YOUR GRAVITY
Jangan pernah mencoba menjadi bayanganku, karena kita tak akan pernah bisa terpisah. Apa kau tak akan menyesali hal itu, Oh Sehun? –Luhan. Sebuah cerita tentang seorang gadis dengan 'bayangan hitam' yang selalu mengikutinya. Bagaimana aku bisa terbebas dari 'Gravitasi-ku', bahkan sedetikpun aku tak akan sanggup melakukannya. Siapkah kau dengan hal itu, Luhan? –Oh Sehun. HUNHAN. SEHUN. LUHAN. GS. MATURE. M. EXO. HUNHAN INDONESIA BIG EVENT.
.
.
MAIN CAST : Xi Luhan, Oh Sehun.
EXO-12!
GENDER SWITCH
Don't like don't read!
Don't copy!
Repost with CR!
.
.
Selamat membaca~
.
.
Suhu siang ini terlalu sejuk untuk pertengahan musim dingin. Seluruh jalanan dan bangunan di Negara ini tertutup selimut putih mengkilat, membuat siapapun yang melintas harus merapatkan pijakannya pada tanah, menghindar dari resiko tergelincir. Hari masih siang namun matahari sama sekali tidak menunjukkan dirinya, hingga langit dihiasi warna kelabu pekat yang mencekam.
Disinilah seorang gadis muda berparas manis, merenung memandang gelapnya hari dengan tatapan menerawang. Pikirannya melayang-layang, jauh meninggalkan tubuh mungilnya yang mematung. Dari balik jendela sebuah perpustakaan terbesar di ibu kota, dengan sebuah buku berbahasa Mandarin yang hanya dipegangnya dalam keadaan terbuka, gadis itu memandang butiran salju yang turun dengan pandangan sendu, seolah-olah pemandangan butiran salju yang turun adalah pemandangan yang melukai perasaannya. Sesekali gadis itu menghembuskan napas berat, terdengar cukup keras di ruangan yang senyap.
Sejak kepindahannya ke Negara ini sebulan yang lalu, gadis itu selalu menghabiskan waktu luangnya di sudut perpustakaan ini, mengambil sebuah buku hanya untuk dibuka, kemudian membuka sedikit jendela untuk merasakan dinginnya angin musim dingin yang menerpa wajah piasnya –sebuah musim yang tidak bersahabat dengannya.
Namanya Luhan. Xi Luhan. Seorang keturunan China-Korea. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses dari China –sehingga membuatnya mendapatkan julukan sang Putri Konglomerat. Sedangkan ibunya adalah seorang dokter dari Korea. Kematian ibunya dua bulan yang lalu membuat Luhan harus diasingkan di negeri orang –secara teknis ibunya lahir disini, namun Luhan merasa Negara ini bukan rumahnya.
Ibunya meninggal dua bulan lalu karena kecelakaan kerja yang meledakkan laboratoriumnya di Shanghai. Meskipun Luhan tak yakin sebab kematian ibunya, namun ia hanyalah seorang gadis muda berusia dua puluh satu tahun yang tak bisa berbuat banyak untuk menyelidiki kematian ibunya. Dan karena posisinya di keluarga hanya sebagai anak dari istri kedua, Luhan memutuskan untuk pergi dari Negara itu –mengikuti keinginan ayahnya.
Ayahnya bilang Luhan harus bisa bangkit setelah kematian ibunya, Luhan harus mendapatkan pendidikan di luar bayangan kematian ibunya yang pasti masih menyakiti hatinya. Tapi entah mengapa, Luhan pikir, ia diasingkan. Lebih tepatnya, ia pikir dirinya dibuang.
Luhan tidak bisa menuntut banyak karena lagi-lagi ia hanya anak dari istri kedua, meskipun ayahnya tetap menghidupinya secara penuh –ya, hanya dengan materi.
Sejak kecil, Luhan tidak pernah terlalu dekat dengan ayahnya. Tidak terlalu dekat untuk pernah digendong saat jalan-jalan atau sekedar tidur bersama ayahnya saat kecil. Ia selalu hidup dengan ibunya di sebuah rumah yang ayahnya berikan di tengah ibu kota China. Rumah yang terlampau besar untuk ia tinggali berdua dengan ibunya. Dan Luhan tidak pernah merasa bangga dengan kekayaan ayahnya.
