The Gap between Your Fingers


Untuk pertama kalinya dalam sembilan belas tahun hidup, Sasuke menyadari bahwa ia punya hand-fetish.

Tidak seburuk kedengarannya, ia tidak menyadari hal itu dengan menangkap basah dirinya memelototi tangan-tangan orang disepanjang jalan riuh setapak Eropa untuk mencari-cari salah satu pasang tangan yang memiliki struktur tulang eksotis; namun rasa gejolak yang membuat perutnya serasa dipenuhi kupu-kupu itu ditemukan pertama saat ia sedang lapar dan suntuk dan termangu di dalam gedung konser yang megah. Ini bukan pilihan tempat yang dapat membuat orang memahami darimana ia menemukan tangan impiannya. (Mein Gott, ini mulai kedengaran cliché. Seorang Uchiha tidak romantis; emosi hanyalah kelemahan).

Tempat duduk ruang pertunjukan mahabesar itu kosong, dan dirinya telah mengambil tempat duduk kedua dari depan. Sasuke melakukan hal ini untuk membuat paper omong kosong dari seorang dosen eksentrik berambut putih dan berspesialisasi dalam etika musik, dan bila ia tidak mendapatkan straight A, ia akan membanting makan siang yang ia lewatkan dan melabrak dosen menyebalkan itu.

Rehearsal bukanlah pemandangan yang dinanti orang, termasuk dirinya di Institusi Seni ini. Orkestranya bermain sering, namun sering berpindah posisi dengan hall yang lain seiring grup-grup kecil instrumen lain mempunyai jadwal. Kursinya terbuka untuk umum, namun para mahasiswa lain yang masih waras lebih memilih taman yang dipenuhi pertunjukan outdoor yang terlalu vulgar untuk ruang kuno ini sambil menikmati makan siang mereka.

Telinga Sasuke yang tajam tersiksa mendengar tuning dari seantero anggota orkestra yang menyerbu udara tak berhenti semenjak pemain pertama muncul dan duduk di panggung, dan bahkan dari tadi ada seorang newbie dari violin three yang tidak benar-benar dalam menyetem senar E-nya hingga suaranya seperti terjepit-

Suara itu mereda seperti hujan tiba-tiba saat sesosok kurus tinggi masuk dari samping panggung yang tertutup tirai raksasa, nyaris tersandung dan sedikit kikuk. Sosok berambut pirang itu menyapa lewat para pemain musik dengan cengiran yang terang. Tangannya hanya memegang baton hampir lusuh dan mengepit map partitur berisi kertas-kertas yang meliar dari jepitannya. Konduktor, kah? Pakaiannya memang cocok; casual dengan lengan yang digulung, namun warna biru degil dari jeansnya dan helai-helai rambut keemasan yang mencuat tak keruan itu sama sekali tidak mencerminkan wibawa. Sepatunya berketuk-ketuk dengan lantai kayu tua, semakin jelas seiring para pemain berhenti bermain dan bersiap. Konduktor baru itu sampai di tengah-tengah mereka dan mengatur partiturnya. Tanpa basa basi, mengucapkan beberapa patah kata dengan aksen Inggris yang aneh dan memulai latihan.

(Cinta mengambil tempat dimanapun ia menghendakinya. Di saat konduktor pengganti baru itu menggumamkan hitungannya, waktu melambat; mata Sasuke tertuju pada rangka tangan si konduktor yang kurus, pergelangan yang elegan, dan jari-jari yang ramping terangkat ke udara, dan melodi manis yang dimulai dari woodwinds dalam symphony the fifth Schubert memulai perjalanan cintanya.)


Ia jatuh cinta dengan tangan.

Begitu menyedihkan. Ironis. Tak terperikan. Memalukan. Namun pada saat yang bersamaan, Sasuke diserang gejala berbahaya yang banyak orang akan asumsikan sebagai gejala dimabuk cinta, para amatir itu. Mabuk itu begitu mirip dengan perasaannya yang melayang seiring gelas demi gelas martini ia tengguk tanpa ampun di dalam bar-bar gemerlapan kota. Membuatnya pusing tak kepalang, membuatnya hampir muntah dan ada gelembung-gelembung yang terus meledak-ledak dan membuatnya disorientasi dan dunia ini serasa menambah kecepatannya dalam berputar. Kiamat sudah dekat.

