Back to the Past
.
.
Setidaknya, pahlawan juga butuh perawatan
-Uzumaki Naruto-
.
Saya mohon maaf atas segalanya ini, tapi, karena pas saya melihat lagi fanfict yang ini, saya serasa mau meledak, dan yah –duar, saya malu besar.
Ini versi remake, jadi, yah, mungkin karena banyak baca LN dan baca Percy Jackson, saya akan mencoba membuat ini agak slengekan, walau dalam artian jutsu.
Selamat menikmati.
.
Disclaimer:
Naruto (c) Masashi Kishimoto
Back to the Past (c) Gladius Nubelis
.
1.1
~-o-~
Biasanya, jika ini adalah drama murahan, dan opera sabun, maka, seberapapun menyakitkan apa yang tokoh utama lalui, maka ia akan selalu menang. Ceritanya klise, dia kalah, berjuang, dan menang. Cuma begitu.
Mudah 'kan?
Tapi sayangnya, hal seperti itu takkan terjadi, jika kau berada di posisiku.
Maksudku begini, aku dihadapkan dengan Dewi kelinci yang memegang kendali penuh akan adanya chakra yang ada di dunia. Tak peduli seberapa keras aku berusaha, hal yang dinamakan kemenangan takkan mungkin terjadi.
Yah, walau dengan fakta bahwa aku telah mengantongi restu dari anaknya –yang durhaka- dan memiliki kekuatan maha dahsyat yang bahkan melampaui dua shinobi terkuat yang pernah ada. Dan juga ditambah, aku ditemani cowok muka tebing yang adalah kembaran dari kekuatanku.
Jadi, secara tekhnis, aku dan cowok itu punya kekuatan yang bisa menghancurkan satu bartalion jounin bersenjata lengkap hanya dengan mengacungkan jari sambil bilang hal keren seperti; "Matilah kau!" dan melemparkan sedikit jurus.
Tapi, seperti yang kubilang, ini bukan drama. Ini masalah hidup dan mati.
Dewi kelinci itu memiliki kekuatan mengendalikan chakra, dan semua kekuatan kami hanya bergantung pada chakra. Jadi, ini seperti karyawan yang berusaha membuat pemegang saham mengerjakan tugas kantornya.
Yah, bisa 'sih. Tapi, besoknya mungkin kau akan menemukan namamu di daftar PHK.
Dan menemukan namamu ada di daftar PHK tempat yang disebut dunia, itu bukan hal yang keren.
"Dengar Naruto, aku punya rencana."
Aku berharap, dia bersungguh-sungguh. Aku tak mau menjadi gosong seperti Guru alis tebal. Memikirkannya saja membuatku merinding. Kyuubi gosong? Nggak 'deh.
"Apaan?"
Cowok muka tebing itu namanya Uchiha Sasuke. Rambutnya berdiri dan agak gosong, matanya berpola aneh agak berdarah, dan bajunya compang-camping. Membuat lambang Uchiha di belakang punggungnya seperti lolipop merah yang ada di baju bocah culun gigi ompong. Dan aku yakin akan langsung menendangnya, jika ada orang seperti itu sedang berlari menuju rumahku.
"Dari sekian kemungkinan, aku tahu satu hal yang bisa membuat kita menang."
"Kaguya belum menuju bentuk abadinya sebagai dewi. Dan itu menguntungkan buat kita."
"Dan jika aku boleh bertanya, dari mana kau tahu itu?"
"Kau itu bodoh atau apa?" dia menatapku jengkel. "kalau Kaguya sudah mencapai bentuk dewanya, kita akan langsung hancur jadi debu jika ada di dekatnya. Eksistensi manusia itu berbeda dengan dewa."
Entah kenapa, mendengarnya aku agak merinding. Cewek ini, belum jadi dewa saja sudah membuat aku dan Sasuke kewalahan setengah mati. "Dan jika Kaguya jadi dewa, maka . . ."
"Cuma enam suku kata; bakalan-gawat-tuh!" dia bilang begitu sambil menghitung jarinya.
"makanya, untuk menghindari itu, kita harus menghentikannya."
"Caranya?"
"Kurasa ini karma karena semua orang memanggilmu idiot." dia lalu menghembuskan napas lelah. "jika waktu bisa mengubah segalanya, mungkin kebodohanmu adalah sesuatu yang tak bisa dijamah kekuatan waktu."
"Kau ingin kubunuh, Uchiha-san?!" ia nampaknya tak memerhatikanku, dan lalu melanjutkan penjelasannya.
"Ok, begini, sepertinya tubuh Madara yang dipakai Kaguya masih terpengaruh sifat kemanusiaan."
"jadi, bagaimapun, jika seorang manusia mati, maka semua hal yang berkaitan dengannya akan mati."
'Sumpah Sasuke! Kau membuatku otakku bingung. Intinya saja."
"Huh . . ."
"iya, begini. Madara itu manusia, dan karenanya, dalam tubuhnya ada bagian vital yang disebut hati."
"Maksudmu, kita harus menyerang hatinya. Dengan menggolakkan perasaannya?"
"Yup!"
Aku menatapnya. "Uchiha Sasuke, jika Madara itu punya hati, maka dia takkan menjadi monster begini." dan aku tertawa.
Prodigy . . . jenius? Yang aku lihat di sini hanya cowok koplak yang kehabisan ide tapi ingin keliatan keren. "Ngomong sama Madara, itu nggak ada bedanya debat sama batu."
