Luhan tak ingat mulai kapan, tapi Sehun terasa menghilang untuk minggu-minggu belakang. Bahkan untuk sekedar pesan dan telepon; seingat Luhan itu mereka lakukan dua hari yang lalu. Selebihnya, untuk kemarin dan selanjutnya, tidak ada.
Maka di langkah pertamanya memasuki apartemen, dia tak merasa perlu mengecek tudung makanan maupun kulkas—barangkali Sehun memasakkan makan malam untuknya selagi dirinya belum pulang kerja, seperti yang biasa lelaki itu lakukan.
Lantas, selain lirikan sendu pada meja makan, Luhan bergerak ke kamar. Langsung terjatuh dengan wajah terlebih dahulu, menyisakan telapak kaki yang masih dibalut kaus menggantung di ujung kasur.
Sekalipun mereka tak saling berbicara untuk waktu lebih dari dua puluh jam, tetap pagi tak pernah menjadi salah satunya.
Luhan akan bangun dengan piyama, bukan lagi kemeja. Dan aroma mentega akan menyergap indera pembaunya, menuntunnya untuk duduk di kursi makan seraya memandang punggung tegap Sehun diam-diam.
"Sudah minum obat?"
Luhan membuang muka ketika mendapati Sehun yang berusaha menoleh kearahnya. Terlambat sedetik saja, mungkin mata keduanya akan bertemu.
Kemudian menggeleng—Luhan bahkan tak akan pernah meminum pil multivitamin jika saja Sehun tak mengingatkannya.
Luhan tak merasa perlu bergerak ketika Sehun beranjak mengambil pil dari kotak obat, yang letaknya lebih dekat dengan Luhan sendiri. Ketika dilihatnya lelaki itu mengeluarkan satu butir, ketika telapak tangan berisi obat itu terjulur, barulah Luhan menyambutnya.
Menelan pil yang disodorkan tanpa air, juga tanpa melirik pada Sehun yang baru saja beringsut kembali ke konter.
Bahkan untuk mengangkat arah matanya selama makan pun, Luhan tak merasa perlu melakukannya. Hanya pada sumpit dan mangkuk nasi, juga gerak tangan Sehun yang tak sengaja ia tangkap.
Luhan mengakhirinya dengan tegukan air putih hingga isi gelas tandas. Namun tak langsung beranjak ketika etika meja makan menyuruhnya untuk menunggu Sehun selesai.
"Aku ada jam kosong siang ini. Mungkin aku akan mengunjungi kantormu, mengantar sup rumput laut untuk makan siang,"
Luhan tak mengerti mengapa Sehun mengucapkannya di sela kunyahan makan, yang mana itu sangat tak disukai olehnya.
Namun begitu, lidahnya tetap menjawab. "Tidak perlu,"
Luhan terlambat sadar untuk mengerti arti nada bicaranya sendiri. Matanya yang dibawa menunduk juga tak bisa menangkap gerakan Sehun yang menjeda kunyahan—yang kini menatapnya dengan kecewa.
"Itu—maksudku, aku tak mau merepotkanmu. Jadi, tidak perlu," ralatnya. Sedikit terlambat.
Luhan bisa menebak Sehun tengah tersenyum; terdengar dari desah kecil khas yang keluar dari bibir lelaki itu.
Begitu mangkuk makanan Sehun bersih, Luhan tak mengambil banyak waktu untuk menaruhnya di tempat cuci. Tangan kanannya sudah mengambil spons ketika kehadiran Sehun terasa menyentuh sisi lengannya.
"Biar aku. Kau bisa terlambat,"
Luhan tak langsung menjawab. Dengan kaku lantas kepalanya mencari jam dinding, dan menemukan bahwa waktu kerjanya akan dimulai setengah jam lagi.