Ia pikir, itu bukan miliknya.
Gadis itu tumbuh dengan kuat, menjadi pribadi yang mandiri, dan tidak cengeng. Bahkan saat ibunya meninggal –kejadian yang paling menyakitkan dalam hidupnya, Luhan tidak menangis. Ia juga tak tahu mengapa air matanya tak bisa keluar. Luhan hanya merasakan sakit, sangat sakit hingga ia nyaris tidak bisa merasakan tubuhnya. Merasa sangat sakit hingga semua orang menganggapnya sekarat dan nyaris mati.
Tapi setelah mendapatkan perhatian semua orang selama satu minggu, ia diasingkan. Dikirim ke Negara ibunya, tanpa ia sadari, nama Luhan sudah terdaftar di salah satu universitas di ibu kota Negara ini. Dan lagi-lagi tanpa Luhan sadari, ia sudah mendapatkan kartu tanda penduduk Korea.
Luhan sempat berpikir bahwa ayahnya luar biasa hebat, tapi kemudian ia juga berpikir bahwa ayahnya tidak lebih dari seorang yang brengsek.
Luhan sebenarnya tidak butuh materi, ia hanya ingin kasih sayang ayahnya. Ia ingin diperlakukan sama seperti anak-anak ayahnya di sana. Luhan ingin diakui, bukan diasingkan. Jika mereka bilang Luhan akan lebih baik jika tinggal di Korea, maka bagi Luhan semua itu omong kosong. Mereka semua adalah pembual hebat dan Luhan terlalu bodoh untuk mengikuti kemauan mereka.
Lagi-lagi gadis itu menghembuskan napas keras, kali ini membuat seorang pria di sebelahnya, menoleh, menatap Luhan dengan pandangan khawatir dan Luhan tidak bisa memaksakan diri untuk tersenyum.
"Kau baik-baik saja, Nona?" tanya pria itu, mengulurkan sebelah tangannya pada Luhan.
Luhan meraih tangan pria itu, menyalaminya dan tersenyum. Luhan pikir pria itu memastikan bahwa ia baik-baik saja. "Ya, sangat baik,"
"Kau orang China ya?" tanya pria itu menggunakan bahasa mandarin, membuat Luhan sedikit terkejut. Pria tadi menunjuk buku yang dibaca Luhan dengan dagunya yang runcing. Setengah tersenyum, Luhan mengangguk. "Aku Kris Wu,"
"Luhan," balas Luhan singkat.
Kris tersenyum lagi, memutar tubuhnya menghadap Luhan. "Kupikir aku melihatmu selalu disini setiap siang hingga sore hari selama tiga minggu terakhir,"
Luhan terkekeh, terdengar sangat canggung, tapi Kris menunggu gadis itu bicara. "Aku senang membaca dan aku suka ketenangan,"
"Apa aku mengganggu ketenanganmu?" tanya Kris lagi, mengangkat sebelah alisnya untuk menggoda Luhan dengan senyuman manis menghiasi wajahnya yang tampan.
Dan lagi-lagi Luhan terkekeh ringan. Ia mungkin gadis yang dingin, tapi Luhan tahu cara berpura-pura. "Bukan masalah. Aku senang karena kau adalah orang pertama yang mengajakku bicara,"
"Maksudnya?" balas Kris cepat, berusaha tidak terdengar terlalu bersemangat, tapi ia gagal.
Luhan mengangkat bahu acuh. "Well, aku belum mendapatkan satu namapun selama aku pindah kesini –yah kecuali nama para pengajarku," Luhan terseyum lagi.
Kris balas tersenyum, terlihat bersemangat. "Benarkah? Harusnya aku membelikanmu kopi atau makanan ringan,"
"Kau bisa memberikan itu nanti karena aku harus pergi sekarang," ucap Luhan, melirik jam tangannya sekilas, dan memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Kau pergi karena aku menganggumu?" tanya Kris.
