Title: Gentle Lie
Author: Natarii a.k.a Kumiko a.k.a Miko
Fandom: Alice Nine
Pairing(s): ShouxHiroto, ShouxSaga, ToraxHiroto, NaoxSaga
Chapter: 1 "Last Memory"
Rate: T
Genre: Angst, Romacne
Summary:
Mimpi yang merupakan memori terakhir yang ia ingat. —Kekasih?—Benarkah Hiroto adalah kekasihnya?—"Aku… sudah bisa ingat sedikit."—"Aku… ingin melihat…Hanabi"—Hiroto… dan… Tora—ia tahu jelas… apa yang ia lihat adalah sebuah kenyataan yang tidak nyata—"Shou!" Saga dan Tora panic.
Sosok itu duduk tertegun diatas ranjang itu, matanya lurus memandang kosong kedepan. Aroma obat yang khas menusuk hidung mancungnya, deru napasnya yang pelan terdengar lirih. Peluh turun dari keningnya sangat banyak…
Beberapa saat yang lalu, ia tenang-tenang saja terbuai mimpinya. Namun sesaat sekelebat mimpi buruknya menghantui, memaksanya terjaga dari tidur.
Bila saja mimpinya itu adalah mimpi indah ia takkan pernah tampak kacau seperti ini. Hanya saja mimpi yang membangunkannya itu adalah mimpi yang menampilkan sebuah ketakutan. Dirinya yang meringkuk sendirian dalam kegelapan dan gemetar ketakutan.
Padahal ia sendiri tak tahu apa yang membuatnya ketakutan hingga seperti itu dalam mimpinya…
Mimpi yang merupakan memori terakhir yang ia ingat.
*1*
"Bagaimana perasaanmu Shou? Sudah lebih baik?" Pemuda betubuh kecil bernama Hiroto bertanya pada sosok pemuda dengan pakaian rumah sakit duduk di atas ranjangnya yang dipanggilnya Shou.
"Uhm… tidak bisa dibilang baik juga sih. Tapi, kurasa aku sudah lebih baik." Jawab Shou dengan sedikit tertunduk menyembunyikan semburat merah merekah karena melihat senyum manis Hiroto padanya.
"Syukurlah kalau begitu." Hiroto bangkit berdiri dan memeluk Shou dengan sekali rengkuhan.
Shou tercengang. Ia terlalu kaget untuk bisa membalas pelukan pemuda berambut pirang platina itu, bibir pucatnya bergetar dalam kegugupan untuk beberapa saat. Sampai dirasakannya sebuah kehangatan yang begitu nyaman menguasai dirinya. Seketika, bayangan ketakutan dalam memori yang terbawa mimpinya beberapa hari belakangan ini seolah menghilang.
"Aku harap kau lekas sembuh Shou." Ucap Hiroto bersamaan dengan gerakan melepas peluknya tanpa menunggu Shou bergerak membalas peluknya. Senyum cerianya yang manis itu sekali lagi menghipnotis Shou hingga kehilangan kata-kata.
Dengan sekuat tenaga Shou mengendalikan dirinya lagi, menahan rona merahnya, juga degup jantung pertanda kegugupannya. Ia bertanya dengan suara lirih, "tapi… kenapa… kau sebaik itu…?"
Satu yang selalu ia pertanyakan. Selama ia berada di rumah sakit ini. Hiroto yang paling sering menjenguknya… lebih daripada Tora yang mengaku sebagai adiknya, juga orang-orang yang memperkenalkan diri mereka sebagai sahabatnya.
"Karena… aku kekasihmu." Ucap Hiroto pelan, namun sanggup diterima oleh alat pendengaran Shou yang dengan itu segera membuat matanya terbelalak kaget dan mulut sedikit terbuka bukti keterkejutannya.
Kekasih?
Benarkah? Lalu… kenapa ia tak bisa mengingat apa pun tentang Hiroto?
Tapi diakuinya memang saat dekat dengan Hiroto ada yang aneh dengan dirinya. Ada saja yang membuatnya kadang gugup di depan Hiroto. Atau takut salah berbicara di depan Hiroto.