Semua hanya karena tangan. Dan mungkin ditambah punggungnya yang kurus, cara rambutnya jatuh tergerai menutupi tengkuk yang sempurna, dan gerakan tubuhnya yang effortless tapi mempesona dengan caranya sendiri- tapi- itu semua – tidak sebanding dengan melihat dan membayangkan jari-jari itu melarikan diri di atas- di atas- hal-hal yang tidak patut dibayangkan (hei, ia membayangkan tentang leher biola dan cello. Apa yang kau asumsikan?)

Sungguh, semua itu akan terdengar lebih manusiawi bila ia jatuh cinta pada seorang- seorang- violis. Atau pianis. Tapi dirinya sendiri pianis, bukan? Ia tidak jatuh cinta pada tangannya sendiri. Apa yang menarik dari tangannya? Sedikit berkerut-kerut, terlalu kurus dan bertulang, menonjol, dan ujung jarinya tebal karena bersentuhan dengan tuts piano selama bertahun-tahun. Jarinya bukan hal yang baru; hal yang bisa diajak jatuh cinta. Bila Sasuke Uchiha jatuh cinta dengan seorang violis, itu terdengar jauh lebih masuk akal. Tentu, jari-jari violis walaupun kapalan namun mereka ramping dan pandai menggeser-geser sampai ke oktaf ketiga! Apalagi bila bermain concerto dari Bhrams dan sebangsanya yang bila tidak kuat, jari-jari ramping itu akan terpilin-pilin karena aliran nada yang secepat kilat. Bukan main. Tapi konduktor? Konduktor itu membosankan. Banyak dari mereka memang karismatik tapi berjiwa diktaktor, ugal-ugalan karena paling banyak berkutat dengan buku dan mempelajari seantero instrument. Sasuke telah hidup dengan filosofi bahwa konduktor adalah orang-orang demikian untuk tidak menganggap mereka setiap kali ia naik ke panggung dan menjabat tangan perwakilan orkestra yang akan mengiringinya. Hanya pengiring. Tidak lebih.

Seumur hidupnya, sampai ia kadang-kadang bergaul dengan Sakura dan Ino si biang gosip di kampus mereka, ia belum pernah mendengar kasus seorang murid piano brilian - ataupun dengan title sejabatannya jatuh cinta pada tangan seorang konduktor. Semua orang punya hak untuk berfantasi. Itu masuk akal. Berfantasi dengan tangan? Tentu, sebelumnya ia pernah memergoki Inuzuka bercumbu dengan gadis yang tak ia kenal di boarding house mereka dan menciumi tangan cewek itu penuh nafsu (tapi itu bukan poin pengalaman traumatisnya). Belakangan Sasuke tahu bahwa Neji juga punya fetish juga tentang tangan. Wanita kencan favoritnya adalah wanita dari biola satu. Sungguh elegan jari-jari berbakat mereka, katanya. Murid-murid akademi musik ini banyak yang freak, batin Sasuke. Tergila-gila dengan fetish anggota tubuh.

Bila Aniue tahu tentang hal ini- Sasuke mengerang dan mengurut dahinya yang semakin pening dihembus angin dingin di teras kafe itu. Esspresso tanpa gulanya mulai dingin di dalam gelas kertas dan sandwichnya akan beku jika tak dilahap terus. Ia tidak peduli. Ia tidak peduli. Biasanya ia adalah tipe yang akan menghabiskan makanannya di spot favoritnya itu, tanpa termangu-mangu (seperti ini), dan pergi.