Lalu menyingkir dari depan wastafel tanpa satu kata pun. Bahkan, ketika menjeda langkah hanya untuk menengok punggung Sehun. Bahkan, ketika sekeluarnya ia dari kamar mandi dan mendapati Sehun yang membereskan kasur, mulutnya tetap diam—terasa kelu.
"Aku pergi,"
—hanya itu, sebelum Luhan beranjak menuju lift sembari membenarkan kaitan dasinya.
Luhan sedang di permulaan rapat ketika dia menyadari bahwa mapnya tertinggal di apartemen. Isinya begitu penting—yang mana baru saja dititipkan kepala redaksi editorial kepadanya hari kemarin.
Tak ingin menambah buruk masalah, akhirnya ia pamit keluar ruangan. Cepat-cepat mengaktifkan ponsel dan menuju tombol dial ketika tiba-tiba lima panggilan tak terjawab dan satu pesan membuat layarnya berkedip-kedip cepat.
Luhan, kau melupakan map-mu. Perlu kuantar?
Kemudian langsung menekan panggilan untuk Sehun. Yang mana tak sampai detik ke-lima ia mendapati sambungannya terhubung.
"Ya, tolong, Sehun. Terima kasih."
Usai sebelumnya berdiri tak sabar di depan lift, Luhan langsung ambil keputusan untuk menuruni tiga lantai dengan langkah lari. Stelan formalnya dibuat berkibar kusut, namun dia tak punya cukup waktu untuk peduli dengan itu.
Cukuplah Sehun dan kedatangannya yang tak sampai sepuluh menit, menjadi prioritasnya saat ini.
Laju kakinya baru memelan ketika jaraknya sudah dekat dengan Sehun yang baru saja bangkit dari sofa di lobi. Sehun, mulut lelaki itu terbuka, tapi Luhan dengan waktu terburunya lebih dahulu bersuara—"Terima kasih banyak. Maaf merepotkanmu."
Bibir Sehun yang sudah terbuka itu menutup kembali. Ganti menjadi satu senyum yang Luhan artikan sebagai balasan 'sama-sama'.
Dengan tanpa sempat mengambil napas banyak-banyak, kembali Luhan ke ruangan semula. Menyisakan punggungnya yang masih dipandang Sehun hingga dia menghilang di belokan pertama.
Tiba di ruangan Profesor Jun dengan keadaan terengah benar-benar mimpi buruk.
Sehun harus menerima tugasnya yang ditolak, juga kalimat-kalimat pedas selama nyaris satu jam, baru setelahnya diizinkan untuk pergi keluar dari ruangan setara kandang singa itu.
Rambutnya diremas dengan frustasi. Dalam hati menyalahi kesialan yang pagi ini beruntun menyerangnya bertubi-tubi.
Dari pesan mendadak Jongdae yang berisi amanat bahwa Sehun harus menggantikan anak itu dalam mengumpulkan tugas; juga kekalutan otaknya yang hingga kini tak mengerti mengapa hubungannya dengan Luhan seolah dibatas kandas.
Tidak, Sehun tidak menyalahkan Luhan yang gegabah meninggalkan berkas kerjanya tadi pagi. Atau penolakan ketika Sehun hendak membawakannya bekal makan siang.
Tapi arah mata Luhan. Mengapa rasanya sudah lama sekali mereka tak saling bersitatap? Dalam artian saling menukar perasaan, bukan tatapan wajar seperti saat ia menyerahkan map di kantor Luhan.
Atau mungkin—itu sudah benar-benar lama?
Tepatnya semenjak Luhan mulai menangani satu tambahan penulis baru, yang membuat pekerjaannya semakin menumpuk. Tapi Sehun kira, tak seharusnya satu hal sesepele itu menghasilkan renggangan selebar ini.
Mengaca pada fakta, bagaimana pun, Luhan adalah pria dewasa. Yang Sehun tebak akan menjadi fase dimana pekerjaan adalah segalanya. Bukan seorang mahasiswa yang sedang disibukkan tesis dan karangan. Bukan seorang seperti dirinya.
