Covernya bisa jadi juga! XD
Buat yang mau lihat cover full size-nya bisa mampir ke deviantart saya di: pashyahime -dot- deviantart -dot- com
Hai semuanyaaa! Kali ini saya nyoba sebuah genre baru lagi, yaitu western! *lompat-lompat*. Semoga kalian suka, ya~
Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
Only One Day © Hime Uguisu
Pairing:
Lihat nanti #eh
Summary:
Aku membenci kehidupan datar yang selama ini kualami. Hingga akhirnya hari itu tiba. Pada awalnya aku menurutimu hanya karena takut, tapi perlahan aku tahu hatiku tak dapat berbohong lagi. Itu semua karena aku nyaman bersamamu. SasuIno, RnR
Author's Note:
Di chapter kali ini seperti prolog. Jadi, masih bagian penjelasan. Untuk cerita sesungguhnya mungkin baru dimulai di chapter depan. So, pantengin(?) terus, ya!
Buat yang gak suka western, cobain baca dulu deh. Tetep kayak cerita di genre lain kok, selamat mencoba ^o^)/
Only One Day
By
Hime Uguisu
A
Naruto Fanfiction
Ino's POV
"Pokoknya toko ini harus ditutup mulai besok!" Suara seorang pria paruh baya terdengar mendominasi di dalam ruangan ini. Aku hanya terdiam menatapnya. Di sekelilingnya tak ia biarkan ada celah lengah, para anak buahnya mengelilinginya. Hal seperti ini sudah biasa terjadi. Dan aku tahu jelas apa penyebabnya, uang. Lembaran kertas itu sanggup membuat hidup keluarga kecil seperti kami jadi sulit. Ayahku hanyalah seorang pemilik toko kecil di barat ini. Kehidupan di sini sangat keras. Kau tak sanggup membayar uang sewa pada sekelompok penguasa di sini, maka saat itu juga kau harus keluar dari sini. Tatapan mataku tetap datar tanpa emosi.
"Beri kami waktu satu minggu lagi saja, kami sedang sepi pelanggan," mohon ayahku. Ia meludah di depan pria yang sejak tadi memasang raut wajah memelasnya.
"Waktu? Kau pikir sudah berapa kali alasan seperti ini terlontar dari mulutmu?" bentaknya. Kulihat ayahku membungkuk.
"Saya mohon, kali ini pasti saya bayar!" Sekali lagi ia memohon. Pria yang terkenal di seantero kota ini pun mendengus kesal. Ia melangkahkan kakinya, membuat besi yang menjadi hiasan di sepatunya itu berbunyi kala saling bersentuhan. Tangannya mengambil pistol yang ia tempatkan di ikat pinggangnya. Menodongkannya pada kepala ayah.
"Kalau begitu kau mati saja sekalian!" ujarnya santai. Kali ini aku tak dapat tinggal diam. Segera kuberlari menghampiri ayah. Menahan pergelangan tangannya sehingga peluru timah itu berhasil meleset. "Apa-apaan kau? Mau melawan?" Ia membentakku. Bersamaan dengan ucapannya, para anak buahnya terlihat bersiap mengeluarkan senapan mereka. Aku menatapnya tajam.
"Anda keterlaluan. Silakan keluar dari sini sekarang juga!" Ucapan itu terlontar begitu saja. Detik berikutnya ia menatapku tajam, lidahku kelu seketika. Saat kukira tangannya akan menamparku, ternyata perkiraanku salah. Tangan kasar itu mengelus pipiku. Bingung, kulihat wajahnya. Seringaian licik terpampang jelas. Melihatnya seperti itu aku malah merasa jadi lebih takut. Ia pun melepaskan tangannya dari pipiku, berjalan menuju pintu keluar. Punggungnya yang dapat kulihat sekarang. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Tanpa menoleh, ia bicara.
