Cahaya kehidupanku sudah lama sirna, seirama dengan kosongnya raga berisikan cinta. Mereka bilang aku pantas mendapatkannya dan mereka pula yang menaruh iba. Aku bingung dan aku termenung – warna-warni yang ada di hatiku pun ikut menjadi kelabu; ia menggelap dan berubah hitam. Seperti cahaya kehidupanku yang terperangkap dalam sebuah gua nan sunyam.

Tiga tahun usai kecelakaan.

Tidak ada kejutan.

Aku adalah sepasrahnya seorang pria. Jangan salahkan aku, salahkan dia yang meninggalkan luka. Haha aku tertawa hampa. Siapa juga yang rela menjalin cinta dengan seorang yang buta.

Aku berang awalnya. Aku salahkan Tuhan dan aku salahkan mereka yang memintaku untuk pergi ke luar kota kala itu. Aku tampaknya bgelum cukup dewasa, namun karena itu lupa aku putus cinta. Owen Shun. Ia kekasihku dan kami hendak memilih tujuan untuk berbulan madu, sebulan sebelum pesta pernikahan yang tidak pernah berlangsung itu.

Ibu dan Ayah kecewa namun tidak bisa menyalahkannya.

Owen itu lelaki tampan.

Jika memoriku masih benar mengingat, maka ia adalah lelaki tertampan yang pernah kulihat.

"Ah, sial!" Suara umpatan segera menyapa gendang telingaku, salah satu indera yang paling kuat setelah kedua mataku berhenti bekerja. Aku bahkan paham dan mengerti membaca karakter orang dari suaranya, dari iramanya, dan juga dari deru nafasnya yang akan berbeda dalam setiap suasana. Dan dari pengalamanku dua tahun lebih mengelola toko ini, orang yang baru masuk dan mengumpat barusan pasti mengeluh akibat hujan lebat.

"Selamat sore, Tuan. Ada yang bisa kubantu?"

"Ah, kau punya kain lap atau tissue? Payung sialan itu terbawa angin!" Umpatnya lagi masih dengan nada penuh kesal, emosi, dan juga penyesalan. Kesal karena agaknya ia mengenai kepala pintu yang mengindikasikan tubuhnya yang cukup tinggi, emosi agaknya dari payungnya yang terbang dan penyesalan karena ia tidak cukup kuat menahan sang payung agar tidak terbawa angin.

"Tissue ada di meja tempat aku berdiri, tiga langkah penuh dari kananmu atau kiri dariku." Ucapku mencoba tersenyum.

Untuk beberapa waktu aku tidak dapat mendengar apapun; seolah-olah tidak ada orang karena ucapanku tidak ada balasan – ini yang agak sulit semenjak aku buta, yaitu mengira apakah arti dari diamnya lawan bicara. Tidak dapat menerka isi hatinya dari raut muka. Toh aku juga tidak bisa melihat apa-apa.

Lalu aku menunggu.

Kesunyian yang tidak terlalu nyaman.

"Oh, hi. Umm..." suara itu terdengar ragu dan juga gugup? Aku masih mepertahankan senyumku, maklum dengan nada suara itu – terlebih lagi jika mereka adalah lelaki yang juga tertarik dengan hubungan sesama jenis. Maksudku, aku jelas dan terang sekali seorang gay. Owen adalah lelaki tampan dan seorang Senior Manager di perusahaan swasta terkenal, ia memilihku di antara banyak orang saat itu.

Karena dia selalu berkata wajahku bagai malaikat.

Mampu membelokkan sendok patah.

Mampu mengobati penyakit parah.

Ia memang melebihkanku saat itu, yang segera kuhadiahi dengan ciuman lembut dan juga permainan agak kotor untuk kaki ketiganya itu. Aku masih malu namun bangga mengingatnya tapi sudahlah. Itu semua kenangan lama.

Langkah kaki pelan nan pasti lalu terdengar. Kali ini aku merubah raut wajah menjadi biasa. Dapat kurasakan tubuh seseorang berada di hadapanku, hanya dipisahkan oleh meja kasir.