Luhan terkekeh ringan. "Tidak Kris, ada yang harus kulakukan sekarang. Senang bicara denganmu," Luhan mengulurkan tangannya dan Kris menyambutnya.
"Kita akan bertemu lagi?" tanya Kris dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Tentu saja, kau tahu aku akan selalu ada disini," ia tertawa singkat sebelum bangkit dan pergi meninggalkan Kris yang masih saja memandangi punggung gadis itu dengan ribuan pertanyaan di benaknya.
Sebenarnya bukan Kris yang membuat Luhan pergi dari perpustakaan, tapi sesuatu yang tidak asing baginya mulai tampak lagi. Di sudut perpustakaan yang lain, di balik tumpukan buku di atas rak, Luhan lagi-lagi melihatnya. Sebuah bayangan hitam yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi selama lebih dari seminggu terakhir.
Luhan tidak terlalu bodoh untuk menyadari bahwa bayangan hitam itu ada sosok pria dewasa. Sosok pria aneh yang selalu menggunakan pakaian serba hitam untuk mengikutinya kemanapun ia pergi. Seharusnya Luhan melaporkan ini kepada polisi atau bibinya karena ia pikir ada seorang penguntit yang mengikutinya.
Namun Luhan urung melakukan hal itu.
Luhan benci ditanya-tanya, ia tidak suka diinterogasi. Lagipula bayangan hitam itu tidak pernah mengganggunya. Luhan hanya berusaha menghindari sosok hitam itu. Sepulang kuliah ia akan memilih jalan yang ramai, menunggu hingga sore hari saat semua orang pulang dari kantor dan jalanan menjadi sesak, kemudian berjalan pulang dikerumunan orang dengan langkah cepat. Menyelinapkan tubuh mungilnya di balik kerumunan.
Sama seperti yang dilakukannya sekarang, gadis mungil itu melangkahkan kakinya dengan cepat, membaur di kerumunan orang yang sibuk. Kemudian Luhan akan sampai di halte dan menyelinap memasuki bus yang nyaris penuh sesak –meninggalkan bayangan hitamnya.
Luhan selalu bisa melarikan diri dari bayangan itu saat memasuki bus.
Tapi saat ia sudah sampai di Apartemennya, bayangan itu selalu muncul. Berdiri jauh di seberang gedung apartemennya, memandangi Luhan hingga masuk. Bayangan hitam itu tidak pernah mengikutinya masuk, Luhan pikir mungkin karena CCTV.
Luhan selalu terburu-buru, memasuki gedung apartemennya dengan langkah cepat, kemudian menyelinap di balik kerumunan orang di dalam lift, dan setengah berlari menuju kamarnya. Ia selalu mengunci pintu kamarnya dua kali. Entah mengapa, Luhan pikir, sistem password belum cukup aman.
Luhan tidak tahu siapa orang yang selalu mengikutinya selama ini. Bahkan sekarang ia lebih senang mengurung diri di kamar apartemennya, menghabiskan seluruh waktunya untuk menggambar. Luhan belum mendapatkan satu orang teman pun, ya meskipun hari ini ia mendapatkan satu orang. Ia bukan seperti gadis-gadis lain yang suka mengobrol tentang fashion atau selebriti terkenal, ia lebih suka menghabiskan waktu seorang diri. Memikirkan tentang apa saja yang terjadi di hidupnya selama ini.
Dengan langkah malas, Luhan merebahkan tubuhnya di sofa. Memandang langit-langit apartemennya yang penuh ukiran. Memikirkan tentang sesuatu yang tidak jelas dan kemudian mendesah ringan.
Saat yang tepat, ponselnya berdering.
Luhan meraih ponselnya dari saku belakang, nama bibinya tertera di layar. Luhan menghembuskan napas beberapa kali dan berdeham ringan sebelum menekan layar untuk menerima panggilan.
"Luhan, sayang, kau baik-baik saja?" suara bibinya yang melengking membuat Luhan harus menjauhkan ponsel dari telinganya.
Luhan meringis. "Aku baik-baik saja. Ada apa?" Ia berusaha membuat suaranya terdengar ceria, berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan bibinya lontarkan.
Suara di seberang sana menghela napas lega. "Mengapa kau tidak mengangkat teleponmu kemarin?"
