Hallo semua, Kyori kembali dengan membawa FF SasoDei. Perasaan aja atau emang sekarang FF SasoDei itu dikit ya? ._.

Disclaimer: Masashi Kishimoto-sama

Pairing: SasoxFemDei

Warning: OOC, typo(s) everywhere, gaje, abal, dll. Don't like, don't read. Oh ya ini SasoxFemDei jadi Deidara-nya cewek ._.v

*ETERNAL LOVE*

.o0o…

HAZEL yang jernih itu menatap nanar dedaunan yang terbang tertiup angin sore. Pertengahan musim gugur, dedaunan berwarna kuning, jingga bahkan merah beterbangan tertiup angin setelah lepas dari rantingnya. Sepasang mata Hazel yang memandangi dedaunan itu tertutup sesaat oleh sepasang kelopak mata yang lelah. Sang pemilik hazel itu menghela napas sesaat sebelum memperlihatkan kembali warna cokelat mata hazelnya.

Dua helai daun, sehelai daun berwarna kuning dan sehelai lagi berwarna merah. Kedua daun itu melayang bersamaan, tertiup angin ke arah yang sama, dipermainkan oleh angin sore sebelum akhirnya jatuh ke tanah dengan tenang. Ia memperhatikan daun merah yang jatuh itu, warna merah yang hampir sama dengan rambutnya terlihat tak ingin jauh dari daun yang jatuh bersamanya. Memang itu benda mati, dan pemuda itu merasa konyol memperhatikan benda mati sampai sejauh ini.

"Sasori-kun!"

Sepasang mata hazel pemuda berambut merah itu melirik sesaat ke arah dimana suara yang memanggil namanya itu berasal.

Sosok cantik gadis berambut merah muda sebahu berlari-lari kecil ke arahnya. Helaian merah muda yang membingkai wajahnya menari mengikuti tiupan angin sore. Mata emerald-nya yang cantik berbinar menatap hazel milik Sasori.

Sasori yang sedari tadi duduk di bangku taman berwarna putih pucat, kini mengganti posisinya menjadi berdiri. Tanpa keinginan untuk mengubah raut wajahnya yang datar dan dingin, ia merapikan bagian bawah kemeja putihnya.

"Sasori-kun!" Sakura memekik, tangan mungilnya memeluk erat lengan kiri Sasori. Menggelayut dengan manja pada laki-laki berambut merah tersebut.

"Kau tahu aku benci menunggu," ucap Sasori. Dingin. Tanpa perubahan sama sekali di raut wajahnya, tanpa melirik sedikitpun gadis yang menggelayut dengan manja di lengannya.

"Oh." Semburat kemerahan merona di pipi putih gadis berambut merah muda tersebut, "Gomen ne Sasori-kun, tadi aku harus menyelesaikan tugas skripsi."

"Lepaskan," bisik Sasori dingin.

Gadis itu mengerjapkan matanya, mendongak menatap Sasori yang sama sekali tak menatapnya. Jangankan menatap, meliriknya pun sama sekali tidak.

"Sakura, lepaskan." Sasori mengulangi, tanpa sedikitpun perubahan dalam caranya bicara.

Sakura perlahan melepaskan pelukannya dari lengan Sasori, raut wajah cerianya seketika berubah menjadi sebuah raut kekecewaan. Emerald-nya menatap wajah tampan Sasori, memperhatikan tatapan mata Hazel yang sama sekali tak melirik ke arahnya.

"Apa dedaunan itu lebih menarik bagimu dibandingkan aku?" tanya gadis bernama sama dengan bunga kebangsaan Jepang tersebut.

Sasori melangkah meninggalkan Sakura dalam diam. Sakura segera mengejar langkah Sasori dengan kaki jenjangnya. Tangan mungilnya ingin meraih tangan Sasori, meminta kepada laki-laki itu untuk tidak meninggalkannya seperti ini.

"Jangan sentuh aku," ucap Sasori tanpa menoleh, tanpa menghentikan langkahnya. Tangan Sakura yang nyaris menyentuh tangannya berhenti bergerak begitu saja. Jadilah gadis itu hanya bisa menundukkan kepalanya dan menghentikan langkahnya.