Benarkah Hiroto adalah kekasihnya?
*1*
Shou terbangun dari tidurnya. Duduk bersandar pada kepala ranjang, dan menatap kearah jendela kamar rawatnya.
Ia bemimpi lagi. Tapi bukan mimpi yang membawa memori ketakutannya. Yang dilihatnya malah wajah Hiroto.
Sedikit menarik ujung bibirnya… Shou bergumam. "Aku benar-benar jatuh cinta."
Jika saja… ia bisa, ia ingin sekali membawa sang pujaan hati bersamanya dalam mimpi yang sama. Agar sang pujaan hati tahu, ia perlahan benar-benar ingat akan perasaannya, walau tak diiringi dengan memori tentang Hiroto. Asalkan ia bisa merasakan cinta yang mungkin pernah ia rasakan pada Hiroto...
Itu sudah lebih dari cukup.
*1*
Suatu hari, di kamar rawat yang sama…
Shou diam saja hari ini. Walau seperti biasanya juga begitu. Hari ini berbeda, pandangannya kini tertuju pada jendela kamar rawatnya, melihat langit.
Saga—sahabat Shou yang saat itu datang menjenguknya sedikit bingung dengan sikap diam Shou yang ganjil. Ia pun bertanya. "Shou, ada apa? Kenapa diam saja? Kau marasa sakit atau apa?"
Shou menoleh sesaat dan tersenyum kecil, sedikit membuat Saga lega. Mungkin Shou tidak sedang sakit.
"Jangan hanya tersenyum. Jawablah. Ada apa?" Saga mengambil buah apel yang dibawanya untuk Shou. Sebuah pisau digunakannya mengupas kulit buah itu, menunggu Shou yang memilah-milah kata tepat sebelum buka suara.
"Aku… sudah bisa ingat sedikit."
Saga berhenti dengan kegiatannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kaget.
"B—benarkah? Ingat… apa saja?"
Shou mengalihkan pandangannya lagi ke jendela sambil tersenyum. "Belum banyak. Tapi aku merasa seperti, mengingat Hiroto. Seperti yang dikatakannya padaku, dia kekasihku."
"Begitu ya…" Saga tergagap dan kembali meneruskan mengupas kulit apel itu untuk dimakan Shou. "Apa kau belum ingat yang lain Shou?" pemuda berambut hitam kecoklatan itu bertanya tanpa melihat Shou.
Shou menggeleng. Sekalipun Saga tak dapat melihatnya, tapi ia tak perduli. "Belum. Hanya saja, beberapa hari sebelumnya aku sering bermimpi aneh. Seperti melihat diriku sendiri sedang ketakutan dalam kegelapan. Dan setelahnya aku terbangun dari tidur."
Saga selesai dengan apelnya yang telah terpotong-potong dan dimasukkan dalam sebuah mangkuk putih. Dia menatap sesaat sosok Shou yang memandang jendela kamarnya dengan pandangan penuh arti. Ia menyodorkan mangkuk berisi apel itu pada Shou.
Shou menerimanya dan berterima kasih lalu mulai menyantap sepotong apel. Keheningan tercipta saat Saga dengan sengaja menatap Shou yang tengah menikmati potongan apel yang dipotongnya. Shou menyadarinya namun tak ingin ambil pusing, ia kembali melirik jendela kamar rawatnya.
Saga mengikuti arah pandangan Shou, langit sudah berubah menjadi warna jingga keemasan. Sebentar lagi sang matahari akan tenggelam diufuk barat. Dan sebentar lagi Saga akan segera pergi dari kamar rawat ini di karenakan jam besuk yang habis, Shou harus kembali memulihkan kesehatannya dengan banyak beristirahat.
"Saga…"
Sontak Saga menoleh. "Ya?"
"Aku… ingin melihat… Hanabi."
Saga tersentak. Berusaha tersenyum kikuk. "K—kenapa?"
"Aku ingin melihat Hanabi dengan orang yang tepat."
