--Freedom Writers--
by Emi Yoshikuni
6th January, 2010
-
-
Naruto © Masashi Kisihimoto
Freedom Writers © 203 Classroom Diary
-
-
This story is dedicated to all SasuSaku fans!
And all teachers who always dedicate their lifes for unbelieveable pupils...
Tambahan juga buat ShizuGen fans! InoSai fans! NaruHina fans! Hehe...
Warning : AU, OOC
Sakura...
Aku terlahir sebagai seorang anak perempuan di dunia yang kejam ini. Hari ini, aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke-sebelas. Kata orang-orang, di usia seperti itu, seorang gadis harus mengalihkan cara pandangnya yang kekanak-kanakan menuju ke arah yang lebih dewasa. Aku pun mau tak mau harus menerima paradigma itu. Aku membuang semua boneka teddy bear-ku, alat masak-memasak yang terbuat dari tupperwear, dan kawat gigiku.
Ayahku memberikan sebuah hadiah yang sangat istimewa padaku. Katanya, ia akan mengajakku ke suatu toko entah apa itu. Aku diberi kebebasan untuk memilih sendiri hadiah apa yang kuinginkan darinya. Dan di sinilah aku berakhir. Sebuah toko yang berisi segala hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Aku hanya bisa menatap kosong ke arah putri dunia itu. Ya. A barbie doll. Semua gadis seusiaku pasti menginginkannya di hari ulang tahunnya yang ke-sebelas. Tapi, ayahku tidak akan mengizinkanku untuk memilihnya. Katanya, barbie hanya simbol dari kecantikan yang fana, omong kosong dan membuang-buang mimpi anak perempuan yang tidak sempurna. Dan, warna kulit kami berbeda.
Ayahku adalah seorang Jepang sedangkan Ibuku adalah seorang imigran gelap dari Amerika Latin., tepatnya Peru. Kami membentuk komunitas kami sendiri. Kau lihat saja perpaduan dari kedua ras yang berbeda itu. Tidak akan sama seperti barbie doll yang selalu memperlihatkan wajah cantiknya, kulit putihnya yang mulus, dan rambut pirangnya serta iris biru yang indah.
Tidak. Aku sama sekali tidak seperti itu. Bagi kami, kekuatan-lah yang akan menjadi pembanding terbesar dalam pencapaian sempurna. Di saat kau bisa memukul atau melindungi wilayahmu atau bahkan mati dengan darah juangmu di jalan sebagai pahlawan, maka itulah yang kami katakan sebagai kecantikan yang sempurna. Untuk itulah aku lebih memilih sarung tangan boxing daripada barbie doll.
Hari itu adalah hari yang sangat melelahkan bagi diriku. Aku baru saja memasuki komunitasku yang tidak akan pernah bisa kau bayangkan. Untuk membuktikan bahwa kau kuat, kau harus rela mengorbankan wajah cantikmu ataupun kulit mulusmu untuk dipukul atau setidaknya mendapatkan luka lebam yang tak bisa hilang dalam waktu sehari saja. Kau tahu. Saat kau mampu melawan rasa takutmu ataupun membuang jauh-jauh rasa kasihan itu, maka kau bisa menjadi kebangaan bagi komunitasmu. Dan itulah yang menjadi jalan pikiranku hingga saat ini.
Aku bangga dengan diriku. Aku bangga dengan warna rambutku yang berbeda. Aku bangga pada ayah dan ibuku yang selalu siap menemaniku kala aku membutuhkannya. Aku bangga dengan warna kulit kami. Sungguh aneh memang. Tapi, itulah kenyataan di distrik paling miskin di wilayah Kanto ini. Para yakuza dari kota-kota besar sering mendatangi komunitas kami.
Salah satu dari mereka adalah yakuza dengan ciri khas yang tertera pada setiap jaket mereka. Sebuah lambang kipas berwarna merah dan putih. Kelompok mereka adalah kelompok yakuza yang paling terkeji bagiku. Yang aku tahu, pemimpin dari klan yakuza mereka adalah seorang pria berambut hitam dengan kucir. Entah siapa namanya tapi yang jelas aku akan membencinya sampai aku mati.
Mereka pikir, kami ini adalah suatu komunitas yang harus disingkirkan karena kami berbeda dari mereka. Warna kulit kami tidak seputih kulit mereka. Mata kami tidak sehitam mata mereka dan rambut kami pun tidak sehitam rambut mereka. Dan bagi mereka, itu adalah suatu kutukan. Perbedaan bagi mereka adalah sesuatu yang harus disingkirkan. Oleh karena itu, mulai sejak saat itu, saat di mana aku melihat pembunuhan keji pertama yang dilakukan oleh orang-orang brengsek itu pada ayahku, aku akan selalu melindungi komunitas kami dan takkan pernah mengkhianatinya...
-
-
Shizune...
Hari ini adalah hari pertamaku mengajar sebagai seorang guru di sebuah SMA wilayah Kanto. Terdengar sangat gila memang. Aku baru saja diterima sebagai guru dan tiba-tiba saja aku memilih sendiri sekolah yang terletak di wilayah yang kata orang-orang adalah wilayah dengan masalah geng yang paling buruk. Aku berusaha melupakan kengerian tanpa bukti itu sejenak dengan menghirup udara banyak-banyak dan menghembuskannya perlahan di balkon kamar tidurku bersama dengan suamiku yang tercinta. Sudah dua tahun kami menikah tapi Tuhan sepertinya belum mau menitipkan kepada kami seorang anak.
Dia adalah Shiranui Genma. Suami sekaligus arsitek favoritku sejak aku masih duduk di bangku kuliah. Hmm.
Aku sebenarnya bercita-cita tuk menjadi seorang pengacara, sama seperti ayahku yang mengutamakan pekerjaannya dalam hal perlindungan hak-hak sipil. Tapi, aku malah berpikir ulang mengenai cita-citaku itu. Sama seperti yang kukatakan saat Tsunade-sama mewawancaraiku.
"Wajahmu cantik. Usiamu juga masih muda. Dan... suamimu juga tampan dan mempunyai jabatan yang tinggi. Kau bisa menjadi seorang model atau artis kalau kau mau. Kau bahkan lulus summa cumlaude untuk sarjana hukum yang telah kau lalui. Kau pasti bisa menjadi seorang pengacara, sesuai dengan cita-cita yang kau tulis di CV-mu. Pertanyaanku... kenapa kau malah memilih tuk menjadi seorang guru?" tanyanya padaku dengan wajahnya seperti dikerut-kerutkan. Aku hanya bisa tersenyum.