Paling tidak ia tidak se-menyedihkan gadis baru puber yang baru saja jatuh dalam love in first sight sementara tidak tahu apa-apa tentang pria pujaan mereka- namun, paling tidak berdasarkan informasi yang sudah ia cari secara diam-diam dengan membaca bulletin board kampus; ia bisa menemukan sedikit info tentang orang aneh bertangan rupawan itu.

Namikaze Naru-something. Seorang murid baru berbakat, transfer dari Jepang (apa dia orang Jepang? Dengan rambut pirang seperti itu?) –konduktor yang sedang mengejar gelar doktoralnya di usia muda dan sengaja didatangkan untuk mengambil alih posisi konduktor lama yang sudah pensiun (sebenarnya ditemukan overdosis di dalam boarding housenya). Hmm. Konduktor baru. Langka sekali ada peristiwa demikian di universitas keramat yang sudah berdiri beberapa ratus tahun ini. Namun, mungkin mereka punya cabang dan memang sedang mencari bakat untuk diincar, terutama yang di model Namikaze Naru itu. Untuk konduktor baru, ia cukup handal dalam mengambil kendali atas orkestra inti itu beserta concertmasternya yang berpotensi sedikit agresif terhadap pendatang baru tak dikenal.

Namikaze itu mungkin tinggal di apartemen, karena tidak ada seorangpun pindahan akan dijadwalkan mengisi boarding house mereka bulan ini; dan juga semua kamar sudah penuh. Sasuke mendesah dan menyeruput kopinya yang kini dingin. Bukannya ia peduli- oke, mungkin ia peduli; namun untuk berurusan dengan orang yang mengambil alih hormon panas dingin tubuhnya, bukanlah mudah. Sama sekali. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Yang ia perlukan sekarang adalah ruang latihan. Ruang latihan dan piano grand Steinway dengan suara yang cukup memuaskan dahaganya mencari alternatif dari terlalu banyak pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Sasuke hanya perlu mengurung diri sepanjang hari, melatih lagu yang sama hingga ia bisa menutup mata dan membiarkan jari-jarinya berjalan dengan sendiri di atas tuts-tuts yang hitam dan putih, warna-warna itu akan membasuh kembali wajahnya seperti air dingin di pagi yang dingin agar ia bisa bangun dari kegilaan sesaat ini.

Sasuke beranjak meraih sandwich bekunya dan tas selempangnya yang berisi setumpuk partitur lusuh, tidak menyadari dompet yang tadinya asal ia selipkan di saku tas itu jatuh ke tanah, tergeletak sendirian sementara ia berjalan menjauh dari kerumunan kafe itu ke dalam jalan setapak yang dingin dan menggelap.


Subject: Foolish little brother,

Ayah mengamuk lagi pagi ini.

Sender: Uchiha, Itachi
Delivered at: 4. 00 PM (GMT+5)


Ketukan di pintu memecahkan keheningan yang tadinya memenuhi ruangan itu. Tsunade menggumam dan berkata lebih keras, "Masuk," ketika ketukan menyebalkan itu terulang kembali. Tentu, ia sedang memikirkan alasan untuk melarikan diri dari tumpukan dokumen yang perlu dikerjakan ini, namun tidak berarti ia ingin berhadapan dengan laporan-laporan sepele lain yang hanya akan menuang lebih banyak garam ke luka batinnya karena sedang dilarang minum alkohol apapun sepanjang weekdays.

Kepala berambut kuning menyembul dari balik pintu oak itu diikuti dengan sebaris "Nenek?" yang segera membuat principal university itu mendongak, perhatiannya teralihkan. Naruto! Bukan kambing hitam yang sangat baik namun cukup untuk mengalihkan perhatiannya sebentar.

"Jangan panggil aku nenek, bocah," kontradik dengan senyum yang kini tersungging di bibirnya. Tsunade tersenyum seolah beberapa botol minuman keras murah kini disajikan dihadapannya—melihat 'cucu' kesayangannya itu masuk dengan mengepit map dan menghempaskan diri di atas sofa tamu yang nyaman.

