan sampai-sampai ayahku berkata lebih baik aku melepas karirku sebagai idol kalau aku tidak bisa membahagiakan salah satu penggemarku ini. Jujur aku cukup takut dengan ancamannya kali ini, karena dengan wewenang ayahku, ayahku bisa mencabut karirku sebagai idol kapanpun dia mau.
Gila ya? Membahagiakan satu penggemar tapi membuat penggemar lain bersedih, bukannya lebih tidak baik?
Aku merasa bingung sekarang. Bagaimana caraku lepas dari jeratan ini? Beri hamba petunjuk, Tuhan. Jangan sampai hamba ngeracunin anak orang pakai sia—yah itu kasus lama. Lupakan. Intinya jangan sampai hamba ngelakuin hal tidak jelas untuk lepas dari makhluk absurd macam itu, Tuhan. Apa yang harus hamba lakukan?
"Haaahh.." aku menghela napas sambil bersandar pada tembok ruang ganti, dengan handuk yang menjuntai indah dari genggamanku, "Aku tidak ingin pulang,"
Aku mulai mencoba untuk tidak memikirkan hal itu. Sudahlah. Badai pasti berlalu, sekencang apapun badainya dan bagaimanapun caranya. Aku menggelengkan kepalaku, menjernihkan pikiranku, mengambil baju gantiku, dan mulai berjalan ke arah kamar mandi.
Saat aku sudah selesai mandi dan berganti pakaian, member lain baru memasuki ruang ganti. Gila, berapa tahun tadi mereka di backstage? Pasti membicarakan sesuatu—yang kadang tidak penting.
"Kalian baru mau ganti baju? Ngobrol apa saja tadi di backstage sampai selama ini?" kataku dengan wajah heran.
"Biasa. Tadi baru ngobrol tentang sesuatu," kata Kanesada santai sambil mengambil handuknya.
Benar kan. Ini grup lama-lama sudah mirip dengan grup arisan ibu-ibu. Kemarin kami ngobrol tentang kucing yang nyasar ke dalam rumah Hachisuka dan Nagasone—dan membuat analisis kenapa kucing itu lebih betah di rumah Hachisuka dan Nagasone ketimbang di rumah majikannya sendiri— Nah, sekarang ngobrol apaan lagi?
"Barusan ngobrol apaan kalian?" tanyaku sambil mengambil air putih dari dalam tasku dan meminumnya.
"Kami membicarakan dirimu, Yasusada," kata Horikawa langsung dengan senyum secerah matahari.
"UHUK!" spontan aku langsung tersedak dengan minumanku sendiri. Ini mereka ngapain membicarakan aku coba?
"Horikawa.. jangan jujur-jujur jadi orang. Kasihan Yasusada jadi tersedak gitu," kata Nagasone sok perhatian—yang aslinya aku tahu, dia tertawa dalam hati.
"GITU YA! Saat aku tidak ada disekitar kalian, kalian membicarakan aku dibelakangku! Teman macam apa kalian!?" seruku langsung.
"Ya, ya, sabar dulu lah Yasusada. Sebetulnya sih bukan keinginan kami untuk membicarakanmu. Awalnya sih kami tidak ada keinginan untuk ngobrol selama ini," kata Hachisuka menjelaskan sambil menyisir rambut ungu terangnya.
"Tapi, kami membicarakanmu tiba-tiba karena surat ini datang," kata Nagasone menambahi sambil menunjukkan surat dengan amplop merah, dengan frame kotak-kotak coklat.
"Surat?" tanyaku heran, "Apa isinya?"
Nagasone menyerahkan surat itu ke tanganku, lalu aku membukanya langsung. Ada bekas segel amplopnya yang sudah dibuka, yah aku yakin pasti teman-temanku yang membukanya—selain karena penasaran, mereka pasti khawatir denganku karena warna amplop ini terlalu suram sebagai fan's letter.
"Maafkan kami yang membukanya tanpa seijinmu. Yah kau tahu lah. Warna amplop itu terlalu menakutkan sebagai surat penggemar, dan kami khawatir itu adalah surat terror lagi," kata Horikawa disebelahku.
Yah aku sudah tahu kalian teman yang baik.
Aku mulai membaca suratnya, dan isi surat itu cukup untuk membuatku menautkan alisku,
Halo, hai! Terima kasih untuk live nya hari ini ya. Kalian sungguh luar biasa.
Aku selalu melihat live kalian, dan memang live kalian selalu membuatku merasa semangat!
Aku penggemar kalian. Khususnya, aku penggemar Yamatonokami Yasusada.