"Bawa gadis itu," katanya dengan nada dingin. Setelah berkata begitu, ia pun kembali berjalan menuju kereta kuda yang telah menunggu di depan toko sejak tadi. Aku kaget, namun tak berontak saat tangan-tangan anak buahnya menarikku secara paksa. Iris aquamarine ini sempat menoleh ke arah ayah. Tapi yang ia lakukan membuatku menyesal telah lahir sebagai anaknya. Ia tak sanggup melakukan apapun. Ya, seperti saat ibu dibawa paksa seperti ini 5 tahun yang lalu. Tepat saat umurku 10 tahun.
Keinginan untuk melawan sama sekali tak muncul di benakku. Aku membiarkan mereka membawaku menuju kereta kuda yang berbeda dengan tuan mereka. Aku tahu mereka sedikit bingung saat melihatku menaiki kereta kuda itu tanpa dipaksa. Pintu yang berbahan kayu itu pun tertutup. Dua orang anak buahnya masuk ke dalam kereta kuda yang sama denganku. Bahkan aku tak sempat berucap selamat tinggal dengan ayah. Huh, bodoh. Tapi siapa yang bodoh? Ayah atau…aku?
Yang ada dipikiranku sekarang hanya satu hal. Yaitu hal yang sudah sejak lama aku bingungkan. Apakah aku masih bisa bertemu ibu jika aku pergi ke sana? Apakah ibu masih ada di kediaman Uchiha? Kediaman si penguasa kota ini? Uchiha Fugaku?
.
.
.
Roda kereta yang sejak tadi berputar cepat sepertinya perlahan mulai melambat. Melewati sebuah jalanan luas dengan dua orang berjaga di setiap sisi kiri-kanannya. Sepertinya sudah sampai. Penasaran, aku pun menoleh ke arah jendela. Yang ditangkap oleh mataku adalah hamparan rumput hijau yang cukup luas. Di salah satu sisinya terdapat beberapa kandang kuda.
'Luas sekali, pasti ia benar-benar kaya,' pikirku.
"Ayo turun!" bentak salah seorang anak buahnya. Menarik paksa tanganku menuruni kereka kuda ini. Aku terpaksa harus menyeimbangkan langkah cepat yang sama dengannya. Kukira aku akan memasuki rumah luas itu, ternyata tidak. Mereka membawaku sampai ke halaman belakang rumah. Di sana sepertinya tempat para kuda itu dilatih. Dapat dipastikan dengan melihat para kuda yang berlarian sambil ditunggangi seseorang. Entahlah.
Mereka membuka sebuah pintu, lalu menarikku masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sini gelap, hanya cahaya remang-remang dari lilin yang menjadi penerangan. Beberapa anak tangga kuturuni dengan perlahan karena takut terpeleset. Saat semua anak tangga sudah kami lewati, barulah mulai terlihat ruangan apa ini. Ini seperti ruang tahanan. Jeruji besi itu mulai terlihat olehku. Ada yang kosong tak berpenghuni, dan ada beberapa juga yang berpenghuni. Orang-orang yang dipenjarakan di sini pun tampak lesu.
Mataku meneliti setiap dari mereka. Berharap ada ibu di sini. Tapi nihil, aku tak dapat menemukan sosoknya. Sampai akhirnya mereka mendorongku memasuki sebuah sel kosong. Mengunci pintu jeruji besi itu dari luar, lalu berjalan menjauh sambil tertawa. Jadi, di sinilah aku sekarang. Terperangkap sendirian dan tak tahu bagaimana nasibku besok. Hebat Ino, kau benar-benar hebat.
.
.
.
Aku terbangun dari tidurku yang jelas sama sekali tak nyenyak. Di sini hanya ada sebuah kasur yang sama sekali tak empuk. Lalu ada sebuah ruangan sempit sekali di dalam sel ini, itu adalah toilet. Cahaya matahari pagi berhasil menyusup dari sebuah ventilasi kecil dibagian atas sel. Aku belum mau beranjak dari kasur ini, tetapi anak buah Fugaku itu sudah memintaku keluar. Membuka gembok jeruji ini. Kukira mereka hanya akan menarikku seperti kemarin, tapi ternyata aku salah lagi.