"Ya, itu memang benar. Saya ingin sekali menjadi seorang pengacara ataupun mendirikan firma hukum. Tapi... saat saya lihat-lihat, masalah kriminal maupun masalah hukum yang dilalui oleh orang-orang di negara kita tak bisa diselesaikan dengan hanya memenjarakan mereka dan memulangkan mereka dalam waktu yang entah kapan itu―
"―bagi saya, awal dari segala masalah yang muncul dalam masyarakat kita ialah penempatan identitas diri yang salah. Mereka seakan kehilangan jati diri mereka dan tujuan hidup mereka. Seandainya sejak awal mereka sudah tahu jalan apa yang ingin mereka lalui dan segala risiko yang ada, maka mereka bisa mengatur sisi psikologis diri mereka untuk menjadi manusia yang lebih menghargai hidup dan kehidupan orang lain.
―Kegagalan akan suatu hal dan perbedaan yang ada sering menjadi pemicu tindak kriminalisasi dalam diri mereka. Oleh karena itu, tempat awal yang tepat untuk membentuk pribadi dengan identitas yang kuat ialah sekolah. Maka dari itu, saya mengubah cita-cita saya itu dan menjadi seorang guru. Apakah itu salah, Tsunade-sama?"
Ia tertegun sebentar. Aku melihat kerutan yang dibuat-buat itu kembali berelaksasi. Ia menaikkan kacamata bulan sabitnya yang berantai dan memandangku dengan tatapan heran.
"Sungguh pikiran yang sangat matang. Well, sepertinya Anda adalah sosok guru yang kami cari akhir-akhir ini. Sungguh hal yang tidak mudah bisa merekrut seorang pendidik dengan karakter seperti Anda. Kebanyakan dari mereka hanya bisa bertahan selama seminggu di sekolah ini. Hahh... kuharap Anda mampu bertahan, Shizune-san sebab jika apa yang Anda katakan tadi adalah benar, maka dunia yang awalnya terbuat dari api itu akan berubah menjadi air." ujarnya seraya melepaskan kacamatanya itu. Ia menatap tajam ke arahku.
"Saya selalu siap dengan rintangan apapun, Tsunade-sama. Sama seperti Annie Sullivan yang mampu mengubah seorang Helen Keller yang pembangkang, buta akan dunia, tuli akan nyanyian, dan bisu akan sajak, menjadi Helen Keller yang bisa membedakan segala sesuatunya dengan hati. Itulah misi saya."
Tsunade-sama menyandarkan dagunya di buku-buku jemarinya. Ada yang aneh dengan tatapannya itu. Ia seperti sedang berusaha untuk membaca pikiranku. Tapi, yang kulakukan hanyalah tersenyum. Lama bagiku untuk mencerna kembali apa yang telah kukatakan padanya namun kurasa dia telah mengerti lebih awal daripada diriku sendiri.
"Hmm. Aku tahu Anda sangat suka membaca novel-novel berbahasa asing dan hal itu penting, apalagi Anda adalah seorang guru bahasa Inggris. Tetapi, Anda harus tetap melihat kualitas murid-murid itu sendiri sebab aku tak bisa menjamin cara yang sama akan mempan untuk yang kedua kalinya. Masalahnya ialah, Annie Sullivan hanya mengatasi satu anak saja. Tapi, yang akan Anda hadapi adalah dua puluh anak. Mengapa mereka sedikit? Alasannya simpel. Itu karena mereka adalah murid-murid sisa yang tak berguna, yang setiap hari hanya bisa membuat masalah, masalah, dan masalah di lingkungan sekolah maupun di wilayah distrik ini―"
"Saya memang hanya bisa berbicara tentang ideologi saya saat ini. Dan sangat susah untuk mewujudkannya tanpa perjuangan yang berat. Tapi..."
Wanita paruh baya itu menaikkan alisnya seraya memakai kembali kacamatanya. "Tapi?"
"―bagi saya, seorang pelaut yang hebat takkan pernah lahir dari laut yang tenang." jawabku dengan senyum puas. Ah. Aku memakai kata-kata yang sering diucapkan oleh Genma saat ia berada dalam keadaan genting dan lelah. Perlu dicatat. Itulah satu alasan mengapa aku sangat menyukai suamiku itu.
Sekali lagi. Ia menaikkan alisnya dan membiarkan matanya terbuka lebar-lebar. Ia lalu menutup kembali map CV-ku dan kudengar hembusan napas panjang dari mulutnya.
"Yah, baiklah. Apapun itu alasannya, aku percaya. Tapi, tetap kuingatkan satu hal pada Anda, Shizune-san. Cara yang sama takkan pernah berhasil untuk kedua kalinya. Itulah pengalaman yang selama ini kulalui." katanya mengingatkan, "kurasa sampai di sini dulu wawancaranya. Selamat sore dan selamat bergabung di Hiruzen High School."
Ah!
Sungguh sesi wawancara yang mendebarkan. Kupikir aku akan mati di tempat itu tapi semangatku untuk tetap membawa calon murid-muridku ke masa depan yang lebih terarah akan selalu ada meskipun aku harus mengorbankan banyak hal, terutama waktu bersama suamiku, Genma.
"Hei."
Aku berbalik. Tiba-tiba saja ada seseorang yang sepertinya sedang melingkarkan kedua lengannya di sekeliling perutku dari arah belakangku. Aku tahu siapa pelakunya. Tentu saja dia. Hahh...
"Hmm?"
"Hari ini hari pertamamu mengajar kan? Kau tahu, waktu kau bilang kau akan menjadi seorang guru, aku sangat terkejut. Ayah juga sempat kaget kan? Kupikir waktu itu, kau hanya bercanda, tau-tau kau benar-benar akan menjadi guru." ujarnya dengan semakin mengeratkan lingkarannya dan bermalas-malasan di pundakku.
"Kan sudah kujelaskan panjang lebar padamu dan juga Ayah. Kata beliau, beliau selalu open minded dengan keputusanku selama itu benar. Lalu kau? Bukannya waktu itu kau hanya menjawab 'Itu ide yang sangat bagus Shizu-chan. Anak-anak zaman sekarang butuh figur guru seperti dirimu. Berani, kuat dan punya ide yang brilian!'. Bukan begitu, Gen-chan? Dan bicara tentang sekolah. Bukannya waktu itu juga, kau bilang kalau kau berniat untuk mengambil gelar doktor kan?"