Sasori menghentikan langkahnya. Melihat itu Sakura mengangkat kepalanya, ia berani berharap kekasihnya itu akan menoleh ke belakang dan mengulurkan tangannya kepada Sakura. Kekasih? Ya kekasih. Sasori, laki-laki tampan dengan penampilan sempurna itu adalah kekasih Sakura.

"Sebaiknya kau pulang dan kerjakan skripsimu. Aku sedang tidak ingin pergi kemanapun hari ini," ujar Sasori tanpa menoleh sama sekali.

"T-tapi Sasori-kun... kalau kau tak ingin pergi, kenapa kau menerima ajakanku untuk datang ke taman ini?" tanya Sakura.

"Aku tak pernah menerima ajakanmu. Aku selalu menolak, tapi kau tahu siapa yang memaksaku," ujarnya seraya melangkahkan kakinya kembali, "Aku tak pernah ingin bertemu denganmu."

Deg

Rasanya seperti sebuah benda yang tajam menusuk jantung Sakura. Ia sama sekali belum terbiasa dengan sikap kekasihnya setelah cukup lama menjalin hubungan dengannya.

Kaki jenjangnya melangkah cepat mengejar langkah Sasori, dengan setengah berlari ia menghampiri Sasori.

Sasori tersentak saat tangan gadis berambut merah muda itu memeluk tubuhnya dari belakang. Namun raut wajahnya belum berubah, atau tak akan berubah sekeras apapun Sakura mencoba.

"Sasori..." gadis itu berbisik lirih, ditenggelamkannya kepalanya di punggung Sasori, mengeluarkan air mata yang sedari tadi memaksa keluar. Isak tangis dari bibir mungilnya terdengar cukup jelas di telinga Sasori.

"Hari ini tepat enam bulan," bisik Sakura, mencoba mengingatkan. Memang hari ini tepat enam bulan hubungan mereka. Karena itulah Sakura yang tengah sibuk mengerjakan skripsinya, menyisihkan waktu untuk bertemu Sasori demi memperingati hari yang menurutnya istimewa ini. Sakura tahu, tak akan ada dinner yang romantis dari Sasori. Ia juga tidak mengharapkan bunga atau boneka. Bahkan ia tak memikirkan untuk mendapat sebuah kecupan sayang dari Sasori. Ia hanya ingin Sasori ingat atau setidaknya mengucapkan sesuatu.

"Enam bulan kalian memenjarakanku?" tanya Sasori.

Sakura mengeratkan pelukannya pada Sasori, "Sasori aku mencintaimu. Cobalah menerimaku. Buka sedikit saja hatimu Sasori... Onegai."

Sasori terdiam. Ia tak bicara namun tangannya bergerak menyentuh tangan Sakura. Dalam sekali hentakan, ia berhasil melepaskan tangan Sakura darinya.

"Kau tahu jawabanku."

Sakura jatuh terduduk di rerumputan yang tertutupi dedaunan kering. Ia menutupi wajahnya yang penuh dengan air mata dengan kedua tangannya. Tak ada yang memeluknya untuk menenangkannya, hanya dedaunan yang gugur saja yang menatap bisu dirinya.

.

.

Sebuah mobil sport hitam berhenti di pinggir salah satu jalan di Tokyo. Seorang pemuda turun dari mobil yang tak banyak dimiliki orang. Salah satu pintunya terbuka, terlihatlah sosok pemilik mobil mahal tersebut. Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih dan celana jeans hitam panjang. Kaca mata hitam menutupi mata tanpa ekspresi miliknya. Dengan bentuk tubuh yang proposional dan wajah yang tampan. Tak heran dirinya menjadi pusat perhatian dari para gadis di sekitar sana.

Kakinya melangkah pelan menuju sebuah toko kue setelah menutup pintu mobilnya. Jika orang-orang yang sedari tadi memperhatikannya merasa heran, wajar saja. Pasalnya siapapun mengira pemuda tampan dan kaya itu akan masuk ke cafe berkelas yang letaknya tepat di sebelah toko kue. Rasanya sedikit mustahil pemuda itu masuk ke toko kue yang begitu sederhana dan kecil.

"Selamat datang."