Luhan terkekeh. "Maafkan aku. Aku sibuk sekali kemarin," padahal Luhan hanya bermalas-malasan. Terlalu malas menerima panggilan.
"Hari ini kau di rumah?"
Luhan menimang-nimang sebentar, berusaha menggali otaknya untuk mencari alasan. Tapi ia tidak menemukan apapun. "Ya, aku selalu di rumah," bisik Luhan, menyerah.
"Baguslah kalau begitu. Baekhyun akan mengantarkan makanan sekarang," dan Luhan nyaris mengerang.
Tidak lagi.
Luhan memaksakan diri untuk tertawa ringan. "Terima kasih banyak, aku akan menunggunya,"
"Jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan," ucap Bibinya, kemudian mematikan sambungan telepon.
Setelahnya Luhan nyaris mengumpat. Ia benci Baekhyun. Bukan benci dalam arti yang sebenarnya, ia hanya tidak suka ada orang lain di tempatnya. Apalagi sepupunya itu berisik bukan main. Baekhyun sanggup mengoceh selama lebih dari empat jam dan itu membuat telinga Luhan panas –nyaris robek, mungkin. Gadis berisik itu akan membicarakan tentang apa saja. Bisa Luhan bilang, Baekhyun adalah biang gossip.
Belum ada satu orang pun yang mereka berdua kenal, yang belum Baekhyun jadikan bahan pembicaraan.
Dan terkadang Luhan juga mendengarkan cerita Baekhyun sampai habis.
Baru beberapa menit Luhan menyalakan televisi, bel apartemennya berbunyi. Dengan langkah malas, Luhan menuju intercom untuk melihat siapa yang datang. Baekhyun ada disana, berdiri dengan lucu, menenteng dua kotak besar makanan. Bibirnya mengerucut sebal, kemudian menekan tombol bel berkali-kali dengan kesal.
Tingkah gadis itu selalu membuat Luhan tersenyum meskipun perangainya menyebalkan bagi Luhan.
Luhan membuka pintu dengan senyum mengembang di wajahnya, sedangkan Baekhyun hanya merengut, menyerahkan dua kotak besar makanan dengan bibir mengerucut.
"Demi Tuhan, berapa kali aku bilang kau seharusnya tinggal bersama kami. Tulangku bisa patah jika sering mengangkat beban terlalu berat," ucap Baekhyun acuh, berjalan mendahului Luhan yang sedang susah payah menyeret kotak makan besar yang Baekhyun bawa.
Luhan tertawa ringan menanggapi ocehan sepupunya, kemudian menuju kulkas untuk membongkar makanan dan bersiap-siap mendengarkan ocehan Baekhyun selanjutnya, tapi Luhan masih tak mendengar apapun, kecuali suara saluran televisi yang dipindah-pindah.
"Seharusnya kau tak perlu mengirimiku makanan," ucap Luhan ringan, memecah keheningan yang asing.
Baekhyun mendesah ringan, masih memencet remote dengan kasar. Ia sudah menanggalkan jaket tebalnya, tidur terlentang di sofa, dan mengangkat satu kaki ke atas bantalan sofa. "Wah ide bagus. Lalu aku tidak akan mendapat uang jajan selama satu bulan," kali ini ia memutar bola mata sebal
Luhan tertawa keras, meletakkan bahan makanan terakhir dan bangkit utnuk menyusul Baekhyun. Ia menatapnya sebentar, gadis itu sedang fokus menonton televisi dengan diam. Bibirnya hanya bergerak saat ia mengunyah makanan ringan atau memasukkan sedotan ke dalam mulut mungilnya.
Ini aneh.
"Kau tidak mengoceh hari ini?" sindir Luhan, duduk di samping kepala Baekhyun dan meraih makanan ringan dari tangannya.
Baekhyun mendecih, bangkit untuk duduk dan mengerucutkan bibirnya. "Bukannya kau senang aku tidak mengoceh?" tanya Baekhyun sarkastis.
Luhan tertawa ringan. "Kau benar. Hanya saja sekarang ruangan ini masih sepi meskipun kau datang. Ini aneh. Rasanya ganjil,"
Baekhyun mendesah ringan, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku kesal," dengusnya.