"Paling dikirain gila."
Aku sudah mencoba bicara tentang persahabatan dan kehidupan dengannya, dan hal itu malah membuatku ingin meninjunya. Dia bilang karena adiknya dia begini. Tapi saat aku bilang ia brocon,aku hampir gosong karena Biju Dama yang ia lemparkan. Dia bilang kesepian, tapi faktanya, dia bisa dapat hatinya Obito.
Madara itu aneh. Sumpah. Dan jika kau ingin memberinya motifasi, tak ada hal lain yang kau dapat selain perasaan ingin nonjok mukanya.
Makanya, aku berani taruhan. Rencana ini dari awal sudah salah.
"Adaw . . . apaan 'sih?" aku bilang begitu saat Sasuke menjitak kepalaku. Mukanya garang, dan kayaknya itu artinya aku harus berhenti tertawa.
"Diam dulu! Dengar . . ." Sasuke memasang wajah serius. Dan aku mulai memerhatikannnya. ". . . iya, aku akui kalau Madara memang tak punya hati. Tapi saat ini aku yakin kalau Madara sedang bingung."
"Maksudku karena tubuhnya yang ia dapatkan dengan susah, tiba-tiba diambil Kaguya."
Iya, dia harus melakukan ritual ribet seperti Rinne Tensei dan yang membuatnya tambah susah ia harus meyakinkan Obito agar mau melakukan itu. Dan bicara sama Obito, itu sama kaya bicara sama Madara. Jadi, bisa bayangkan batu debat dengan batu? "Hmm, benar, dengan fakta itu saja, aku yakin kalau Madara sudah pasti jengkel setengah mati 'tuh!"
"Jadi, kita tinggal ngomporin dia."
Yah, itu ada benarnya. Sebaik-baiknya manusia, mereka takkan memberikan apa yang susah, apalagi mati-matian mereka dapat hanya dengan label cuma-cuma. Dan apalagi, Madara bisa kupastikan bukan orang yang baik. "Jadi, aku harus gimana?"
Ia mengangguk. Dan ada ekspresi aneh yang menyebalkan di matanya. "Begini . . ."
Satu-satunya hal yang tidak membuatku tahan dengan orang ini hanya sikap sok leader yang kadang-kadang membuatku ingin meninjunya. Iya, dia teman pertamaku, tapi kalau masalah kebanggan berlebihnya itu lain.
"kita harus mengingatkan Madara tentang adiknya. Sesuatu yang sangat berharga dan tak bisa dilupakan."
"Tapi masalahnya, apa itu?"
Satu-satunya hal yang berkaitan dengan Madara dan adiknya hanya sharingan yang ada di mata Madara. Eh, iya, matanya!
"Matanya, Sasuke, matanya!"
"Maksudmu?"
"Kau punya rinnegan yang sempurna dengan sembilan tomoe, dan aku yakin itu akan berhasil." dia kelihatan bingung. Haha . . . sebenarnya Sasuke itu cuma modal tampang doang! Kalau masalah berpikir, walau ia sering bilang aku ini idiot, tapi dia tak jauh beda denganku.
"Intinya, begini, jika mata yang kau punya itu benar-benar sempurna, harusnya hal seperti membalikkan genjutsu ke mata itu sendiri bukan hal yang mustahil." melihatnya bingung, aku tersenyum. Setidaknya, aku bisa menang dalam hal kepintaran melawanya. "ubah matamu menjadi Et Mangekyou Sharingan milik Madara, dan manipulasikan wajah dan gestur tubuhmu menjadi Izuna."
"Tapi, itu terlalu mudah, dan apa Madara akan percaya dengan fakta seperti itu?"
Haha . . . satu poin lagi, dan selanjutnya akan kurebut semua gelar yang kau punya di desa. "Apa kau lupa kalau Madara sedang emosi sekarang?"
"Hal kecil seperti itu takkan dipermasalahkan. Lagipula, mana sempat ia mengecek, kau adiknya bukan. Cukup mengingatkannya saja, dan kesadarannya sebagai manusia harusnya bisa kembali." dari wajahnya, ia keliatan agak ragu dengan kata-kataku. Tapi, setelah beberapa detik, ia tiba-tiba mengangguk ragu.
"Iya." dia menatapku.
Sesaat kemudian, aku bisa melihat cowok itu berdiri dan membaca sesuatu yang tak bisa kudengar. Dan selanjutnya, saat dia berbalik, aku melihat cowok dengan rambut hitam bergaya rambut-maju-sedikit dan matanya merah berpupil aneh dengan bundaran dilengkapi tiga garis hitam. Yah, namanya juga adiknya, ya agak sedikit nyerempet Madara.
"Ok, aku akan berusaha muncul dalam bayangan masa lalunya."
"Jadi, tugasku tinggal meninjunya saat Madara muncul."
Aku suka itu, dan kayaknya Kurama bakalan senang dalam hal tinju-meninju. Apalagi, meninju orang yang telah memerbudak dia dan kawan-kawannya. Dan untuk sesaat bahkan aku membayangkan Kurama mengepal sambil bilang; "Kayaknya asyik 'tuh!"
Dan kami berdua-pun maju dengan kecepatan yang hanya bisa dicapai para pengguna sharingan berkacamata pemokus.
