One – Heiji

Story by Titania aka 16choco25

Cast :

Mouri Ran

Hattori Heiji

Hakuba Saguru

Disclaimer – Detective Conan © Aoyama Gosho

.

.

Terlalu sulit untuk dipungkiri bahwa malam ini begitu temaram. Lampu-lampu jalan menambah indahnya suasana malam, walaupun Tokyo memang seramai yang ia kira. Namun dia sendirian saja di jalur pejalan kaki. Gadis itu sendirian saja di tengah keramaian ini dan dia merapatkan mantel birunya rapat-rapat. Walaupun Tokyo memang seramai ini, namun gadis berambut panjang itu benar-benar merasa sendiri, diiringi tarian salju yang menari di Tokyo malam ini. Puncak musim dingin di Tokyo memang sangat dingin. Pemandangan salju yang menari-nari menyelimuti terbentang sejauh mata memandang. Dan biasanya cuaca dingin seperti ini sukses membuat bibirnya kering tidak karuan dan dia memutuskan memakai pelembab bibir yang sejujurnya sangat ia benci teksturnya.

Sementara itu, di sudut lain kota Tokyo, seorang lelaki mabuk yang ditemani oleh lelaki lainnya, menyetir mobil dalam keadaan melayang. Mobil itu menggilas permukaan salju dengan paksa. Nyaris saja mereka menabrak seorang wanita tua dengan belanjaannya, hingga mereka berbelok ke arah pusat keramaian itu, Tokyo. Melewati Tokyo Tower, menara yang menjulang tinggi di pusat Tokyo.

Hakuba Saguru menarik napas panjang, melihat kelakuan temannya yang menyetir tanpa pikir panjang tersebut. Dari awal dia sudah memperingatkan Hattori Heiji agar tidak menyetir dalam keadaan mabuk. Malam ini dia benar-benar menghabiskan empat gelas bir dengan gelas besar. Saguru sangat peduli dengan keselamatan hidupnya sendiri, dan dia tahu kebiasaan Heiji saat mengebut seperti apa. Namun sarannya hanya ditepis oleh Heiji dan lelaki keras kepala itu bersikeras ingin menyetir mobilnya sendiri. Saguru sedikit khawatir, kelakuan Heiji akan membahayakan orang, namun mengingat Heiji yang seorang violinis terkenal, dan seorang lelaki beruntung dari keluarga terpandang: ayahnya seorang perngusaha sukses, ibunya seorang desainer, dan kakaknya seorang mantan aktris yang sekarang membuka toko sepatu, dia rasa Heiji akan mampu membereskan semua masalah yang menimpanya, terlebih lagi dengan hartanya yang melimpah itu. Dan satu lagi, karena kebiasaannya yang menentang bahaya demi kesenangannya itu sendiri tidak bisa dicegah oleh siapapun.

Gadis itu memencet tombol ponselnya dengan resah. Pesan pendeknya masih tidak terkirim. Dia menggertakkan giginya kesal, menutup flap ponselnya dan terus berjalan. Kali ini Kaito benar-benar sudah sangat keterlaluan, batinnya kesal. Dia mulai bisa membayangkan bahwa lelaki itu sudah tertidur manis di apartemennya, mematikan ponselnya, dan satu poin terpenting: melupakan janjinya untuk menjemputnya. Akhirnya gadis itu terpaksa berjalan kaki dari tempat kerjanya yang lumayan jauh menuju apartemennya. Dia menghela napasnya kesal.

Dan lelaki itu terus mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan. Seakan-akan dia adalah raja balapan malam itu. Seakan-akan dia harus menjadi juara malam ini juga. Hakuba Saguru, lelaki di sebelahnya berteriak-teriak padanya untuk menurunkan kecepatan mobilnya. Tapi tanpa acuh dia terus menyetir seperti mencari mati. Saguru yang duduk di sebelahnya terus mengumpat dan meremas rambutnya kesal. Sungguh, Hattori Heiji sudah kurang ajar sekali malam ini. Hakuba Saguru memejamkan matanya, tidak sanggup melihat pemandangan di sekitarnya yang kini di matanya hanya seperti siluet tidak beraturan saja.

