Fic pertama saia…horeee...! Maap kalo jelek... Saya tidak punya pengalaman bagus untuk menulis...

Mohon saran… supaya bisa lbih baik lg….

Fic ini berdasarkan adaptasi dari novel BLITZ dan HANTU yang saya gabungkan jadi satu dan saya tambah-tambahi ke'sadis'annya di sana sini. Khu…khu…khu…

D. Gray-man adalah milik Hoshino Katsura-sensei.

Warning: OC! Dan agak OOC! Reiya Sumeragi (OC) adalah milik Reiya Sumeragi-sensei. Haru (OC) adalah milik Helena Tara.

Tolong jangan bunuh saya kalo ada sesuatu yang kurang dikehendaki pembaca. Di cerita ini meskipun ber-genre horror, rating horror dan sadisnya tidak banyak karena lebih tertuju pada moral.

Langsung saja… selamat membaca…. Review please…


Alam telah memperingatkan. Mereka mengunjungi tempat yang salah. Tempat dimana cinta, penghianatan, kepercayaan, ketulusan dan kematian akan bertemu dan saling bertautan dan menenggelamkan mereka dalam sebuah lingkaran setan di luar akal sehat manusia.


Chapter 1: Membangunkan macan tidur.


Matahari menapaki tangga awan untuk mencapai singgasana tertingginya. Kabut yang bergulung-gulung mulai hilang digantikan awan-awan putih yang nampak seperti kembang gula kapas yang manis dan lembut. Kicau burung menambah semaraknya hari itu.

Sebuah mobil mewah berhenti di depan sebuah villa di perbatasan kaki gunung Makeru. Asapnya beterbangan membuat kotor udara bersih di daerah itu.

Lima dari enam orang remaja SMA Black Order turun dari mobil itu dan masuk ke halaman vila. Satu orang lagi tampak sedang memarkirkan mobilnya di garasi villa mewah itu. Dilihat dari penampilannya mereka adalah anak kota yang datang dengan gaya dan peraturan mereka sendiri.

Remaja-remaja itu menurunkan barang-barang. Dari bawaan mereka yang berupa tenda, alat masak, dan beberapa ransel, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak hendak tidur di villa, tapi hendak berkemah di gunung.

Seorang pedagang keliling yang kebetulan berada si sana tampak menghalau asap mobil tadi yang mampir ke depan hidungnya. Beberapa orang desa yang berada di sekitar mobil itu juga menggerutu karena asap. Sangat menjengkelkan. Tapi bagi pedagang itu mereka adalah anak-anak yang malang. Dia memperhatikan mereka dari kejauhan dan membatin dalam hati. Akan ada korban baru lagi…

Tapi itu bukan urusannya. Pedagang itu menghela nafas panjang dan pergi dari tempat itu.


"Udaranya enak ya…" Lenalee membentangkan tangannya membiarkan dirinya diterpa angin sepoi-sepoi.

"Bener-bener masih asli." Allen mengamati keadaan sekitarnya.

"Che…" Kanda bahkan tidak dapat menyembunyikan seringainya.

"Bantu! Kalian enak-enakan aja!" Lavi mengomel sambil membawa barang-barang mereka masuk ke villa.

Di samping Lavi ada dua orang cewek yang sedang asyik mengobrol. Dua-duanya sama-sama berambut hitam. Reiya Sumeragi dan Haru.

Reiya berambut panjang berombak dikucir miring dan lebih tinggi beberapa senti dari Haru. Cewek ahli mesin yang suka merakit gundam, tamiya, beyblade, dan bermain berbagai gadget elektronik lainnya. Memiliki kecenderungan untuk menyukai cewek(?) yang lebih tua. Sebetulnya sama sekali tidak ada maksud buruk, tapi karena niatnya jujur, malah lebih sering menyakiti hati orang.

Haru berambut sebahu berombak. Cewek imut dengan bola mata berbinar-binar seperti anak rusa. Pintar dalam pelajaran dan tempat paling pas buat curhat. Hidupnya berkebalikan dengan Reiya, boro-boro nongkrong sama temen-temen, hape aja nggak mau pegang.

"Woii… jadi cewek jangan ngerumpi melulu! Bantu! Kalo nggak kita nggak bisa berangkat jam sepuluh nanti…!" Kanda menegur Reiya dan Haru.

"Diem lo! Dasar banci rambut panjang!" Reiya mencibir.