Seperti biasa, wajah tampan dengan pandangan mata biru teduhmu selalu membuat banyak orang terbius. Tentu saja aku termasuk didalamnya! Haha. Senyumanmu yang cerah juga selalu memberikan warna tersendiri di setiap live concert yang aku lihat.
Menyenangkan untuk melihat kalian semua selalu tersenyum dan tertawa saat menyanyi dan menari. Ah, aku yakin semua itu bukanlah rekayasa, kan? Di kehidupan sehari-hari pun aku lihat kalian juga sebahagia saat di panggung. Aku selalu melihat kalian lho. Dengan tingkah laku kalian yang selalu bahagia setiap hari begitu, tak heran kalian dijuluki sebagai idol grup matahari, haha. Selalu membawa keceriaan kemanapun kalian berada.
"Sebentar! Ini 'selalu melihat kalian'.. orang ini stalker kah?" tanyaku sambil melihat ke arah semua member.
"Bacalah hingga akhir, Yasusada. Itu bukan hal mengherankannya," kata Kanesada yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi, kemudian berganti dengan Horikawa yang mulai memasuki kamar mandi.
Aku melanjutkan acara membacaku setelah Kanesada berkata begitu,
Namun hari ini, aku merasa ada yang aneh dengan Yasusada. Ada apa dengan Yasusada? Apakah Yasusada memiliki masalah?
Pandangan mata birumu tidak secerah biasanya. Sedikit gelap saat kulihat. Senyumanmu pun tidak secerah biasanya, seolah-olah dalam senyumanmu ada beban yang harus kau tanggung.
Jujur saja, aku merasa khawatir dengan Yasusada. Mungkin orang lain tidak menyadarinya, tapi aku melihatnya. Dengan sangat jelas.
Aku yakin, jika setiap live Yasusada terus seperti ini, para penggemar pasti akan merasakannya, dan mereka semua akan khawatir. Aku yakin, kau tidak ingin penggemarmu khawatir, kan?
Semangatlah kembali. Aku tak tahu masalahmu apa.. kurasa, masalah dengan perempuan? Bukan percintaan, lebih kearah kau yang merasa terganggu? Itu menurutku. Matamu mengatakan semuanya.
Ah, Kalau kau masih merasa perasaanmu terus-terusan belum membaik, datanglah ke café ku. Haha, ini bukan promosi. Aku hanya ingin kau semangat seperti biasanya lagi. Dan~ minuman cokelatku bisa membuatmu merasa semangat, seperti biasanya.
Memang tidak menghilangkan masalah, tapi jika semangatmu kembali, masalahmu juga pasti cepat selesai, kan? Kalau kau berminat, datanglah ke daerah sekitar kuil Kiyo, dan tunjukkanlah amplop merah yang kau pegang itu, dan bertanyalah kemana sebaiknya kau pergi. Semua orang yang ada disana tahu café milikku. Aku terkenal lho. Haha.
Semua member bahkan staff juga boleh datang. Yah, kalau berminat.
Salam,
K Kiyo
".. Ini.. konyol," kataku sambil menautkan alisku.
Semua member lalu memandangku dengan pandangan yang—aku sendiri tidak bisa mendeskripsikan. Antara marah, dan bertanya-tanya.
"Melihat reaksimu, apa yang ditulis disana benar? Kau mempunyai masalah?" Tanya Kanesada langsung padaku.
Aku memang tidak bercerita masalah ini pada semua member—teman-temanku—. Aku hanya bercerita kepada Mitsutada, sebagai manajer, dan menyuruhnya untuk merahasiakan semuanya. Aku tidak ingin mereka khawatir. Khususnya Kanesada. Dia orang yang temperamen. Aku tidak mau dia datang untuk melabrak perempuan itu karena sudah mengganggu—bagiku. Yah.. karena teman-temanku terlalu percaya padaku, maka saat aku mengatakan orang itu menganggu bagiku, mereka akan satu suara menganggap bahwa orang itu memang pengganggu. Bahkan sudah pernah ada kejadian Kanesada menghajar orang yang menerorku—padahal terror yang diberikannya juga tak berdampak apapun pada karirku. Pada saat itu aku hanya berkata, 'orang ini membuatku risih', dan keesokan harinya aku langsung dikagetkan dengan berita Kanesada yang ada di kantor polisi.
Bayangkan apa yang terjadi kalau aku bercerita tentang masalah ini. Dimana karirku juga terancam.
Dan persoalannya, permasalahan yang kuhadapi ini juga berhubungan dengan keluargaku dan keluarga perempuan itu, sehingga aku tidak mau membawa teman-temanku. Oleh karena itu, didepan mereka aku terus menjadi Yasusada yang seperti biasanya. Dan semua lancar sampai surat merah ini datang.