Kali ini mereka memborgol kedua pergelangan tanganku dengan sebuah borgol besi. Barulah mereka membawaku keluar dari ruangan gelap ini. Aku menaiki tangga kali ini. Keluar melalui pintu yang kemarin. Melihat hamparan rumput yang jarang ditemui di kota ini. Tak kusangka mereka akan membawaku masuk ke dalam rumah luas itu. Lantainya terbuat dari bahan kayu yang tampak bagus, seperti kursi dan meja yang terdapat di sini juga. mataku menatap setiap sudut rumah ini.
Mereka pun menjatuhkanku saat sudah tiba di ruang tengah rumah ini. Tak lama kemudian, sosok dengan mata onyx dingin itu keluar dari sebuah ruangan dan berjalan menghampiriku. Seulas senyum licik terpatri jelas lagi di wajah yang sudah tak tampak muda itu. Ia menarik daguku dengan paksa. Menatap lurus padaku.
"Kau kuberikan dua buah pilihan. Yang pertama, menjadi istriku. Yang kedua, membusuk selamanya di penjara itu. Yang mana yang akan kau pilih, Yamanaka Ino?" tanyanya. Aku tertegun mendengarnya. Pilihan gila macam apa itu? Hei, umurku baru 15 tahun!
"Tidak keduanya!" jawabku dengan nada membentak. Mendengarnya, ia tertawa. Apa yang lucu?
"Rupanya ayah dan anak sama-sama bodoh. Mau melawan rupanya dia, penjarakan lagi. Jangan berikan makanan ataupun minuman. Biarkan dia merasakan pengalaman hidup yang 'indah' di sana agar dapat memikirkan apa yang ia katakan tadi," perintah Fugaku. Setelahnya, pria sialan itu berjalan memasuki ruangannya lagi. Aku pun ditarik paksa, namun yang berbeda kali ini adalah aku melawan.
"Lepaskan, dasar manusia-manusia sialan!" bentakku. Tak seorangpun dari mereka berdua yang menggubrisku.
"Tunggu dulu!" suara seseorang menghentikan kedua anak buah Fugaku itu. Ah, siapa lagi sekarang?
"Ada apa, Sasuke-sama?" tanya salah seorang anak buah Fugaku. Tunggu, ia memanggilnya dengan sebutan '-sama'?
"Siapa gadis pirang itu?" tanya pemuda yang mereka panggil Sasuke-sama tadi.
"Dia adalah anak dari keluarga Yamanaka yang ditahan oleh Fugaku-sama karena ayahnya melawan."
"Oh, dari keluarga Yamanaka rupanya. Paling-paling nasibnya akan sama seperti ibunya nanti," ujar Sasuke dengan santai.
"Kau kenal ibuku? Di mana ia sekarang? Cepat katakan padaku!" Aku bertanya dengan tak sabar. Tiga pasang mata yang terdapat di ruangan itu pun menoleh ke arahku. Merasa ditatap sinis seperti itu, perlahan nyaliku pun mulai menciut.
"Berani sekali kau membentak Sasuke-sama seperti itu!" Salah seorang anak buah itu membentakku. Tangannya bersiap menamparku, namun tidak jadi karena ia mendapat tatapan tajam dari Sasuke.
"Gadis kurang ajar itu kau serahkan saja padaku!" perintah Sasuke. Ia menatapku dari bawah sampai atas. Aku mendapat firasat buruk entah kenapa.
"Maaf, tapi kami tidak bisa, tuan muda. Nanti Fugaku-sama akan marah," tolak mereka. Sasuke hanya tersenyum sinis. Tangannya mengambil dua buah pistol yang terselip di ikat pinggang dengan tempat khusus bagi pistol itu. Tanpa kami sadari ia sudah berada tepat di depan kami. Cepat sekali!