"Diem lo! Dasar kecambah mekanik!" Kanda membalas.

"Gue 162cm tau! Kecambah apanya? Lo buta ya!" Reiya mencak-mencak.

"STOOOPPPP!" Lenalee menengahi Kanda dan Reiya. "Udah gede masih berantem!"

"Biarin…" Reiya cuek.

"Selamat datang, Tuan Muda…" sebuah suara terdengar dan menghentikan perdebatan mereka. Seorang wanita muda berambut ikal kecokelatan dan berpakaian sederhana keluar dari dalam villa dan menyambut Lavi.

"Oh, Hai Miranda." Lavi membalas sapaan wanita muda itu. "Baik-baik kan?"

"Baik, Tuan." Miranda mengangguk. "Tuan Bookman mengatakan Tuan Muda akan kemari. Jadi saya sudah menyuruh Krory membelikan bahan-bahan makanan di pasar."

Lavi tersenyum. "Tidak usah repot, kami tidak lama kok di sini…"

"Oh." Miranda terlihat agak kecewa. "Tapi kata Tuan Bookman, Tuan Muda akan menginap selama seminggu…"

"Kami kan mau naik gunung, dan mendirikan tenda di sana." Allen menjawab menggantikan Lavi.

"Eh…" Miranda terlihat ragu.

"Gue masuk duluan." Lavi melangah masuk ke dalam villa

"Memangnya kenapa ,Miranda-san?" Reiya bertanya setelah Lavi pergi.

"Ti, tidak apa-apa…" Miranda tergagap. "Kalian berjumlah genap, kurasa tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan…"

"Kalau itu kami sudah tahu…" kata Lenalee. "Peraturan tim melarang pergi jika berjumlah ganjil."

Miranda mengangguk-angguk tolol. "Kurasa itu bagus. Kata orang tua biar tidak terjadi hal-hal yang buruk di perjalanan. Kuharap kalian bisa menjaga diri. Karena gunung yang kalian daki ini bukan gunung sembarangan."

"Terima kasih atas sarannya, Miranda-san. Kami akan berhati-hati kok…"ujar Kanda

"Tapi kenapa kalian memilih gunung ini untuk didaki?" tanya Miranda lagi.

"Mencari tantangan baru saja kok…" Reiya membungkuk untuk mengikat tali sepatunya yang lepas

"Memangnya kenapa dengan gunung itu?" tanya Haru.

"Apa kamu mau tahu tentang gunung itu?" Miranda balas bertanya.

Haru menggangguk dengan ragu.

"Gunung Makeru bukan gunung yang bersahabat. Terlalu banyak misteri yang tersimpan di dalamnya. Hutannya masih lebat dan lagi di sana ada…"

"Hey, Miranda…" suara teriakan Lavi menghentikan ucapan Miranda. "Kok airnya nggak mau keluar?"

"Sebentar, Tuan…" sosok Mirandapun lenyap dari hadapan mereka. Meninggalkan lima dari enam remaja itu di beranda villa dengan tanda tanya besar menghantam kepala mereka.


Jam telah menunjukkan pukul sepuluh. Kabut yang menyelimuti gunung Makeru dan sekitarnya telah sirna. Satu tim yang terdiri dari anak-anak SMA Black Order pencinta alam itu memulai perjalanan mereka untuk mendaki gunung Makeru. Mereka makin dekat dengan kaki gunung, Kanda yang berjalan paling depan tiba-tiba berbalik.

"Arahnya kemana?" tanyanya pada teman-temannya.

"Tanya aja…" Allen mengusulkan

"Tuh ada warung!" Reiya menimpali. "Tanya aja di situ!"

Mereka berenam mendekati warung itu. Warung itu tampak gelap dan sepi. Dindingnya yang terbuat dari kayu terlihat lapuk. Beberapa sachet kopi bubuk instant tampak digantung di jendela dengan sehelai benang. Bangku-bangku dan meja kayunya tampak reyot. Di meja terdapat sepiring ketela rebus yang sudah tidak utuh dan beberapa gelas kosong.

"Ohayo gozaimasu!" Allen berteriak.

"Sepadaaaa…" Lavi melongok ke dalam warung.

"Che…." Kanda tampak tidak peduli.

Warung itu tetap sepi. Tidak ada tanda-tanda ada orang di dalamnya. Mereka berenam memutusakan untuk pergi ketika tiba-tiba….