"Oh crap… kau semakin jelek,"
"Tembok masih lebih menarik dari wajahmu,"
Sehun tak begitu menggubris. Malah dia sendiri setuju, setelah berkali-kali mendapatkan wajahnya yang kian pucat di cermin kamar.
Jadi Sehun tak bisa menyalahkan mereka. Jongin dan Chanyeol akan selalu tepat sasaran jika menyangkut dirinya.
"Biar kutebak, karena pacar?"
Sehun mengambil satu lirikan sekilas. Lantas kembali mengaduk minuman dengan sedotan, tak nampak tertarik untuk menenggak isinya.
"Holy… kukira kalian sudah putus?"
Jika sebelumnya Sehun akan meledak dan menyumpahi Chanyeol lah yang akan putus dengan Baekhyun, sekarang tidak begitu. Sepotong kata yang biasanya berhasil mengaduk amarahnya dalam sekejap, sekarang tidak begitu.
Dia, nyatanya malah membawa kepalanya turun menunduk. Menyembunyikan sebagian kelopak matanya di balik telapak tangan. Membuang napas pelan-pelan seakan dirinya sudah kehilangan kata-kata untuk menyangkal kalimat Chanyeol.
Apa mereka putus?
Putus bahkan entah menjadi pilihan kata yang tepat—mengingat keduanya tak pernah berada dalam satu hubungan terikat seperti 'kekasih' maupun sebatas 'teman kencan'.
Mereka hanya berawal di kedai minuman tempat Sehun bekerja. Kemudian kepada ciuman di bawah gugur daun terakhir, juga seks di minggu kedua musim dingin.
Dengan kondisi dimana keduanya tengah merenggang sebulan belakang, keputusan untuk tinggal bersama pun kini tak cukup menjamin bahwa hubungan mereka benar-benar ada.
Atau mungkin—mereka tak pernah ada?
"Kau butuh alkohol, kawan…"
Sehun tak begitu sadar ketika datang anggukan dari kepalanya. Juga langkah ke mobil Jongin yang berada di parkiran. Untuk kemudian menatap hampa pada bayangannya di kaca mobil—yang juga membuatnya menangkap jalanan sepi menuju tempat malam yang akan dia singgahi.
Di depan mesin cuci yang berputar, Luhan bertopang pada dinding. Dua jarinya mengerut-ngerut dahi. Hasil gerak dari betapa lelahnya dia, juga ingatan buruk mengenai seberapa tajam lidah para pemimpin departemen percetakan selama rapat tadi.
Lima menit, setelah itu Luhan tak bisa lebih lama lagi. Dia keluar, ke kamar tidur dengan langkah diseret. Meninggalkan deru mesin cuci yang menyala, sambil terbayang bahwa Sehun akan menyelesaikan sisanya nanti.
Luhan baru tiba di kasur ketika bel apartemennya mengganggu. Matanya yang terpejam setengah dibawa melirik jam, dan menemukan bahwa ini sudah terlalu malam untuk waktu bertamu.
Kemudian melenguh sembari mendatangi pintu. Berharap tidurnya bisa cepat terlaksana setelah tamu tak beretika ini enyah dari depan apartemennya.
"Sehun?"
"Engh—Luhan-ssi, selamat malam,"
Luhan mengenalnya sebagai Jongin—lelaki yang kini susah payah menahan beban tubuh Sehun yang terlelap di bahu kanannya.
Luhan mundur selangkah ketika secara perlahan Sehun berpindah padanya. Hidungnya peka merespon bau alkohol, dan itu juga lah yang membuatnya tak bisa menyahuti maupun berterimakasih pada Jongin yang baru saja menghilang.
Ini lebih seperti…. tidak percaya.
Luhan masih ingat betul ketika Sehun menceritakan betapa terganggunya ia dengan hangover pasca-mabuk. Atau dengan putaran-putaran immortal yang terjebak di retinanya—gambaran pertama yang Sehun dapat sedetik setelah bangun di pagi hari.