Aku mendongak; mataku yang tidak menangkap apa-apa kuarahkan padanya – agaknya, toh aku hanya bisa menebak saja. Aku membayangkan ia lelaki yang lebih tinggi dariku, rata-rata semua seperti itu.

Ia masih diam. Lalu suara beberapa tissue diambil menguar.

"Maaf jika harus self-service," ucapku. "Tapi kupastikan jika kau memesan bunga maka aku dapat merangkainya, kau tidak perlu merangkai sendiri." Pandaiku mencoba marketing; sedikit menggunakan kemampuan pekerjaanku yang lama.

Manager Pemasaran sebuah perusahaan yang bergerak di bidang beauty and fashion, oh kenangan yang manis dan juga miris.

"Ah, ya. Bunga!" Tukasnya seperti lupa akan tujuan awalnya. Suaranya terdengar renyah; berat namun ramah, sedikit bass entah dari kebiasaan dia merokok atau suara alami setelah pubertasnya. "Maaf, aku gampang terpesona jika melihat yang cantik."

Wah, elok pula dalam merayu rupanya.

Aku kembali tersenyum; kali ini aku bawa kepalaku miring ke samping seolah menggodanya balik. Aku memang gemar seperti itu, sifat diriku yang lama masih merekat dan sulit dihilangkan. Penggoda yang ulung. Aku dulu dijuluki seperti itu. "Cukup cantik hingga kau kembali lagi ke sini esok harinya?" Tantangku balik.

"Aku tidak tahu, tergantung seberapa cantik bunga rangkaianmu." Balasnya ternyata benar mahir dalam bersilat lidah. Aku mengulum senyum.

"Baiklah, Tuan..."

"Chanyeol, Park Chanyeol."

"Oke, Tuan Chanyeol. Bunga apa yang kau inginkan dan untuk tujuan apa?"

Kembali ia terdiam sebelum suara berat itu terdengar kembali. "Mawar? Kurasa mawar? Ah, aku tidak begitu tahu. Kakakku ulang tahun hari ini, aku berencana memberinya buket bunga."

"Oh, untuk kakak rupanya."

"Kenapa? Apa kau mengira aku akan memberikan untuk kekasihku?" Suara itu terdengar pelan namun aku dapat menebak sumbernya semakin dekat – napas hangat Chanyeol pun dapat kurasakan menerpa kulit wajahku. "Memangnya aku lelaki bejat yang menggodamu ketika aku mempunyai kekasih? I'm flirty when I'm single, baby."

Single.

Ia memberikan isyarat bahwa ia single.

Dan terang-terangan sekali menggodaku.

Aku suka nyalinya.

"Menggodaku? Wow, suatu kehormatan sekali bagiku digoda oleh seorang Park Chanyeol." Ucapku sedikit mengulur waktu, kuraih ujung meja untuk mencoba mengarahkanku pada meja bunga-bunga dan peralatanku yang lainnya. Aku sudah cukup hapal namun tidak elite saja jika aku tersandung di depan pelangganku.

Aku meraba.

Indera perabaku bekerja dengan baik. Kuraih pisau kecil tajam yang dengan mudah memotong tangkai bunga agar lebih rapi dan cantik di dalam satu buket sesuai permintaan.

"Bagaimana jika bunga anggrek? Karena untuk kakakmu, lebih baik diberi anggrek daripada mawar yang cocoknya untuk pasangan hidup." Ucapku menawarkan. Paham dengan tekstur anggrek dan juga pandai menerka bentuk dari ujung jari dan juga aromanya, aku dengan mudah dan percaya diri meraih kelompok anggrek.

"Boleh."

"Kau mau warna apa?"

Aku pun sudah memastikan Yeri, asistenku, untuk menata bunga sesuai dengan urutan warnanya. Gradiasi dari merah tertua hingga termuda di barisan pertama, kedua ungu, dan begitu seterusnya – aku sudah sangat hapal betul. Jika pun keliru, maka aku tidak keberatan jika pelangganku mengoreksi dan akan kubuatkan buket yang baru.

"Aku tidak tau? Hmm, merah mungkin atau ungu. Warna faforitnya kuning tapi aku benci dia suka warna kuning."