Genma terdiam. Entah kenapa kalau kusinggung masalah itu, ia jadi pendiam lagi. Sedikit demi sedikit, ia melonggarkan pelukannya dan melepaskan kedua lengannya di sepanjang perutku. Aku berbalik menatapnya. Lagi-lagi ia menunjukkan wajah malasnya di depanku. Aku pun menepuk pelan pipinya.
"Hei pemalas... dunia tetap akan berputar bagi orang malas, kau tahu kan? Dan... bukannya kau selalu bilang, 'seorang pelaut yang hebat takkan pernah lahir dari laut yang tenang'? Itu artinya seorang Shiranui Genma harus selalu survive dan berani mengambil tindakan di saat-saat yang genting. Dan―
Aku mencium bau yang aneh. Hembusan angin dari balkon rupanya mengindikasikan bahwa matahari semakin tinggi. Tapi bau aneh itu semakin tercium jelas saat sepoi angin melewati tubuh Genma. Kurasa dia belum mandi. Dasar.
"Ah! Kau bau sekali! Mandi sana!" ejekku seraya memutar tubuhnya dan mendorongnya. Dia pun hanya tertawa kecil dan malah menarikku.
"Tidak tanpamu." katanya dengan senyum usil nan jahil. Dasar dia ini.
"Aku sudah mandi sejak sejam yang lalu! Dan oh! Kurasa aku harus pergi sekarang. Aku tidak mau terlambat. Hari ini adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku dan aku tidak mau terlambat hanya karena harus mengurusi anak kecil yang susah sekali disuruh mandi..." teriakku sambil berusaha mendorong Genma menuju kamar mandi. Dia ini susah sekali kalau disuruh bangun pagi ataupun mandi. Hahh...
"He? Tadi kau bilang hari ini adalah hari yang paling bersejarah? Jadi hari pernikahan kita bukan hari yang paling dari yang paling ya? Kau jahat sekali Shizu-chan..."
Pipiku memerah. Dia mengungkit-ungkit masalah itu lagi. Tipikal anak dewasa yang kekanak-kanakan. "Iya, iya. Hari pernikahan kita adalah hari yang super sangat paling penting bersejarah dalam hidupku. Kau sudah senang? Nah, sekarang kau mandi ya." balasku sembari menerbangkan handuk ke wajahnya dan aku pun berlari ke lantai bawah.
"Oh ya! Sarapan sudah kusiapkan. Masih hangat kok! Aku pergi dulu ya!!" seruku sambil mengenakan high heels, jas, dan tas kerjaku. Dan aku pun melesat keluar dari kamar.
"Shizu-chan! Ada yang kau lupa!"
Tiba-tiba kudengar suara Genma dari arah kamar. Mendengar kata lupa, jangan-jangan aku memang melupakan sesuatu. Aku pun kembali ke dalam kamar. Saat kubuka pintu kamar, aku sudah mendapati Genma yang bertelanjang dada dengan hanya sehelai handuk yang menutupi bagian tungkai atasnya, tiba-tiba memelukku. Aku kaget setengah mati. Wajahku terasa panas sekali, entah karena apa. Dan ternyata ia mengecup keningku.
"Ganbatte ne sensei."
Aku tersenyum. Semoga hari ini akan menjadi awal yang baik di kehidupanku sebagai seorang pengajar sekaligus mentari bagi bibit-bibit mawar yang indah...
"Um. Ja'."
-
-
Uchiha Compound...
Suara-suara tak menyenangkan terasa memenuhi seisi dojo yang seluruh dindingnya diisi dengan lukisan-lukisan dewa semua elemen bumi ataupun lambang-lambang kipas bergradasi putih dan merah itu. Lelaki-lelaki kekar berpakaian serba hitam dengan obi merah menjadi penghias utama dari setiap sudut dojo. Seorang pria dengan kerutan sedikit kasar di wajahnya duduk bersila sambil menyilangkan lengan di dadanya―mengamati tiap gerakan dari pria-pria kekar di hadapannya. Jatuh. Terluka. Lebam. Sakit. Hentakan. Elakan. Dan percikan darah. Hanya itu yang bisa menggambarkan suasana yang ada.
"Shisui! Gerakanmu masih lamban! Kalau kau masih begitu terus, kau bisa dikalahkan oleh perempuan yang usianya jauh di bawahmu!! Ulangi gerakan itu lagi!"
Pria yang dimaksud hanya mengangguk pelan. Luka lebam dan tetesan darah merah menghiasi selusur wajah putihnya. Buku-buku tangannya pun telah berubah warna. Biru atau ungu.
"Kalian semua!!" teriak pria berkerut itu. Perkelahian tanpa senjata itu tiba-tiba berhenti dan menyebabkan keheningan. Kedua mata yang sedari tadi menutup itu kini terbuka lebar, memperlihatkan betapa sadis perangainya, "kalian menganggap diri kalian sebagai Uchiha hanya dengan kemampuan yang seperti itu? Apakah itu pantas, hah?!"
"Maafkan kami, Fugaku-sama!" seru orang-orang itu bersama.
"Che." komennya sambil memalingkan wajahnya, "sudah, hentikan saja latihan hari ini. Dan kau Shisui― tetap lakukan apa yang harus kau lakukan. Ingat. Kita adalah Uchiha. Dan tak ada seorang pun dari Uchiha yang lemah dan meninggalkan darah-nya, kecuali―
―anakku yang bodoh itu.
Pria separuh baya yang disebut Fugaku kemudian berdiri pelan dari futon yang sedari tadi digunakannya untuk bersila. Baru saja ia akan membuat langkah, tiba-tiba pintu dojo itu terbuka dan memperlihatkan sosok yang mengejutkan bagi Fugaku.
"Maafkan saya Sasuke-sama, tapi Anda tidak boleh masuk ke ruangan dojo sampai latihan selesai." ujar seorang pelayan yang menjaga pintu dojo dari luar.
Si pelayan hanya mendapatkan tatapan sinis dari pemuda berpostur yang boleh dikata sangat sempurna itu. Rambut hitamnya yang mencuat ke belakang semakin menjadikannya bak seorang pangeran. Namun kenyataannya ia bukanlah sang pangeran. Ia hanyalah putra yang terbuang bersama dengan sang ibunda yang kini terbaring sakit.
"Ah, Sasuke. Masuklah, nak. Akhirnya kau datang juga. Sudah sangat lama sejak kau pergi bersama dengan ibumu itu. Bukan begitu?"