"Ada apa lagi?" tanya Luhan dengan malas.
"Memangnya apa lagi?" balas Baekhyun ketus, terkadang Luhan lupa bahwa perangai Baekhyun masih terlalu kekanakan untuk gadis seusianya.
Luhan mencoba berpikir –lebih tepatnya pura-pura berpikir. "Kupikir kau bertengkar lagi dengan Chanyeol,"
"Dia bodoh. Idiot. Aku benar-benar muak dengannya," tambah Baekhyun dengan erangan.
Luhan mengehela napas ringan, tidak tahu harus berbuat apa. Luhan sudah tidak bisa menghitung berapa kali Baekhyun mengeluh tentang Chanyeol tapi ia juga tidak bisa membantu. Ia hanya akan mendengarkan celotehan Baekhyun tentang kekasihnya tanpa henti dan kemudian mendengar rengekannya.
"Kau tidak ingin bercerita padaku?" tanya Luhan, berpura-pura. Ia malah berharap Baekhyun tidak cerita tentang apapun.
Baekhyun menggeleng, dan tanpa sadar Luhan menghela napas lega. Namun kemudian ia sadar bahwa tak seharusnya sejahat itu pada Baekhyun.
"Oh ya, kau sudah bisa makan makanan cepat saji sekarang?" tanya Baekhyun tiba-tiba, membuat Luhan mengerutkan kening bingung.
Ia tak mengerti.
Luhan menggeleng ringan. "Tidak, aku masih tidak suka. Perutku tidak terlalu bersahabat dengan makanan itu. Memangnya ada apa?"
"Kau tidak pernah pesan melalui layanan pesan antar?" sambung Baekhyun lagi, membuat Luhan semakin bingung.
Lagi-lagi Luhan menggeleng. "Bagaimana aku bisa pesan makanan, kalau makanan yang kau bawakan tidak pernah habis. Memangnya ada apa?" desak Luhan.
Baekhyun memutar tubuhnya menghadap Luhan, memandang gadis itu dengan pandangan menyelidik tepat dimatanya.
"Apa diam-diam kau punya pacar?" Baekhyun menuding Luhan dengan telunjuknya, membuat Luhan secara naluri memundurkan kepalanya, menghindari telunjuk Baekhyun.
Luhan menepuk jari Baekhyun yang hampil menyentuh hidungnya dan menurunkannya perlahan.
"Demi Tuhan Baekhyun, aku bahkan tidak punya teman," balas Luhan kesal. "Sebenarnya ada apa?" desaknya lagi.
Baekhyun mengangkat bahu acuh. "Ini sudah ketiga kalinya aku melihat seorang pria berada di depan pintu apartemenmu,"
Dan Luhan tersedak, menyemburkan setengah minumannya ke depan, dan terbatuk-batuk.
"Apa maksudmu?" tanya Luhan, meraih tisu untuk mengelap meja dan bajunya yang basah, sedangkan Baekhyun geleng-geleng kepala sambil meringis.
"Aku melihat orang yang sama pada hari ini dan dua hari yang lalu. Tapi pada beberapa hari yang lalu aku melihat orang yang berbeda," tambah Baekhyun, masih berusaha membantu Luhan mengeringkan bajunya.
Luhan mengerutkan kening bingung.
"Apa yang ia lakukan?" tanyanya mengambang, seperti melamun.
Baekhyun menggeleng. "Aku tidak tahu, setelah aku lewat lorongmu, ia selalu berjalan menuju pintu darurat. Kupikir ia petugas layanan pesan antar karena menggunakan masker,"
Luhan tampak berpikir, mengerutkan keningnya, berusaha mencerna semua kejadian yang terjadi padanya satu minggu belakangan. Itu pasti pria yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Salah besar jika Luhan pikir pria itu tidak masuk ke apartemennya, tapi apa yang sebenarnya pria itu inginkan darinya.
Jika ia ingin merampok Luhan, seharusnya sudah ia lakukan sejak seminggu yang lalu. Mungkin jika pria itu seorang stalker, ia sudah menyerang Luhan sejak hari pertama Luhan melihat bayangan pria itu di perpustakaan.