Aku tertawa. Jawaban Chanyeol cukup masuk akal, kebanyakan pria benci warna kuning. "Merah dan ungu kalau begitu," ujarku memutuskan. "Seperti—"

"Awas!"

"Ah!" Aku terkejut. Aku tidak pernah keliru sebelumnya. Tanganku terasa perih dan aku yakin sekali secara tidak sengaja aku menggenggam batang mawar yang penuh duri; bukan anggrek. Yeri agaknya salah menata bunga sesuai jenis atau aku yang salah hitung langkah.

"You have to be careful!" Decihnya sebelum kurasakan langkah cepat tertuju ke arahku. "Tanganmu berdarah."

Aku hanya dapat menunduk. Merutuki kecerobohanku.

"How could you grab those? Itu semua duri..."

Aku mendongak, menengadah, dan hendak membuka suara sebelum ia kembali berkata.

"Wow, you're very beautiful. Kau punya mata yang sangat indah..." ungkapnya dengan nada takjub.

Aku hanya menanggapi dengan senyuman ringan. "Sayang sekali mataku tidak berfungsi seindah rupanya."

.

Itu adalah kali pertamaku bertemu Chanyeol.

Ia terkejut luar biasa begitu tahu aku buta.

Di hari yang sama pula ia dengan beraninya mengajakku makan malam; untuk saling mengenal katanya, tapi aku masih cukup pintar untuk mengetahui tujuannya. Aku hanya tersenyum sinis dan menceramahinya tentang banyaknya manusia lain yang tidak buta, yang pasti mau diajak makan malam bersamanya.

"It's a private place," he said.

Tapi aku justru tergelak dan seolah tersinggung membalas tawarannya dengan sarcasm yang ringan. "So you think I'm not comfortable in public?" Dia kembali tergagap saat itu, terlebih saat aku menambahkan serangan dengan bercanda. "Atau justru kau yang malu membawa seorang yang buta sepertiku?" dan aku bersumpah dapat mencium aroma kaget bercampur gugup dari diamnya.

Lalu kuserahkan buket bunganya di meja.

Ia tidak berkata apa-apa; namun aku yang dibuat kaget begitu tangan besar meraih jemariku dari arah belakang dan aku terpaksa memutar badan hingga aku dapat merasakan kembali nafasnya yang menderu menampar wajahku dari jarak yang jauh lebih dekat lagi.

"Come at 7, it'll be reserved by Mr. Park. Akan kukirimkan alamat tempatnya ke nomor di kartu namamu."

Aku ikut saat itu karena tidak setiap hari aku mendapatkan ajakan kencan dari seorang pemuda, terlebih lagi mereka yang tahu bahwa aku buta.

Kukira awalnya Chanyeol itu tidak elok rupa; mengencani orang buta tentu saja menjadi indikasi kuat bahwa ia bisa saja menyembunyikan wajahnya yang tidak begitu tampan, namun sayangnya aku keliru. Aku kesal ketika aku salah dugaan dan semenjak Chanyeol masuk ke kehidupanku, aku dibuat makin kesal karena selalu melakukan kesalahan. Ia tampan. Kyungsoo, tetanggaku, sering sekali menggodaku mengatakan bahwa kekasihku sangat tampan.

Tertawa, tentu saja aku mengelak dari Kyungsoo, kukatakan padanya bahwa Chanyeol bukan kekasihku dan tidak akan pernah. Then again, I was wrong. Tiga bulan usaha, Chanyeol berhasil meluluhkan hatiku. Satu hari usia hubungan kami, ia berhasil menanggalkan pakaianku – aku ingat aku mendesah saat itu, indera perabaku yang berdenyut merdu dan juga telingaku yang peka terhadap suara beratnya memujaku dalam hempasan kasar nafasnya.

Aku terlena.

Aku jatuh cinta.

Chanyeol benar-benar hebat membuatku serasa bagai ratu di kerajaannya, dimana ia seorang raja yang memperlakukan aku sangat lembut dan kasar di saat yang sama. Menyentuh rambutku lembut, namun mendorong tubuhku kuat hingga aku terperangah. Menyebut namaku pelan tetapi membuat tubuhku terhentak memekik namanya.

