Disclaimer: Tokyo Ghoul is a series written by Ishida Sui and no material profit is taken from this fanfiction story.
Warning : NSFW (especially in chapter 2), Touken, adult scene. Stay away if Touken is not your cup of tea.
.
.
.
.
.
.
"Touka-chan, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Ya, tentu."
"Apa kau membenci... Kaneki-kun?"
.
.
.
.
.
.
xxx
Moonlight Beam
by Leon
xxx
CHAPTER I
REBOUND
Kirishima Touka dan Kaneki Ken menyerupai magnet berbeda kutub, secara harafiah. Terbelenggu di sekolah dan kelas yang sama selama tiga tahun berturut-turut, mereka sekalipun tak pernah terlihat bertukar kalimat—selamat pagi atau hai masih tergolong kata, bukan—apalagi beradu argumen. Anehnya, bangku mereka pun selalu berjauh-jauhan. Bukan keduanya yang meminta, tentu.
Plus, masing-masing memiliki aura yang berbeda terutama selepas jam istirahat berdenting.
Kaneki Ken tidak terikat dengan simbol pertemanan. Ia memilih siapa saja sebagai teman. Ia cukup pendiam untuk seukuran siswa sophomore. Jika tak dikelilingi oleh sebayanya yang kerapkali mengajaknya untuk saling menangisi lembaran demi lembaran kertas ulangan serta dokumen rencana studi, ia hanya duduk di bangku miliknya sembari membaca buku. Nilai-nilainya sempurna di bidang literatur. Ia juga hobi memperbaiki barang-barang rusak—ia menyebut dirinya sebagai junk-addict. Hobi yang dimulainya dua tahun lalu itu tak sekadar muncul begitu saja.
Di tahun pertama, ia menjadi objek bullying karena warna rambutnya yang tak biasa. Dijuluki ossan—orang tua, sinterklas, bahkan albino sudah biasa didengarnya. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Masa bodoh. Ia tak punya kewajiban untuk menjelaskan sedetil-detilnya tentang gangguan kromosom yang diturunkan dari garis ayahnya. Yang anehnya menimpa hanya anak laki-laki saja. Namun, saat ditunjuk sebagai perwakilan olimpiade sains se-prefektur, para pakar genetika menginginkan dirinya. Oh, bukan dalam konteks mesum. Saat teknologi cell stem berkembang, ia tergolong sebagai salah satu pendonor langka untuk mengobati berbagai penyakit. Ia masih menimbang-nimbang hal itu. Lagipula, ia belum mempergunakan triliunan sel reproduksinya dengan bijak.
Touka, begitu gadis itu biasa disapa, cenderung memilih dua bangku terdepan. Menolak ditempeli embel-embel anak jenius yang antisosial. Hanya pintar untuk dirinya sendiri. Membenci hubungan manusia yang kompleks. Hal-hal semacam itu dianggapnya dengan ekspresi skeptis. Namun, ia merasa beruntung dengan kehadiran Kosaka Yoriko. Gadis ramah dan berhati lemah lembut yang memegang jabatan sebagai siswi teladan di kalangan guru-guru. Mereka bersahabat sejak duduk di bangku sekolah dasar. Banyak yang mencibir pertemanan keduanya, menganggap Touka adalah benalu yang siap menghisap saripati Yoriko. Tak pernah salah satunya berusaha menceramahi omongan-omongan itu. Yang dilakukannya hanyalah memerlihatkan betapa natural persahabatan mereka.
Kirishima Touka dan Kaneki Ken bukan musuh, bukan juga teman. Hanya sebatas rekan yang dipaksakan untuk saling berinteraksi jika diminta, terutama di saat-saat sibuk seperti saat ini. Festival sekolah.
"Kiritsu. Rei."
"Arigato gozaimashita, sensei!"
"Ya ya, jangan lupa kumpulkan lembar rencana studi dan profesi kalian ke ketua kelas, ok? Sensei akan membuka sesi konseling untuk kalian."