Mata biru yang liar itu mencari-cari sesuatu yang berubah dari sudut ruangan yang menguning itu dengan presisi yang tajam, dan kemudian nyengir lebar termalu-malu pada dirinya. Bocah ini tidak berubah, pikir Tsunade. Walaupun mulutnya tajam, setajam ibunya, perangainya dapat mengingatkannya pada mendiang Minato. Mata mereka bagaikan hasil fotokopi tiga dimensi yang cemerlang dan tidak bisa digambarkan.

Ia membayangkan sosok Minato dengan tegap mengangkat satu tangan dengan jari-jari yang memerangkap pegangan baton di rengkuhannya, dan mengayun dengan irama tiga dan waltz pun mengalun memenuhi udara. Tidak pernah ia mendengar lagu semerdu itu dibawakan oleh orang jepang manapun. Konduktor bule yang kebetulan 'terdampar' – karena perihal jatuh cinta dan mengambil istri eksentrik berambut panjang merah yang ternyata merupakan pemain timpani di orkes ternama Jepang membuat Minato ditakdirkan untuk mengangkat nama orkestra itu agar mampu bersaing di dunia internasional.

Hingga kecelakaan itu…

"-nenek!"

"Ya, ya, bocah, aku mendengarkanmu."

Pipi bekas luka itu menggembung seperti anak kecil yang permennya baru ditarik. Menggemaskan dan sedikit sensual dengan tulang yang menonjol seiring naiknya tinggi badan dan punggung yang menunduk sedikit akibat bertahun terbungkuk di depan meja studi. Tsunade tidak menyesal, tidak sama sekali, untuk memasukkan prodigy calon konduktor terkenal ini ke dalam sekolahnya, walaupun memasukkan Naruto sama dengan memasukkan angin ribut, dan maka dari itu ia juga menyediakan akomodasi yang terpisah untuk meminimalisir kerusakan yang mungkin terjadi. Apalagi, penghuni boarding house yang disediakan akademi juga memuat beberapa manusia eksentrik yang belum tentu dapat bergaul dengan angin topan mini ini-

"-jadi, nenek, walaupun mungkin kau tidak mendengarkanku sekarang, tapi aku mau pindah ke dormintori saja." Naruto menyelesaikan kalimatnya sambil mengacung-acungkan kunci apartemen barunya di udara.

"Hah? Apa katamu?"

"Aku ingin pindah. Apartemen itu begitu sepi dan membosankan, dan aku tidak bisa berkenalan dengan anggota orkestra lain," disela kedipan yang penuh arti, Naruto buru-buru melarikan pandangannya melihat pena di genggaman Tsunade mulai retak dan gemelutuk. Ia mengaduk-aduk tasnya sekalian. "Tenang saja, kamar konduktor yang malang itu sudah dibersihkan, dan aku sama sekali tidak keberatan untuk tinggal di, umm, kamar bekas TKP itu."

Tsunade memijat pelipisnya yang kini mulai pening seperti dipentung. Sakit kepala lama, ia akan mati sebentar lagi bila hal ini terus menerus menderu dirinya.

"Tapi-"

"Baachan,"

Naruto membantah lebih dulu dengan dialek Jepangnya yang familiar. Seakan, ketika Tsunade menyipitkan matanya menatap bocah ini, ia melihat bocah yang dulu polos pipinya, tidak trauma dan diapit oleh kedua orang tua yang begitu berbeda namun serasi. Dulu Tsunade berpikir mereka akan menjadi keluarga musisi yang hebat.

"…baiklah. Tapi aku tidak mau tahu, sampai kau berbuat ribut-"

"Heh, tenang saja." Ada sebuah dompet kulit dilambung-lambungkan ke udara oleh tangan Naruto yang kurus. Ia tersenyum, memimpikan sesuatu, dan kemudian kembali ke kenyataan.

"By the way, nenek, kau tahu yang mana itu Uchiha Sasuke?"


Sasuke memulai latihannya dengan setengah membanting tuts-tuts hitam putih yang monokromatis – itu bila ia sedang dalam mood berpikir metaforis. Namun tidak. Seorang Uchiha seharusnya tidak dipermalukan, apalagi di negeri orang seperti ini.