"KYAAAAAAAA….!" Haru menjerit keras dan langsung berlari ke balik punggung Lavi yang posisinya paling dekat dengannya.

Seorang Kakek buruk rupa tampak berdiri di dekat tempat Haru berdiri tadi dan menatap lekat-lekat kearah mereka. Wajahnya penuh keriput dan rambutnya telah memutih seluruhnya. Pandangannya tanpa ekspresi, dingin dan menusuk.

Tidak usah Haru. Kanda yang terkenal dengan 'death glare'-nya bahkan bergidik melihat kakek itu. Wajah kakek itu benar-benar seram.

"Ehm… Kakek pemilik warung ini?" tanya Kanda.

Kakek itu mengangguk.

"Jalan ke gunung Makeru ke mana ya, Kek?" Kanda mencoba bersikap sewajar mungkin.

Kakek itu menunjuk ke arah sebuah hutan lebat.

Mereka semua, kecuali Haru yang masih shock, menghela nafas. Hutan itu kelihatan sangat lebat.

"Em… makasih atas petunjuknya, Kek. Kami pergi dulu." ujar Kanda.

Kakek itu diam saja.

Mereka semua mulai melangkah lagi tanpa menoleh ke warung itu.

Sementara Kakek berwajah buruk itu hanya memandangi mereka.

Lebih tepatnya, dia sedang memandangi Allen!


Kanda yang menjabat sebagai pembuka jalan berjalan paling depan. Di tangannya tergenggam katana kesayangannya, Mugen, yang digunakannya untuk menebas semak belukar dan ilalang untuk memudahkan perjalanan rekan satu timnya.

Di belakang Kanda ada Haru, Haru menjabat di bidang kesehatan. Di tasnya selalu siap sedia kotak P3K. Pengalamannya di PMR sangat berguna bagi tim.

Urutan ketiga ditempati Lenalee sebagai koki dalam tim. Karena selain Lenalee tidak ada yang bisa memasak.

Reiya berjalan di belakang Lenalee. Tas hitam yang dibawanya terlihat mencurigakan. Reiya menjabat di bidang darurat. Mulai dari GPS, Handphone, alat pemancar sinyal SOS, pemecah kode, alat deteksi sidik jari, gear, sekrup, magnet, obeng, kunci inggris semua masuk ke dalam tas Reiya.

Bidang keamanan sekaligus sebagai ketua tim dipegang oleh Allen. Dia bertugas memapah atau menggendong anggota tim yang terluka.

Berkebalikan dengan Kanda. Lavi ada di paling belakang sebagai juru kunci barisan

Saat matahari berada di puncaknya, Enam sejoli itu baru mencapai seperempat badan gunung. Mereka memutuskan beristirahat sejenak melepas lelah.

"Aku nggak nafsu makan!" Haru membanting pantatnya ke tanah yang keras.

"Napa?" Reiya melahap roti cokelatnya dengan cepat.

"Gue kebayang muka kakek tadi." Haru menghela nafas.

"Gak ada hubungannya sama makan kale…" Reiya mendorong kepala Haru.

"Tetep aja…" Haru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari.

"Tapi kake tadi emang serem banget ya…"Allen menimpali.

"Gue juga merinding lho." Lenalee berhenti makan.

"Udah deh! Nggak usah dilanjutin…" Haru menutup kedua telinganya.

"Yuu-chan tadi merinding lho waktu liat kakek-kakek itu..." Lavi menggoda Kanda.

"Mati aja lo!" Kanda melemparkan remah-remah rotinya ke rambut merah Lavi.

Lavi mengusap-usap kepalanya untuk membersihkan remah-remah roti itu. "Wew... Yuu-chan marah..."

Kanda menjitak Lavi.

"Ayo pada buruan makannya." Kanda melahap habis rotinya. "Kita harus sampai sebelum gelap."

Tak perlu dikomando, enam remaja itu buru-buru menghabiskan makanan mereka dan mulai membereskan barang-barang.

"Biar gue yang bawa kompor sama tabung gasnya." Allen menawarkan bantuan pada Reiya. "Lo bawa ini aja..." disodorkannya gitar milik Lavi.

Reiya mengangguk dan menyerahkan kompor itu pada Allen.

"Udah siap semua?" Lavi menggendong ranselnya.

"Ok. Jalan lagi!" Allen melagkah maju.