"Bagaimana.. orang ini, Kiyo ini, bisa tahu.." gumamku sambil memandang lantai tempatku berdiri, yang kurasa cukup keras, karena Kanesada sampai berteriak padaku tiba-tiba.
"YAMATONOKAMI YASUSADA!" teriakan Kanesada sukses membuatku mendongak memandang teman-temanku yang memandangku dengan pandangan meminta penjelasan—Horikawa yang baru saja selesai mandi juga ikut mengintimidasiku dengan pandangannya—
"Kenapa kau tidak mau bercerita pada kami kali ini?" Tanya Hachisuka sambil menyilangkan tangannya didepan dada.
Melihat tatapan teman-temanku, membuat pertahananku runtuh. Sudah tak ada gunanya lagi menyembunyikan masalah ini. Sudah waktunya untuk bercerita semuanya.
"Haahh.. baiklah baiklah! Aku mengaku!" kataku akhirnya, "Aku minta maaf karena aku menyembunyikan masalah kali ini dari kalian,"
"Kau sudah tidak percaya lagi pada kami?" Nagasone semakin mengintimidasiku.
"Bukan-bukan! Bukan seperti itu," kataku sambil melipat lagi surat yang tadi kubaca, dan memasukkan kembali ke dalam amplop merahnya, "Masalah kali ini cukup pelik. Aku bingung mau bercerita dari mana—"
Aku mengambil napas dalam-dalam,
"—dan masalah ini menyangkut karirku bersama kalian,"
Oke, bagus. Aku memang bodoh. Aku langsung mengatakan poin pentingnya tanpa intro apapun terlebih dahulu. Tentu saja, hal itu menghadiahiku pandangan mematikan dari teman-temanku. Cukup.. menakutkan.
"Ceritakan. pada. kami. SEKARANG," kata Kanesada dengan penuh penekanan.
Dan tentu itu juga menekan diriku.
"Ba-baik.."
"Jadi—" Nagasone menarik napas panjang, panjang sekali, lalu melanjutkan perkataannya, "Kau sedang dibingungkan dengan ini semua? Ingin melepaskan diri tapi dengan cara yang halus?"
"Begitulah.. tapi.. aku rasa mustahil," responku kecewa.
"Intinya, kau bisa menyelamatkan karirmu kalau kau terima perjodohan ini?" Tanya Hachisuka sambil memijat keningnya, rasanya dia bingung. Hachisuka yang tidak merasakan saja bingung, nah bagaimana denganku? Keren kan aku masih bisa bertingkah tenang?
"Kemungkinan begitu. Kalian paham ayahku kan?" timpalku mengingatkan mereka dengan watak ayahku yang keras kepala.
"Tapi, kalau kau terima.. apakah kau juga menyukai perempuan itu? Mencintainya? Pernikahan tanpa perasaan itu menyakitkan lho. Menurutku," kata Horikawa sambil menyisir rambut Kanesada yang mulai kering.
"Aku sudah bercerita panjang lebar, apa kau tidak mendengarkannya, Horikawa? Aku tidak suka perempuan itu! Sama sekali! Dia mengganggu untukku! Dan aku tahu itu menyakitkan, oleh karena itu, aku ingin mengakhirirnya, tapi aku tak tahu caranya," aku mulai kehilangan kesabaran. Aku tidak suka topik ini.
Nah kan, mereka mulai kebingungan dan atmosfernya menjadi berat begini. Inilah yang aku tidak mau, membuat teman-temanku juga memikirkan masalahku secara serius. Aku ingin membawa kebahagiaan pada teman-temanku, bukan membawa masalah. Hah.
"Baiklah. Nanti kita ke rumah Hachisuka dan Nagasone saja untuk memikirkan masalah Yasu—"
"AAA! STOP STOOPP!" aku menginterupsi arahan Kanesada. Moouu! Sudah cukup!
"Ada apa, Yasusada? Masalahmu ini pelik, kami ingin menyelesaikannya juga agar kita bisa tetap bersama, dan kau bahagia," kata Kanesada langsung memandangku.
"SUDAHLAH! Ini yang membuatku tidak mau bercerita kalau masalah berat begini! Kalian selalu saja kerepotan. Maafkan aku teman-teman.. aku sangat senang kalian mau membantuku, peduli padaku.. tapi sudahlah. Jangan terlalu kalian bawa serius. Ini masalahku, aku pasti bisa menyelesaikannya. Aku tidak mau membawa kalian ke dalam masalah aneh seperti ini. Aku sudah cukup merepotkan kalian. Kalian selalu ada untukku saja itu sudah cukup bagiku," kataku menjelaskan sambil tersenyum manis, "Aku pasti akan menyelesaikan masalah ini, tanpa mengorbankan apapun. Percayalah padaku kali ini,"
Teman-temanku terdiam. Sudah pasti. Aku tahu, mereka sebetulnya tidak bisa diam saja dengan masalah seperti ini. Tapi kuharap, kali ini mereka mengerti keadaannya.