Para petarung yang sedari tadi hanya diam kemudian menyeret tubuh mereka menuju ke pinggir-pinggir dojo―memberikan ruang bagi sang pangeran yang terbuang itu untuk berjalan mendekati sang ayah yang terlihat begitu dingin di depannya. Ia semakin mempercepat langkahnya hingga jarak wajahnya dengan wajah sang ayah hanya tinggal semeter saja.
"Kau masih marah pada ayahmu ini, Sasuke?" tanya Fugaku dengan kerutan wajah yang dingin, tidak menampakkan setitik emosi apapun itu, "atau kau meminta untuk kembali ke rumah?"
Sasuke mengepalkan kedua tangannya dengan keras. Ia harus bisa menahan emosinya untuk tidak melakukan kebodohan lagi untuk yang kedua kalinya. Demi ibunya yang kini terbaring sakit dan demi masa depannya yang entah akan berakhir di mana. Bulir-bulir darah menetes dari jemarinya. semakin erat yang mengepalkan tangannya tapi raut wajahnya juga tidak kalah dinginnya seperti ayahnya.
"Kau boleh memarahiku, memukulku, mencekikku atau bahkan membuangku begitu saja. Tapi... kau tidak berhak memperlakukan ibuku seperti kau memperlakukan orang-orang di luar sana tanpa perasaan!" ujar Sasuke untuk pertama kalinya, "ia mengalami paranoid. Ia mengira kalau aku adalah Itachi! Ia mengira kalau aku adalah Itachi! Itachi! Anak yang juga kau buang di jalanan dalam pertarungan konyol antar kelompok yakuza bodoh milik kalian! Setiap kali ia melihat wajahku, ia hanya bisa menangis dan melempariku dengan gelas, vas ataupun piring. Itu semua karena salahmu!! Salahmu!"
Wajah sang ayah tetap dingin. Kerutan kasar memenuhi wajah Sasuke. Suaranya yang lantang pun memenuhi seisi dojo itu. Urat-urat kemarahan terasa memenuhi dirinya saat ini.
"Jadi... kau datang ke sini hanya karena meminta pertanggungjawaban dariku atas ibumu yang lemah itu? Ingatlah Sasuke. Untuk mendapatkan sesuatu, kita harus mengorbankan sesuatu yang sama berharganya. Dan ibumu telah menyetujuinya. Begitu pula dengan Itachi..."
Sasuke membulatkan matanya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh ayah yang mengajarinya tentang kehidupan itu. Sungguh terlalu berbeda seperti dahulu. Ia tak paham dengan kelakuan ayahnya yang semakin jauh dari sosoknya beberapa tahun yang lalu. Ada sebuah kemarahan yang tak bisa ditekan lagi dalam jiwa Sasuke. Namun, ia tak bisa melakukan apa-apa. Ia memang lemah.
"Dan kalau kau hanya datang ke rumah untuk meminta uang atas penyakit ibumu, kau bisa mendapatkannya jika kau mau kembali ke rumahmu yang sebenarnya ini, nak."
"Aku tak sudi menerima uangmu, a-yah. Kau pakai saja uang kotormu itu untuk membangun klan yakuza-mu ini agar semua orang di dunia tahu bahwa Uchiha adalah keluarga yang berisi orang-orang tak berguna. Dan di saat itu juga, aku tidak akan pernah merasa bangga terlahirkan di keluarg ini. Dan... aku tidak akan pernah bangga terlahirkan sempurna seperti yang selalu klan ini katakan di depan komunitas yang berbeda dari kita―
―tak ada gunanya aku datang ke sini. Kupikir dengan mendengar kondisi ibu saat ini, kau akan sadar. Heh, ternyata tidak." sambungnya seraya berjalan mundur perlahan dan membalikkan tubuhnya―menjauhi kerumunan Uchiha yang saat ini sangat dibencinya.
"Kalau kau berani mengeluarkan langkah kakimu dari dojo ini, kau tidak akan bisa kembali ke rumah ini lagi, Sasuke." ancam sang ayah dengan suara keras.
Sasuke hanya mengayunkan tangannya di atas dan semakin mempercepat langkahnya, "tenang saja. Aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini lagi!"
"Kau tahu risiko seorang Uchiha yang hidup di jalanan, hah?! Orang-orang di luar sana akan menjadikanmu sebagai sasaran empuk dan akan mempergunakanmu untuk menghancurkan klan ini. Kau tahu itu kan, Sasuke? Sekali lagi kutanya! Apa kau tahu itu, Uchiha Sasuke?!"
Mendengar teriakan sang ayah, tepat di depan pintu dojo, Sasuke kemudian menghentikan langkahnya. Ia menarik kedua tangan yang ia sembunyikan dalam saku celana putih panjangnya. Melihat lambang Uchiha yang terlukis dengan gagah di pintu kayu dojo itu semakin membuat Sasuke merasa tak senang. Ia lalu mengepalkan sebelah tangannya dan memberikan tekanan yang kuat-kuat dengan menembuskan kepalan tangannya yang berlapiskan kain putih itu pada sisi pintu.
Lambang Uchiha itu kini rusak dan hancur tepat di tengahnya. Semua orang yang mengamati kelakukan Sasuke hanya bisa terdiam dan semakin menundukkan wajahnya. Sedangkan sang ayah tetap memperlihatkan wajah dinginnya.
"Kau tahu―" Sasuke sedikit menelengkan kepalanya ke arah belakang, "―inilah yang akan kulakukan jika kau tetap memperlakukan orang lain bahkan ibuku dengan seenaknya. Aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini selama kata maaf untuk ibuku tidak keluar dari mulutmu. Dan kata maaf untuk Itachi..."
Sasuke melanjutkan langkahnya, membiarkan pintu yang sudah dihancurkan hanya dengan kepalan tangannya itu. Ia sudah tak peduli lagi dengan keinginan ayahnya itu. Hanya demi sang ibu yang telah membawa dirinya jauh dari segala keburukan keluarganya, ia akan berjuang. Ia akan berjuang demi apa yang dianggapnya benar. Dan itulah jalannya saat ini...
"Sudah tak ada gunanya. Kini, aku harus berjalan sendiri..."
-
-
203 Classroom, 2nd Grade
Shizune baru saja memasuki salah satu kelas di antara beberapa kelas yang saling berhubungan itu. Ia mengembangkan senyumnya yang cerah―berharap dengan senyumnya ia dapat memberikan sedikit pencerahan di tahun ajaran baru ini. Suara-suara gelak tawa siswa-siswi dari arah koridor sedikit membangkitkan semangat mengajarnya untuk pertama kali. Ia melirik ke arah arlojinya. 08.00. Semestinya para siswa sudah harus tiba di kelasnya tapi ia tetap berpikir positif. Mungkin mereka terjebak macet, melihat hari ini adalah hari baru bersekolah.