Gadis itu, Mouri Ran, masih mencoba menghubungi Kuroba Kaito, sahabatnya itu. Berkali-kali dikirimnya pesan singkat, namun masih tidak ada respon. Dia mendesah. Dia benar-benar sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Kakinya seakan lumpuh dan tidak mampu lagi menopang beban tubuhnya. Sekarang dia masih berada di dekat Tokyo Tower. Masih butuh sekitar satu kilometer lagi ke arah barat untuk menuju apartemennya. Dia memutuskan bersandar ke lampu merah di pinggir jalan untuk beristirahat sejenak dan mendekatkan ponselnya ke telinga kanannya. Kali ini dia mencoba menelepon saja. Dia benar-benar sudah tidak sanggup lagi meneruskan jalannya.

Hingga tanpa disadari, Hattori Heiji menginjak gas mempercepat laju mobilnya, dan membelokkan mobilnya, empat jalur jalan telah dilaluinya dan kini dia berbelok ke arah pertigaan menuju Tokyo Tower yang masih disesaki banyak orang. Mobilnya terus melaju tanpa karuan dan matanya menyipit ketika kendaraannya tersebut nyaris menabrak seorang gadis yang bersandar di lampu merah dekat trotoar itu. Dia buru-buru menginjak rem dengan kakinya dengan panik. Hakuba Saguru yang baru saja lima menit membuka matanya, langsung berteriak panik,

"Awas, Nona!"

Mouri Ran membelalakkan matanya kaget ketika melihat sebuah mobil sedan RX hitam sedang mengarah ke arahnya dengan cepat. Dia menggigit bibir ketika melihat sosok yang ada di dalam sedan itu: seorang lelaki muda yang mengemudi dengan wajah merah karena mabuk dan seorang lelaki lainnya yang berteriak pada lelaki yang mengemudi itu sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya dengan wajah pias. Tanpa pikir panjang, dia langsung berlari dengan ponsel di tangannya dan berlari ke ujung jalan menghindari sedan itu. Sedan itu akhirnya menyenggol sebuah tong sampah besi hingga bumper-nya sedikit penyok. Sialnya, Ran tersandung dan ponselnya langsung terlempar ke arah kerumunan orang. Dan flap ponselnya terinjak-injak dan dia hanya bisa memandangi ponselnya dengan tatapan pasrah. Flap ponselnya hancur. Terlindas motor.

Airbag menyelamatkan hidup Hattori Heiji. Walau bumper mobilnya sedikit penyok, namun dia benar-benar bersyukur telah selamat dari peristiwa menegangkan itu. Hakuba Saguru menggigit bibirnya. Dia tahu ada sesuatu yang terjadi ketika melihat ekspresi gadis yang tadi nyaris tertabrak itu. Saguru langsung membuka pintu mobil dan berlari menghampiri Ran yang ada di pinggir jalan. Dia melihat Ran yang terduduk di pinggir jalan sambil menatap kerumunan orang-orang dengan air mata yang terus mengalir. Kening Saguru berkerut, seakan bertanya apa yang telah terjadi.

Apa gadis itu terluka?

Astaga. Ran hanya bisa menangis sekarang. Sekarang bagaimana caranya pulang? Sekarang ponselnya sudah tidak bisa lagi diandalkan, Kaito menghilang entah kemana, dan kakinya sudah benar-benar lelah. Mata sipitnya ia pendamkan ke telungkupan kedua lengannya. Kini dia benar-benar putus asa. Dia menarik napas dalam-dalam. Oke, ponselnya rusak, kakinya lelah, dan tidak bisa pulang. Mungkin dia bisa berjalan lagi ke apartemennya. Namun dia benar-benar sudah lelah dan bodohnya, dia tidak membawa dompet sehingga tidak bisa menyetop taksi. Hingga mata sipitnya memicing saat melihat seorang lelaki berlari ke arahnya dan dengan cepat dia langsung bisa mengenali lelaki tersebut, salah seorang dari penumpang sedan yang nyaris menabraknya.

"Daijobu, Ojousan? Anda baik-baik saja, Nona?"

Ran diam tidak menjawab. Pertanyaan itu hanya dianggap Ran sebagai angin lalu saja, karena dia tahu lelaki yang menanyainya ini tidak bersalah. Yang menjadi masalahnya sekarang adalah lelaki mabuk dengan rambut berantakan yang tadi mengendarai mobilnya seperti orang kerasukan dan nyaris menabraknya. Ran langsung mengusap air matanya dengan gerakan cepat dan menyambar tas jinjingnya dan dia bergegas berdiri. Dia tidak peduli walaupun bajunya acak-acakan dan kotor. Dia langsung mengangkat wajahnya, menatap Hakuba Saguru yang sedang berjongkok di hadapannya dengan kedua matanya yang mengkilat.