Sapaan ramah seorang gadis terdengar oleh Sasori begitu ia membuka pintu toko kue tersebut. Pandangannya tertuju langsung kepada seorang gadis dibalik rak kue di depannya. Gadis yang diperhatikannya tengah sibuk membungkus kue dan menyerahkannya kepada pelanggan, sepertinya ia sama sekali tak melihat kedatangan seorang pelanggan. Atau dengan kata lain, gadis itu mengucapkan 'selamat datang' tanpa menoleh ke arah seseorang yang masuk dari pintu.

Sasori memperhatikan sekeliling dari balik kacamata hitamnya. Di dalam toko kue itu yang berukuran cukup kecil itu, terdapat tiga meja dua kursi yang disediakan untuk pelanggan yang ingin makan kue di sana. Lalu sebuah rak kue panjang terletak berhadapan dengan pintu masuk, dengan seorang gadis berambut pirang dibelakang rak tersebut.

Sasori melangkah mendekati gadis itu yang masih sibuk menggumamkan kata 'terimakasih' kepada para pelanggan yang sudah mendapatkan pesanan mereka.

Saat dua orang pelanggan sudah pergi, gadis berambut pirang diikat ekor kuda itu segera menoleh ke pelanggannya yang baru saja datang, "Maaf membuat anda menunggu, tuan. Tuan ingin pesan..." ucapannya menggantung. Senyum cerah dibibirnya luntur begitu saja. "...apa?"

Pemuda berambut merah itu melepaskan kacamatanya, memperlihatkan mata cokelat hazel miliknya. Menatap dalam iris biru Aquamarine yang mampu menenggelamkannya.

"Seperti biasa," sahutnya.

Gadis yang poninya menutupi bagian wajah kirinya segera mengalihkan pandangannya. "Silahkan duduk tuan. Saya akan berusaha untuk tidak membuat anda menunggu."

Sasori tersenyum tipis memperhatikan gadis yang tengah menyiapkan nampan. Sayang tak ada yang melihat senyuman yang mampu meluluhkan hati sebagian besar perempuan itu.

Pemuda tampan itu melangkah ke satu-satunya meja yang kosong, yang letaknya paling dekat dengan meja kasir dan rak kue.

Tak sampai lima menit menunggu, gadis cantik berambut pirang itu datang membawa nampan berisi pesanan Sasori. Ia segera meletakkan sepiring cheese cake dan secangkir cappuccino di atas meja. Sasori memperhatikan cheese cake di hadapannya. Cake yang sudah dipotong kecil-kecil tersebut membuatnya tersenyum.

"Silahkan dinikmati tuan," ujar gadis itu seraya membungkuk hormat.

"Duduklah di sini, aku tidak suka makan tanpa teman mengobrol," ujar pemuda berparas tampan itu.

"Tapi saya harus melayani pelanggan," ujar gadis itu, menolak dengan cara yang halus.

Sasori menatap sekeliling, selain mereka berdua hanya terdapat sepasang kekasih yang sedang menikmati kue di salah satu meja, dan seorang perempuan paruh baya di meja terakhir.

"Sambil menunggu pelanggan, duduk saja dulu," ujar Sasori.

Gadis itu tak memiliki alasan lain untuk menolak, dengan ragu ia duduk di hadapan Sasori, meletakkan nampan di pangkuannya.

"Kau masih ingat aku terlalu malas untuk memotong kue, jadi kau yang memotongnya seperti ini. Tak kusangka, kupikir kau sudah lupa." ujar Sasori.

"Tuan cukup sering berkunjung ke toko kami, jadi saya masih sedikit mengingat kebiasaan tuan," sahut gadis cantik tersebut.

Sasori mengangguk pelan. Ia menusuk salah satu potongan kue kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah manis gadis di hadapannya yang tak berani menatap dirinya.

"Deidara," panggil Sasori pelan.

"Ya?" gadis itu mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap wajah Sasori. Sebuah senyuman coba ia tunjukan, namun Sasori tahu senyuman itu tak setulus yang biasa gadis itu tunjukkan.

"Kue buatan kaasan-mu masih seperti dulu. Bagaimana kabarnya? Sehat?" tanya Sasori.

Deidara mengangguk pelan, "Sehat."