~-o-~
1.2
~-o-~
Kaguya mengamuk ketika aku melempar kunai yang kulapisi Chakra kyuubi ke kepalanya. "Uzumaki Naruto, kesini kau! Dan akan kujadikan kau dendeng." mana mau aku menurut, siapa juga yang mau jadi dendeng musang.
Aku meninju tengkuknya, dan kalau bukan karena Chakra kyuubi, mungkin tanganku sudah remuk. Lupakan otaknya yang seperti batu. Tubuhnya bahkan lebih keras dari besi pondasi Tsuchi Gakure. Yang artinya, itu lebih keras dari keras.
Tubuhku sudah hampir tidak kuat menahan semua emosi dan kekuatan ini.
Angin berhembus, dan itu agak membuatku semangat. Entah bagaimana, sejak aku lahir, merasakan hembusan angin membuatku seolah ada di dekat ibu. Hangat dan nyaman.
Setelah lama aku tidak merasakan angin, apalagi, dengan fakta bahwa di dunia yang lain dari realita ini angin adalah hal mustahil. Mungkin ini berkah dari Tuhan, melihat perjuangan kami. Setidaknya, pahlawan juga butuh perawatan. Dan selanjutnya, sayatan benang-benang udara membuat semua pori dalam tubuhku melebar. "Naruto . . ."
Saat itu, di belakangku, aku bisa mendengar jeritan Sakura-chan dan Kakashi-sensei yang membuatku menatap mereka. Apa mereka diapa-apakan Kaguya. Sial, angin membuatku terjebak.
Tapi, alih-alih melihat mereka berdarah, aku malah mendapati Sakura-chan sedang mangap-mangap sambil menunjuk-nunjuk mukaku. ". . . itu anginnya . . . tubuhmu . . ."
Mungkin karena pikirannya blank, selanjutnya yang kudengar hanya; ". . . keren banget!"
Melanjutkan reflek Sakura-chan, aku menatap tubuhku, dan menemukan aku sedang berada di tengah angin topan yang meraung-raung. Tubuhku ada di ketinggian gendung berlantai lima, dan chakra di seluruhku badanku terpompa. Tubuhku lepas, dan bebas. Jika kau bertanya padaku apa rasanya, maka hal itu seperti tubuhmu yang hampir remuk sementara jantungmu sedang dalam kondisi terbaik, dan kau berendam dalam air panas. Nyaman, dan enak begitulah.
Kaguya mendekat, dan angin langsung menghantam tubuhnya. Aku bahkan tak tahu itu reflek dariku, atau angin yang memang sengaja melakukannya. Ia mendesis dan merapatkan chakra ke tangannya.
Ledakan kecil menghantam anginku. Dan membuat Kaguya bisa sedikit menerobos masuk. "Kau pikir, angin mainan seperti ini bisa menghentikanku?"
"Yah, kupikir, tidak. Tapi, jika hanya memberimu rasa sakit, kayaknya bisa."
Dia berdiri di hadapanku dan berada di ketinggian lima belas meter. Aku ingin mengatakan kata-kata keren seperti; "Rasakaaaan!" tapi, karena Kaguya yang tiba-tiba mencengkram mulutku, aku hanya bisa meledakkan semua chakra angin yang mengelilingiku.
Angin menggila, tubuhku terasa terbakar setiap chakra angin terpompa keluar.
Aku bisa melihat Kaguya menahan sakit setiap angin menyayat tubuhnya. Walau ia bisa dengan mudah beregenerasi, tapi diiris dengan silet setiap sepersekian detik sekali, bukan hal yang ingin kau lakukan di rumah. "Aaaa . . ." ia menjerit, dan aku terpelanting ke belakang. Yang untungnya, jika saja angin tak menangkapku, mungkin aku akan jadi Kyuubi penyek.
Aku mendarat dengan selamat. Sementara angin berhenti berhembus, dan Kaguya terjun dengan posisi wajah-dulu-yang-menghadap-tanah. Aku ingin tertawa, lagipula, jarang-jarang melihat seorang dewi jatuh dengan posisi seperti itu. Tapi, rasa sakit karena hampir setengah chakra murniku keluar benar-benar menyiksaku.
"Naruto . . ." Sakura-chan berlari, dan menghampiriku. ". . . tadi itu. Tadi . . . keren banget! Gimana bisa? Maksudku, tadi, tiba-tiba ada angin, dan –duar! Kaguya sekarang pingsan. Dan . . . dan . . ."
Aku menyumpal mulutnya, karena semakin ia berkata, aku semakin bingung dengan apa yang sudah terjadi. Karena jujur, aku juga tidak tahu. "Lebih baik, kau obati dulu Naruto. Jangan banyak bertanya dulu."
Ia mengangguk, dan aku melepaskan tanganku.
Sakura menyentuh dadaku, dan pendar hijau yang mengalir darinya menyejukkan jantungku. Kaguya seharusnya pingsan selama beberapa menit. Cukup untuk Sasuke memperkuat genjutsu dan bagiku untuk menyembuhkan rasa sakit ini.
Kakashi-sensei terlihat mengerikan dengan kaus yang tangannya sudah entah kemana. Sementara Sakura-chan wajahnya sudah penuh debu, dan rambutnya acak-acakkan. Mereka sudah mati-matian bertarung saat aku dan Sasuke berunding tadi. "Jadi, kita serang sekarang?"
"Jangan!"