Apa maksud bayangan hitamnya itu?
Luhan tak habis pikir.
"Kau baik-baik saja?" sambung Baekhyun. Menginterupsi pikiran-pikiran Luhan yang meluas.
Luhan menggeleng. Kemudian dengan cepat menoleh ke arah Baekhyun setelah sesuatu terlintas dipikirannya.
"Tunggu dulu, kau melihat orang yang berbeda? Bagaimana kau bisa tahu?" desak Luhan, membuat Baekhyun sedikit terkejut karena Luhan terdengar sangat antusias.
"Pria yang kutemui hari ini dan dua hari yang lalu adalah pria yang sama. Warna rambutnya hitam pekat. Sedangkan yang kulihat beberapa hari yang lalu rambutnya berwarna coklat muda. Lagipula postur tubuh mereka berbeda. Sebenarnya siapa mereka?" tanya Baekhyun bingung.
Luhan mendesah ringan, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Aku tak tahu, Baek. Kupikir mereka mengikutiku,"
Baekhyun tampak terkejut. "Kau seharusnya melaporkan ini pada polisi," ucapnya tegas.
Luhan menggeleng ringan. "Mereka tidak melakukan apapun padaku, Baek. Lagipula keamanan di apartemen ini sangat ketat,"
Baekhyun menghela napas, meraih tangan Luhan yang bergerak-gerak gelisah dan menggenggamnya. "Luhan," panggilnya lembut. "Kau bisa tinggal bersamaku. Ibuku akan sangat senang menerimamu. Kau akan baik-baik saja. Aku tidak bisa membiarkanmu tinggal sendiri seperti ini,"
Luhan tersenyum, kemudian menggeleng ringan. "Aku baik-baik saja, Baek. Tidak akan ada yang menyakitiku. Lagipula kau juga sering berkunjung," Luhan menepuk-nepuk tangan Baekhyun, membuat gadis itu tenang meskipun Baekhyun sama sekali tak bisa tenang.
Luhan tampak tenang meskipun pikirannya sedang kacau, ia memikirkan banyak hal sekarang. Ia berusaha menyatukan potongan-potongan puzzle rumit di kepalanya. Bahwa semua ini mungkin berhubungan. Kematian misterius ibunya yang mendadak, 'pengasingannya' ke Korea, dan juga orang-orang yang mengikutinya.
Luhan sempat tahu bahwa banyak pria asing yang mencari ibunya sejak ibunya meninggal. Tapi Luhan tak pernah tahu bahwa pria-pria itu masih mengikutinya hingga sekarang. Mereka mungkin memiliki hubungan dengan ibunya, tapi Luhan tak mengerti apa yang pria-pria asing itu inginkan darinya.
Bagi Luhan, masalah kehidupan seseorang harus berakhir saat hidupnya juga berakhir.
Dan akhirnya, malam ini Luhan meminta Baekhyun untuk menginap –sesuatu yang belum pernah Luhan lakukan- tentu saja Baekhyun menuruti kemauan gadis itu. Ia sangat khawatir dengan keadaan sepupunya karena Baekhyun tahu, latar belakang keluarga Luhan sangat luar biasa. Baekhyun takut masalah kedua orang tuanya harus Luhan tanggung disini.
.
.
Paginya Luhan menggeliat malas saat cahaya matahari pagi menyilaukan matanya. Ia menoleh bagian tempat tidurnya yang kosong, Baekhyun mungkin sudah pergi pagi-pagi sekali. Ia jadi sedikit merasa bersalah karena meminta Baekhyun menginap di sela jadwalnya yang padat.
Luhan meregangkan otot-ototnya dan menemukan sebuah catatan kecil yang Baekhyun tinggalkan di meja samping tempat tidurnya. Baekhyun mengatakan bahwa ia harus pergi pagi-pagi buta untuk menjemput Ayahnya di bandara dan ia juga memerintah Luhan –dengan tulisan tebal- untuk menghabiskan sarapannya.
Lagi-lagi Luhan hanya bisa tersenyum melihat kelakuan sepupunya itu. Baekhyun adalah gadis periang, tidak pernah memikirkan hal-hal yang negative. Luhan pikir sepupunya itu memiliki sifat optimis yang luar biasa besar. Dan Luhan iri dengan hal itu.