"Maaf tiga bulan terakhir ini aku menghilang. Kau tahu? Aku tidak boleh keluar rumah selain untuk mengurus perusahaan tousan. Diluar pekerjaan, aku hanya boleh keluar rumah jika Sakura yang meminta," ujar pemuda itu panjang lebar.

Deidara tersenyum, "Kekasih anda?"

Sasori meletakkan garpunya di atas piring yang masih penuh dengan kue kesukaannya itu, "Dia bukan kekasihku," sahutnya seraya menatap tajam ke mata Aquamarine milik Deidara, "Seumur hidup aku hanya memiliki satu kekasih, dan orangnya bukanlah Sakura."

Gadis berparas cantik namun berpenampilan sederhana itu menundukkan kepala, "Maafkan saya tuan, saya tidak tahu."

Sasori menatap serius gadis yang tak menatapnya itu, "Kau tahu, Deidara. Kau sangat tahu."

Deidara mengeratkan genggamannya pada nampan dipangkuannya. Matanya terasa perih, sesuatu akan menetes dari sana jika ia tak bisa menahannya.

"Kau tahu aku tak akan bisa mencintai siapapun selain_"

"Saya yakin anda bisa tuan," ucap Deidara cepat memotong ucapan Sasori, "Lagipula bulan depan anda akan bertunangan dengannya. Anda harus mencoba menerima Sakura-san, mungkin dialah jodoh anda."

"Berhenti bicara seperti itu Deidara." ujar Sasori dingin.

Deidara memejamkan matanya, menahan sekuat mungkin untuk tidak terbawa emosi dan suasana. Dalam hati ia tak berhenti berdoa agar datang pelanggan mengganggu pembicaraan mereka berdua.

"Kau tidak bisa menutupi apapun dariku. Aku sangat mengenalmu begitupula sebaliknya," ujar Sasori, masih fokus menatap Deidara, menunggu mata Hazel-nya bertemu pandang dengan mata Aquamarine yang sangat dikaguminya.

"Kau tak perlu khawatir, kau hanya perlu menunggu," bisik Sasori pelan.

"Ehem."

Deidara mengangkat kepalanya saat mendengar sebuah suara di dekat mereka, begitupula dengan Sasori.

Terlihat seorang pemuda tampan berambut hitam panjang bermata Onyx berdiri tepat di sebelah Sasori.

Deidara berseru dalam hati, permintaannya terkabul dalam waktu yang cukup singkat. Ia segera berdiri, "Saya akan segera siapkan pesanan Anda," ujar Deidara kemudian berlari kecil ke belakang rak kue.

Sasori berdecak kesal, ia menatap sinis pemuda berambut hitam yang kini duduk di hadapannya.

"Jangan jadi playboy, kau ini," ujar laki-laki itu dengan raut wajah tak bersalah.

"Kau sangat mengganggu, Itachi."

Pemuda bernama Itachi itu menoleh ke belakang, memperhatikan Deidara yang tertangkap basah sedang memperhatikan mereka. Dengan cepat gadis itu mengalihkan pandangannya dan sibuk mengambil kue. Itachi tersenyum kemudian kembali menatap Sasori.

"Kalian masih saling memperhatikan satu sama lain," ujar Itachi seraya mengambil garpu di piring Sasori kemudian mengambil kue dengan garpu itu lalu memakannya, "Tapi ayolah, sebulan lagi kau bertunangan dengan Sakura. Lalu secepatnya menikah. Kau mau mengharapkan apa lagi dari gadis lain?"

Sasori menatap Itachi dengan sebuah tatapan dingin, "Apa aku pernah menyetujui semua ini? Kau pikir aku akan menjadi anak kecil polos yang mengikuti apapun keinginan orang tuanya?"

Itachi mengangkat bahu seraya meletakkan kembali garpu di tangannya dengan rapi di atas piring Sasori, "Kau anak tunggal. Kalaupun seandainya kau menolak, kedua orang tuamu akan memaksa agar kau mau."

"Aku sudah merasa cukup menyiksa diri selama enam bulan. Aku tidak bodoh, aku tak akan membiarkan diriku dan orang yang kucintai menderita lebih dari ini."

"Jadi kau akan memperjuang perasaanmu?" tanya Itachi serius.

"Sampai aku mati."