Semuanya membalas dengan 'hai' yang lantang. Begitu pintu geser kelas tertutup kembali, keributan lain mengisi ruangan itu. Beberapa siswa mengumpulkan lembar rencana studi mereka ke ketua kelas dan mengobrol beberapa saat. Beberapa lainnya sibuk merapikan buku-buku ke dalam tas dan bersiap untuk pulang—seakan tak peduli dengan masa depan atau apalah. Sisanya saling bercengkerama, membentuk dialog berbisik-bisik yang tidak mengganggu sekitar. Ketua kelas terlihat ketar-ketir di kursinya. Setelah mengurusi dokumen sekelas, ia buru-buru melompat ke podium mengajar. Berdehem agak keras untuk meminta atensi.
Sudah tentu ia akan menggunakan dua jam ke depan untuk merapatkan progres festival sekolah. Meski tahun terakhir bukan panitia, mereka tetap wajib memeriahkan festival tersebut dengan dekor-dekor. Tema yang diambil tahun ini adalah western movie.
Seisi kelas mulai kehilangan efek bisingnya saat penduduknya meninggalkan bayangan mereka dari sana dan kembali ke rumah masing-masing. Hasil rapat tadi sungguh memuaskan. Yang berharap menjadi zombie ditolak mentah-mentah oleh para gadis. Menjijikkan, kata mereka. Betul juga sih. Ketua kelas menengahi dan mengakhiri dengan siraman rohani. Semua menerima dengan tangan terbuka. Di saat-saat terakhir, yang tampak sisa hanyalah empat sosok saja—ketua kelas, Kirishima Touka bersama Kosaka Yoriko, dan tentu saja si pencinta buku Kaneki Ken—ia menolak disebut kutu buku. Ketua kelas melengos duluan setelah mengucap aku duluan. Hanya Yoriko yang terlihat ingin berbasa-basi sebelum melangkahkan kaki.
"Ah, Kaneki-kun. Apa kau sudah mengisi lembar rencana studimu?"
Gadis di samping Yoriko melihat ke arah jendela. Jemari kakinya mulai mengetuk-ngetuk lantai kelas. Suara gagak samar-samar terdengar dari balik kaca jendela diiringi kemiringan matahari yang membujur jauh. Iluminasi jingga dan biru hitam terpancar dari balik irisnya.
"Yah, begitulah. Haha." balas pemuda itu sambil menggaruk-garuk pipinya. "Aku masih memikirkannya."
"Sou. Um, memang harus diputuskan secara matang-matang. Tapi, aku harap Kaneki-kun sudah tahu apa yang ingin Kaneki-kun lakukan selepas kelulusan nanti. Sudah tidak lama lagi, kan?"
Lagi-lagi pemuda itu tertawa kecil seolah berusaha menyembunyikan rasa inferioritasnya. "Yah, begitulah."
"Oh ya, kudengar Kaneki-kun juga masih mengambil part time? Sugee, begitu memasuki tahun terakhir, orang tuaku melarang untuk bekerja dan fokus seluruhnya untuk belajar. Huft, aku benar-benar bosan jika dikurung di kamar setelah pulang sekolah hanya untuk mengerjakan soal-soal suplemen."
Kaneki hanya membalas dengan senyum sedih. Kali ini, ia menggaruk belakang kepalanya seperti memiliki kutu yang bisa berpindah-pindah di tubuhnya. "Umm, bukankah itu bagus?"
Mendengar respon pemuda berambut seputih salju itu, Touka mendesah ringan. Merasa obrolan sahabat dan sosok pemuda yang disebut-sebutnya sebagai payah itu tidak berguna. Cepat-cepat ia memotong, "nee, Yoriko. Dia tidak akan tahu bagaimana rasanya dipaksa belajar terus-menerus selama 365 hari tanpa libur. Dia sebatang kara, kau tahu. Aku benar, kan, Kaneki—kun?" Tepat di tiga huruf terakhir, Touka mendelik tajam. Menepuk bahu Yoriko dan menuntunnya untuk segera angkat kaki. Yang disindir hanya menaikkan alis dan menunduk singkat sebelum tersenyum lebar. Anak yang aneh, lanjut Touka dalam benak.