"Jika Kaguya kita serang sekarang, itu hanya akan sedikit mengurasi kekuatannya. Lagipula, saat dia pingsan, sel-sel dan chakra dalam tubuh Madara akan membelah mati-matian. Biarkan dia lebih lama, dan saat dia bangun, tubuhnya akan melemah."
"Yah, kau cukup pintar Naruto. Maksudmu, masalahnya ada di tubuhnya bukan di dalamnya 'kan? Sementara, jika kita serang sekarang, maka akan ada ketidak normalan, dan akan membuat Kaguya yang sebenarnya terbangun."
"Hmm . . ." Sakura-chan mengangguk. Nampaknya, setelah beberapa hari di medan perang, membuat otak kami lebih aktif dari biasanya. "Ngomong-ngomong, di mana Sasuke."
"Sedang bersiap untuk serangan terakhir."
Aku memejamkan mata. Mungkin sejenak istirahat, bagus untukku.
~-o-~
1.3
~-o-~
Aku terbangun saat melihat Kaguya dan Kakashi-sensei sedang adu kunai. "Sakura-chan, sudah berapa lama aku tertidur?"
"Dua jam, mungkin?"
Aku tak menyalahkannya menambahkan kata mungkin dalam ucapannya, di sini waktu tak berpengaruh banyak. Tapi, mengetahui fakta bahwa Kakashi-sensei sedang berduel dengan Kaguya, dan aku enak-enakkan tidur, agak membuatku kesal dengan Sakura-chan. "Kenapa kau tak membangunkanku?
"Kakashi-sensei melarangku."
Ahh . . . cowok masker itu pasti ingin terlihat keren di depan muridnya. Iya, aku bisa beristirahat, tapi melihatnya memertahankan garis depan sendiri, agak membuatku merasa tidak enak.
Apalagi, dengan fakta bahwa ia membuatku berhutang budi padanya, atas alasan melindungiku saat tidur.
Seperti dugaanku, Kakashi-sensei kini terpental ke arahku dengan kecepatan yang lumayan.
Kaguya mendekat, dan menatapku tajam.
Ia bersiap dengan Biju Dama -nya dan melemparkannya ke arahku. "Sakura-chan!" dan aku meraih tubuhnya lalu memeluknya.
Aku bersiap dengan kemungkinan terburuk. Apalagi, setengah tubuhku masih sakit. Tapi setelah beberapa saat, aku belum merasakan apapun. Yang kudengar hanyalah suara ledakan di timur jauh sana. "Cowok masker tolol itu, harusnya bisa tahu kapan harus berhenti bertingkah keren."
Yah, orang yang bisa melakukan itu jelas Kakashi-sensei. Apalagi, saat aku berbalik, aku bisa melihat cowok itu matanya berdarah. "Lumayan juga. Kayaknya, Obito bakalan memujiku, dan Rin bakalan minta dilamar, kalau melihat aksiku tadi."
Dan setelah mengatakan itu, dia oleng dan ambruk. "Sakura-chan, cepat bantu sembuhkan dia. Dan setelah itu, aku bisa menjitaknya."
Sakura-chan mengangguk dan berdiri. Lalu menghampiri Kakashi-sensei. Kaguya masih belum bisa mengatur tubuh Madara secara mutlak. Buktinya, sehabis menembakkan Biju Dama itu, ia terlihat lelah. Yah, memang 'sih, volume tembakkan bom itu untuk jinchuriki kyuubi tidak bisa dianggap remeh.
Dan itu membuat Sakura-chan sempat menyelamatkan Kakashi-sensei sebelum diubah menjadi bubur pisang.
Lalu, saat itu juga Sasuke, yang entah dari tadi mana, sudah berdiri tepat di depan wajah Kaguya.
Dia cukup meyakinkan. Matanya, benar-benar mirip Madara, dan tubuhnya bahkan sudah bukan Sasuke lagi. "Kakak . . ."
Sasuke berdiri di depan wajah Kaguya, ekspresinya benar-benar seperti orang yang kehilangan. Wajahnya seolah sedih, dan ia mengucapkan 'kakak' dengan nada, yah, seperti yang kau bayangkan dari adik yang kehilangan. Serak, dan penuh pengharapan. "Jangan kakak!"
Kaguya berontak, dan suaranya yang serak, bertambah seolah ada tiga Kaguya yang bicara bersamaan. "Uchiha!"
Dia menatap Kaguya, dan entah mengapa, tubuhnya bercahaya putih terang. Wajahnya bingung, dan menahan sakit. "apa ini yang kakak inginkan?"
Sasuke menghilang. Dan kemudian muncul di belakang Kaguya. "membiarkan tubuh kakak diambil kejahatan?"
Aku tahu strategi Sasuke, agar muncul sebagai kilasan masa lalu, ia sengaja membuat Madara bingung dari mana ia datang. "Izuna?" suaranya mengecil. Menjadi suara Madara.
"Dia bukan adikmu, bodoh!"
"Izuna, itukah kau?"
"Dia Uchiha sialan itu!"
"Uchiha Izuna, di mana kau?"
Kaguya dikacangin!
Parade suara itu, seperti pertunjukkan sirkus aneh yang akan membuat anak kecil berlari sambil bilang; "Papa . . . mama, ada orang jahat." Madara dan Kaguya bergantian bicara dalam satu tubuh. "Madara, aku tuanmu!"
"Izuna itu adikku!"