Itachi terdiam sesaat. Ia mengenal Sasori, ia tahu Sasori jarang sekali bercanda, kata-katanya selalu serius. Tatapannya, caranya bicara, keseriusan dalam setiap kata yang ia lontarkan, membuat Itachi tak bisa menemukan sedikitpun celah untuk mengatakan bahwa ucapan Sasori hanya sebuah gurauan.

"Tapi mungkin menikah dengan seorang gadis Haruno tidaklah seburuk yang kau pikirkan," ujar Itachi.

Sasori menatap tajam mata Itachi, "Kalau begitu kau saja yang menikahinya."

"Bukan begitu maksudku," ucap Itachi merasa bersalah.

Pembicaraan mereka terhenti sesaat saat gadis penjaga toko kue itu mendekati mereka, meletakkan sepiring chocolate cake dan secangkir hot chocolate di atas meja.

"Arigatou Deidara-chan," ujar Itachi seraya tersenyum menatap gadis yang sepertinya terlihat begitu canggung, mungkin karena tatapan mata Sasori yang tak henti tertuju padanya.

Deidara menundukkan kepala dengan hormat, ia berniat pergi namun langkahnya terhenti saat tangan yang dingin menyentuh tangan kirinnya yang tidak memegang nampan. Deidara membalikkan tubuhnya karena terkejut, tak ia sangka Sasori yang tadi duduk dengan tenang kini berdiri tepat di hadapannya. Tatapan mata Sasori kembali tertuju pada mata Aquamarine gadis itu.

"Besok temui aku di taman biasa jam dua siang. Aku akan menunggumu sampai kau datang," ucap Sasori. Kemudian ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Deidara, ia mengambil dompet hitamnya dari saku celananya, mengambil beberapa lembar uang dari sana dan meletakkannya di atas meja.

Deidara hanya bisa terdiam tak menjawab.

"Kuharap kau datang," ujar Sasori diakhiri dengan sebuah senyuman yang membuat Deidara membeku. Sudah berapa lama ia tak melihat senyuman itu? rasanya sudah begitu lama.

Tanpa ucapan perpisahan kepada Itachi yang membisu menyaksikan apa yang terjadi di depan matanya, Sasori melangkah keluar dari toko kue tersebut.

"Kau masih sangat menyayanginya?"

Deidara yang sedari tadi menatap kepergian Sasori seketika menoleh ke sebelahnya saat mendengar pertanyaan yang sepertinya tertuju padanya.

Mata onyx pemuda itu menatap lembut, "Duduklah," bisiknya.

Deidara mengangguk, dengan ragu ia duduk di hadapan Itachi. Diletakkannya nampan yang ia bawa di atas meja, kemudian mengambil uang di atas meja dan memasukkannya ke sakunya, "Selalu membayar lebih, kebiasaan," ujarnya pelan seraya tersenyum. Namun dapat terlihat jelas, senyuman itu mengandung banyak arti dan seluruh arti itu pastilah dalam dan sulit dipahami.

"Dan dia sebenarnya tidak lapar," ujar Itachi seraya tertawa pelan saat menyadari piring Sasori tadi masih penuh dengan kue.

"Dia pikir membuat kue itu mudah apa? Seenaknya saja," gumam Deidara lagi.

Itachi kembali tertawa pelan, ia meneguk hot chocholate-nya sebelum akhirnya menghela napas panjang, "Kau datang bulan depan?"

Deidara tertawa kecil. Itachi menautkan kedua alisnya. Tawa yang ia dengar, terdengar begitu...miris.

"Aku datang untuk apa? Kalau mereka memesan kue pertunangan di toko ini, mungkin saja aku akan datang untuk mengantarkan pesanan. Itupun sepertinya tidak masuk ke dalam ruang pesta," ujar Deidara seraya mengelus pelan dagunya, seolah berpikir.

"Bukan itu maksudku," ujar Itachi seraya menghela napas, "Kau selalu saja pura-pura tidak tahu."

"Berpura-pura tidak tahu tentang apa?" tanya Deidara.

"Deidara." Iris onyx milik Itachi menatap Aquamarine Deidara dengan tatapan penuh keseriusan.