(Ia ada di ujung depan antrian panjang toko supply alat tulis kampus, untuk membeli sebuah buku paranada lain dalam rangka bulan-bulan ujian, dan ketika ia merogoh sakunya, ia tidak menemukan apa-apa di sana. Ia nyaris membuka seluruh mantel dan jaketnya mencari-cari dompet kulit usang yang biasa. Tidak ada hasil. Sementara kasir yang menyebalkan itu mulai melemparkan pandangan yang bisa berarti, "cepat keluarkan dompetmu, atau keluar" Sasuke hampir panik. Student ID cardnya, kunci loker, semuanya ada dalam dompet itu. Kerja bagus, Sasuke, kerja bagus.)

Karena pencarian di bagian Lost and Found kampus itu juga tidak membuahkan hasil, Sasuke dengan langkah-langkah panjang mundur ke ruangan latihan kosong terdekat. Urusan membuat duplikat kuncinya nanti.

Ruangan itu kosong, seperti biasanya (dan ia sempat berharap ia akan menemukan dompetnya di salah satu sudut ruangan berlantai kayu dan berdinding kuning pastel itu, langganannya). Ia menaruh map partiturnya di lantai dengan debum, membuka tingkap piano dan mulai membanting dengan penuh semangat. Atau penuh ironi, ia tidak bisa memilih yang mana. Yang pasti, jari-jarinya mulai dengan tangga nada yang menjalar ke semua oktaf, dan kemudian meniti nada-nada kromatis yang enggan, diakhiri dengan deretan tanpa akhir kord-kord mencekam menggaung-gaung di udara. Ia mengekspresikan dirinya melalui jari yang semakin tebal akan kapalan dan irama yang tak keruan. Berubah dari birama empat, ke lima, dan ke enam. Ia menari waltz di dalam ruangan yang berkubah dan langit-langit berisi lukisan yang menceritakan para malaikat, sentuhan emosional dari telinga Beethoven yang hampir namun tidak tuli, nafsu dari komposisi Brahms, melodisnya Schuman dan deretan nada kromatis Chopin mengiringi langkahnya yang berstaccato! Melompat dan jatuh dalam martilatto yang menghujam, dan kemudian legato. Ruangan kosong itu adalah panggungnya. Ia seakan Ophelia, yang bernyanyi (hingga mati, namun untuk tidak meninggalkan konspirasi, Sasuke memilih untuk main menghilangkan stress). Ia hampir melepaskan lengketnya pengalaman memalukan itu dari benaknya, di antara sela-sela jari yang terus menari di atas pedal kayu yang dikayuh. Terus-terus, berenang di udara, melayang di sisip-sisip ruangan itu yang didesain secara akustik dan memungkinkan telinganya dimanja dengan setiap denting-

TOK TOK TOK

Jari-jarinya terhenti di udara, tersinggung. Alis Sasuke mengkedut, seiring ia menggiring matanya menuju ke pintu yang terkunci menghubungkannya ke dunia fana- atau, screw that, dunia lain. Dunia luar yang berisik dan tidak artistik. Ketukan itu pelan, cukup sopan (walaupun ada bunyi nafas yang tajam dan sedikit tidak sabar, kuping Sasuke mengangkatnya) dan berulang lagi setelah gaung pianonya berakhir di udara. Sasuke ingin melanjutkan permainannya dan menganggap orang itu tidak ada saja, namun ia lebih suka opsi untuk membentak dan membanting pintu di ujung hidung siapapun yang berani menggangu sesi latihannya. Mungkin aka nada erangan. Erangan itu bagus, kakofoni menyedihkan dari orang-orangg yang mengaduh kesakitan.

Ia tidak sempat berpikir siapa yang berani mengganggu latihannya.

Langkah kaki Sasuke ringan, ia menggerutu. Kunci diputar, gagang pintu diayun ke luar, dan ia bertemu dengan-

Sepasang mata biru yang menakjubkan.