Ia menunggu terlalu lama. Setengah hingga satu jam. Tak ada satu pun tanda-tanda akan datangnya seorang siswa ke dalam kelasnya. Sungguh mengherankan, pikirnya. Ia yang sedari tadi hanya berdiri diam kemudian memutuskan untuk mengintip ke arah luar kelas, berharap ada seseorang yang melewati koridor itu. Namun, nihil. Tak ada siapapun. Hanya ia dan suara hembusan nafasnya. Ia pun mendudukkan dirinya di kursi guru. Baru saja ia akan terduduk, suara pintu yang digeserkan membuatnya harus berdiri lagi. Ah! Akhirnya...
"Good Morning." sapa Shizune. Karena ia adalah guru bahasa Inggris, maka ia akan menyapa dengan bahasa itu tentunya.
Satu siswa laki-laki yang baru saja masuk tidak menggubris sapaan Shizune. Ia hanya menguap lebar sambil membuang tasnya di salah satu kursi paling belakang. Rambut nanasnya mencuat ke atas. Kalau dilihat-lihat ia seperti orang Hawaii, hanya saja gaya berpakaiannya seperti seorang rapper, dengan kalung besar silver menggantung di lehernya.
Shizune hanya bisa tersenyum saat melihat satu muridnya telah datang. Ia lalu memberanikan diri menyapa murid itu, "erm, boleh kutahu di mana teman-temanmu yang lain? Er, eh―"
"Shikamaru. Namanya Shikamaru Nara, sensei." jawab seorang siswa berbadan subur yang baru saja masuk ke dalam kelas itu. Gaya pakainnya juga serupa seperti pria nanas itu. "Dan oh ya, namaku Akamichi Chouji."
"Oh, baiklah. Kalau begitu, kau tahu di mana teman-temanmu yang lain, Chouji?" tanya Shizune pelan. Ia lalu mengambil buku absensi yang menerakan foto-foto siswanya dan melihat kedua foto yang menampilkan wajah kedua anak itu.
Chouji menggeleng, membuat kalung-kalung entah bergambar apa itu yang tergantung di lehernya membuat suara bak gelas kaca yang dipukul oleh sendok besi. "Entahlah. Aku juga tidak tahu. Hmm, mungkin ada urusan dengan geng mereka. Sensei tahu kan maksudku?"
Mendengar kata geng, Shizune sedikit membulatkan matanya. Ia seperti menahan napas untuk beberapa saat. "Begitu ya? Tapi, bukannya sekarang adalah jam masuk? Apa mereka tidak tahu?"
"Hoahemmm... kelas ini membosankan. Ayo kita pulang saja, Chouji. Kita ke basecamp saja daripada di sini, membosankan... Hoahhemm..." tiba-tiba pria nanas itu berdiri dan berupaya untuk menarik lengan Chouji.
"Eh tapi Shikamaru... ini kan hari pertama kita sekolah. Kalau pulang sekarang, nanti ibumu bisa marah." ungkap Chouji, berusaha untuk tetap duduk di tempatnya.
"Kalian mau ke mana?" tanya Shizune, "ini jam sekolah. Setelah kalian sudah meletakkan tas kalian dan duduk di kelas, itu artinya kalian siap untuk menerima pelajaran. Bukan begitu, Shikamaru-san?"
"Ah! Berisik! Yang mau aku sekolah itu bukan aku, tau'! Tapi ibuku! Dan aku mau sekolah atau tidak sekolah juga bukan urusanmu. Ayo kita pergi dari sini, Chouji!"
"Tap-tapi..." Chouji berusaha untuk tetap tinggal dalam kelas itu. Ia menelengkan kepalanya ke arah Shizune yang kini berjalan ke arah mereka berdua.
"Shikamaru-san, maaf, aku mungkin membosankan bagimu. Tapi, jangan khawatir. Aku yakin dengan metode belajar yang akan kuterapkan di kelas ini, kau akan merasa tidak akan bosan lagi. Aku tahu dengan sistem yang sama selama bertahun-tahun, para siswa akan merasa bosan. Ya, aku tahu itu. Oleh karena itu, aku berupaya untuk memberikan kurikulum yang berbeda." ujar Shizune dengan senyum manis. Chouji yang mendengarnya sedikit tertarik.
"Be-benarkah itu, sensei?" tanya Chouji. Shizune pun menganggukkan kepalanya, "a-apakah kita akan melakukan field trip? Ah! Aku ingin sekali ke museum sejarah di kota. Soalnya sekolah ini tak pernah sekali pun mengadakan perjalanan seperti itu. Apakah sensei akan mengadakannya? Iya kah?"
Shizune hanya bisa tersenyum pasrah. "Kurasa kita tidak akan melakukan hal itu sekarang, Chouji."
Chouji pun jadi lemas. "Tidak ya?"
"Sudah kubilang kan? Kelas ini sama tidak menariknya seperti tahun lalu. Ayo kita pergi dari sini." ujar Shikamaru dengan kesal.
"Hei kalian! Biarkan aku memperlihatkan metode belajar itu sebelum kalian memutus―"
Suara pintu yang digeser paksa membuat Shizune, Chouji dan Shikamaru terkejut. Chouji dan Shikamaru berbalik dan melihat siapa yang baru saja tiba. Shizune pun sedikit tersenyum saat siswa ketiganya baru saja muncul. Tapi, yang terlihat dari raut wajah Shikamaru dan Chouji hanya raut wajah benci dan tak suka.
"Well, well, burung gagak sudah tiba." kata Shikamaru kecil.
"Ah! Good morning!" sapa Shizune riang. Siswa yang dimaksud hanya berjalan dan tak menggubrisnya juga. Ia lalu menarik kursi paling belakang dekat sisi jendela dan melempar tasnya begitu saja. Ia pun mendudukkan dirinya sambil melipat tangan. Shizune pun langsung membuka-buka buku absensinya dan mencari foto yang persis dengan wajah anak itu.
"Namanya Uchiha Sasuke, sensei. Dibandingkan dengan siswa lainnya, dia itu yang paling bermasalah. Biasanya kita hanya akan berakhir di dalam sel selama tiga atau lima hari karena ketahuan polisi berkelahi di jalan. Sedangkan dia... entahlah, mungkin empat atau lima bulan karena kasus yang lebih berat." ungkap Shikamaru dengan nada tidak suka. "Dan juga... dia itu tidak punya teman."