"Dimana teman Anda yang menyetir sedan tadi?" tanyanya tanpa basa-basi. Saguru hanya menarik napas panjang setelah mendengar pertanyaan itu dari bibir Ran. Dia sudah bisa menebak, mungkin wanita di hadapannya ini akan meminta ganti rugi. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya menyebabkan wanita ini menangis, namun dia hanya mengangguk, memutuskan mengantar Kaoru ke sedan RX hitam yang tadi dikendarai Heiji seperti orang tidak waras. Ran hanya menarik napas, mencoba mengendalikan emosinya ketika melihat lelaki yang mengendarai mobil tadi tertidur lelap berbantalkan airbag.

"Hei!" bentaknya sambil menendang bumper mobil sedan itu dengan kesal. "Anda harus bertanggung jawab! Bangunlah, Pemalas!"

Hattori Heiji tersentak ketika tubuhnya mendapat hantaman keras, sekeras tabrakannya tadi. Sebuah tendangan. Dia menyipitkan matanya ke arah kaca depan mobilnya. Seorang gadis dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima sentimeter dengan rambut panjang hitam dengan mata sipitnya, khas orang Jepang, sedang menendang-nendang bumper mobilnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya seraya membentak-bentak. Dia menoleh ke arah Ryusuke yang berdiri di sebelah gadis itu dengan pandangan tanda tanya, namun Ryusuke hanya mengisyaratkannya turun dengan wajah pasrah. Ikuya benar-benar tidak teringat apa yang telah terjadi dan dia memutuskan membuka pintu mobilnya dan turun dengan langkah sempoyongan, dengan diiringi tatapan marah gadis itu.

"Apa yang kau lakukan, Nona? Kenapa Anda menendang mobil saya?!" tanyanya tegas dengan wajah tanpa dosa, seakan tidak mengingat apa yang telah ia lakukan. Kaoru hanya menggemeletukkan giginya kesal dan kembali menendang bumper mobil itu disertai tatapan kesal Ikuya yang masih berusaha mengendalikan kesadarannya sendiri.

"Bukankah seharusnya saya yang berkata seperti itu padamu?" bentak Ran dengan alis bertaut. Dia benar-benar kesal. "Biar kujelaskan: Anda mengebut di jalanan seperti orang gila dan nyaris menabrak saya yang sedang bersandar di lampu merah. Teman Anda ini berteriak-teriak pada saya untuk menyingkir," Kaoru melirik Saguru yang tertunduk, "dan saya bergegas berlari ke pinggir jalan dan sialnya," Ran menahan napasnya. "Ponsel saya jatuh dan terinjak-injak orang hingga flap-nya hancur. Otomatis saya tidak bisa menelepon teman saya untuk menjemput saya pulang. Sekarang saya tidak bisa pulang! Mungkin saya bisa berjalan, namun kaki saya lelah. Mungkin saya bisa naik taksi, namun saya tidak punya uang! Anda harus bertanggung jawab!" desisnya penuh rasa kesal sambil memegang tasnya erat-erat.

Hattori Heiji hanya perlu sedetik-dua detik untuk memahami apa yang terjadi. Dia sadar dia mabuk dan dia teringat gadis yang muncul di hadapan lampu mobilnya, gadis yang bersandar di lampu merah, matanya menyipit dan dia buru-buru menginjak rem dan gadis itu bergegas berlari menghindari tabrakan. Dia langsung mengeluarkan dompet tebalnya dan mengeluarkan beberapa uang dari saku dompetnya dan menyerahkan seluruh uang kertasnya pada Ran dengan tangan kurusnya.

"Ini untuk ganti rugimu," katanya simpatik. Ran hanya mendelikkan matanya saat melihat lembaran-lembaran uang yang disodorkan Heiji. Dia mulai bersifat angkuh. Matanya menyipit.