Sasuke mendekat, dan memeluk Madara. Hey, itu beresiko besar, kau tahu. Jika Madara bisa melihatmu secara jelas, maka, secara pasti kau akan jadi bergedel Uchiha a la Dewi kelinci. "aku adikmu, orang yang selama ini kau lindungi."
"Dan apa kakak mau melihat apa yang adik kakak lindungi hancur oleh tangan kakak sendiri?"
"Jangan pengaruhi dia, brengsek!"
Mata Kaguya bersinar merah aneh, dan kayaknya itu bukan hal yang bagus. "Hidup kakak."
"Aku merelakan hidupku agar kakak bisa menjalani kehidupan lebih lama dariku. Jadi, apa kakak ingin melecehkanku dengan memberikan pengorbananku pada wanita jalang ini?"
Jalang! Dia bilang Kaguya jalang?!
"Hidupmu hanya untukku Madara. Kau ditakdirkan untuk itu."
"Maaf . . ."
". . . Izuna, maaf."
Sakura-chan dan aku melongo, ini bukan seperti anime-anime shounen lainnya, ini drama murahan di pagi hari! Madara, jangan melankolis seperti itu!
Tubuh Kaguya berpendar, dan mengecil. Dan selanjutnya, Sasuke memberiku aba-aba untuk maju.
Naruto, maju!
'Kau ingin semuanya gagal? Ini terlalu cepat!'
Percaya 'deh. Aku yakin ini berhasil.
Aku berdiri, dan tanpa aba-aba, Kyuubi menguasai semua aliran chakra dalam tubuhku. Dan, yah, selanjutnya aku berubah menjadi manusia oren itu lagi.
Madara dan Kaguya masih sibuk memikirkan otoriter tentang tubuhnya. Dan ini jelas-jelas kesempatan bagus untukku menyerang. Aku menembakkan semua bom yang bisa kubuat secepat-cepatnya.
Madara menatapku, dan mendekati Sasuke.
Gagal! Sasuke gagal! Madara sudah siap membunuhmu, kau tahu? "Jangan sentuh adikku!"
"Dia ingin menyerang kita bodoh!"
"Izuna!"
Sasuke tersenyum, dan wajahnya kembali dipenuhi kebanggaan. Lihat 'kan?
'Jadi, kau cuma ingin mengetes, apa Madara sudah cukup yakin?'
Hmm, dan lihat apa aksiku selanjutnya.
'Ya, ya, terserah kau saja. Dan sekarang aku harus bagaimana?'
Kembali, jaga Sakura dan sensei, lalu sembuhkan dirimu dulu.
'Hmm . . .'
Madara kini berpenampilan aneh dengan zirah yang sedikit sobek dan mukanya gosong terkena bom yang kulemparkan. Yah, sebenarnya aku masih ingin menghajar mukanya yang songong itu, tapi aku lebih baik menuruti Sasuke. Walau aku tahu otaknya agak bebal, tapi aku dan dia sudah bertarung hampir satu bulan –atau lebih, yang sejujurnya sudah membuat kami sangat dekat.
Dan juga, setidaknya, dia mau memercayaiku untuk merubah dirinya menjadi Izuna.
Jarang lho, Uchiha mau disuruh. Apalagi, si muka tebing itu.
Aku mundur, dan Sasuke kembali memengaruhi Madara, lalu selanjutnya, duduk di samping Sakura-chan yang sedang menyembuhkan Kakashi-sensei. Dia itu cewek berambut acak-acakkan yang wajahnya penuh debu. Di dahinya ada tanda aneh yang berwarna merah muda. "Ada apa Naruto?"
"Sasuke menyuruhku mengistirahatkan tubuhku."
"Jadi . . ."
"Yah, boleh aku duduk di sini?"
"Tentu, lagipula, mungkin ini kesempatan terakhir kita untuk bisa duduk bersama."
"Aku sebenarnya benci fakta itu, tapi, mungkin aku setuju denganmu."
Aku menatapnya. Dan yang kurasakan selanjutnya adalah rasa aneh yang menarik perutku. Debaran ini masih sama, setelah sekian lama. Mungkin waktu bisa merubah dan mengganti segalanya, tapi segalanya yang kupunya tentang Sakura-chan adalah hal yang tak bisa diubah oleh waktu. Aku terus memokuskan mataku ke wajah putih yang tertutupi debu itu, dia cantik. Sangat cantik.
Seorang Haruno Sakura punya cara sendiri untuk sebuah kecantikan. Hinata mungkin cantik dengan tubuhnya yang proposional. Nenek tua pirangan itu mungkin cantik dengan wajah awet muda, dan bagian tubuhnya, yang bisa dibilang, menggoda itu. Atau, si Ino yang cantik dengan riasan serta pakaian yang modis.
Tapi cewek ini tak terlalu peduli akan tubuh, bahkan mungkin ia tak akan memakai lipstik kalau ibunya tidak ceramah tentang segala aspek kecantikan wanita. Tapi dia peduli pada semua orang, dan itu mencuri hatiku.
Selanjutnya, entah kenapa Sakura memalingkan wajah ke arahku. "A . . . ah . . ." dan lalu, secara reflek, kami berdua memalingkan wajah secara bersamaan.
"Ja . . . jadi, bagaimana de . . . dengan Kakashi-sensei."
Sial, jantungku mau copot.