"Kalau begitu aku tinggal membunuh kalian berdua, lalu membawanya, ya?" Sasuke sudah menodongkan pistol itu tepat di kepala dua orang itu. Tatapan matanya lebih kelam daripada Fugaku tadi. Kedua orang itu pun ketakutan dan segera memberikan kunci dari borgolku pada Sasuke. Setelahnya, mereka berlari pergi meninggalkan kami. Sasuke tersenyum dengan penuh kemenangan.
"Mulai sekarang, kau akan menjadi tahananku. Ayo ikut!" tanpa membuka borgolku, ia menarikku. Aku tak bisa melawan karena melihat mata kelam itu. Mata yang seakan menunjukkan keseriusan dan tak segan untuk membunuh siapapun yang melawannya. Aku dibawa ke dalam sebuah kamar. Sepertinya ini adalah kamarnya.
"Baiklah, sekarang apa?" tanyaku. Ia tak menjawabku. Kulihat ia sibuk memasukkan beberapa baju kedalam sebuah peti kayu. Ia juga memasukkan beberapa lembar uang ke dalamnya. Apa yang ia lakukan sih?
"Hei, apa yang kau lakukan sih?" tanyaku akhirnya. Kali ini dengan suara yang agak dibuat lebih keras. Berhasil, ia menoleh ke arahku. Namun detik berikutnya aku menyesal karena telah berkata seperti tadi. Ia menatapku tajam.
"Cerewet! Sekali lagi kau bicara maka akan kuberikan jantungmu itu untuk makanan ternak!" ancamnya. Membuatku bungkam seketika. Tak ada niatan untuk bertanya yang tersisa dipikiranku. Pemuda dengan model rambut yang cukup 'unik' itu masih sibuk membereskan barang-barangnya. Biar kutebak, ia mau kabur dari sini.
"Ayo sekarang kau ikut aku. Jika kau sampai berani kabur, maka kau akan membusuk di penjara sana atau jasadmu kubuang ke sungai!" Lagi-lagi pemuda itu mengancamku. Ia juga menyuruhku untuk membawa beberapa kotak kayu tadi. Aku mengangguk dan berjalan di belakangnya. Sepertinya ia tampak mengawasi keadaan. Tuh kan benar, pasti ia mau kabur! Kami berjalan menuju sebuah kereta kuda yang terdapat tak jauh dari pintu belakang.
"Cepat masukan barang-barangnya ke dalam kereta kuda itu lalu kau bersembunyi di dalam. Jangan sampai macam-macam!" perintahnya. Menurut, aku pun memasukkan 3 kotak kayu yang ia bawa ke dalam kereta kuda, lalu bersembunyi di dalam. Matanya kembali mengawasi keadaan. Tak lama kemudian, ia pun segera menaiki kursi depan dan mulai menarik tali kekang-nya. Membuat kuda yang sejak tadi diam, kini mulai berjalan.
.
.
.
Aku heran, mengapa kereta ini tidak berhenti. Seharusnya kan ada penjaga yang akan menghentikan kami dulu. Tapi sejauh ini roda itu terus berputar.
"Kau sudah aman sekarang," kata Sasuke dengan tenang. Aku pun menghela napas lega. Mendudukkan diriku di kursi yang terdapat di dalam kereta kuda ini.
"Kita akan ke mana, Sasuke?" tanyaku hati-hati. Bagaimanapun juga ia tetaplah orang yang berbahaya di mataku. Terbukti dengan takutnya para anak buah Fugaku padanya. Bahkan senyumnya saja mengerikan.
"Siapa namamu?" Ia malah bertanya soal nama, bukannya menjawab pertanyaanku.
"Namaku Ino. Yamanaka Ino. Kau bisa panggil aku Ino," jawabku. Lalu kami pun saling berdiam. Tak ada kata yang terucap. tarian angin yang membuat butir-butir pasir ikut menarilah yang jadi pemandangan di sampingku. Roda kereta kuda terus berputar seiring dengan lincahnya sang kuda berlari. Sasuke masih sibuk memperhatikan jalan dan memegang tali kekangnya. Huft, aku bosan.