Deidara sedikit tersentak kemudian memejamkan mata dan menghela napas, "Aku tidak mungkin membiarkan kaasan menjaga toko sendirian. Jadi sepertinya aku tidak akan datang."

"Kau tidak mau melihat acara pertunangan mereka 'kan?" tanya Itachi, "Itu 'kan alasanmu yang sebenarnya?"

Deidara terdiam. Entah karena membenarkan ucapan Itachi atau karena tak sanggup berbohong lagi.

"Kau masih sangat mencintai Sasori," ujar Itachi, pelan. Dalam ucapannya terkandung banyak makna, antara iba, salut, dan sebagainya.

Deidara tersenyum, "Itu tidak akan mengubah apapun."

Itachi menatap bayangannya di hot chocolate miliknya, "Kalian berdua kurasa...jangan mencoba melawan 'dunia'. Itu sangat berbahaya. Orang tua Sasori dan Sakura memiliki banyak 'tangan', mereka bisa saja..." Itachi memberi jeda dalam ucapannya kemudian melirik Deidara, "...ya kau tau apa yang kumaksud. Toko kue dan kaasan-mu bisa terancam, Dei."

Deidara mengangguk, "Aku setuju denganmu, Itachi-san. Satu-satunya yang kumiliki hanya kaasan, dan satu-satunya tempat untuk mencari uang agar bisa bertahan hidup ya toko kue kecil ini. Aku tidak mungkin membiarkan kaasan terancam bahaya."

Itachi tersenyum, setidaknya ia percaya bahwa Deidara itu kuat. "Aku tahu cinta tak akan melemahkanmu, Dei. Kau gadis yang kuat."

"Tentu saja," ujar Deidara dengan senyum cerah mengembang di bibir mungilnya.

"Baguslah.

"Tapi Itachi-san..." gumam Deidara.

"Hm?"

"Bisa tidak Itachi-san menyakini Sasori. Yakinkan dia bahwa..." Deidara menghela napas, "...hatinya bisa terbuka untuk orang lain."

Itachi menggaruk bagian belakang kepalanya, "Itu...bagaimana ya?"

"Um?" Deidara memiringkan kepalanya.

"Bukannya aku tidak mau, Dei. Sudah berapa kali aku mencobanya. Tapi setiap pembicaraanku mengarah kesana, dia pasti menatapku dengan tatapan pembunuhnya itu," ujar Itachi, "Sasori itu menakutkan, setidaknya di hadapan orang lain selain kau."

Deidara terdiam.

"Sebaiknya kau yang meyakinkan dia, Dei. Hanya ucapanmu yang akan ia dengar. Karena baginya sekarang semua orang adalah musuh, kecuali kau. Mungkin aku dianggap musuh juga olehnya karena aku mendukung hubungannya dengan Sakura. Yah kau tau Dei, aku lebih suka melihat Sasori denganmu, tapi...demi keselamatan kalian berdua..."

"Aku mengerti," ujar Deidara seraya tersenyum, "Terimakasih banyak, Itachi-san. Sejak dulu hanya kau yang bisa mengerti kami."

Deidara berdiri dari tempat duduknya, ia menghela napas panjang, "Ini cukup sulit. Untuk sementara aku tidak ingin bertemu dengan Sasori."

Itachi terkejut, "Tapi besok..."
"Aku tidak akan datang. Kalau ia sering bertemu denganku, ia akan semakin sulit menyukai orang lain."

Itachi mengangguk pelan, "Kau benar," ucapnya pelan bahkan terdengar lirih.

.

.

"Sasori. Datang dari mana?" suara berat seorang lelaki paruh baya menyambut kepulangan Akasuna no Sasori di rumahnya yang megah bagai istana. Pria paruh baya berambut serupa dengan Sasori itu melipat kembali koran yang sedari tadi ia baca kemudian melemparnya ke meja kaca di hadapannya. Ia yang sedari tadi duduk di sofa, segera berdiri saat putranya melangkah ke ruang keluarga.

"Bukan urusan tousan," ujar Sasori dingin seraya tetap melangkahkan kakinya menuju tangga.

"Lancang kau. Berhenti! Sasori!" seru ayahnya.