"Saya tidak butuh uang, Bodoh!" teriaknya emosi sambil mengindahkan uang yang diberikan Heiji dengan kasar. "Setidaknya 'kan, kau meminta maaf padaku! Dan ingat, Tuan muda," Ran memang menyadari bahwa orang di hadapannya ini bukan orang sembarangan, dan dengan beraninya dia menunjuk wajah Heiji dengan jari telunjuknya dan melanjutkan amarahnya. Suaranya mengeras. Wajahnya memerah menahan emosi. Bukannya memperhatikan gadis yang marah-marah di depannya, Heiji malah memungut sesuatu yang terjatuh di bawah bumper mobilnya, dan hal itu membuat Ran semakin kesal

"Ini Tokyo! Apa Anda harus mengikuti pendidikan mengemudi lagi, untuk tahu aturan untuk tidak mengemudi dengan kecepatan tinggi di kawasan sepadat Tokyo? Bodoh!" sentaknya marah dan buru-buru pergi dengan menghentakkan kakinya kesal, meninggalkan Heiji dengan tanda tanya besar yang menghiasi otak Heiji, dan violinis itu berbalik ke arah sahabatnya, Saguru, dengan wajah bingung,

"Aku perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi, Saguru. Ceritakan padaku."

Hakuba Saguru hanya bisa mengembuskan napasnya dan menjelaskan kejadian sebenarnya pada Heiji dengan pelan-pelan.

.

.

"Apa? Benarkah itu, Hakuba?" pekik Heiji saat mendengar semuanya dari mulut Saguru secara langsung. Saguru hanya mengangguk getir sambil memandang butiran salju yang menghujani Tokyo malam ini. Dia mencondongkan badannya ke depan, serius. Heiji meremas rambut ratanya yang berantakan dan mengetukkan kepalan tangannya ke setirnya.

"Begitulah, saat dia berkata tentang hal remeh seperti, "menuntut tanggung jawab", aku langsung mengira dia akan menerima uang darimu. Ternyata tidak."

Heiji hanya mendesah, dia berusaha keras mencerna kata-kata yang baru diucapkan Saguru dengan otak setengah mabuknya. Ingin rasanya ia memukul kepalanya sendiri. Namun tiba-tiba ingatannya menangkap sesuatu. Tatapannya langsung mengarah pada Saguru dengan mata membesar, seakan dia berhasil mengingat sesuatu yang bergelantungan di otaknya.

"Rasanya aku pernah melihatnya," gumam Heiji sambil tercenung, pandangannya kembali terarah pada jalanan Tokyo yang benar-benar padat. Saguru menoleh penasaran.

Kening Saguru berkerut. "Siapa? Gadis tadi?" Memang, menurut Saguru, wajah gadis tadi memang agak mirip dengan kekasihnya yang sekarang tinggal di Gunma sekarang. Dekat gunung Haruna. Koizumi Akako. Saguru malah tersenyum kecil saat teringat kekasihnya itu.

Heiji hanya mengangguk mengiyakan. Saguru hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mungkin kau salah mengenalinya. Kau mabuk sekarang, ingat?"

Heiji hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia memang merasa pernah melihat gadis itu di suatu tempat. Dia memutar balikkan ingatannya, mencoba mengingat kembali. Mengingat memori-memori yang lain yang terserpih dalam otaknya. Hingga akhirnya matanya membulat dan dengan sekali sentakkan, dia memutarbalikan setirnya, berbalik ke perempatan, kembali ke jalur awal dengan kecepatan maksimal. Saguru hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan dia memutuskan akan mengawasi tindakan gila sahabatnya tersebut. Tentu saja mengawasi agar tidak terjadi kecelakaan lagi.

Heiji menginjak rem, tepat di depan sebuah toko sepatu mewah yang terletak di pusat jalan Tokyo, yang terletak di dekat sebuah toko buku besar dan beberapa pusat perbelanjaan. Saguru tahu bahwa toko sepatu itu milik kakak angkat Heiji, namun mengapa Heiji memberhentikan mobilnya disini? Heiji mengambil langkah ringan dan menarik tangan Saguru masuk ke dalam toko sepatu itu dan memasuki ruangan kerja kakak angkatnya, Satou Miwako. Dan matanya mendapati tumpukan map yang berserakan di meja kerja kakaknya tersebut. Kakaknya itu nampak sangat lelah dan urat-urat berkelut di wajahnya, dengan bulir-bulir keringat yang menghiasi keningnya. Dan Heiji langsung paham apa yang telah menimpa kakaknya hari ini.