Mata Saga berair tatkala melihat Shou menatap lurus dan serius keluar jendela kamar rawat itu, melihat langit senja dengan penuh harap. Saga tak sanggup merangkai kata-kata untuk sekedar membalas ucapan Shou. Dan Shou terus bicara.
"Entah kenapa aku punya perasaan seperti itu. Nanti, kalau ada Hanabi Matsuri, aku akan pergi dengan orang itu ke sana. Melihatnya sama-sama. Kalau boleh berharap, sebelum hal festival itu terjadi… aku ingin seluruh ingatanku kembali agar aku tahu siapa yang tepat..."
Saga berusaha menahan tangis, tapi matanya mengkhianati dirinya. Air mata itu meluncur turun dari kedua mata hitamnya hingga dagunya. Entah apa yang menjadi penyebab tangisnya itu.
Sementara Shou tetap berkutat dengan pikirannya…
"Sekalipun harus menunggu, aku pasti menunggu… hingga bisa melihat Hanabi itu dengan orang yang tepat."
Tanpa suara Saga menitikan semakin banyak air mata.
Bukan tanpa alasan Saga menangis. Tangisnya pecah karena terhanyut akan ucapan demi ucapan yang terlontar dari bibir Shou, kata-kata yang hampir sama dengan kata-kata yang dulu terucap dari bibir Shou.
Meski agak berbeda dalam maksud. Tapi Saga merasa dadanya begitu sakit. Dalam hati berdoa agar apa yang diminta oleh Shou adalah sesuatu yang terbaik nantinya, dan takkan membuatnya menyesal.
*1*
Sosok berambut coklat gelap itu mengayunkan kakinya tanpa arah yang tepat.
Shou membawa dirinya yang masih terbalut pakaian rumah sakit berwarna biru dan putih itu mengikuti kakinya melangkah. Ia tak tahu ingin kemana, yang diketahuinya hanya langkah kakinya membawanya ke suatu tempat yang mungkin saja adalah tempat yang pernah dikunjunginya sebelumnya.
Ia berhenti, didepan sebuah bangunan tua dengan pagar tinggi menjulang.
Bangunan itu sangat tua hingga beberapa bagiannya tampak telah tertutupi sulur-sulur dan lumut. Tempat apa ini? Tanya Shou dalam hati. Tak ingin terlarut lama-lama dengan rasa penasaran, Shou langsung mendorong pagar tinggi itu yang rupanya tak terkunci. Ceroboh memang tapi itu menguntungkan Shou.
Kaki Shou yang hanya terlapis sandal rumah sakit menggemakan suara langkahnya hampir ketiap sudut ruang utama yang dimasuki Shou itu.
Shou terdiam sesaat, memandang kagum ruang pertama yang dimasukinya itu. Luas sekali tapi kosong. Tak ada perabotan apa pun di sana.
Saat matanya yang sedang menyapu tiap sudut ruangan itu menemukan sebuah tangga spiral tak jauh darinya, segera saja ia menaiki anak tangga itu tanpa tahu berapa banyak anak tangga yang harus dipijaknya untuk sampai di lantai atas.
Jerih payah Shou untuk mendaki undakan demi undakan anak tangga tangga itu membuahkan hasil, ia sampai di lantai lainnya yang agak berbeda dengan lantai bawah. Tempat itu bercabang-cabang. Ada banyak jalan dan Shou kebingungan memilih jalan.
Lagi-lagi, Shou mengambil pilihan untuk mengikuti dimana kakinya membawa saja. Di jalan yang dipilihnya, ia melihat beberapa pintu ruangan berjejer disamping kiri dan kanannya. Sesekali saja Shou mengintip isi ruangan-ruangan yang dirasanya pantas dibuka lalu melanjutkan jalannya.
Sampai ia berhenti di depan pintu terakhir yang letaknya diujung lorong yang ia lewati itu.
Pintu yang rasanya tak asing. Tangannya terulur, menyentuh gagang pintu itu. Rasanya benar-benar tidak asing. Seperti ia sudah berkali-kali datang ke sana dan masuk ke dalam ruangan itu. Ruang yang sepertinya adalah bagian dari sepenggal memori masa lalu yang ia lupakan.