"Kau janji tidak akan meninggalkan shinsengumi?" Tanya Horikawa sambil memandangku.
"Janji. Mana mungkin aku akan meninggalkan shinsengumi? Hidupku disini, kalian dan para staff adalah keluargaku. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja!" aku menjawab mantap, mencoba meyakinkan mereka semua.
"Kau juga janji kau akan bahagia?" Hachisuka kali ini yang bertanya.
"Janji, janjii~ aku sudah berkata akan menyelesaikan ini tanpa mengorbankan apapun kan?" aku menjawab dengan senyuman.
Kulihat wajah mereka sudah mulai melunak. Oh kumohon, katakan kalau kalian memercayaiku kali ini!
"Hah.. baiklah, kami percaya padamu," perkataan Kanesada langsung membuatku bersyukur setengah mati.
"Terima kasih, semua.." aku melihat mereka yang sudah mulai tersenyum, "Baiklah, ayo kita pergi makan malam,"
Aku mengambil tasku dan memakainya, kemudian aku membuka pintu ruang ganti, diikuti oleh teman-temanku. Selama perjalanan menuju restoran, kami tertawa, bercengkrama, dan saling bercanda. Seolah-olah atmosfer yang gelap tadi tidak pernah ada, syukurlah.
Ah.
Tuhan, tolong aku. Aku ingin tetap bersama mereka.
KLANG
Aku melempar kaleng teh kosong ke arah tempat sampah yang ada didepanku. Saat ini aku sedang latihan untuk film, dan jujur saat ini moodku sedang dalam kondisi akan membantai setiap orang yang mencari masalah denganku.
Perempuan brengsek. Aku tidak menyangka dia akan melakukannya sejauh ini. Apa maksudnya dengan perkataan ayahku yang mengatakan bahwa aku sudah berjanji pada perempuan itu bahwa aku akan mengantarnya pulang dan makan malam bersama? Ha? Aku bersumpah aku tidak pernah berjanji apapun pada perempuan itu. Saat aku bertanya pada ayahku siapa yang berkata seperti itu, dia menjawab kalau perempuan itulah yang berkata pada ayahku.
Sialan. Dia tahu kelemahanku ada pada ayah. Aaakkhh! Aku ingin teriak sekencang-kencangnya!
"Haah.." aku menghela napas, dan mulai berjalan dari jidouhanbaiki (mesin penjual otomatis) menuju tempat latihan.
Sesampainya di tempat latihan, rupanya perempuan itu masih berlatih dengan aktor lain. Syukurlah. dengan begitu, dia tidak akan mengangguku untuk sementara waktu. Aku iseng merogoh tasku—siapa tahu ada permen atau semacamnya—, dan tiba-tiba aku menemukan sesuatu. Saat aku menariknya keluar, rupanya itu.
Amplop merah dengan frame kotak-kotak coklat.
Entah kenapa tiba-tiba ada yang aneh dengan perasaanku. Siapa Kiyo ini? Aku teringat isi suratnya.. apa maksudnya dengan dia selalu melihatku dan teman-temanku? Stalker kah? Tapi sebagai stalker.. dia terlalu perhatian. Jangan-jangan dia penggemarku, yang merangkap cenayang?
Oke aku mulai gila.
"…Ah, Kalau kau masih merasa perasaanmu terus-terusan belum membaik, datanglah ke café ku,"
Kalimat itu terngiang di kepalaku. Aku sedikit tergoda untuk menemuinya. Aku ingin mencicipi minuman coklatnya. Benarkah minuman coklatnya memiliki efek sebagus itu? Kalau iya.. aku akan pergi setelah latihan. Lagipula, aku juga penasaran dengan orang bernama Kiyo ini. Entah kenapa.. perasaan dan diriku ingin sekali menemuinya. Aku merasa ada perasaan yang berbeda dalam hatiku saat aku membaca suratnya. Ah, sudah kuputuskan aku akan pergi setelah ini. Sebodo amat sama perempuan itu. Dia mau pulang sambil ngayang juga bukan urusanku.
Akhirnya. Setelah satu setengah jam latihan di neraka—kusebut neraka karena adanya perempuan itu yang terus berusaha menempel padaku—, aku langsung berkemas tanpa mandi terlebih dahulu. Yah syukurlah walau tanpa mandi, aku tidak menderita bau badan. Dan terlebih, untung aku masih tampan.