Setelah mengirimkan pesan singkat berisi ucapan terimakasih pada Baekhyun, ia bergegas mempersiapkan diri. Hari ini Luhan akan ke Panti Asuhan di sudut kota, menjadi relawan disana –pekerjaan yang sering dilakukannya saat hari libur. Luhan senang dengan anak-anak. Biasanya ia mengajarkan bahasa mandarin untuk anak-anak disana. Dan ini adalah satu-satunya hiburannya, satu-satunya hal yang membuatnya tetap tinggal.
Luhan melirik jam dindingnya, ia agak terlambat pagi ini karena semalaman tidak bisa memejamkan mata. Setelah mengucapkan permintaan maaf dalam hati untuk Baekhyun karena tidak memakan sarapannya, Luhan menyambar kunci mobilnya dan berjalan keluar. Sebenarnya ia benci mengendarai mobilnya itu, hanya saja tidak ada bus menuju Panti Asuhan.
Dan lagi-lagi Luhan harus memilih untuk melewati tempat yang ramai saat menuruni lantai demi lantai apartemennya. Ia harus menunggu banyak orang untuk memasuki lift, menyapa tetangga yang ia kenal kemarin dan merasa lega karena belum menemukan bayangan hitamnya pagi ini.
Ia memandang sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang mengikutinya pagi ini, kemudian setengah berlari melewati garasi yang sepi, menuju mobilnya yang terparkir di ujung. Luhan menekan tombol open, tapi mobilnya tidak terbuka. Ia mencoba memasukkan kunci secara manual, tapi itu juga sama sekali tidak bekerja.
Lagi-lagi ia memandang sekeliling. Nalurinya mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan hal ini. Lalu setengah detik berlalu, Luhan sadar. Ia segera berlari untuk kembali masuk menuju apartemen.
Dan saat gadis itu nyaris meraih pintu masuk, dua orang pria meraih tubuhnya. Menarik tubuh mungilnya dengan kasar, ia nyaris berteriak sebelum pria itu menutup mulutnya dengan sebuah kain. Sebuah kain dengan bau tajam menusuk indra penciuman Luhan, membuat gadis itu mengerang protes. Kepalanya terasa sangat sakit hingga pandangannya mengabur dan kemudian menghitam sepenuhnya.
Luhan tahu ini penculikan tapi ia tak bisa berbuat banyak. Mungkin Baekhyun benar, Luhan sedang dalam masalah. Dan terlalu terlambat untuk menyadari hal itu.
Luhan tahu saat tubuhnya diangkat dan dipindahnya, tapi ia tidak bisa merasakan saraf-saraf tubuhnya. Ia ingin berteriak, tapi ia tak bisa bergerak, yang bisa dirasakannya hanya rasa sakit luar biasa di kepalanya. Luhan hanya bisa berdoa, memohon keselamatannya, meskipun ia sendiri tak yakin dengan hal itu.
Kemudian sebuah serangan hebat di kepalanya benar-benar membuatnya tak bisa berpikir apa-apa.
.
.
Luhan setengah tersadar karena suara-suara berisik di sekitarnya, ia bisa membuka matanya, melihat dalam samar, pandangannya kabur. Ada banyak pria di hadapannya yang sedang bergerak-gerak. Luhan pikir mereka sedang berkelahi tapi Luhan tak yakin dengan hal itu. Ia berusaha mempertahankan matanya tetap terbuka, tapi ia tak bisa. Sesuatu yang berat serasa menindih kepalanya.
Luhan tak mengerti apa yang terjadi.
.
.
Luhan merasakan tubuhnya berguncang hebat, kemudian tubuhnya diletakkan perlahan pada sebuah benda bergerak. Ia tahu, mungkin seseorang memindahkan tubuhnya. Luhan membuka matanya, menangkap pemandangan bergerak di hadapannya. Dan saat rasa sakit di kepalanya muncul, lagi-lagi ia memejamkan matanya.
Tanpa sadar Luhan mengerang.