"I love you," he wishpered.

Aku tahu aku sudah jatuh terlalu dalam. "I love you too, Chanyeol." Balasku mempertinggi egonya.

.

Yeri paling khawatir tentangku, dia kuperkejakan karena memang aku percaya dengannya, ia adalah sepupu jauhku dan merupakan keluarga satu-satunya yang benar-benar peduli padaku ketika aku menjadi buta. Aku tahu betapa protektifnya Yeri, terlebih ketika Chanyeol datang ke rumah, Yeri akan kesal dan merajuk dan Chanyeol akan kelimpungan mencari cara agar adik sepupuku itu bisa kembali riang.

"Yeri, please behave, oke?" Ucapku mulai terpancing begitu kudengar suara pecahan beling di lantai. Aku yakin remaja itu baru saja melempar gelas es krim yang dibelikan Chanyeol untuknya.

"I don't like him, Baekhyun!" Dia kesal.

"Well, I love him, Yeri. Please treat him better, for me?" Bujukku mencoba meraih tubuhnya, ia terdiam cukup lama dalam pelukanku sebelum menyerah dan mengangguk lembut. "Terimakasih, Yeri."

"Aku tidak ingin kau terluka lagi."

"I will not, he loves me."

"Hmm, I'm sorry."

"Minta maaf pada Chanyeol, oke?"

Yeri berhasil ditaklukan, hubunganku dan Chanyeol semakin serius. Ia mengenalkanku dengan kakak perempuannya yang bisa dibilang merupakan jembatan pertemuanku bersama Chanyeol. Awal pertemuan kakaknya terdengar sangat sopan dengan tutur bahasa sedikit terlalu baku; tapi aku maklum karena aku tahu dari Chanyeol ia seorang pembawa berita di sebuah stasiun TV kabel Seoul. Kami bertemu di apartemen Chanyol untuk makan malam dan Yoora, kakaknya, pamit setelah satu jam seusai makanan pencuci mulut dikeluarkan.

Kejutan baru bagiku, Chanyeol ternyata piawai memasak. Ia tidak pernah memasak sebelumnya untukku karena sebagian besar waktu kita habiskan di tokoku, rumahku, dan jarang sekali di apartemennya. Chanyeol itu seorang komposer musik yang bekerja di perusahaan Entertaintment di Seoul, ia acap berpindah-pindah apartemen sesuai dengan tempat kerja dan juga suasana hatinya. Oleh sebabnya, ia jarang mengajakku ke apartemennya – kali ini ia membawaku karena ia baru saja pindah ke apartemen yang lebih bagus katanya dan dekat dengan toko bungaku.

Aku tersenyum.

Ia benar-benar mencintaiku.

Dari sifatnya, perlakuannya, dan ucapan manis yang keluar dari mulutnya.

"Your sister is nice." Aku memulai percakapan, tanganku bermain-main di wajahnya – menghapal bentuknya dengan jemariku sembari tubuhku didekap erat olehnya. Suara TV yang sayup terdengar, Chanyeol memang hobi menghidupkan siaran berita. "I bet she's a very beautiful woman."

"She is but don't worry, Babe. Kau masih jauh lebih cantik."

Aku hanya menggeleng. "Kau tahu aku tidak suka dibilang cantik, Park." Gurauku tersenyum dan dapat kurasakan ia ikut tersenyum; berbulan menghabiskan waktu bersama membuat aku paham hal-hal apa saja yang membuat ia tersenyum. Walau aku dapat menerka pula dari ujung jari-jariku yang meraba wajahnya, wajahnya yang akan menggelombang di pipi ketika tersenyum atau lesung pipi di pipi kirinya yang terkadang muncul saat ia tersenyum menggodaku.

Aku hafal.

Aku sudah hafal dirimu, Chanyeol.

Dengan mudah dan gampangnya masuk ke dalam memoriku, yang perlahan mulai berwarna akibat adanya cinta yang baru. "Terimakasih..." ucapku tulus, nafasnya terasa sedikit berat menerpa wajahku. Aku tahu ia sadar dengan arti tatapan kosong dan suaraku yang terdengar lirih. "Terimakasih sudah masuk ke dalam kehidupanku, Chanyeol."