Dari lahir sudah tampan sih, mau bagaimanapun juga tetap tampan.
Yak! Ambil kunci mobil dan—
"Yasusada! Kau berjanji akan mengantarku pulang!"
—bolehkah aku berkata kotor disaat seperti ini? Perempuan gila itu lagi! Aarrgh! Biarkan aku sendiri!
"Maafkan aku, tapi aku tidak pernah merasa berjanji padamu untuk hal seperti itu," jawabku dengan tetap memertahankan senyuman manisku—walau wajahku rasanya sudah kram, tidak sanggup untuk tersenyum palsu lebih lama lagi pada perempuan satu ini.
"Hee! Tapi kita kan sebentar lagi bertunangan.. masa' kita tidak pernah pulang bersama walau cuma sekali? Aku juga ingin makan malam bersamamu! Ayahmu juga mengijinkanmu!" paksa perempuan itu sambil terus memegang dan memeluk lenganku.
Serius ya.
Emosiku sudah di ubun-ubun. Aku.. aku pengen mendorongnya sampai jatuh. Yaampun Yasusada. Tenang. Tenang. Mohon bersabar ini ujian, Yasusada.
"Anoo.. masalah pertunangan juga aku belum berbicara apapun.. jadi kapan-kapan saja bisa kan? Aku juga ada acara mendadak, jadi.. maaf," kataku sambil merogoh tasku dan memerlihatkan amplop merah itu—bertingkah seolah-olah itu adalah undangan.
"Apa itu? Aku mau lihat!" paksa perempuan itu lagi sambil berusaha meraih amplop merah yang kupegang.
Spontan. Serius spontan. Aku langsung menarik tubuhku hingga membuat keseimbangan perempuan itu oleng, hampir jatuh. Sedikit lega dan kecewa saat kulihat dia tidak jatuh.
"Aaah! Yasusada jahat!" perempuan itu lagi-lagi mengerucutkan bibirnya sok imut, yang membuatku sudah eneg.
"Maafkan aku ya, tapi ini undangan privasi yang sangat penting. Jadi.. aku harus mendatanginya," aku berkata sambil langsung pergi meninggalkan ruangan, dan berteriak, "Ayah! Aku tidak pulang hari ini, aku latihan vocal di rumah Horikawa!"
Ayahku berteriak tentang siapa yang akan mengantar perempuan itu, namun terlambat, aku sudah berlari menuju tempat dimana mobilku diparkirkan.
Kemudian aku dengar, ayahku lah yang mengantarnya.
Kuil Kiyo. Aku sudah sampai di daerah kuil Kiyo. Daerah yang sepi, tenang, dan asri. Jaraknya memang cukup jauh dari tempatku, sekitar 45 menit dengan mobil. Aku cukup menyesal datang sendirian ke daerah sepi begini. Yah sudahlah, sudah terlanjur. Dan sekarang, mengikuti sarannya, aku harus mencari orang dan memerlihatkan amplop merah ini. Seseorang.. tapi siapa orang yang akan lewat kuil malam-malam begini!? Aku pernah melakukan photoshoot dengan memakai kimono di daerah ini, dan aku akui daerah ini pada saat siang saja sepi, apalagi malam.
Aku membuka ponselku, dan melihat jam yang tertera di sudut kanan, pukul setengah 8 malam. Belum terlalu malam. Tapi daerah ini sudah mirip kota mati. Aku sampai bisa mendengar detak jantungku.
Segera saja aku keluar dari mobil, dan merasakan angin malam yang dingin menyentuh lembut kulitku. Sangat tenang. Aku bisa melihat cahaya lampu-lampu yang menjadi keindahan tersendiri pada malam ini. Aku mulai bisa menenangkan pikiranku. Aku mulai melupakan segala masalah yang terjadi hari ini. Hahh.. memang ya, daerah yang tenang dan asri begini bisa membantu untuk me-rileks kan pikiran yang keruh karena hiruk pikuk kota. Aku bahkan sampai hampir lupa dengan tujuan apa aku di daerah ini.
Aku mencoba menutup mata dan menikmati segarnya angin malam hari ini. Tapi aku langsung membuka mataku saat aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Penerangan disini cukup buruk, aku tidak bisa melihat siapa yang datang mendekat ke arah ku.
Hantu kah?
Siluman kah?
Manusia kah?