Sepuluh tahun lalu, sebelum menikah dengan Takagi Wataru, seorang inspektur polisi terkenal, Takagi Miwako masihlah seorang Satou Miwako, seorang polisi yang terkenal dengan karakter pemberaninya dan kecantikannya, seorang mantan polisi yang sangat terkenal di markas besar kepolisian Tokyo. Namun keputusannya berhenti dari dunia kepolisian dan merintis usaha toko sepatu yang menjual sepatu rancangannya sendiri, sempat disesali banyak penggemarnya di kantor polisi. Namun dia berhasil membuktikan bahwa usahanya itu sukses. Nampaknya jiwa desain yang kuat sudah mengakar dalam jiwanya, menuruni kemampuan ibunya, Satou Yukko, seorang desainer terkenal yang sekarang tinggal di Inggris sendirian, sementara ayah kandungnya sudah bercerai dengan ibunya dan ayahnya meninggal di tugas kepolisian. Dan dia tinggal di Osaka dan pindah ke Tokyo, ditemani oleh keluarga Hattori yang memutuskan kembali tinggal di Tokyo setelah pindah dari Inggris.

"Oneesan," panggilnya pelan, membuat Miwako menoleh dengan wajah cantiknya, namun sisi wajah lainnya nampak sangat lelah. "Nani? Kenapa? Bertengkat lagi dengan Wataru-san?" tebaknya melanjutkan.

Miwako hanya mengangguk lesu diiringi wajah penasaran Heiji dan Saguru. Heiji duduk di hadapan meja kerja kakaknya tersebut, yang dipenuhi beberapa dokumen yang berserakan di atas meja.

"Kakak iparmu itu," gerutunya sambil melipat kedua tangannya di dada, "Hari ini dia pulang pagi lagi, dan mabuk. Setelah kasus yang ditanganinya di Daryou selesai, dia jadi sering mabuk," lanjutnya dengan geram. Heiji hanya tergelak begitu mendengar cerita kakaknya itu.

Alis Saguru hanya terangkat. Padahal malam ini adikmu juga mabuk berat, bahkan nyaris menabrak orang pula, ucapnya dalam hati, menimpali cerita Miwako tersebut. Dia memang masih teringat pada gadis tadi, yang barusan nyaris ditabrak Heiji. Namun tiba-tiba pandangannya langsung tertumbuk pada gerakan tangan kurus Heiji yang membalik-balik arsip kakaknya yang tergeletak di meja kerjanya.

"Mungkin dia frustasi, Oneesan. Sudah mencoba bicara dengannya? Cobalah bicara dengannya," saran Heiji santai sambil melempar sebuah pena ke dalam laci meja kerja Miwako. Miwako hanya mengangguk.

"Terima kasih, adikku sayang, atas saranmu," sahutnya dengan senyum manisnya yang masih menawan, walau sudah berusia tiga puluh enam tahun, namun dia masih tetap cantik dan memiliki pesona tersendiri, yang tidak dapat dipungkiri oleh lelaki manapun.

Heiji hanya mendesah dan membuka-buka arsip yang ada di lemari Miwako. Alis Miwako terangkat ingin tahu.

"Heiji-kun? Kau sedang mencari apa?" tanya Satou Miwako dengan kening berkerut ketika mendapati adik lelaki semata wayangnya itu sedang membuka-buka arsip pribadinya.

"Oneesan," gumamnya sambil membuka-buka arsip pribadinya. "Dimana kau menyimpan data lengkap para pegawai perusahaanmu?"

Miwako menarik napas dan mengernyitkan kening, bingung sendiri akan kelakuan adiknya yang sedikit aneh tersebut. "Hah? Untuk apa kau mencarinya?"

Heiji hanya mengerjapkan matanya cepat, sedangkan tangannya masih sibuk mencari di lemari kerja kakaknya itu. "Sudahlah, cepat berikan arsipnya!"

Tangan Miwako langsung bergerak mengambil sebuah map tebal bewarna hijau dari laci meja kerjanya dan menyerahkannya pada Heiji. Tangan kasar Ikuya langsung membalik-balikkan lembaran data pegawai itu, seakan mencari sesuatu. Saguru hanya bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya sedang dilakukan sahabatnya itu, diiringi dengan tatapan ingin tahu Miwako, namun akhirnya mata Saguru dan Miwako terbelalak ketika mendapati jari Heiji yang tertuju pada satu titik.