"Yoriko, matahari akan segera terbenam. Kau harus mengejar kereta jam 6, bukan?"
Yoriko segera memutar leher, "ah! Karena keasyikan ngobrol dengan Touka-chan dan Kaneki-kun, hampir lupa dengan waktu. Gomen, gomen."
"Iko." sahut gadis berambut biru dongker itu, yang menurut Yoriko sendiri lebih mengarah ke hitam jika di tengah-tengah cahaya minim. Kadang menjadi biru metalik kala disinari mentari. Keunikan yang entah disadari oleh pemiliknya atau tidak. Yoriko tersenyum, membalas dengan kata yang sama.
Begitu sampai di penghujung pintu, Yoriko berhenti sebentar. "Kami pulang duluan, Kaneki-kun. Hati-hati di jalan ya. Bye bye."
"Hati-hati di jalan, Kosaka-san. Dan—juga kau, Touka-san."
Yoriko tidak melihat, pun tidak ingin terlibat. Ia hanya menahan tawa kecilnya begitu keluar dari pintu kelas. Sahabat terbaiknya berada tepat di belakangnya seolah mendorong tubuh kecil gadis manis itu agar berhenti menggodanya.
Hanya sepersekian detik, mungkin mili detik, ketika sepasang berlian biru Kirishima Touka bertemu dengan hitam kelam Kaneki Ken. Tidak ada kata terucap pun ekspresi otot di wajah. Namun, mereka tahu lebih dari siapapun jika rahasia akan selamanya menjadi janji yang tak perlu tertulis lagi terlisan. Ada belahan bumi di mana mereka hanyalah pelajar menengah atas yang kebingungan dengan kertas ulangan, lembar rencana studi dan festival sekolah di bulan kelulusan. Belahan lainnya mereka ditakdirkan sebagai manusia biasa yang tak saling mengenal. Lalu, sebagai seorang anak kecil yang berusaha mewujudkan mimpi-mimpi besarnya. Akan tetapi, mereka memiliki kesamaan.
Empat tahun lalu, Kirishima Arata, seorang ayah yang bekerja sebagai karyawan bergaji sedang di perusahaan properti di jantung kota Sendai harus pulang lebih larut karena lembur. Awal tahun menjadi momok terbesar bagi sebagian besar pengadu bisnis untuk lebih giat memancarkan feromon mereka. Ayah dua anak ini menduda semenjak putrinya berumur tujuh tahun. Ia tahu kasih sayang macam apa yang bisa diberikannya sebagai orang tua tunggal, namun ia tak sedikitpun terlihat menyerah. Mungkin malam itu dewa kematian sedang lewat saja sehingga seorang wanita berpenampilan seronok dan necis di dalam bus hampir digiring ke alam baka oleh manusia bersosok iblis bernama pemabuk plus penodong.
Kirishima Arata hanyalah manusia. Sebagai manusia, ia selalu lupa bahwa tubuhnya hanya terbungkus jaringan-jaringan tipis. Maka, di bulan februari saat salju turun lagi di malam itu, Kirishima Touka dan Kirishima Ayato mulai belajar untuk menjadi dewasa lebih cepat. Keduanya beruntung karena Yomo Renji, adik dari ibu mereka, bersedia menjadi wali. Meski keduanya harus berpindah ke kota yang lebih berisik.
Kaneki Ken tak beribu bapak lebih awal. Tetapi, ia tak menyadari support finansial yang berasal dari keluarga besar ayahnya mampu menyekolahkannya hingga ke planet Mars—hanya metafora. Walau tumbuh dan tinggal sendiri di apartemen kelas menengah, ia tetap bekerja sebagai karyawan paruh waktu. Keputusannya ini selalu diserang habis-habisan oleh tamu spesial bernama Arima Kishou.