Oke, untuk saat ini aku tidak berharap opsi pertama dan kedua benar. Tapi ini kan dikawasan kuil.. bukan mustahil kalau ada youkai yang muncul. Ah sial, tanganku mulai terasa kaku dan keringat dingin mulai menetes dipunggungku. Namun aku mencoba berani. Aku terus memandang ke arah suara itu terdengar. Kemudian, secara perlahan aku melihat sosok manusia—ya! Manusia! Aku tahu karena geta dan kakinya terlihat menapak tanah. Syukurlah—yang dibalut dengan yukata polos berwarna merah, syal berwarna merah juga, sambil membawa peralatan mandi. Rasanya dia baru saja dari pemandian umum.
Aku mencoba melihat dengan teliti sosok yang tiba-tiba berhenti dan ada didepanku ini. Dia.. imut dan cantik. Tubuhnya yang kecil dan mungil, kulitnya yang putih bersih, jari lentik dengan kuku yang dicat dengan warna merah darah, rambut hitam kecoklatan dengan potongan pendek bagian luar namun dibiarkan panjang dibagian dalam yang dikuncir kedepan, mata tajam namun elegan dengan warna ruby, anting diamond yang bertengger di telinganya, bibir penuh, dan tahi lalat kecil disekitar bibirnya.. membuatnya tambah imut.
Tanpa sadar, aku melongo memandangnya. Dia menyita semua perhatianku! Aku masih asyik memandangnya, sampai dia tiba-tiba tersenyum kepadaku.
Yalord.
Senyumannya.
Bikin sakit jantung.
"Anoo.. Yamatonokami Yasusada san ya?" aku mendengar suara indahnya yang tiba-tiba memanggil namaku.
Eh? Kok dia tahu aku?
"Eh? Bagaimana kau.."
Dia tiba-tiba tertawa kecil saat aku mengajukan pertanyaan keheranan. Untung imut. Coba kalau yang tertawa begitu si Kanesada. Sudah aku lempar sepatu.
"Mana mungkin tidak ada yang tau leader dari idol grup shinsengumi di sini? Kau kan terkenal," dia memberi penjelasan sambil tetap menahan tawanya.
Oh iya ya. Sejak kapan aku jadi telmi gini sih? Kebanyakan nyemil keripik kentang bareng Nagasone mungkin ya, jadi telmi gini.
"Lalu, apa yang dilakukan oleh sang leader ditempat terpencil seperti ini, pada malam hari?" tanyanya sambil tetap tersenyum manis.
Tolong ya. Hentikan senyumanmu. Aku masih ingin hidup. Jangan buat aku serangan jantung disini.
"Sebelum aku menjawab, aku juga penasaran apa yang dilakukan seorang perempuan malam-malam begini sendirian,"
…apa?
Iya, aku cuma ingin memanjangkan percakapanku dengannya. Aku memang sudah tahu dia baru saja dari pemandian.. tapi aku tidak bisa memikirkan topik apalagi yang akan kita perbincangkan kalau aku menjawab pertanyaannya! Aku masih ingin mengobrol dengannya.
"Aku?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri, lalu tersenyum lagi, kemudian menunjukkan alat mandinya, "baru saja dari pemandian umum, seperti yang kau lihat. Dan ngmong-ngmong.."
"Ya?"
"Aku.. bukan perempuan. Aku laki-laki sepertimu," dia menambahkan sambil tersenyum manis.
…
…apa?
Laki-laki. Sosok cantik nan imut yang ada didepanku ini.. laki-laki?
Keheningan menyelimuti kami. Aku.. masih shock.
Bukan-bukan! Aku sudah berbicara di awal kalau masalah suka-menyukai aku tidak peduli dengan gender. Ini masalahnya. Laki-laki yang ada didepanku. Dia..
TERLALU CANTIK DAN IMUT UNTUK DISEBUT LAKI-LAKI.
"Anoo.." tiba-tiba suara indahnya menyadarkanku dari lamunan.
"A—ah? Iya?" tanyaku lagi dengan wajah memerah.
"Kau belum menjawab pertanyaanku.." dia lagi-lagi tersenyum, namun ada rasa khawatir yang kulihat pada senyumnya.
Pertanyaan.. ah iya. Pertanyaannya!
"Oh—aku? Aku disini sebetulnya sedang mencari sebuah tempat.. café.." kataku sambil membuka pintu mobilku, mencari tasku, dan mengambil surat dengan amplop merah tersebut dan memberikannya pada laki-laki cantik yang ada didepanku, "menurut surat itu, katanya aku cukup mencari seseorang didaerah sini, dan menunjukkan amplop itu.."
Saat aku tunjukkan amplop merah itu, wajah laki-laki cantik didepanku langsung berubah menjadi lebih ceria, entah kenapa. Aku rasa dia tahu kemana aku harus pergi. Atau.. jangan-jangan aku dibodohi, sebetulnya café itu tidak pernah ada, dan laki-laki ini menertawakan kebodohanku?