Luhan bisa merasakan saat sesuatu yang hangat menyentuh lehernya, kemudian dahinya, dan berpindah menyentuh lengannya. Benda bergerak itu berhenti. Sekarang sesuatu itu membungkus tubuhnya dengan benda hangat, Luhan pikir itu selimut.
Ia memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa sakit di kepalanya menjadi-jadi. Pandangan yang pertama kali ia tangkap adalah seorang pria berwajah pucat dihadapannya. Pandangannya masih samar dan kabur, tapi Luhan tahu pria itu bermata coklat muda. Dan rambutnya berwarna hitam pekat.
Pria itu menyapukan jemarinya di dahi Luhan dan tersenyum. Bibirnya bergerak dan bersamaan dengan itu suara selembut beledu menyapu pendengaran Luhan. "Kau akan baik-baik saja, Luhan. Kita akan pulang,"
Hanya itu yang dapat Luhan pahami. Pria itu mengatakannya dalam bahasa mandarin yang terbata-bata. Kemudian Luhan merasakan benda yang membawanya bergerak dan bergetar. Setelahnya Luhan tak bisa merasakan apapun. Ia kembali terperangkap dalam kegelapan dan tak bisa keluar.
.
.
Luhan membuka matanya lebar-lebar, mendapati dirinya terbaring di tempat tidurnya. Ia pasti bermimpi. Ini pasti mimpi buruk. Luhan melihat sekelilingnya, kamarnya terang benderang dan di luar sudah malam. Ia pasti tidur seharian dan bermimpi buruk.
Luhan mencoba duduk dan mengerang keras merasakan kepalanya yang berdenyut kuat.
Apa yang terjadi.
Luhan memeriksa tubuhnya, ia masih menggunakan pakaian yang tadi ia kenakan saat akan pergi ke Panti Asuhan. Ia memeriksa pergelangan tangannya yang ngilu, tangannya berwarna merah dan ada sedikit goresan disikunya.
Luhan tidak yakin ini hanya mimpi.
Tapi semuanya tampak begitu tak nyata.
Luhan keluar dari kamarnya, memeriksa seluruh sudut apartemennya, tapi ia tak menemukan apapun. Kecuali saat ia melihat sebuah catatan menggantung di balik pintu keluar apartemennya. Sebuah catatan yang membuatnya merinding dan nyaris terjungkal.
'Aku akan melindungimu, Luhan. Sampai mati pun, aku akan melindungimu'
.
.
TBC
.
.
Hallo semuanya~ terima kasih telah membaca fanfiction HUNHAN ini. Fanfiction ini dibuat murni berdasarkan ide Author, sehingga jika ada kesamaan cerita itu adalah murni sebuah ketidaksengajaan.
Baiklah. Author akan mulai cuap-cuap /ehem/
Pertama, fanfiction ini dibuat dalam rangka mengikuti BIG EVENT HUNHAN INDONESIA. Jadi meskipun fanfiction ini pasti dilanjutkan, Author tetap minta kritik dan saran dari pembaca melalui kolom review ya. Lebih kurangnya fanfiction ini dari segi bahasa, alur, cerita, tokoh, silahkan disampaikan melalui kolom review.
Kedua, pasti muncul pertanyaan, 'ini maincastnya HUNHAN tapi kok SEHUNnya nggak muncul?' jawabannya adalah memang Author buat begitu. Mau SEHUNnya muncul? Nantikanlah kisahnya! /hihihihi/
Ketiga, nantinya fanfiction ini akan ada 25 chapter lebih, oleh karena itu, Author usahakan untuk fast update. Dan juga agar pembaca tidak lupa dengan kisah fanfiction ini.
Keempat, untuk fanfic Author yang lain (re:lolipopsehun) sabar ya nunggu kelanjutannya. Pasti dilanjut kok, Author masih sibuk dengan tugas kuliah yang menggunung /curhaaaat/ gapapa kok kalo mau nagih terus di review biar Author gak kelupaan sama fanfic yang lama tidak diupdate.
Terimakasih, sekian dari Author dan Chapter 1 cerita ini.
Lebih kurangnya Author mohon maaf.
Sampai jumpa di Chapter depan. Byeeee~