Arima Kishou bekerja sebagai birokrat di pemerintahan. Tetapi, ia lebih suka menghabiskan waktu kosongnya di apartemen milik keponakannya itu. Sama-sama dijatuhi vonis sebagai ossan, sinterklas dan albino menjadikan mereka dekat dalam banyak hal. Dan, Arima Kishou senang membelikan Kaneki barang-barang mewah yang sangat tidak dibutuhkan untuk golongan anak sekolahan. Di akhir pekan, paman yang berbeda 18 tahun dengannya itu akan meminta tagihan atas hadiah-hadiah sepihak itu dengan semangkok ramen. Sungguh orang kaya yang aneh.
Kaneki sempat mengeluarkan candaan bernada mengejek di tengah-tengah sesi menyeruput ramen.
"Kapan paman menikah?"
Seketika, Arima Kishou berhenti menelan mi dalam mangkoknya. Tertegun sangat lama hingga membuat Kaneki salah tingkah.
"M-maaf."
Pamannya itu mengangguk. Tanda mereka telah berbaikan.
"Mau kucarikan?"
Isi kuah dalam mulut Arima Kishou menyembur dengan tidak sopan.
Semenjak itu, keduanya tidak akan lagi saling berbincang mengenai topik sensitif—kecuali jika pamannya sendiri yang berinisiatif. Walau kemungkinannya seperti menunggu bumi tiba-tiba menjadi datar sehingga kucing bisa bermain fidget spinner dengan itu.
Kirishima Touka dan Kaneki Ken melihat atap yang sama dari jarak jutaan kaki di bawah sana. Langit yang mulai berubah pekat kemerahan seperti tangisan perih para penduduk konstelasi bima sakti. Mengingat kembali banyak hal yang sudah terjadi akhir-akhir ini. Seperti magnet, berbeda kutub tapi berada pada lintang yang sama.
Touka memilih lebih banyak diam selama perjalanan pulangnya bersama Yoriko. Mereka memutuskan untuk mengambil rute berbeda kali ini dan menelusuri gang-gang yang dipenuhi aneka macam toko, termasuk toko perhiasan. Gadis bergaya sedikit steampunk itu tiba-tiba melambatkan langkahnya dan berhenti di depan etalase kaca. Yoriko tersenyum dan menepuk pundak sahabatnya itu. Mengajaknya masuk meski Touka berkata tidak perlu. Hanya sekadar lihat-lihat sebentar, dalih gadis berambut coklat keemasan itu. Begitu masuk, Touka segera menelan ludah. Harga yang tertera sanggup membuatnya ingin menjual rumah satu-satunya yang dimiliki ayahnya sebelum tiada. Tetapi, ia cukup tertegun begitu mendapati cincin emas yang dirasanya mirip dengan cincin pernikahan milik kedua orang tuanya.
Yoriko menggoda, "Touka-chan ingin segera menikah ya?"
Gadis itu berpura-pura marah dan hanya terkekeh.
Sebelum memutuskan untuk mengakhiri wisata cuci mata itu, Touka kembali berhenti di pojok toko.
"Itu perhiasan untuk tindik, 'kan? Aku jadi ingat kejadian waktu Kitamoto-sensei mendapati Tamura-san menindik kupingnya. Ancaman sensei benar-benar menyeramkan. Ia sampai ingin memotong kuping Tamura-san, haha."
"Yeah. Itu karena kelihatan, 'kan. Bagaimana jika ditindik di tempat tertutup, semisal di pusar? Atau mungkin di—" Touka mendekatkan bibirnya ke daun telinga Yoriko. Berbisik-bisik. Yoriko tetiba memanas karena malu. "Hahahaha."
"Tou-Tou-Touka-chan! Tidakkah itu... umm... sakit?"
Gadis berambut biru dongker itu mengudikkan pundaknya. "Pasti. Tapi kurasa di awal saja."
"Umm, jangan bilang Touka-chan berpikiran untuk—untuk—menindik itu?"