Mentari perlahan mulai turun dari peraduannya, pertanda bahwa malam hari akan segera tiba. Sinarnya mulai kemerah-merahan seperti mawar yang masih segar di pagi hari. Enam pendaki itu telah berada dipuncak gunung Makeru

Lavi dan Haru berteriak-teriak seperti orang gila. Kebiasaan dua sejoli itu kalau suah sampai di puncak gunung. Suara mereka berdua bergema kemana-mana.

Allen tersenyum melihatnya. "Mereka cocok ya?"

"Che…" Kanda ogah menjawab.

"….." Reiya tidak menjawab. Sibuk mengutak-atik GPSnya

"Allen, Kanda, Rei-chi, mau teh apa kopi?" Lenalee berteriak.

"Aku kopi saja." Allen menoleh.

"Teh…" Kanda menjawab tanpa ekspresi.

"Aku air putih…" Reiya berteriak.

Lenalee datang bersama pesanan mereka. "Nih…" diberikannya minuman itu pada pemesannya masing-masing.

"Thanks…" Allen menerima gelasnya.

Lavi dan Haru bergabung setelah selasai berteriak-teriak.

"Udah kelar?" tanya Allen.

"He-eh…" Haru mengangguk-angguk.

"Foto yuk…" ajak Lavi

Kanda bangkit dari duduknya. "Ntar aja. Bikin tenda dulu. Tenda harus jadi sebelum gelap."

"Kita bikin tenda di mana?" tanya Allen.

"Di situ kayaknya cocok." Kanda menunjuk sebidang tanah datar di bawah mereka.

"Oke! Kita ke sana!" Lavi berlari turun.


Matahari turun dari peraduannya. Terus turun. Menuju tempat peristirahatannya di malam hari. Langit makin gelap. Bulan tiga perempat mulai tampak di langit. Sinarnya yang lembut mulai menyentuh dunia. Sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Pemandangan yang indah, dan angin yang sepoi-sepoi menambah keindahan itu.

Lenalee dan Haru sedang menyiapkan makan malam sementara Reiya menata kayu-kayu untuk api unggun. Lavi memainkan gitarnya dan Allen bernyayi mengikuti irama. Kanda sibuk mengelap mugennya sampai mengkilat.

"Ayo foto…! Dari tadi diajak kok pada nggak mau!" Lavi merengek-rengek.

"Udah malem kayak gini. Lampu aja nggak ada. Mau foto gimana coba?" Haru menunjuk langit.

"Nah… itulah hebatnya kamera ini…" Lavi menyombongkan kameranya. "Dua belas mega pixel. Malem segelap apapun bakal jadi terang."

"Dua belas? Keren!" Allen melongok dari bahu Lavi.

"Nee-san, Rei-chi…" Haru memanggil dua cewek itu. "Ayo foto!"

Lenalee dan Reiya meninggalkan kesibukan mereka dan bergabung.

Di bawah sebuah pohon mereka berpose. Reiya, Haru, dan Lenalee berdiri sementara Allen dan Kanda jongkok di depan mereka.

"Siap ya…" Lavi memfokuskan kameranya. "Satu… Dua… Cheese…"

JPRET! Lampu blitz menerangi daerah sekitar mereka.

Tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar hebat.

"Ada apa ini?" Reiya panik.

"Che. Tiarap!" Kanda menjatuhkan diri ke tanah.

"Lari…" Allen berlari menjauh.

Mereka semua berlarian mencari tempat berlindung.

Tanah di sekitar mereka bergetar dengan kuat. Barang-barang mereka terlempar ke sana kemari. Sementara enam muda-mudi itu meratakan diri mereka dengan tanah.

Suara-suara pekikan burung yang terbangun dari tidurnya memenuhi udara. Kepak sayap mereka seolah menandakan bahwa semua hewan harus meninggalakan tempat mereka.

Getaran itu makin hebat! Merubuhkan tenda mereka dan mengguncang mental enam remaja itu.

Getaran itu berhenti.

Satu persatu dari mereka bangkit dan saling pandang. Memastikan bahwa tidak satupun dari mereka terluka ataupun lenyap.

"Apaan itu tadi?" desis Kanda

"Nggak tahu…" Allen menjawab.

"Paling cuma gempa biasa." ujar Lavi menenangkan teman-temannya.

"Aku takut…" Haru memeluk tangan kiri Reiya.

"Kok bisa ada gempa sih?" tanya Lenalee.

"Penunggunya lagi marah..." Reiya jawab ngasal.

"Hiii… jangan ngomong gitu dong, Rei-chi…" Haru gemetaran.