Sehun benci alkohol. Dan Luhan bahkan tak bisa menyingkir dari pijakannya saking lamatnya ia mencerna kondisi.
"Luhan…"
Kaki Luhan otomatis melebar ketika tubuh Sehun bergerak tak nyaman, nampak seperti hendak berdiri. Tapi ketika wajah lelaki itu tak kunjung terangkat, juga dagu yang masih menjepit bahunya, Luhan baru sadar—bahwa yang bergerak adalah dua lengan Sehun yang membungkusnya sekarang. Erat seperti kepompong.
"Merindukanmu,"
Luhan akan mudah memaklumi racauan khas mabuk itu jika saja mata Sehun tak mendadak mengarah kepadanya. Dengan lurus, terkesan yakin dan seolah tidak dalam keadaan mabuk.
"Kau pergi… dan aku rindu…"
Kepala Luhan semakin mendongak ketika tangan Sehun menyangga rahangnya. Matanya yang kehilangan kendali untuk mengedip kini membulat saat mulut alkohol Sehun menyapa miliknya.
Melotot, menepuk-nepuk dada lelaki itu demi melepaskan diri dari lumatan yang kasar.
"Sehun—"
"Benar-benar… merindukanmu…"
Luhan tidak bisa. Ketika telinganya memproses kata-kata bernada rendah dari Sehun, tubuhnya malah semakin berontak sia-sia. Ia tidak bodoh untuk mengabulkan Sehun yang menginginkan dirinya disaat mereka bermasalah. Setidaknya mereka harus bicara dahulu, dan bukan dalam keadaan seperti ini.
Tapi keengganan Luhan tetap tak berguna. Sehun berhasil lebih cepat dengan mengunci tangannya, menyerang lehernya selagi Luhan mulai terbawa suasana.
Hingga ke tindihan di sofa hitam. Ke penyatuan tubuh bawah mereka—Luhan lantas lupa dengan apa yang harus dilakukannya. Memilih mengerang dan meremas kepala Sehun untuk tetap tenggelam di dadanya.
Pagi tak pernah berubah semenjak sepuluh bulan terakhir.
Mau Luhan mengenakan atau tidak mengenakan pakaian saat jatuh tertidur, piyama akan tetap membalutnya saat ia membuka mata. Tirai yang terbuka pun akan tetap sama. Dan segalanya nyaris tak berubah terkecuali bau pasca-seks yang tertinggal di sepanjang kasur. Bahkan di lehernya sendiri.
Kasur di sebelah pun akan tetap kosong. Hanya ada sprei berantakan, habis ditiduri seseorang.
Luhan berdiri dengan wajar, karena entah mulai kapan ia terbiasa dengan nyeri dan linu di bagian pinggul. Tangannya meraih jubah mandi putih begitu merasa atasan piyama terlalu pendek untuk ia keluar kamar. Dan celana akan terlalu merepotkan berhubung ia sudah diujung lapar.
"Pagi, Luhan…"
Luhan menanggapinya dengan gumaman. Terdengar lelah dan seperti baru pulih dari penyakit.
Begitu tiba di kursi makan, Luhan menjatuhkan sebelah pipinya ke datar meja. Berharap dengan begitu sisa mengantuknya akan menghilang sebelum waktu kerja datang.
Sehun datang dengan telur gulung sebagai menu utama. Menatanya dengan rapi tanpa mau membangunkan Luhan yang tadi sempat ia lihat terpejam. Ini sudah biasa, setiap Luhan mengalami hari berat di kantornya.
"Hey,"
Sehun mengulurkan sebelah tangan. Mencoba menarik perhatian Luhan dengan usapan di surai berantakannya. Berhasil membuat Luhan bangun meski dengan kondisi kedua mata tetap turun.