Identitas sekretaris. Sebuah nama, Mouri Ran. Dengan disertai foto tiga kali empat seorang gadis manis berambut hitam lurus panjang yang melebihi bahu dan Saguru langsung mengenalinya. Bukankah foto itu adalah foto gadis yang tadi nyaris ditabrak Heiji? Berarti gadis tadi adalah pegawai di perusahaan kakak Heiji? Dia merangsek untuk membaca identitas gadis itu, yang sekarang sedang dibaca Heiji dengan mimik serius. Alamatnya di sebuah kantor detektif swasta di pusat Tokyo, Kantor Detektif Mouri. Mata Heiji langsung membulat dengan sempurna.

"Ha! Dugaanku benar, bukan? Gadis tadi memang pernah kulihat!" serunya gembira sambil menunjuk-nunjuk identitas Mouri Ran yang ada di tangannya itu. Sementara Saguru dan Miwako masih belum memahami seluruhnya, apa yang sedang dipikirkan sahabat dan adiknya tersebut. Kenapa Heiji mencari identitas gadis itu?

"Oh, Ran-san? Dia sekretarisku. Ada apa dengannya?" tanya Miwako, masih dengan wajah penasarannya, mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Alisnya terangkat.

Heiji hanya tersenyum dan merogoh saku celana jeans hitamnya, mengeluarkan sebuah gelang manik-manik dengan warna biru gelap. Dan gelang itu sukses membuat kening Miwako dan Saguru berkerut, tidak mengerti. Heiji hanya tersenyum melihat reaksi mereka yang terdiam selama lima menit lamanya.

"Aku menemukannya di bawah bumper mobilku," katanya menjelaskan. "Ini pasti milik gadis itu."

Kening Saguru berkerut samar, menatap gelang itu. "Lalu? Kau mau mengembalikannya?"

"Nanti saja," Heiji tersenyum singkat. "Gelang ini pasti akan menemui pemiliknya sendiri. Aku tak perlu repot-repot seperti ini. Untung saja aku tahu wajah gadis itu."

.

.

Ran langsung merendam kakinya di baskom berisi air hangat yang telah ditaburi garam. Kakinya benar-benar kaku. Akhirnya dia benar-benar berjalan hingga sampai apartemennya. Dia memang masih kesal pada lelaki yang nyaris menabraknya tadi. Benar-benar menyebalkan lelaki tadi, memangnya siapa dia? Membayar ganti rugi tanpa meminta maaf padanya, tidak punya sopan santun sekali. Dimana etika orang tadi? Dan Kaito? Kemana dia di saat Ran benar-benar sangat membutuhkannya?

Namun ini memang salahnya. Inilah kerugian besar akibat tidak membawa dompet, rutuknya kesal sambil memijat-mijat kakinya yang terasa kaku. Kalau seandainya dia membawa dompet, dia pasti bisa menaiki taksi. Dia memejamkan matanya dan mencoba menjernihkan pikirannya pelan-pelan.

Hingga akhirnya jari jemari tangan Ran yang sebelah kiri meraba pergelangan tangannya yang sebelah kanan dan dia sadar bahwa sesuatu yang awalnya ada disana, kini telah hilang dari tangannya.

Gelangnya. Gelang manik-maniknya hilang.

Sial! Dimana gelang itu? Dia bangkit dari sofanya dan membuka-buka tas jinjingnya dan nihil, gelangnya tidak ditemukan. Dia sangat yakin bahwa gelangnya itu masih bersamanya hingga hari ini, tapi kenapa gelang itu tidak ada? Dia terus membuka-buka saku tas jinjingnya. Gelang itu adalah hadiah dari almarhumah neneknya dan dia tidak mau kehilangan gelang itu. Gelang itu seperti jimat baginya. Dia selalu mengenakan gelang tersebut kemana-mana. Hingga akhirnya dia teringat sesuatu. Dia akhirnya mengingat kembali kejadian malam tadi dan tersadar. Gelangnya itu pasti terjatuh.

Gelang itu pasti terjatuh di suatu tempat di saat dia emosi dan menendang bumper mobil orang yang nyaris menabraknya tersebut. Dia mengepalkan tangannya kesal. Sialan. Ran mengusap wajahnya dan terduduk kembali di sofa empuknya dan merendamkan kembali kakinya ke dalam air hangat garamnya. Kini dia merasa benar-benar sangat bodoh. Dan dia merasa malam ini adalah malam tersialnya. Ponselnya rusak, kakinya pegal, baju kotor dan berantakan, dan poin terpenting: gelangnya hilang. Ingin rasanya dia mengutuk hari ini.

.

.

To be continued.