Meskipun tak percaya, Shizune kemudian menutup buku absensinya. "Kalian berdua, tetap berada dalam kelas ini. Dan jangan keluar sampai bel terakhir berbunyi." tegas Shizune, membuat kedua anak itu sedikit bergidik dan akhirnya kembali duduk diam di kursinya masing-masing.
Shizune berjalan mendekati pemuda tanggung bernama Sasuke itu. Ia menatapnya sebentar dan kemudian menyapanya lagi, "Good morning, Sasuke-san? Boleh kutahu di mana teman-temanmu yang lain?"
Sasuke menelengkan kepanya ke arah Shizune yang masih tersenyum ramah ke arahnya tapi tatapannya terlalu dingin dan menusuk. "Hn. Mereka di mana, itu bukan urusanku. Kusarankan agar kau mengurus saja urusanmu sendiri, sensei." jawabnya dengan nada sarkasme―kembali membalikkan wajahnya dan mulai menatap entah-apa-itu dari balik jendela.
Entah perasaan apa yang muncul di dalam diri seorang Shizune kala itu. Ia masih menolerir sikap malas ataupun kenakalan khas anak-anak pada siswanya, tapi untuk yang ini, dia seperti merasa ter―
SREET
Suara pintu yang digeser paksa dan kasar membuat Shizune dan dua siswa berpakaian ala rapper tadi memalingkan wajahnya, menatap sosok-sosok orang yang masuk. Seorang pria berambut nge-bob memasuki ruangan bernomor 203 itu dengan wajah sumringah. Shizune hanya bisa membulatkan matanya dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh pria yang begitu mirip Bruce Lee itu.
"Erm―Gai-sensei? A-ada apa?" tanya Shizune sedikit takut.
Tiba-tiba dari arah punggung guru berambut nge-bob itu muncul sosok anak laki-laki berambut blond yang sebagian besar rambutnya tertutupi oleh topi merk NY. Kalung-kalung silver super besar juga menggantung di lehernya. Pria bernama Gai itu kemudian menarik selusur kerah belakang jaket tebal milik anak laki-laki itu. Dengan paksa, ia menariknya dan memintanya untuk masuk ke dalam ruangan kelas. Muncul suara-suara hinaan dari arah anak laki-laki itu.
"Na-naruto!" teriak Chouji, sedangkan Shikamaru hanya bisa menghela nafas saja.
"Dasar dia itu..." komen Shikamaru sembari berpangku tangan.
"Woi! Lepaskan aku, Guru Alis Tebal!!"
"Tidak akan kulepas sampai kau meletakkan tasmu dan duduk di kursimu dengan manis." jawab pria bernama Gai itu―masih mengerat kerah belakang anak laki-laki bernama Naruto itu.
Kegaduhan itu tidak membuat pria berambut raven yang masih menatap ke arah langit itu memalingkan wajahnya sedikitpun. Baginya, hal yang seperti ini sudah biasa terjadi di kala tahun ajaran baru dan pelakunya pastilah orang yang sama. Sang pengacau kelas nomor satu, Uzumaki Naruto.
"Sa-saya mohon lepaskan dia, Gai-sensei. Kurasa dia butuh ruang untuk beradaptasi di kelas ini." ujar Shizune berusaha meyakinkan. Meskipun kurang yakin, pria nge-bob itu lalu melepas terkamannya dari jaket Naruto. Naruto pun berusaha merapikan jaketnya yang hampir melorot. Pandangannya menjadi liar dan nyaris mengeluarkan kata-kata hinaan lagi tapi Shizune menuyuruh Naruto untuk duduk. Ia terus saja memanyunan bibirnya meskipun kedua teman se-geng-nya berusaha untuk menghiburnya.
"Sebenarnya ada apa ini, Gai-sensei?"
"Heh! Anak liar itu berusaha untuk kabur dari area sekolah tapi sayang sekali aku berhasil menangkapnya dan menariknya kembali ke kelas." jawabnya dengan tatapan bak seorang pemenang ke arah Naruto, "kuharap Anda berhati-hati dengan anak itu, Mam. Dia bisa sangat berbahaya di dalam kelas. Kalau ada apa-apa panggil saja saya. Saya akan langsung menariknya kembali. Maaf sudah mengganggu pagi Anda, erm―"
"Shizune. Anda boleh memanggilku Shizune."
"Oh baiklah, Shizune-sensei." Sepersekian detik kemudian, pria itu berjalan keluar dari arah kelas dan menutup pintu geser. "Ingat pesan saya, Shizune-sensei. Kalau ada sesuatu terjadi, panggil saja saya."
Shizune hanya bisa tersenyum aneh seraya memijit-mijit tangannya, "i-iya."
"DASAR GURU ALIS TEBAL! AKU BENCI PADAMU!!" teriak Naruto tiba-tiba, saat Gai baru saja menutup pintu geser. Mendengar makian dari siswanya, Shizune langsung mengalihkan pandangannya dan menatap ke arah Naruto yang terlihat begitu kesal di kursinya.
Dengan sedikit mengernyit, Shizune berusaha untuk tampak tenang meskipun ia dibuat bingung oleh kelakukan siswa-siswanya di pagi ini. Shizune lalu melipat kedua tangan di dadanya dan terus menatap ke arah siswanya itu hingga ia kembali tenang.
"Boleh kutahu kenapa kau melakukan hal yang disebutkan oleh Gai-sensei tadi, Uzumaki -san?" tanya Shizune. Yang ditanya malah semakin emosi. Ia tetap memalingkan wajahnya dari gurunya itu dan tak mau bicara sepatah kata apapun. "Aku bertanya padamu, anak muda." tanyanya lagi dengan nada lebih tegas.
Naruto juga melipat tangannya dan menenggelamkan kepalanya dalam lekukan jaketnya. Ia bahkan tidak mau melepas topinya itu. Shikamaru dan Chouji sudah lepas tangan jika temannya yang satu ini sudah kehilangan kesabaran. "Uzumaki Naruto! Itu namamu kan?" seru Shizune lebih keras.