Sehun baru menjauhkan tangan ketika Luhan sudah nampak kesadarannya. Bibirnya menukar senyum satu kali, baru meninggalkan kepala Luhan dan membiarkan pria itu menghabiskan porsi sarapannya.
"Sebelum kau menanyaiku, aku minta maaf,"
Luhan mendongak lagi, padahal baru menyumpit segumpal nasi untuk suapan pertama.
"Untuk alkohol, dan…"
Luhan langsung mengerti ketika Sehun menggigit bibir bawahnya sendiri. Jelas-jelas tidak nyaman untuk mengatakannya secara langsung.
"Bukan masalah," Jawab Luhan. Yang tanpa Sehun sadari lebih ke menjawab kegelisahan Luhan sendiri.
Bukankah dibanding minta maaf, seharusnya Sehun menjelaskan alasan dibalik kacaunya ia semalam? Khususnya karena fakta bahwa Sehun-lah yang lebih tidak menyukai alkohol diantara mereka berdua.
Luhan selalu meyakinkan diri bahwa apapun masalah Sehun, lelaki itu bisa menyelesaikannya seorang diri. Sama halnya dengan dirinya yang tak pernah melibatkan Sehun dalam kekalutan dunia pekerjaan.
Sehun masih muda. Kenyataan bahwa mereka berjarak tujuh tahun lah yang mengatakannya.
Maka Luhan tidak heran ketika Sehun terkadang diharuskan menginap di apartemen temannya, demi tugas kuliah. Sekali pun itu perempuan, Luhan dengan tuntutan sikap dewasanya hanya tersenyum dengan jawaban, "Oke. Selesaikan tugasmu dengan baik."
Luhan adalah pria dewasa. Satu kenyataan tak terbantahkan itu akan selalu membimbingnya untuk bersikap sebagaimana usianya dalam hubungan mereka. Mereka akan baik, selama saling percaya.
Setidaknya begitu… hingga kejadian semalam merubah persepsinya.
Juga Luhan tahu, Sehun semakin mendekati tesis, yang mana hal itu akan merenggangkan keduanya lebih dari ini kelak.
Membayangkan seberapa sering mereka tak akan dalam satu ranjang. Seberapa sepi Luhan jika harus memakan sarapan tanpa si koki sendiri, sedikitnya itu terasa… muak?
"Dua hari kedepan aku akan bermalam di apartemen Tao,"
Luhan bahkan baru saja membayangkannya.
Seketika pandangan Luhan terarah tak menentu. Tangannya yang masih memegang sumpit digerakkan menaruh benda itu di sisi mangkuk. Lidahnya gatal ingin berbicara, tapi sikap dewasa menyuruhnya untuk tetap bungkam.
Tidak apa. Ia bisa mengendalikannya.
"Aku juga… untuk malam ini, harus lembur hingga dini hari,"
Sedikit membalas tidak apa-apa, kan?
"Dan untuk malam-malam selanjutnya. Well, editorial tengah disibukkan edisi khusus natal dua bulan kedepan."
Ini tidak egois, kan?
"Jadi mungkin, aku tak bisa terlalu sering mengangkat telpon darimu."
Sementara Sehun sudah sejak awal tadi mencampakkan makanannya. Luhan benar-benar tak nampak baik dengan segala tundukan kepalanya.
Sehun memanglah mahasiswa. Seharusnya sudah cukup dewasa untuk mengerti segala kesibukan Luhan.
Maka—"Aku mengerti."
Dengan tanpa sengaja, ia melewatkan dua tangan Luhan yang terkepal di bawah meja.
Untuk sarapan pagi ini, Luhan melupakan etikanya untuk duduk berlama-lama. Makanannya yang masih tersisa setengah ia tinggalkan.
"Aku lupa ada rapat jam delapan,"
Bahkan tanpa meninggalkan satu lirikan pamit, tahu-tahu ia keluar dengan dasi yang belum disimpul. Tas yang dijinjing asal. Melewati Sehun yang masih bungkam di ruang makan.