"Woi… kalian ini! Jangan ngomong kayak gitu di saat begini!" Lenalee berkacak pinggang.

"Selamat malam, kawan…." Sebuah suara menghentikan perdebatan mereka.

Keenam remaja itu menoleh kearah datangnya suara itu. Sesosok tubuh manusia berjalan turun dari arah puncak gunung.

Kanda menyipitkan matanya. Mencoba melihat wajah orang itu lebih jelas di bawah keremangan cahaya bulan. Tangannya mulai menarik mugen.

Orang itu berjalan ke tempat yang terang. Wajahnya kini terlihat jelas. Penampilannya sederhana seperti orang biasa. Rambut ikalnya gondrong sampai ke bahu.

"Ada yang bisa kami bantu?" Allen maju menjajari Kanda.

"Perkenalakan." Orang itu sedikit membungkuk. "Namaku Tyki Mikk, dan aku kehilangan barang." ujar orang itu.

Allen menaikkan satu alis, to-the-point banget sih ni orang…Batin Allen dalam hati.

"Maksud anda, barang anda itu dapat anda temukan di sini?" tanya Allen lagi.

Orang itu mengangguk.

"Tidak ada barang anda yang hilang di sini. Sebaikya anda mencarinya di tempat lain." Allen mencoba mengusir secara halus

Orang itu menggeleng. "Tidak. Barangku itu ada di sini."

"Boleh kami tahu apa barang itu?" Kanda menimpali.

"Kalau kukatakan apa kalian mau mengembalikannya?" orang itu malah balas bertanya.

Allen tambah bingung.

"Kayu bakar itu…" tambahnya.

Semua langsung menoleh kearah yang ditunjuk orang itu. Di situ terdapat setumpuk kayu bakar yang tadi diambil Lavi dan Reiya.

"Tapi kayu bakar itu milik kami." Allen ngotot.

"Tidak." orang itu menyangkal Allen. "Itu kayu bakarku! Yang kalian ambil dari pohon yang sudah kutandai. Karena aku adalah Tyki si tukang kayu."

"Bukannya banyak pohon di hutan ini. Dan anda tidak bisa mengakui pohon yang kami ambil kayunya sebagai pohon anda." Kanda mulai emosi.

"Itu pohonku!" kata Tyki. "Karena ini adalah daerah kekuasaanku!"

Lenalee tiba-tiba muncul di samping Allen. "Ada apa sih?" tanyanya.

"Orang ini menginginkan kayu bakar kita. Dia bilang itu miliknya." Allen menjelaskan.

"Karena pohon itu sudah kutandai! Dan hendak kutebang besok. Kalian menebang satu pohonku berarti kalian mengurangi pekerjaan dan uang yang akan kudapat!" Tyki tetap ngotot.

"Kuharap ini membuatmu tidak mengkuinya lagi." Lavi datang tiba-tiba dan menyerahkan beberapa lembar uang.

Tyki tersenyum.

"Kau pengertian, kawan." ujar Tyki sambil menepuk bahu Lavi. "Kuharap kalian tidak membuat api yang besar yang bisa membakar hutan ini."

"Kami tidak akan melakukan hal sebodoh itu." sergah Kanda.

"Benar." Tyki menimpali. "Sebab api besar itu musuh dan api kecil adalah kawan."

Tyki melenggang pergi ke dalam lebatnya hutan.

Allen, Kanda, dan Lavi bubar. Lenalee kembali memasang tabung gas.

Bwooossshhh…. Sebuah suara seperti semburan mengejutkan mereka semua

"AAAAAaaaaaahhhhhhh….!" jeritan Lenalee tiba-tiba membelah malam.

Bersambung…


*Makeru: tinggal

Saya bingung nentukan nama gunungnya, truz cari-cari di buku. Makeru berarti tinggal, jadi maksudnya, sekali masuk ke gunung itu bakal tinggal, alias ga bisa balik, alias tersesat, alias gak bisa pulang, blah…blah…blah…

Saya punya pertanyaan buat readers, jawaban bisa dijawab lewat review.

1. Suka ada OC apa nggak?

2. Lavi gak pake eye patch kayak gimana mukanya? Saya nggak bisa bayangin. Padahal di story ini Lavi nggak pake eye patch.

3. Lenalee saya pasangin sama Allen setuju nggak?

Oke, itu dulu dari saya… Makasih sudah membaca.

Sekali lagi maap kalo jelek...