"Di . . . dia bakalan se . . . sembuh beberapa menit lagi 'kok."
"Yah, kuharap begitu."
"Setelah hampir jadi bubur pisang, dan selamat bersama dari banyak Biju Dama, kehilangan Kakashi-sensei bakalan sakit banget."
"Walau dia suka nonton majalah porno, tapi orang ini yang udah buat kita jadi begini,"
"coba bayangkan kalau Kakashi-sensei menyerah dari kita waktu itu."
"Aku mungkin bakalan jadi jinchuriki kyuubi yang cuma bisa ngoceh bakal jadi hokage sambil buat onar. Dan si Sasuke mungkin bakalan cuma jadi Uchiha yang, yah, bisanya makan tomat sambil nonton TV dan ngomong kata-kata kasar. Kalau Sakura-chan mungkin sekarang udah jadi ibu rumah tangga yang baik alih-alih jadi pendekar begini."
"Tapi, selain itu, mungkin aku nggak akan mengenal lebih jauh seorang Uzumaki yang pantang menyerah ini. Dan yah, mungkin momen seperti tadi, takkan aku lihat."
Aku bingung, momen seperti apa yang ia bicarakan. Entah Madara yang ternyata super melankolis, atau Kaguya yang jatuh dengan cara yang menyakitkan tadi. Atau mungkin –
Dan tanpa kusadari, wajahku dan wajahnya memerah. "Mu . . . mungkin."
Sialan! Ingatkan aku untuk melamarnya setelah perang usai nanti.
~-o-~
1.4
~-o-~
Kakashi-sensei sudah pulih, dan Sakura-chan juga sudah bugar kembali. Sasuke juga sudah bisa membuat Madara meraih kendali atas dirinya.
Semuanya sudah berjalan di atas kendali.
Tapi, entah nasib kami yang sangat tidak beruntung, atau memang keberuntungan seolah menjauhi kami. Madara sudah bisa aku kalahkan ketika ia sedang dalam masa-masa kritis. "Sumpah, mimpi apa 'sih semalem?"
Kaguya kini melayang sebagai roh alam yang tidak berfisik, dan kekuatannya semakin mengagumkan. "Sumpah, seseorang bunuh aku!"
Sasuke benar-benar frustasi.
"Apa kalian terlalu bodoh untuk menyadari waktu untuk menyerah." suaranya memberat, dan semakin menambah aura mengerikan yang ada padanya.
Aku benci ini, bisakah hal yang sudah paling buruk ini menjadi semakin buruk? "Akan kuubah kalian menjadi –"
"–bubur pisang –"
"–bubur pisang."
Ia seolah sadar, dan mengoreksi perkataanya. "Ehem, maaf."
"Akan kuubah kalian menjadi makhluk terendah yang pernah ada. Mungkin menjadi parajurit monyet cocok untuk kalian."
Aku melemparkan rasengan yang kubuat. Dan itu hanya menembusnya tanpa meninggalkan bekas apapun. "Haha . . . bodoh!"
"Aku kini transparan. Tinggal beberapa saat lagi, aku akan mencapai bentuk sempurna. Dan kalian akan mati secara langsung."
Madara sudah kalah, dan kenapa Kaguya masih hidup?
"Naruto, dengar! Ini cara satu-satunya."
Jika Sasuke yang bilang itu, aku sudah siap untuk menghajar wajahnya. Semua perkiraannya salah. Tapi saat melihat Kakashi-sensei menatapku intens, aku harus mengalihkan perhatianku padanya. "Apaan?"
"Aku punya jurus yang bisa menyegel material alam seperti Kaguya dalam tubuh seseorang."
"Apapun itu, yang penting, aku mau cepat ini selesai."
"Tapi, masalahnya di sini. Tak ada orang yang bisa menampung Chakra kaguya. Maksudku, yang susah itu mencari wadahnya."
"yang aku cari itu, orang yang memiliki chakra yang paling besar di antara shinobi lain."
Entah kenapa firasatku agak tak enak. "Itu berarti aku 'kan?"
"Itu bisa, tapi, masalahnya, kapasitas tampungan dalam tubuhmu harusnya sudah mendekati full. Dan jika itu dipaksakan, maka . . ."
"Palingan, aku jadi bubur pisang."
"Nah, bubur pisang."
"Jadi, aku harus bagaimana?"
"Mungkin kau harus melepas semua biju yang ada dalam tubuhmu. Agar space-disk, tubuhmu melonggar."
"Kurama juga?"
"Sayangnya, jika kau tak ingin menjadi bubur pisang. Dan itu amat beresiko."
"Tapi, bagaimana jika nanti tiba-tiba aku mengamuk di desa. Itu bukan lelucon yang bagus."
"Itu kemungkinan kedua."
"Baiklah, kita coba."
"Woy!" yang bilang begitu adalah Sasuke yang tiba-tiba nimbrung dan langsung ngomong seenak udelnya sendiri. "nggak lucu kalau tiba-tiba Konoha hancur gara-gara sebuah kesalah presepsi."
"Nggak papa. Kalau itu kau, aku bakalan tarung all-out. Tenang saja." Dan ia menjetikkan matanya padaku.
Kata-katanya bukannya menenangkanku. Sumpah, aku ingin menjitaknya.
Sakura-chan meninju tanah untuk menghalau sebuah material bom yang melayang ke arah kami. "Apapun itu, cepetan!"
"Yah, mau gimana lagi."