"AH! BERISIK! Apa maumu, guru baru? Aku sudah duduk di sini, oke? Lakukan saja apa yang harus kau lakukan. Yang harus kau lakukan di ruangan menyebalkan ini hanya berceloteh tentang indahnya sekolah ataupun masa depan yang cerah jika kita bersekolah, bla bla bla dan kemudian selesai. Kau mengucapkan sampai jumpa anak-anak, lalu keluar dari kelas ini dan bump! Kau akan digaji oleh pemerintah. Tidak susah kan? Jadi kumohon, lakukan saja tugas-tugas itu dan jangan hiraukan aku." jawab Naruto dengan cepat dan lantang sambil berdiri tepat di depan Shizune. Ia lalu kembali duduk hingga menyebabkan suara dentuman keras.
Sang guru berusaha untuk mengatur nafas dan emosinya. Sungguh sangat sulit untuk berada pada situasi seperti itu jika kau tak punya manajemen emosi yang baik.
"Maaf jika aku menanyakan hal yang tidak berkenan di hatimu, Uzumaki-san. Tapi, seorang guru tidak bekerja semata-mata untuk uang seperti yang kau katakan tadi. Aku punya tujuan yang ingin kucapai. Dan uang tidak akan pernah bisa membayar jerih payah karena pencapaian tujuan itu. Jadi... kuharap kau untuk tidak menilai seseorang dari luarnya saja tapi―
"―lihatlah dari apa yang mereka lakukan. Dan aku yakin, kau pasti akan mengubah paradigmamu tentang diriku itu setelah kau melihat metode apa yang akan kuberikan di kelas ini." sambung Shizune dengan senyum ramah. "Dan... mengenai field trip yang tadi kau sebutkan Chouji, kita akan melakukannya tapi tidak sekarang. Aku janji."
Chouji pun tersenyum riang seraya melayangkan kedua tangannya ke angkasa, "HORE! Kita akan ke museum! Kita akan ke museum!"
Shizune tersenyum senang saat ia melihat kelakukan Chouji yang seperti itu. Kuharap tidak seburuk yang kubayangkan...
Meskipun masih sedikit sebal, Naruto tetap terduduk di kursinya dengan gaya entah bagaimana itu posenya. Saat ia menelengkan kepalanya ke arah kiri, ia bisa mendapati musuh bebuyutannya. Bukan hanya secara personal tapi antar geng mereka. "Si Uchiha."
Melihat dirinya terus saja ditatap oleh pemuda blondy itu, Sasuke merasa tidak suka. Ia kemudian membalas tatapannya dan kalau bisa, mungkin ada semacam kilat-kilat biru menyambar di antara mereka saat itu. Namun, belum sempat Naruto bergerak karena ingin sekali memukulnya, suara pintu bergeser terdengar lagi. Beberapa siswa dan siswi mulai berdatangan ke kelas itu dengan gaya mereka masing-masing.
Beberapa siswa mulai mengambil tempat untuk mereka duduk tapi ada hal yang membuat Shizune merasa terusik. Tiba-tiba saja, entah mengapa, terbentuk semacam blok-blok di antara siswa-siswi dalam ruangan kelas itu. Di sudut kiri belakang seperti tergabung siswa dan siswi dengan kemiripan yang sama satu sama lainnya. Namun, di sudut kanan belakang―tempat duduk Naruto, Shikamaru, dan Chouji―terbentuk blok yang berbeda.
Dari arah depan kanan maupun kiri sama saja. Sasuke yang merasa dirinya lain daripada yang lain ditinggalkan dan duduk sendirian di ujung kiri paling belakang. Shizune tak paham dengan perilaku siswa-siswinya. Kursi-kursi yang tadinya tertata beraturan kini membentuk tidak jelas.
Ia baru saja mengambil kapur dan menuliskan namanya di papan. Hanya Shizune yang ia tulis dan tidak tertulis dalam bentuk Katakana, melainkan huruf latin biasa. SHIZUNE.
"Baiklah! GOOD MORNING EVERYONE!" sapa Shizune dengan riang. Meskipun ia sudah memakai suaranya yang paling keras, kegaduhan yang diciptakan oleh para siswa dalam blok-blok mereka mengalahkan suaranya.
Meskipun diulang-ulang, tak ada yang mau mendengarkannya hingga―
Mereka semua terdiam entah karena apa. Sesaat kemudian, muncul sosok seorang gadis berambut merah muda memasuki ruangan kelas yang tadinya sangat gaduh itu kemudian menjadi tenang. Sangat tenang. Tak ada suara apapun. Dengan langkah pasti, gadis yang memakai kaos berwarna hitam dengan jaket tebal polkadot itu menuju ke salah satu kursi yang terabaikan dan membuang tasnya. Melihat hal itu, Shizune pun kembali memperkenalkan dirinya.
"Um, well, karena kita kedatangan satu siswi lagi, sebaiknya aku memperkenalkan diri lagi. Mm, namaku―"
"Shizune kan? Sudah ada di papan. Tidak usah diperkenalkan lagi. Membuang-buang waktu saja." jawab gadis berambut merah muda itu tanpa ekspresi.
Muncul perasaan tidak enak lagi di dalam diri Shizune. Ia hanya bisa terdiam sesaat dan kembali tersenyum kecil―berusaha untuk menenangkan dirinya. Sedangkan, siswi berambut merah muda itu tampak duduk tenang sembari melipat kedua tangan di dadanya. Siswa-siswi lain yang melihatnya memperlihatkan raut wajah tidak suka, terutama seorang siswi dengan pakaian bak seorang super model, rambut pirang panjang dan iris mata biru―sungguh menampilkan kekhasan sosok barbie doll yang sangat dibenci oleh siswi berambut bubblegum itu.
"Heh! Si pinky itu masih berani juga datang ke sekolah. Bukannya beberapa minggu yang lalu ia baru saja terlibat dalam kasus pertarungan antar geng di distrik satu? Dasar..."
Mendengar selentingan komentar dari salah satu blok, gadis berambut bubblegum itu mengerling dan melirik ke arah siswi pirang itu, "apa kau bilang? Dasar barbie."
"Ap-apa? Barbie katamu? Aku bukan barbie, pinky! Dan asal kau tahu, semua orang di sekolah tahu kalau kau adalah gadis pembuat onar nomor satu setelah si Uzumaki itu! Masih saja kau berani menampakkan wajahmu itu, Sa-ku-ra. Mananya yang memperlihatkan bak bunga sakura? Yang ada malah bunga torigabuto yang sangat beracun." ejek gadis pirang itu.
Gadis bernama Sakura itu tiba-tiba saja berdiri dan menarik ransel besarnya. Ia merasa bahwa apa yang dikatakan gadis itu ada benarnya juga. Ia hanya bunga torigabuto yang beracun dan tidak akan pernah menjadi sosok gadis sempurna seperti yang selalu dikatakan oleh orang-orang di luar sana. ia tetaplah seorang Sakura.