Ketika Luhan nyaris meninggalkan jadwal rapat di pagi pukul delapan, disaat yang sama ia malah memutar kemudi kearah sembilan puluh derajat berbeda dari kantornya.
Mobilnya tidak berjalan lurus di perempatan pertama, melainkan belok kiri, dan itu terus ia lajukan hingga dua kilo meter selanjutnya.
…. yang mana membuatnya berakhir disisi jalan dekat gerbang kampus Sehun.
"Apa yang kulakukan…" Ia bergumam sendiri. Tepat seusai mendaratkan dahi ke kemudi.
Rapat memang tak pernah ada, semua itu murni akal-akalannya untuk menghindari ketegangan sewaktu sarapan. Tapi untuk berkendara secara diam-diam dan bertindak seperti penguntit—Luhan bahkan tidak tahu dari mana pemikiran ini berasal.
Kemudian bergerak membenturkan dahi berkali-kali—begitu malu dengan aksi yang tak terduga ini.
Luhan kembali duduk tegak, bersama dahinya yang memerah. Mulai menarik tali sabuk pengaman untuk dipasangkan, dan menyalakan mesin untuk memutar balik kearah kantor.
Itu sampai matanya berhenti di satu lelaki yang baru saja turun dari bus. Luhan dapat mengenalinya dengan mudah dari tas punggung yang disampir miring ke satu bahu, khas Sehun.
Bahkan ketika segerombolan mahasiswa baru turun dari bus yang sama, menyeberang jalan menuju gerbang, mata Luhan dapat dengan mudah membuntuti sosok itu.
Secara tidak sadar, Luhan mendesah lega begitu mendapati Sehun memasuki gerbang.
Memutuskan untuk menyudahi kegiatannya, tangannya memutar kemudi untuk mengarahkan mobil ke tengah jalan. Tapi harus kembali mengerem saat gambaran Sehun yang dikelilingi gadis tertangkap jelas di matanya.
Mobil belum terlalu di tengah jalan, dan mata Luhan tak bisa berpaling dari senyum Sehun yang diumbar ke gadis-gadis itu.
Kenapa—
Sehun merupakan salah satu yang populer. Luhan lebih dari sekedar tahu, anak itu dikenal ramah dan memiliki banyak teman dari berbagai angkatan.
Tapi ketika menyaksikan sendiri bagaimana keramahan anak itu, menghadapi segerombol mahasiswi yang jelas-jelas berbinar-binar menatapnya….
—ini terasa menyebalkan?
Sehun memang memiliki hak bebas berteman dengan siapa saja. Termasuk mau kearah siapa lelaki itu menujukan senyumnya, dan mata sipitnya yang melengkung—seakan ikut tersenyum.
Luhan bisa dengan mudah mengizinkan lelaki itu bermalam, seperti yang sudah dikatakan, bahkan untuk di apartemen teman gadisnya.
Tapi tidak… tidak dengan Luhan yang menyaksikan ini dengan mata sendiri. Luhan bahkan tak pernah menyangka, seburuk ini rasanya melihat Sehun sedekat ini dengan mereka—gadis-gadis itu.
Akhirnya ia memalingkan muka. Tak bisa berlama-lama sedangkan kedua tangannya sibuk meremas kemudi erat-erat. Mobilnya ia lajukan, dan tanpa melirik pun ekor matanya masih bisa melihat Sehun yang bersenda gurau, disana.
To be continued.
.
Asli sebenernya aku ga yakin mau post ini. Soalnya aku paling gabisa bikin hurt.. tapi karena ini ff udah lama mengendap di folder, ya publish aja deh.
Ini cuma threeshot, iya, dan chap dua nya udah selesai diketik. Mungkin minggu depan atau lebih cepet nanti di apdet, tergantung banyak yang suka atau nggak sih heheheh
.
Shend, 30 Juni 2016