"Ehm," aku mencoba berdeham saat aku melihat bahwa pandangan mata laki-laki cantik itu tidak beralih dari amplop merah itu.
"Ah, maaf," dehamanku berhasil membuatnya menjawab dan memandangku lagi, "Aku tahu kau harus pergi kemana.."
"Benarkah? Bisakah kau tunjukkan jalan kesana?" tanyaku dengan nada yang ceria juga.
"Tentu, apakah kau punya kertas dan spidol? Atau bolpoin? Atau apapun yang bisa digunakan untuk menulis?" tanyanya sambil menaruh peralatan mandinya dibawah, dan langsung membuatku mengambil bolpoin dan kertas manuskrip film ku dari dalam tas.
Saat aku melihat dia menggambar peta dengan cermat, dia tiba-tiba berkata,
"Tapi kalau kau berencana pergi kesana sekarang, aku rasa kau harus menunggu sedikit lama. Karena pemilik café itu sedang pergi sebentar,"
"Hee.. baiklah. Luar biasa ya keakraban di daerah ini, bahkan sampai tau waktu-waktu tertentu antar tetangga," aku menanggapi.
Yang kuherankan adalah tiba-tiba orang ini tertawa tertahan sambil menutupi mukanya dengan manuskripku. Aku.. mengatakan hal yang aneh kah?
"Anoo.. ada yang salah?" aku bertanya keheranan.
Tiba-tiba dia menurunkan sedikit manuskrip filmku, hingga terlihat matanya yang berwarna ruby itu. Indah sekali. Dia lalu memandangku, kemudian menurunkan semua kertas manuskripku dan menaruhnya didadanya, sampai wajahnya terlihat seluruhnya.
"Maafkan aku ya, aku tertawa.." katanya sambil tersenyum manis lagi, "Aku tahu tentang pemilik café itu bukan karena akrab atau apa.."
"Lalu?" tanyaku.
"Ya.. karena aku sendirilah yang punya café itu,"
Aku langsung terdiam lagi. Cukup. Laki-laki ini.. benar-benar penuh kejutan. Siapa yang menyangka.. yang mempunyai café itu.. laki-laki?!
"Jadi—jadi, yang menulis surat ini adalah kau?" tanyaku langsung.
Dia menjawab dengan anggukan.
"Kau—kau penggemarku?" aku bertanya lagi.
"Penggemar berat. Aku tidak percaya suratku benar-benar sampai padamu," dia tersenyum sangat cerah dan manis sekali.
Ah. Melihatnya, dadaku tiba-tiba sakit. Sakit.. tapi sakit ini membuatku ingin tersenyum. Ini kenapa? Aku.. aku ingin lebih dekat dengannya.
"Namamu.. Kiyo?" aku mencoba mencari tahu nama aslinya.
"Ah maaf aku telat memperenalkan diriku. Namaku adalah Kashuu Kiyomitsu, salam kenal," dia menundukkan tubuhnya sedikit, tanpa memudarkan sedikitpun senyumannya.
"A-aku.. Yamatonokami Yasusada.." refleks, aku mengikuti gerakan tubuhnya.
"Haha, aku sudah tahu! Hm.. bisa berbicara santai begini dengan idolaku, mimpiku jadi kenyataan!" dia berkata dengan sangat polos, dan jujur, hatiku dan perasaanku menjadi hangat mendengar dia melontarkan kalimat itu, "Aku.. aku sangat bahagia," tambah Kiyomitsu—dengan mata berkaca-kaca.
"Be-benarkah..? ka—kalau begitu, jangan menangis!" aku entah kenapa menjadi gugup saat menghadapi Kiyomitsu. Aku belum pernah seperti ini pada siapapun. Ini, ini.. seolah-olah Kiyomitsu adalah spesial.
Bukan! Aku bukan hanya menyukai fisiknya.. fisik sempurnanya adalah bonus. Tapi kelembutannya, perhatiannya saat di surat.. dan tingkah laku sopannya saat bertemu denganku, yang notabene adalah idolanya—karena aku biasanya jarang menghadapi penggemar yang masih bisa menahan rasa histerisnya saat melihatku—itu, membuatku terpesona.
Dia seolah-olah seperti malaikat yang diturunkan ke bumi..
..dan kuharap malaikat untukku.
"Maaf.." dia lalu menyeka air matanya dengan tangan kirinya, lalu tangan kanannya mengulurkan peta yang digambarnya tadi, "Ini arah menuju café milikku. Tapi maaf, mohon tunggu sebentar, karena aku masih berjalan menuju ke café.. sekitar sepuluh menit?"