Hanya tawa dan senyum lebar yang menjadi jawabnya. Keduanya pun keluar sambil bergandengan tangan. Gadis itu berbisik lagi. "Mungkin. Saat lulus, tentu. Bukankah itu seru? Anggap saja sebagai kenang-kenangan karena berhasil bertahan dari kekejaman Kitamoto-sensei selama tiga tahun. Haha."
Obrolan singkat itu berlanjut hingga kaki-kaki mereka membawa keduanya tiba di kompleks stasiun kereta. Mereka akan berpisah di titik yang sama setiap hari. Tepat 3 meter dari tepi gerbang pengunjung. Keduanya saling bertukar pandang sejenak sebelum berpelukan untuk mengucap salam perpisahan singkat. Yoriko tampak seperti menunggu gadis di hadapannya itu untuk menjawab pertanyaan dalam tatap matanya. Kadang keduanya bisa bercakap-cakap lewat mata walau sebagian besar selalu salah kaprah.
Pelupuk mata Yoriko terangkat sedikit karena tersenyum. Ia sedikit memiringkan kepalanya. "Selamat bersenang-senang, Touka-chan!"
Pipi Touka tetiba bersemu merah. Respon vasodilator yang amat dibencinya. "Hah?"
"Eh... besok hari Minggu, 'kan?"
Touka buru-buru kembali tenang. "O-oooh. Ya. Selamat bersenang-senang juga, Yoriko. Kirimkan aku foto-foto berliburmu besok."
"Yup! Yah, hanya liburan singkat sih tapi lumayan untuk merileksasi diri. Hihi." Ada nada sedikit tertekan di akhir jawabannya dan ia berbalik menatap kereta yang telah berhenti sempurna di depannya. Sebelum berpisah, ia sempat menoleh sedikit. "Bye bye, Touka-chan."
"Bye bye, Yoriko."
Deru besi dengan besi yang saling bergesekan terdengar nyaring hingga berpuluh meter jauhnya. Touka masih di titik yang sama saat ia mengucap bye bye ke arah Yoriko. Menunggu hingga kendaraan listrik itu benar-benar menghilang dari pengelihatannya. Ia terdiam beberapa detik dan menunduk entah memikirkan apa. Memandangi daun-daun kering dan pasir yang bergerak terbawa angin hangat namun terasa beku di ujung-ujung jari tangan gadis itu. Ia tersadar dari lamunannya saat ponsel miliknya bergetar. Kembali ia melangkah menuju pemberhentiannya yang terakhir.
Layar telepon pintarnya menyala sekali. E-mail.
'Ayato menginap di rumah temannya untuk menonton pertandingan baseball bersama. Paman tiba-tiba harus ke Saga malam ini dengan kereta terakhir. Nenekmu sakit. Akan pulang lusa. Uang kutinggalkan di kantong samping kulkas. Masak untuk dirimu dan adikmu.'
Touka baru saja akan menekan tombol reply sebelum muncul teks terbaru dari layar notifikasi.
'P.S : jangan lupa matikan lampu sebelum tidur. Cucian di wastafel sudah paman bereskan. Paman lupa membawa laundrian. Minta tolong besok kau bawa untuk dicuci. Trims.'
Gadis itu tersenyum singkat dan membalas. 'Oke, laksanakan. Salam sayang dariku untuk nenek. Semoga cepat sembuh.'
Lalu, langkah-langkah kaki itu tak pernah berhenti lagi.
xxx
Kaneki tak segera pulang sore itu. Ia termenung cukup lama sembari bersembunyi dalam cangkangnya. Jauh dari keramaian publik dan hiruk pikuk jantung kota Tokyo, ia selalu memilih taman bermain anak-anak yang terabaikan ketika malam menjemput. Walau musim semi mulai terlihat dari kuncup-kuncup bunga sakura dan hydrangea di sekitarnya, semilir angin sisa musim sebelumnya terasa mencubit kulit pucatnya perlahan-lahan. Ia duduk di salah satu tatahan kayu ayunan sembari memain-mainkan kakinya. Bosan, ia mulai membuka-buka buku novel yang sudah seratus enam puluh lima kali dibacanya sejak kecil. Teman-teman kelasnya mengira buku itu baru, namun pemuda ini pintar dalam memodifikasi segala hal. Ia tak perlu bersusah payah menjadi pemalu yang sebenarnya suka menyombongkan diri.