Dan aku-pun lalu terbawa ke alam bawah sadarku.
.
.
Namanya Kurama, dan yang berekor satu itu Shikaku, sementara kura-kura yang ekornya ada tiga itu namanya Sanbi, dan yang di depannya ada orang narsis sambil ngerap, itu Hachibi, dan . . . dan, mereka semua namanya biju.
"Ok, kalian tahu 'kan, buat apa aku ke sini."
Mau gimana lagi.
Shikaku menatapku dan suaranya menggema dalam ruangan itu. Tapi, sebelum itu, izinkan aku membunuh bocah Uchiha tadi, boss!
"Aku juga inginnya begitu, tapi aku akan menyesal kalau kau melakukan itu."
Jadi, beneran, boss bakalan mengeluarkan kami?
"Ini satu-satunya cara."
Kata siapa?
"Kakashi-sensei."
Jadi, Kurama harus ikut keluar?
"Sayangnya, iya."
Aku berlari ke arah Kurama dan menghembuskan diriku ke pelukkan kami. Kurama bakalan rindu boss. Apa boss bakal rindu Kurama?
"Jelas banget!"
"Ok, sekarang, kita beraksi!"
Yosha!
.
.
Aku sadar ketika perutku serasa ditarik kail dan rasa sakitnya, itu minta ampun.
Para biju sudah keluar dari dalam tubuhku, dan mereka menatapku intens. Boss, beneran 'nih?
Aku merasa sangat lemas, dan tubuhku mati rasa. "Tentu, jagoan."
Kakashi-sensei lalu merapal jurus, kayaknya dia sudah menghapalkan ini bertahun-tahun. Terlihat dari caranya yang seolah hal ini sudah biasa baginya.
Ia mengepalkan tangan dan menghantamkannya ke tanah, dan selanjutnya tubuh Kaguya sudah dipenuhi oleh tumpukan rantai yang sepertinya ini khas Uzumaki. Aku tak tahu ia belajar dari mana, tapi yang jelas, untuk bisa menguasai rantai apalagi bukan dari Uzumaki –yang notabene aliran chakranya beda-, kayaknya perlu latihan yang tak bisa dibilang mudah.
Dengan cepat, saat Kaguya masih panik, ia menarik tubuhnya ke arahku dan memaksakan dia masuk lewat jalan yang dibuat para biju untuk keluar.
Yah, kayaknya besok kita namain spot-anget lubang itu.
Diem! Dan saat itu Shikaku meringis merasakan sambitan Kurama.
Aku menjerit sejadi-jadinya, rasanya seperti tubuhmu di belah menjadi dua, dan lalu dicincang. Aku mendeskripsikan semua hal tadi seolah itu hal yang mudah, iya 'kan?
Tapi, sebenarnya, rasa sakit yang kuderita dari setiap proses yang kualami benar-benar hampir membunuhku.
Berjuang boss, kami di sisimu selalu.
Ayo boss! Kau pasti bisa!
"Aku akan membunuhmu jika kau sampai mati di sini."
Sasuke, bisa kau diam, dan biarkan aku berkonsentrasi.
~-o-~
1.5
~-o-~
Aku bisa menjerit saat ini, karena faktanya, aku bisa merasakan seluruh jiwaku kabur dan rasanya seperti masuk ke dalam lemari pendingin. Aku bisa melihat mereka, para biju dan semua manusia –yang berarti hanya tim 7, menjerit memanggil namaku.
Aku ingin bangun, tapi tubuh dan tanganku terasa ditarik ke . . . aku tak tahu. Pokonya, rasanya, aku semakin, semakin dan semakin dalam masuk ke alam bawah sadarku.
Uzumaki Naruto . . .
Suara itu menggeram, dan kayaknya akan membuat siapapun nangis di tempat. Sumpah, ini ngeri.
Datanglah kepadaku.
Dan aku mencari sumber suara itu, alih-alih menemukan monster mengerikan, malah yang kulihat adalah sesosok wanita berambut putih dengan wajah yang begitu manis, dan . . . dan dia. Eh?
"Kaguya, kau telanjang?"
"Selama berabad-abad aku begini, dan tak ada yang memerotesku. Dan jangan alihkan pandanganmu!"
"Tapi, kau sedang berhadapan dengan cowok yang mengalami pubertas bodoh!" aku yakin pipiku memerah.
"Jika aku lepas kendali, maka kau akan dalam bahaya." Persetan kalau dia adalah Dewi kelinci, kalau sampai itu terjadi, kayaknya aku akan berada dalam masalah yang besar. Aku melapas jaket orenku. "Pakai!"
"Sudah kubilang, aku nyaman begini!"
"Pakai saja! Aku yang tak nyaman." Aku bisa melihatnya mencibirkan bibir.
Lagipula, dia itu Kaguya? Monster yang selama ini membuat kami kewalahan? "Ngomong-ngomong, terakhir kali kulihat, kau itu tipe monster yang takkan mau kutemui di rumah hantu. Dan sekaramg, bagaimana kau bisa semuda ini?"
Ia selesai memakai jaket, dan aku memalingkan wajahku ke arahnya. Setidaknya, atasnya tertutupi, jangan lihat ke bawah Naruto! "Haha, kukira, lawanku selama ini pintar, tapi ternyata dugaanku salah."
"Aku itu hidup menurut jinchuriki-ku."