Ha? Sepuluh menit? Jadi.. jadi Kiyomitsu berjalan sendirian di malam hari seperti ini? Bagaimana kalau ada orang aneh yang keluar.. daerah ini sepi! Tanpa memroses kata-kata apapun dalam otakku, bibirku langsung seenaknya saja berkata,
"Maukah kau menemaniku menuju café?"
"Eh?"
"Yah, kau tahu lah. Aku bawa mobil.. kita juga mau ke arah yang sama. Kenapa tidak sekalian saja? Lagian berjalan sendirian malam-malam begini juga tidak baik.." kataku, yang didalam nadaku aku berharap Kiyomitsu menerima tawaranku.
Kiyomitsu masih memandangku lucu dengan mata ruby indahnya itu. Aduh. Aku bisa meleleh! Jangan pandang aku selama itu!
"…apa aku.. boleh menaiki mobilmu?" jawabnya pelan.
"Eh? Tentu saja! Kenapa kau bertanya begitu?" tanyaku balik.
Kiyomitsu tiba-tiba menunduk, wajahnya kulihat sedikit memerah, dia memainkan jari-jarinya gelisah,
"Aku.. merasa tidak pantas duduk bersanding dengan idola terkenal sepertimu.. aku takut.. menodai mobilmu.."
Hei. Segitunya. Aku bukan orang suci. Kenapa dia berpikir sampai seperti itu?
"Anoo ne, aku ini bukanlah orang yang sehebat itu sampai kau memandang rendah dirimu sendiri. Sudahlah. Kau mau kan menemaniku?" tawarku sekali lagi.
Aku memandang Kiyomitsu yang masih bergerak gelisah. Aku rasa ada peperangan dalam pikirannya. Namun sedetik kemudian, dia mengangguk.
Entah kenapa, aku tidak pernah merasa sebahagia ini saat aku menyuruh seseorang untuk menemaniku. Ternyata memang Kiyomitsu terasa spesial. Walau kami baru saja bertemu sih.
Dulu, aku tidak bisa memikirkan tentang percintaan dan tetek bengek sejenisnya. Aku malas memikirkannya. Aku pun juga tidak percaya dengan love at first sight.
Namun sekarang. Aku termakan oleh kata-kataku sendiri. Aku merasakan perasaan yang berbeda saat aku melihat Kiyomitsu. Aku merasakan semua geraknya setiap detik ini sangat pantas diabadikan dalam kamera.
Aku rasa, aku sudah benar-benar jatuh secara instan dalam pesona milik seorang Kashuu Kiyomitsu.
A/N
Halo halo aruji! Saya kambek~ ada aruji yang kangen sama saya? *ditabok* maaf lama tidak up FF.. saya barusan sakit, jadi.. yha.. *tetiba curhat*
Yha! Ini berchapter lagi! Chapter pertama memang masih sweet dan enteng.. tanpa ada konflik yang berarti. Semua konflik akan dimulai di chap 2—kalau lanjut. Hehe..
Sekali lagi saya tekankan, panjang pendeknya chapter tergantung pada respon aruji semua ^^ jadi, mohon responnya ya aruji *deep bow* Anu, bukan maksudnya saya sok punya waktu yang banyak sih.. tapi saya entah kenapa ingin membuat FF berchapter lagi.. maaf *bow* Tentu saya usahakan up secara teratur, tapi.. kita lihat saja nanti. Hehe *dibakar*
Dan! Saya tak bosan-bosannya berterimakasih pada semua aruji yang read, nge follow, nge favorite, bahkan mereview! Respon anda adalah semangat bagi saya! xD ini waktunya balas review, jajang!
Rrkkrs13: huaa tahan aruji! Jangan teriak malem-malem! xD itulah Yasusada, aruji. Dia.. lemah dalam menahan /nak /apasih/ terima kasih sudah membaca dan merespon manis FF ore dake, aruji! xD
Nozuki0107: tentang respon di ore dake nih aruji.. aruji, buka topengmu! Jangan pakai muka polos—uph!*disekap sama aruji Nozuki* lalu, tentang secret admirer.. aruji, aruji lupa kah? Padahal arujilah yang memberi saya semangat saat itu! Aruji, apa yang aruji lakukan pada saya itu.. jahat! *crying in swordish* *dikubur* terima kasih atas respon penyemangatnya, aruji ;')
Nanaho Haruka: Huaa aruji, terima kasih atas responnya di You are my everything *peluk aruji Nanaho* cute kah? Syukurlah xD Yasusada memang kejam, aruji.. kasihan Kiyomitsu.. *dibantai Yasusada*
Yah! Aruji semua! Terima kasih! XD saya tunggu respon untuk kelanjutan FF ini! xD adios!
Salam,
Satou Ayumu