Ia mendesah setelah sepuluh menit pertama membaca ulang chapter dua. Kembali memain-mainkan pasir di bawa kakinya, menyisir helai-helai putih uniknya dengan jemari, lalu teringat sesuatu.
Sekolah memang melarang siswanya membawa rokok tetapi ia tahu trik-trik murahan untuk menyembunyikan dan memunculkan benda-benda. Di bawah jok sepedanya, ia memiliki kotak mungil yang ia sebut-sebut sebagai emergency stuffs. Benar sih. Isinya seperti mur-mur kecil atau obeng. Meski sering absen dari kegiatan klub, ia cukup diandalkan jika sudah disodorkan mesin-mesin tua. Potensi yang dimilikinya ini selalu menjadi bahan obrolan dengan pamannya. Arima Kishou siap membiayai keponakannya itu sampai ke Mars—lagi-lagi—dan literally akan ke sana jika Kaneki bisa lolos seleksi menjadi pilot NASA. Pemuda tanggung itu cuma bisa memutar bola matanya. Tetapi, pamannya tak pernah menyerah.
Ia belajar menghisap nikotin sekitar setahun lalu. Stres dan segala macam. Rekan kerjanya di part time, Hide, penyuka budaya barat hingga ke ujung-ujungnya. Bocah itu bermimpi akan ke Amerika dengan uang yang ditabungnya selama bekerja part time—Kaneki tidak membantah ataupun mencaci. Mimpi orang mana tahu akan terwujud. Pertama, Hide memperkenalkan musik bergaya western ke pemuda itu. Ia mencoba satu dua lagu dan cukup menyukainya. Ia bahkan menyimpan beberapa dalam ipod-nya. Kedua, majalah playboy. Yang ini sempat jadi perdebatan panjang. Dan, ketiga adalah Marlboro dan peppermint candy.
Merokok hanya dilakukannya di waktu-waktu seperti ini. Dan hanya sebatang. Ia cukup paham tentang kesehatan dan benar-benar dihantui oleh ilustrasi anatomi paru-paru seorang perokok aktif selama 30 tahun. Sejak saat itu, ia berjanji tidak akan menghisap batang putih itu jika benar-benar dibutuhkan.
Masalahnya, ia pun tak paham kenapa ia menyalakan linting tembakau itu dan bernafas seolah itu satu-satunya oksigen untuknya bertahan hidup. Ia pun mengubah posisi. Merendahkan punggungnya dan menahan berat tubuh dengan kedua kaki. Memandangi langit yang mulai dihiasi permadani mutiara. Asap rokoknya menyembul menutupi, memberi efek smoky. Tetap saja, kelihatan indah.
Kakinya mulai kebas. Membuang sisa rokok yang sudah bosan dihirupnya dan merasakan getaran di saku celana.
'06.25. Satu pesan baru.'
"Hmmm."
'Pengirim : Kirishima Touka.'
Ia sempat ragu untuk menggeser layar kunci ponselnya.
'Ayato dan Renji-jiisan tidak akan kembali ke rumah malam ini hingga besok pagi.'
Kaneki menaikkan alisnya tinggi-tinggi. Meluruskan kakinya kegirangan.
'Aku tahu kau pasti merokok lagi.'
"Err, wanita memang menyeramkan."
Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa.
'Mau melepas penat bersamaku?'
Pemuda itu dengan cepat menggerakkan jemarinya, membalas rentetan pesan line itu.
Hanya satu kata.
'Otw.'
xxx
To be Continued
xxx