"Sasuke, sebelumnya kau bicara soal ibuku. Apa kau mengenalnya?" Aku teringat akan hal yang sejak awal sangat ingin kutanyakan padanya itu. Ia masih tidak menjawab. Terkutuklah orang ini!
"Aku hanya mengenalnya beberapa hari saja," jawab Sasuke. Kemudian ia pun menarik tali kekangnya. Membuat kuda itu berhenti. Tak lama kemudian ia pun turun dari kursi 'pengemudi'. Mengikat kudanya pada tiang besi penunjuk arah. Berjalan memasuki bagian dalam kereta kuda, lalu duduk di hadapanku. Sepertinya kuda itu patuh sekali pada Sasuke.
"Ibumu, seperti hal-nya dirimu, ia dibawa oleh anak buah ayah ke rumahku 5 tahun yang lalu." Sasuke memulai ceritanya. Aku mendengarkannya dengan seksama.
"Benar! 5 tahun yang lalu ibu dibawa paksa oleh anak buah ayahmu karena ayah tak memberikannya pajak bodoh itu!" seruku dengan nada kesal yang kentara. Ia menghela napas.
"Memang begitulah ayahku. Karena itu aku, ibu, dan kakaku tak tahan hidup dengannya. Sudah sejak lama kami ingin pergi dari sana, namun rasanya mustahil. Tapi akhirnya hari itu pun datang.."
.
.
.
Flashback
Sasuke's POV
5 tahun yang lalu, hari di mana anak buah ayah membawa seorang wanita bersurai pirang ke rumah kami. Aku yang masih berusia 10 tahun kala itu, hanya mengintip dalam diam. Melihat wanita itu diancam dengan senapan yang mereka pegang. Lalu kulihat sosok ayah ada di sana. Tengah duduk dengan wajah sok berwibawa. Tatapan licik terlihat jelas di sana.
"Sasuke, kau sedang apa?" tanya ibu yang kebetulan lewat di belakangku. Segera aku menoleh padanya, meletakan jari telunjuk di depan bibirku. Memberikan instruksi bisu padanya untuk diam. Karena tak mengerti keadaannya, ibu pun hanya menurutiku. Ia tetap berdiri di sampingku, mengikuti arah pandangan mataku. Lalu kulihat keterkejutan tampak di kedua mata onyx miliknya.
"Hee... jadi kau istri dari Yamanaka itu? Kasihan sekali kau, di saat seperti ini suami bodohmu itu tak dapat melakukan apa-apa." Suara berat ayah dapat didengar jelas oleh kami berdua. "Jadi, bagaimana kalau kau jadi istriku saja mulai sekarang?" Ayah bangkit dari posisi duduknya, lalu menghampiri wanita yang terduduk di lantai atas kayu itu. Tangannya membelai pipi wanita itu, kulihat wanita itu mencoba memberontak. Namun usahanya sia-sia karena tali yang mengikat kedua tangannya.
"Tidak, bahkan dalam mimpimu sekalipun!" jawabnya dengan suara seperti gertakan. Seringaian tipis terlihat di wajah ayah. Tak lama kemudian ia pun menampar pipi wanita malang itu.
"Kalau begitu, membusuklah di penjara!" Dibalikannya tubuh itu membelakangi sang wanita malang. Selanjutnya, para anak buah ayah menarik paksa lengan wanita itu dan membawanya keluar. Sepertinya ia akan di bawa ke penjara di ruang bawah. Aku hanya menghela napas berat. Kualihkan pandanganku ke arah wanita yang masih berdiri di dekatku. Dengan wajah tanpa emosi ia menjatuhkan air matanya. Membiarkan genangan air di kelopak matanya turun dengan sendirinya tanpa berucap apapun.
"Kaa-san?" tanyaku khawatir. Beberapa detik berikutnya barulah ia tersadar dan menatapku seakan tak ada apapun yang terjadi. "Kaa-san kenapa?" Pertanyaan polos dari anak berusia 10 tahun itu terlontar lagi. Ibu menghapus air matanya dan kembali tersenyum padaku. Sebuah senyuman yang nampak dipaksakan.