Aku lalu mendekatkan wajah, mencoba mencium wajahnya – apapun, bagian manapun yang dapat kuraih, dan memberikan pertanda untuk menguatkan pengakuanku barusan. Bahwa aku benar-beanr bersyukur karena dia.

"Terimakasih telah menerimaku, mencintaiku..." ucapku dengan bibir yang masih bersentuhan dengan sudut bibirnya.

"Baek..." pintanya sedikit mendorong wajahku, hanya sedikit, dan cukup untuk membuat jarak yang tidak terlalu signifikan. "Kau tidak perlu berterimakasih, Sayang."

"Kenapa?" Tanyaku berlagak lugu. "Apa kau butuh tanda terimasih selain kata-kata?" Tanyaku mengisyaratkan sesuatu padanya. Kekehannya lalu terdengar, menyapa telingaku hangat.

"Well, then show me."

.

"Aku berjanji untuk setia menemani Park Chanyeol hingga maut memisahkan kita."

Janjiku di depannya.

Janjiku yang tidak kusangka terucap juga.

Sebuah pernikahan yang nyaris kurasa tidak akan pernah ada.

Aku yang sekarang menjadi bagian dari keluarga Park.

"Kau adalah anugerah terindah dalam hidupku, Baekhyun. I'm so happy to be your husband. Aku berjanji, Sayang. Aku akan selalu bersamamu. I don't care how much more it takes to stay this way, I just want to be with you." Ia begitu pandai berkata, aku menangis di malam pertama pernikahan kita. Tersedu mendengarnya, meraung dalam dekapannya, dan bergetar di setiap sentuhannya.

"I love you..." bisiknya setiap kali aku terbuai ke nirwana.

Besoknya adalah tepat anniversary hubunganku dengan Chanyeol, sehari setelah menikah dan satu tahun setelah berhubungan sebagai kekasih. Mantan kekasihku yang sekarang adalah seorang pendamping hidupku.

Aku berusaha keras turun dari kasur lebih awal, aku memastikan ia masih tidur; deru nafasnya yang khas dan juga kelopak matanya yang setengah terbuka terasa di indera perabaku. Aku mengendap-endap layaknya pencuri ulung, kakiku agak kepayahan karena nyeri di bagian pinggang – Chanyeol itu sangat hebat dalam bercinta. Aku sudah tahu, namun di malan pertama kita ia seolah-olah tidak memberi batas apa-apa.

Keras namun lembut.

Kasar namun berhati-hati.

Aku suka.

Chanyeol, jatuh cinta aku dibuatnya.

.

Kami memutuskan untuk tinggal di rumahku setelah menikah karena aku masih sangat ingin kerja di toko bunga yang sekarang pindah tempat ke rumah kita, Chanyeol setuju dan besoknya tiga orang disewa untuk memindahkan barang-barang Chanyeol ke rumahku. Chanyeol butuh studio musik, karena itu lusanya ia menghubungi jasa kontraktor untuk merombak rumah kami.

Kita juga butuh tanah lebih.

Lalu aku ingat Kyungsoo mempunyai lahan berlebih di halamannya dan ia selalu bercerita padaku betapa lelahnya ia mengurus halaman luasnya sendiri. Orang tua Kyungsoo sudah tidak ada dan kakaknya tinggal di luar kota, mengurus rumah yang cukup besar sudah membuat ia payah.

"Aku akan kenalkan kau pada Kyungsoo."

"Apa kau yakin ia akan setuju?"

"Yakin, Yeol. Dia juga tidak akan butuh halaman seluas itu. Kau bisa bangun studiomu di sana."

Tentu saja Kyungsoo tidak menolak ketika kami menemuinya, ia juga akhirnya bisa berkenalan langsung dengan Chanyeol yang waktu berpacaran tidak sempat aku kenalkan padanya. Seperti aku, Chanyeol pun langsung cocok dengan Kyungsoo terlebih lagi ia sering mengajak makan bersama. Makanan Kyungsoo memang sangat enak.