Ckrek.
Kriiieeek.
Suara derit pintu itu menggema dalam ruangan itu.
Mata Shou nyalang menyapu tiap sudut ruangan itu. Dimana disudut ruangan ada sebuah ranjang satu badan berseprai putih dan terlihat rapih. Seperti telah lama tak digunakan. Lalu tak jauh dari ranjang itu ada sebuah sofa kulit panjang dengan warna merah kecoklatan dan di sandaran sofa itu terdapat sebuah gitar berwarna hitam bersandar.
Sementara itu tak ada lagi benda lainnya dalam ruangan itu. Ruang itu tetap kosong. Sinar matahari masuk lewat empat buah jendela besar di beberapa bagian ruangan itu. Shou yang diliputi rasa penasaran menelusuri ruangan itu, mencoba mencari sesuatu yang bisa membangkitkan memorinya. Sampai ketika ia berhenti di samping ranjang itu, jemarinya menyentuh seprai itu dan tanpa sadar, Shou berjongkok menilik bawah ranjang itu.
Awalnya hanya sebuah kegelapan, tapi setelah berhasil menyesuaikan diri Shou dapat melihat sebuah buku dengan sampul berwarna hijau kecoklatan di bawah sana. Shou mengambil buku itu dan membaca sampulnya, sebuah novel. Novel yang sepertinya sudah sering dibaca hingga kertas dan sampulnya tampak lusuh.
Kepala Shou terasa berdenyut. Ia yakin sudah pernah datang kemari. Pernah tidur di sini. Pernah melakukan beberapa hal di sini termasuk… membaca buku itu di sini. Di ruangan ini.
Semuanya berputar-putar dalam kepalanya. Sudah cukup. Dengan cepat, Shou bangkit berdiri dan melangkah sambil memegangi kepalanya keluar dari ruangan itu. Dia melewati lorong itu lagi, ingin segera keluar sambil masih membawa buku novel itu bersamanya.
Namun langkahnya berhenti di depan tangga spiral yang tadi ia naiki. Entah kenapa rasa pening dan pusing tadi hilang tak bersisa. Yang ada hanya ada rasa tak puas, ia masih ingin tahu lebih banyak…
Dipikirnya, selagi ia dapat lolos keluar dari rumah sakit tanpa diketahui pastinya ia bisa melakukan semuanya sekarang. Karena mungkin takkan ada kesempatan kedua, pasti semua perawat dan dokter yang menanganinya akan menahannya di tempat itu untuk waktu yang lebih lama sebagai hukuman karena telah keluar hari ini dengan seenaknya tanpa ijin sama sekali.
Jadi karena sudah kepalang tanggung. Lebih baik dilanjutkan dari pada menyesal.
Dia melewati jalan yang berbeda kali ini. Tapi situasi yang ada di sekitarnya tampak tak jauh beda, pintu-pintu ruangan berjejer. Saat ia telah melewati beberapa menit memeriksa ruangan yang kebanyakan diantaranya adalah ruang kosong ia pun hampir sampai di ujung jalan.
Ada suara! Batinnya.
Telingannya mendengar suara-suara datang dari arah ujung jalan. Bukan suara yang asing. Itu… suara…
Alunan piano yang putus-putus, lalu tak lama suara beberapa orang bicara. Setelahnya yang terdengar adalah gelak tawa renyah menggema.
Shou benar-benar mengenali suara-suara yang berasal dari ujung jalan dimana sebuah pintu ruangan itu berada. Maka kakinya mengayun lagi, tanpa suara. Suara-suara itu semakin terdengar jelas.
Debar jantung Shou bertambah cepat, tangannya terulur dengan sedikit gemetar. Ia membuka pintu itu pelan dan hanya membiarkan pintu itu terbuka setengah, ia mengintip kedalamnya. Ada sebuah tangga turun yang tak lebih dari 5 anak tangga, lalu suara-suara orang bicara semakin terdengar, sumber suara itu ada dibawah tangga itu.