"Kaa-san tidak apa-apa. Tadi mata mama hanya terkena pasir saja," jawabnya. Aku tahu pintu ruangan dan jendela sekarang masih tertutup dan tak ada pasir yang terbawa angin hingga ke sini. Ia pun membalikkan tubuhnya meninggalkanku. Semakin menjauh menuju kamar mandi. Aku berani bertaruh ia melanjutkan tangisannya di sana. Tak lama kemudian muncul sosok pemuda dengan mata onyx-nya yang memantulkan refleksi diriku.
"Sasuke, apa tou-san membuat kaa-san menangis lagi?" Kakakku, Itachi bertanya padaku. Aku mengangguk walau ragu. Kurasakan tangannya yang lebih besar dariku itu mengelus rambutku. Tanpa berkata lagi, ia menarik tanganku dengan lembut. Aku hanya menurutinya tanpa memberikan perlawanan. Kami pun tiba di kamar kami berdua. Ia mendudukkan tubuhnya di kasur. Aku pun melakukan hal yang sama.
"Jadi, kali ini apa yang ayah lakukan?" Kakak mulai mempertanyakan hal yang sebelumnya sempat kami bahas.
"Ayah membawa paksa seorang wanita lalu mengatakan akan menikahi wanita itu. Lalu karena wanita itu menolak, ayah pun memenjarakannya," jawabku menyingkat cerita. Kulihat kakak hanya mengangguk mendengarkanku.
"Siapa wanita itu, Sasuke?" tanyanya masih tampak tenang.
"Seorang wanita berambut pirang yang katanya istri dari orang bernama Yamanaka," jawabku seadanya. Lalu aku menangkap perubahan ekspresi tenang dari wajah kakak menjadi ekspresi tak percaya.
"Apa kau bilang? Di mana ia sekarang? Di ruang penjara bawah?" Ia bertanya lalu menjawabnya sendiri. Tapi yang lebih membuatku heran lagi adalah karena ia tiba-tiba berlari keluar dari kamar dengan sangat tergesa-gesa. Mungkin kakak mengenal wanita tersebut. Itulah kesimpulan yang kudapatkan. Penasaran, akupun berjalan mengikuti kakak. Walau aku kehilangan jejaknya, tapi aku tahu ke mana tujuan kakak saat ini.
.
.
.
"Lily-san! Ternyata benar kau!" Kudengar suara kakak dengan samar-samar. Aku pun segera melangkah perlahan menghampiri sumber suara. Tempat ini agak gelap karena memang pencahayaannya yang minim. Tidak ada anak buah ayah yang berjaga di sini. Aku menatap kakak dari jarak yang tak terlalu dekat. Ia sedang berdiri di depan sebuah sel tahanan, berbicara dengan wanita berambut pirang tadi.
"Itachi-kun, bisakah kau bantu aku keluar dari sini?" Kini wanita itu yang berbicara. Sepertinya tak satupun dari mereka yang sadar akan keberadaanku. Tangan kakakku itu mulai menggenggam jemari wanita yang ia panggil dengan sebutan Lily tadi.
"Pasti! Aku akan melakukan sesuatu agar kita dapat keluar dari sini," jawab kakak dengan sangat yakin. Aku sedikit merasa ganjil dengan ucapan kakak.
"Tunggu dulu, apa yang kau maksud dengan 'kita'? Ini kan rumahmu." Pertanyaan Lily-san itu mewakilkan pertanyaan yang ingin kutanyakan tadi. Kakak terlihat tersenyum sinis.
"Kau sebut ini 'rumah', huh? Aku tak tahan di sini. Ingin pergi secepatnya dari tempat ini." Jawaban kakak membuatku tersentak. Apa katanya tadi? Apa ia juga akan ikut melarikan diri? Lalu bagaimana dengan aku dan ibu yang terjebak di sini nantinya? Saat aku tengah sibuk tenggelam dalam pikiranku sendiri, seorang wanita dengan rambut hitamnya telah berdiri di sebelah kakak. Aku semakin terkejut begitu melihatnya.