"Jadi, karena daging Madara sudah alot, kau ikutan jadi mengerikan? Dan karena aku masih muda, kau juga jadi seperti ini?"
"Basisnya seperti itu."
"Lagipula, Uzumaki, ingat, aku memang kalah, ku akui, lagipula, guru bejatmu itu nggak sopan banget, memasukkanku ke tubuhmu lewat jalan udel. Bagaimana-pun, aku dewi 'lho!" jadi itu spot-anget-nya Shukaku.
Aku menatapnya. "Kau menyerah semudah itu?"
"Yah, bisa dibilang iya. Lagipula, sekarang aku terikat di rantai tubuh seorang Uzumaki. Plus, ada beberapa fakta lain yang membuatku tak bisa melawanmu." dia berkata begitu sambil menunjukan rantai di kakinya.
"Tapi, kau dewi, dan aku manusia. Kukira, dalam perhitunganku, kau akan sedikit melawan dan membuatku diare selama beberapa bulan."
"Kau bukan lagi manusia Uzumaki. Kau reinkarnasi dari anakku, dan kau sekarang jinchuriki-ku, kau setengah dewa. Dan yah, masalah perlawanan, aku tak cukup bodoh, untuk mengetahui bahwa apapun yang aku lakukan di sini takkan menjadikan apapun."
"Jadi, sekarang kau mau apa?"
"Kalau boleh 'sih, aku mau kau melepaskanku. Tapi, kayaknya mustahil. Dan yah, kurasa di sini nyaman juga. Pantesan, Kurama betah. Terakhir kali di tubuh Madara, alam bawah sadarnya baunya seperti selokan lama. Tapi tubuhmu bersih dan wangi."
Aku melihat sekeliling, dan bisa melihat lilitan rantai membelenggu semua tubuhnya, hanya tangannya yang bebas bergerak. "Mungkin dalam artian lain, aku bisa."
Brakk!
Rantai-rantai tadi terputus, dan membuat Kaguya terjatuh dari sandarannya. "Eh? Apaan ini?"
Kaguya menatapku tak percaya. "Aku monster yang hampir menghancurkan semua kehidupan dunia ini Uzumaki. Dan kau melepaskanku dari penjara ini dengan mudah?"
"Kurama juga bilang begitu, tapi, aku tahu 'kok, semua makhluk butuh kebebasan. Dan juga, dulu mungkin aku takkan berani melakukan ini. Sekarang aku sudah yakin dengan kemampuanku, dan kurasa aku bisa menyegelmu tanpa rantai."
"Kurasa beneran 'deh, aku harus memanggilmu Goshujin-sama."
Entahlah, aku sebenarnya tak yakin kenapa aku melepaskan rantainya. Beberapa jam lalu ia adalah makhluk yang paling kubenci, dan sekarang dia nampak seperti butuh pelukkan.
"Sesukamu saja."
"Kita sudah sampai."
"Di mana?"
"Masa lalu. Goshujin-sama dan aku terbuat di zaman yang sama sekali berbeda, dan harusnya itu membuat distorsi waktu yang besar terjadi. Cukup besar untuk membuat kita terseret arus dan masuk ke dalam dinding waktu."
"Jadi, sekarang Goshujin-sama tahu 'kan, kenapa aku menyerah."
"Karena jika kau melawan-pun, kita akan hancur bersama di perpindahan waktu."
"Yup! Fakta bahwa kita sudah selamat dari lubang hitam, dan kita tak menjadi bubur pisang saja sudah membuatku bersyukur, apa lagi kepikiran melawanmu."
Semakin lama kuperhatikan, cahaya mulai berpendar mengelilingi tubuh kami. Dan entah mengapa tubuhku terasa menyusut. Dan . . .
"Selamat datang di dunia hokage ke-4 Goshujin-sama."
. . . suara si Dewi kelinci cedal?
.
.
Saya bingung mau ngomong apa, tapi ini baru permulaan. Saya agak nggak yakin dengan gaya penulisan yang baru ini. Dan jika ada kesalahan dalam jutsu dan realita di Naruto, saya mohon maaf, karena faktanya saya juga bingung dengan om Masashi yang bikin Naruto jadi aneh. Naruto punya jurus yang, yah, seujug-ujug jadi superior. Dulu mau dapet rasengan susahnya minta ampun. Sekarang . . . yah, kau tahu. Jadi, Naruto bisa nguasain angin, kaya Kamikaze gitu.
Alur battle ini begini, mungkin agak nentang di Animenya. Obito berhasil dibujuk Madara, dan si tolol itu, jadi tumbal buat Kaguya.
Lagipula, kenapa saya pakai 1st PoV. Karena, Naruto itu terlalu berbakat jadi peran pembantu, jadi biar nanti dia bakalan bener-bener berubah jadi MC. Sumpah, om Masashi juga agak rumpang kalau jadiin Naruto MC. Kalau judulnya bukan Naruto Shippuden, paling MC-nya bakalan dikira Sasuke.
Semua tentang Sasuke itu dari pendapat sudut pandang Naruto, kalau saya jadi Naruto, mungkin saya bakal nganggep Sasuke nggak lebih dari cowok super songong. Dan mengenai ke-OOC-an, yang OOC di sini cuma Naruto, dan mungkin Kaguya.
Dan, fanfict ini jelas beda alurnya sama yang dulu.
Makasih!
.
.
Gladius Nubelis, out.