Kepala Shou melongok kedalam dan dengan begitu ia bisa melihat walau tak terlalu jelas sumber suara.
Namun yang dilihat Shou sungguh-sungguh membuatnya tertegun. Entah itu nyata atau tidak… tapi yang ia lihat adalah…
Hiroto… dan… Tora…
Mereka bersama-sama saling melempar senyum penuh kasih sayang yang dapat membuat tiap orang iri melihatnya. Kemudian tak lama Tora yang bersandar disamping piano yang tadi dimainkan Hiroto berpindah tempat duduk disamping Hiroto lalu tanpa kata-kata meraih kepala Hiroto memutus jarak antara mereka.
Shou menggigit bibir bawahnya. Matanya memanas. Tangannya meremas gagang pintu itu dengan sangat kuat sampai-sampai tangannya memerah. Dadanya terasa tercabik, begitu sakit dan perih. Darah mengalir dari bibir bawahnya tanpa ia perdulikan, setitik air mata tumpah.
Sedetik kemudian matanya berkedip dan apa yang ia lihat menghilang. Tak ada Hiroto, tak ada Tora, tak ada siapa-siapa. Hanya sebuah ruangan kosong dengan piano berwarna kecoklatan di tengah ruangan tersebut.
Ia menggeleng pelan. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, ia tahu jelas… apa yang ia lihat adalah sebuah kenyataan yang tidak nyata. Adalah sepenggal memori yang tersisa di tempat itu.
Sebuah memori yang pernah ingin ia lupakan. Kepalanya berdenyut sakit, segera saja ia meremat sisi kepalanya yang berdenyut sakit itu. Tak lama rasa sakit itu memudar.
Lalu tanpa menyeka air mata atau darahnya yang mengalir, ia melangkah gontai menuju tangga dengan kepala tertunduk melihat lantai marmer tempat ia berpijak.
"Lho? Shou!"
Mata Shou tersorot pada sosok Saga dan Tora yang entah sejak kapan telah berdiri di depannya.
"Shou, kau kenapa?" Saga mendekati Shou. "Kenapa kau ada di sini? Lalu, kenapa kau menangis? Bibirmu juga berdarah." tangan Saga terulur menyeka jejak air mata di pipi Shou yang hanya bisa diam dengan mata lurus menatap Tora.
Terbayang lagi.
Shou bisa melihat bayangan yang beberapa waktu lalu ia lihat di ruangan tadi. Lagi-lagi dadanya terasa nyeri. Sakit.
"Shou?" Tora-lah yang kali ini mendekati Shou. Ia khawatir akan apa yang terjadi pada kakaknya.
"Shou, apa yang terjadi?" selembut mungkin Saga mencoba bertanya. Tapi Shou tetap diam menahan nyeri di dadanya. Ingatan itu tidak mau hilang dari otaknya, terus melekat membuat Shou muak. Dan sekarang bukan hanya dadanya saja yang nyeri, tapi kepalanya ikut berdenyut lebih menyakitkan dari yang sebelumnya saat tanpa sengaja ia bertemu pandang dengan adiknya, Tora.
"Uh." Perlahan ia mengeluh memegang kepalanya.
"Shou!" Saga dan Tora panic.
"Sebaiknya kita kembali kerumah sakit sekarang"
*~Tsuzuku…~*
^^/
Aaah, sepertinya sudah lama saiah tidak datang membawa fanfic. Dan kali ini saiah membawa fic Alice nine.
Fic ini sebelumnya sudah pernah saiah tulis dengan Fandom band lain, tapi karena menurut saiah band ini kurang terkenal. Jadi ada baiknya kalau saiah bawakan dengan versi chara Alice nine. Walau sejujurnya alur, pemilihan kata-kata dan lainnya tak ada yg berubah kecuali nama chara dan fandom. ==;
Saiah berharap sekali ada yg berminat membaca, dan meninggalkan review. Kritik atau saran. Akan saiah terima dengan lapang dada kok. m(_ _)m