"Aku setuju denganmu, Itachi. Apa yang akan kau lakukan untuk merealisasikan ucapanmu tadi?" Mata onyx wanita yang biasa menatap lembut itu kini berubah menatap lawan bicaranya dengan serius.
"Caranya mudah saja. Jika anak buah ayah menghalangi, maka yang harus kita lakukan hanyalah menghancurkan penghalang-nya, kan?" ucap kakak tenang. Aku tak kuat lagi, tak bisa terdiam membingung sendiri terus seperti ini. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri mereka. Kehadiran sosokku sepertinya berhasil membuat mereka kaget.
"Apa yang akan kalian lakukan? Apa kalian akan meninggalkanku?" Aku bertanya dengan tatapan yang menyiratkan kekecewaan. Kakak berjalan perlahan mendekatiku. Menyentuh pipiku dengan lembut. Sedikit menarik daguku agar menatap lurus matanya.
"Tak mungkin kami meninggalkanmu, Sasuke. Tentu saja kau akan ikut." Ia memberikan seulas senyuman untuk meyakinkanku. Dan hal itu sudah cukup membuatku tenang. Aku pun hanya dapat menatap mereka yang sedang membicarakan bagaimana strategi untuk keluar dari sini. Tanpa dapat memberikan usul apapun, karena memang aku saat itu tak pernah berpikir untuk benar-benar melakukannya.
.
.
.
DOR DOR
Frekuensi suara tembakan yang terdengar sangat keras itu membuatku harus menutup telinga. Peluru timah saling beradu, menembus kulit hingga akhirnya menyebabkan tetesan darah menodai pakaian yang mereka kenakan. Saat ini aku sedang berlari sambil menggenggam erat tangan kakak. Menatap kakak yang terus menembaki setiap anak buah ayah yang menghalanginya membuatku takut. Darah yang mengalir, raga yang kehilangan jiwanya itu kini hanya terkapar tak berdaya. Lalu mataku beralih menatap ibu yang masih berlari bersama Lily-san. Karena kakak telah menghabisi semua yang menghalangi jalanlah, ibu dan Lily-san dapat melarikan diri lebih dulu. Tujuan kami saat ini hanya satu, kereta kuda yang diparkir tak jauh dari rumah.
"Sasuke akan menjadi sasaran kalian saat ini!" teriak suara yang sudah sangat kukenal. Ayah, sosok yang masih dapat terduduk santai di teras rumah setelah melihat semua yang terjadi itu memberi sebuah instruksi baru pada anak buahnya. Membuat kakak panik seketika. Saat senapan itu tertuju padaku, kakak segera menjadi tameng. Berdiri menghalangiku. Membiarkan kulitnya bersentuhan langsung dengan peluru timah yang menggoresnya sedikit demi sedikit.
"Kakak!" seruku saat tubuhnya mulai merosot perlahan. Ia terus memegangi bahunya yang berdarah. Saat keadaannya sedang melemah, anak buah ayah memanfaatkannya untuk merebutku dengan paksa. Aku yang saat itu tak dapat berbuat apa-apa akhirnya berhasil dibawa oleh mereka. Sedangkan kakak berhasil berdiri kembali. Saat ia mencoba untuk berlari menghampiriku, tubuhnya kembali menjadi sasaran para peluru timah tersebut. Menyerah, akhirnya ia berlari menjauhi rumah. Menuju kereta kudanya tanpa menoleh ke belakang lagi. Satu hal yang ada dipikiranku saat itu dan terus tertanam di lubuk hatiku hingga saat ini, 'mereka meninggalkanku'.
.
.
.
TBC
Ok, ternyata westren itu susah! *gigit bantal*. Setengah mati nentuin judulnya sampe gak kerasa 1 bulan lebih telah terlewati dengan sia-sia! Tapi gak papa, rasanya seneng udah bisa nulis di genre ini. Untuk chapter depan mungkin bakal ada tokoh baru lagi \(^o^)/
Mind to review? :*