"Sasori!"
Suara lain kini kembali terdengar, kali ini suara yang memanggil namanya terdengar begitu anggun dan lembut. Namun sayang, suara itu sama saja dengan suara ayahnya. Suara yang menuntut.

Sasori berhentikan langkahnya namun sama sekali tidak menoleh.

"Tadi Sakura menghubungi kaasan, dia menangis. Kau membuatnya menangis lagi, Sasori?" tanya sang Ibu.

Sasori memutar bola matanya jenuh, ia tahu lagi-lagi Sakura, Sakura, dan Sakura. Merasa topik pembicaraan mereka tidak menarik sedikitpun bagi Sasori, ia melanjutkan langkahnya menyusuri anak tanga menuju lantai atas.

"SASORI!"
Oh Sial.

Kali ini tidak hanya satu, tapi kedua orang tuanya memanggil namanya bersamaan. Dengan nada penuh perintah, dengan seruan yang memekakan telinga putra tunggal Akasuna tersebut.

Sasori membalikkan tubuhnya, "Ya! Aku membuatnya menangis untuk keseratus sekian kalinya. Kalian bisa memaksaku untuk menjadi kekasihnya, tapi tidak untuk menyayanginya. Aku membenci Sakura. Sudah berapa kali aku katakan itu?"

"Tapi Sakura yang akan menjadi istrimu, kau tidak bisa_"

"Siapa kalian?!" pekik Sasori marah, memotong ucapan sang ayah, "Aku menikah dengan siapapun, aku yang akan menjalaninya, bukan kalian. Jangan balas dendam seperti ini. Aku tahu kalian dulu dijodohkan dan pernikahan kalian dilaksanakan dengan terpaksa. Kalian sering bertengkar karena tidak saling mencintai kan? Apa hidup kalian bahagia? Apa kalian ingin aku juga merasakan apa yang kalian rasakan? Kalian EGOIS!"

Ayah dan ibunya terdiam, tapi tak sepenuhnya terdiam. Mereka ingin bicara namun sepertinya tak menemukan kalimat yang tepat untuk diucapkan.

"Aku benci kalian. Aku benci Sakura. Aku benci keluarga Akasuna. Aku benci semua orang!" ujar Sasori dingin seraya berjalan cepat menuju lantai atas.

Baru kali ini kedua orang tua Sasori mendengar kalimat-kalimat yang begitu panjang terlontar dari bibir anak mereka itu. Untuk pertama kalinya mereka tak bisa membantah apa yang Sasori katakan. Karena selama ini Sasori hanya menjawab 'hn' dan 'terserah'. Tapi kali ini ia benar-benar mengungkapkan kekesalannya.

'braak'

Pasangan suami istri itu sedikit tersentak saat mendengar bunyi bantingan pintu.

Akasuna no Sasori menendang pintu yang baru saja ia tutup dengan begitu keras seolah membanting.

"Argh! Persetan dengan peraturan keluarga. Persetan dengan perjodohan itu!" geramnya marah. Ia menjatuhkan dirinya, terduduk bersandar di pintu seraya sedikit menjambak rambutnya sendiri. Enam bulan tepat ia menjalani perjodohan konyol itu. Enam bulan pula ia tidak menjadi dirinya sendiri. Tertekan. Bagaikan alat yang digunakan sesuai keinginan pemiliknya.

Di keluarga Akasuna, memang menjadi peraturan sudah turun menurun untuk menjodohkan putra keturunan Akasuna dengan gadis dari keluarga terhormat. Mereka tidak pernah membiarkan penerus mereka menikah dengan gadis berasal dari keluarga biasa.

"Cukup sampai tousan saja," ujar Sasori, berbisik pelan, "Peraturan bodoh itu hanya sampai di tousan saja. Aku tidak akan meneruskannya. Aku akan memutuskannya."

_TBC_

Gimana? Ceritanya pasaran ya? (reader: iya banget!) gomen ne. saya memang gak berbakat bikin fanfict.

Gomen ne, maunya saya jadiin ini FF yaoi. Tapi rasanya kurang cocok kalo Deidaranya cowok dengan sifatnya yang seperti di atas itu. Jadi FF kali ini SasoxFemDei dulu. Lain kali pasti YAOI! /slap

Tapi saya masih berharap senpai-tachi mau me-review FF saya ini *bows*