"Kau mau ke mana, Haruno-san?" tanya Shizune pelan.
"Tak usah urusi dia, sensei... Paling-paling, dia akan bertemu dengan anggota geng-nya yang konyol itu."
Sakura berbalik, menatap keji gadis yang mengatainya seperti itu. "kau boleh mengataiku bodoh, aku bak bunga torigabuto atau wajahku terlalu jelek untuk ukuran gadis seperti dirimu itu. Tapi, kau tidak berhak mengatai komunitasku dengan sebutan geng konyol. Kau-lah dan geng-mu yang konyol! Hanya memperlihatkan kecantikan fana dan tidak pernah melihat sisi dunia yang lebih gelap. Kau tidak akan pernah tahu apa itu artinya bertarung demi komunitasmu. Bahkan kau takkan pernah mengerti bagaimana rasa sakitnya kehilangan seseorang yang berharga bagi dirimu, tepat di depan MATAMU!" seru Sakura yang dilanjutkan dengan langkah pasti ke arah pintu ruangan bernomor 203 itu.
"Haruno-san!" panggil Shizune.
Yang dipanggil hanya diam sebentar sebelum kembali melangkahkan kakinya keluar kelas. Ia hanya menampilkan tatapan dinginnya sedikit ke arah Shizune.
Shizune pun berusaha mengejar Sakura yang telah keluar dari kelas. Ia tidak sempat menarik Sakura dan Sakura pun telah berlari entah ke mana―terlalu cepat baik angin.
Kata-kata itu sedikit membuat seorang Sasuke merasa terusik. Sama seperti apa yang dikatakannya pada ayahnya beberapa hari yang lalu―ia rela untuk dipukul, dicekik atau pun dibuang begitu saja tapi ia takkan pernah rela bila ayahnya memperlakukan ibunya dengan seenaknya. Rupanya masih ada sosok manusia lain yang lebih mementingkan diri manusia lain dibandingkan dirinya sendiri, selain ia.
Sasuke kemudian berdiri, mengambil tasnya dan berjalan keluar menuju pintu kelas. Shizune kemudian menatap bingung ke arah siswanya itu, "kau mau ke mana, Uchiha-san? Sudah cukup satu siswi hari ini dan aku tidak mau ada yang bersikap seperti itu lagi."
"Kau pikir kau paham dengan apa yang kami rasakan? Tidak hanya gadis itu, tapi aku, kami, kami semua di sini mengalami hal yang sama." komennya. Ia pun kembali melangkah dan keluar dari kelas.
Shizune tak bisa melakukan apa-apa lagi saat ini. Ia kini paham mengapa orang-orang di luar sana mengatakan wilayah Kanto adalah wilayah dengan sebagian besar distriknya diisi dengan keragaman perbedaan yang sering dianggap sebagai suatu hal yang harus disingkirkan oleh geng yang merasa dirinya paling kuat dan berkuasa. Bak hukum rimba yang menjadi asas hidup mereka.
Ia ingin sekali menangis saat itu tapi ia tak bisa. Ia harus tetap kuat demi mengubah semua hal yang tak logis itu. Kelas yang hening itu pun kembali ribut saat tiba-tiba saja dari arah luar terdengar suara-suara ribut dan sirene sekolah yang menderu.
"Ada apa ini?"
Mendengar suara-suara sirene dan keributan itu, para siswa akhirnya mulai bergerak. Mereka berlarian dan berusaha keluar dari kelas. Euphoria keributan dan histeria yang mengejutkan membuat Shizune semakin tidak paham dengan keadaan sekolah ini atau lebih sempitnya keadaan kelas yang diambilnya. Siswa-siswi yang berlarian ke arah koridor sekolah tidak bisa ditenangkan meskipun para penjaga sekolah berusaha menenangkan.
Batu maupun kerikil terbang dan mendarat menghancurkan kaca jendela ruangan 203. Shizune membulatkan matanya, berusaha menenangkan dirinya. Namun, suara bak lecutan senapan pendek mulai terdengar pula. Tidak ingin terlalu larut dalam histeria itu, Shizune memberanikan diri melihat kejadian dan berlari ke arah luar sekolah.
Satu orang siswa dengan siswa lain saling memukul. Entah mereka satu sekolah atau tidak, mereka tampak seperti pegulat profesional. Semuanya terjadi begitu saja. Tak ada yang bisa menangkan. Bahkan, siswa yang tidak ikut terlibat malah dengan membabi buta memukuli siswa lain yang menurutnya pantas untuk dipukul. Kini, kemanusiaan telah hilang. Semua orang saling memukul, menonjok, dan entah apa itu.
"Kenapa? Ke-kenapa ini?"
Shizune sudah tidak tahan dengan semua keadaan ini. Ia lalu melihat dari arah kejauhan salah satu siswanya yang hanya bisa menatap tanpa melakukan apa-apa di sudut koridor halaman depan sekolah.
"Uchiha-san?"
Namun, tiba-tiba saja, salah satu muridnya yang lain, yang ia tahu juga membuat masalah di hari pertamanya mengajar menonjok wajah Sasuke hingga cipratan darah keluar. Teriakan amarah keluar dari sosok anak laki-laki yang memukul wajah putih Sasuke. Namun, Sasuke membiarkan anak laki-laki itu memukul wajahnya yang mulus itu...
--
TBC
--
Saya kembali dengan fic lain yang wajib-kudu-harus COMPLETE tanggal 20 Februari nanti!
Fic ini hanya akan mengambil 6-7 chapter saja –mungkin– tapi setelah dihitung-hitung, memang hanya segitu.
Temanya sedikit berat ya? Bingung mau ngasih rate apa? T atau M ya? Tapi untuk sementara saya kasih rate T dulu aja deh. Ntar kalo ada scene yang agak berat atau mungkin lemon –jyahahaha– akan diganti jadi M. Author lagi gila nih...
Apalagi pas nulis scene Genma meluk Shizune dari belakang, saya hampir nosebleed –gilanya muncul lagi– Ohohoho...
Ngebayangin juga Saku ama Sasu jadi anggota geng. Ckckck...
Well, fic ini sangat bermakna bagi saya. Entah kenapa. Benar-benar menunjukkan sisi kehidupan yang tak pernah kita ketahui selama ini. Dan mengingatkan saya akan teman-teman saya di kampus. Wohohoo...
Ahh! Mohon dibaca dan direview ya! Terima kasih. XD