Aku sampai menggoda Chanyeol karena pulang lebih awal dan bergegas mengajak ke rumah tetangga kami itu.

"Istrimu itu Kyungsoo atau aku, Chanyeol?"

"Tentu saja kamu, Baekhyun."

"I know, I'm just joking."

"Let's go! Aku sudah lapar, Babe."

.

Menikahi seorang tuna netra tentu berat bagi Chanyeol; suatu hari kami pernah bertengkar karena aku tidak sengaja menumpahkan coklat panas di dalam studionya dan mengenai keyboard miliknya. Aku menangis saat itu merutuki kebodohanku. Chanyeol mendiamkanku dari sore hingga makan malam, aku menyesal dan menyalahkan mataku yang tidak bekerja ini.

Tidak ada kata makian yang keluar dari bibir suamiku.

Namun aku tahu ia kesal dan kecewa.

Aku berkali-kali meminta maaf.

Sampai aku tersedu, benar-benar tersedu sedan di hadapannya.

"Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal. Aku akan mengganti kerusakannya. Aku mohon maafkan aku."

Chanyeol lalu memelukku. "Aku yang harusnya minta maaf, Baek. Aku tidak marah padamu, aku bersumpah. Aku hanya sedikit kesal karena coklatnya mengenai kado Valentine-ku untukmu..." ucapnya.

"Huh?"

"Happy Valentine, Sayang... I'll promise I'll give a better gift later, yeah?"

Aku lalu menangis lagi.

Namun kali ini tangis bahagia.

.

.

.

12 bulan.

1 tahun.

Umur pernikahanku bersama Chanyeol.

Aku diam-diam sudah menyiapkan kado spesial untuknya; dua bulan belakangan aku menghubungi dokter spesialis bedah mata. Aku konsultasi. Aku ingin mendapatkan donor mata. Untuk hadiah pernikahanku bersama Chanyeol yang pertama.

Chanyeol pantas mendapatkannya.

Aku ingin menjadi pasangan hidup yang sempurna untuknya.

Dan sudah tiga hari aku pulih dari operasi cangkok mataku.

Aku membuka perban dengan haru. Yeri sangat bersemangat dan tidak sabar untuk mengabari Chanyeol tetapi aku tahan dan aku katakan padanya bahwa aku ingin memberikan suprise saja.

Ketika aku menapakkan kaki di halaman, aku dapat melihat pintu rumahku terbuka. Aku segera masuk, aroma makanan segera keluar dan aku yakin Kyungsoo pasti baru saja mengirimkan makanan untuk Chanyeol. Aku ke dapur. Sebuah makaroni panggang berada di meja makan belum disentuh.

Namun sesuatu yang janggal mengusik benakku.

Aku melihat sebuah apron merek brand ternama yang ternoda coklat di sana, ada tulisan 'be my Valentine, Kyungsoo' di sana. Aku tidak tahu Kyungsoo dekat dengan seseorang, atau anak itu benar-benar merahasiakannya dariku?

Kejanggalan berikutnya adalah suara-suara dari kamarku.

Aku berdebar saat jarakku dengan kamar semakin dekat; semakin keras terdengar suara suamiku. Mendesah dan juga suara decitan ranjang yang lumayan kuat. Aku heran.

Apa yang Chanyeol lakukan.

Apakah...

Mungkin...

"Ahh! Chanyeol!"

Suara itu.

Aku kenal.

Aku tahu... Kyungsoo... dua lelaki tidak aku kenal wajahnya tengah bersenggama. Aku hanya bisa menerka keduanya adalah suamiku dan tetanggaku dari suara mereka.

Air mataku tumpah.

Aku marah.

Berharap ini mimpi belaka.

Dengan lantang kubuka pintu lebih lebar lagi hingga dua manusia itu melirik dengan tubuh telanjang dan wajah penuh birahi.

"Baekhyun..." suara itu. Lelaki yang telah kuperjuangkan selama ini, menatapku dengan mata tidak percaya. "Baekhyun, kau sudah pulang?" Tanyanya tanpa salah dan terlihat Kyungsoo menahan tawa. Seolah-olah mengolok-olokkanku karena seorang buta. Oh, mereka belum tahu rupanya aku sudah dapat melihat seperti mereka.

Dan menyaksikan kebodohanku yang selama ini mungkin sudah berlangsung lama.

Lelaki tinggi itu berdiri, meraih baju tidur dan menatapku ragu.

Oh, apa iya bodoh?!

Aku jelas-jelas mencium aroma seks di sini?!

"Nice hickeys you have there, Park." Aku mendecih. Ia berubah pucat. "I can't believe I'm sold by your lies. Kado yang membuat kita bertengkar itu sebuah apron untuk Kyungsoo, eoh?" Aku terpana. Lelaki tampan nan bejad itu tergagap. Tuli atau bisu agaknya. Aku menoleh pada lelaki satunya yang tampak sama kagetnya. "Dan kau, apakah tidak ada lelaki di luar sana yang mau tidur denganmu sampai kau harus merebut suami orang?"

"Baekhyun..."

"Shut up, get out of my house."

"Baek—"

"Now!"

.

25 February 2018

Yth. Park Chanyeol

Sub : Surat Permintaan Cerai

Dengan hormat,

Kami selaku...

.

"Baek, I'm so sorry. Kumohon, baby. Please answer my phone. Please talk, okay? I'm so sorry."

"Baekhyun, Sayang. Aku mohon maafkan aku. Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpamu, Babe. Please. Please, please, please pretty please. Let's talk and sort everything's out okay?"

"Baek...*suara tangis* sayang, aku benar-benar menyesal... *suara tangis bercampur umpatan* I admit I was wrong. Aku mohon—"

Aku mematikan rekaman mailbox dari Chanyeol yang tidak kuangkat.

Yeri memelukku erat.

"Aku seharusnya mendengarkanmu dari awal, Yeri."

Yeri hanya bisa mendesah berat.

Mataku akan sangat bengkak di sidang perceraian besok.

.

.

.

.

.

.

.

.

For some stupid reason, aku kehilangan indera penglihatanku lagi.

I want it to be this way.

And in my stupid wicked fantasy, aku menyalahkan keputusanku mencari cangkok.

Naif dan bodoh karena cinta.

Seharusnya aku bersyukur perselingkuhan mereka terbongkar.

Aku masih membuka toko bunga dan Chanyeol sudah pindah dari rumah ini, aku tidak meminta banyak, hanya meminta rumah ini menjadi milikku tanpa ikut campur hak milik dirinya. Studionya kubiarkan kosong dan sekrang menjadi tempat kandang anjing corgiku yang kuberi nama bunga yang paling aku suka; Baby Breath. Aku menyingkatnya menjadi BB.

BB menyalak.

Suara lonceng terdengar.

Aku segera menyambut pembeli pertamaku hari ini.

"Selamat pagi, selamat datang di Toko Bunga Byun~ mau pesan bunga, konsultasi, atau menjemput pesanan?"

Tidak ada balasan.

"Halo?"

Lalu suara lonceng kembali terdengar, pembeli itu pergi. Aku hanya mengendikkan bahu dan menyibukkan diri dengan BB yang terus saja menyalak, aku jadi penasaran ketika ia mengarahkanku pada meja kasir. Aku dapat menyentuk buket bunga yang kuyakin bukan rangkaianku.

Kuraba lagi.

Terdapat kartu ucapan di sana.

Aku hendak mengabaikan dan menganggap itu untuk Yeri sebelum aku merasakan ada tulisan timbul untuk kami pada tuna netra di sana. Aku tersentak.

Untukku?

For Baekhyun

The most beautiful person with lovely pair of eyes...

Aku hanya bisa tersenyum.

Well, bukan hari yang buruk mengawali February tahun 2019 ini.

.

.

.

Dan jika saja Baekhyun masih dapat melihat, maka ia akan sadar sambungan dari kartu ucapan itu setelahnya ditulis dengan tulisan acakan, tinta berlepotan yang tampak rusak karena basah.

For Baekhyun

The most beautiful person with lovely pair of eyes...

Aku sudah janji akan mebelikanmu kado yang baru,

Be my Valentine, Baekhyun

I miss you...

PCY