Disclaimer: Hak cipta Harry Potter terdaftar atas nama J.K. Rowling. Kalau bebek yang punya pasti isinya penuh dengan homo hihihi.
Peringatan! Achtung!: Crossdress!Draco—bebek hitam menyeringai— Fairytale!AU. Slash. Laki-laki x laki-laki. Anda telah diperingatkan.
X.X.X
Ia putri, yang terjebak dalam sangkar emas takdir. Ia pria, yang terjerat gaun beludru dan darah biru.
X.X.X
Kakinya terseok-seok diatas hak tinggi senada mawar, mencari sang merah tipis diantara daun kering yang menari dipermainkan angin.
Belakangnya, lelaki setengah baya dengan helai-helai warna pirang yang senada dengan miliknya berkibar-kibar—bernasib sama dengan sang daun-daun kering tadi. Meliuk-liuk gemulai melawan gravitasi. Alisnya mengerut. Bibirnya merengut.
Ia masih terseok-seok diatas hak tinggi itu. Masih sama keras kepalanya seperti detik tadi.
Lelaki itu bibirnya semakin merengut. Alisnya berkedut-kedut. Wajahnya mengerut-ngerut.
Ia memasukkan helaian rambut yang terjatuh dari sanggulnya menyambi mencuri lirik ke belakang. Bibirnya membuka, mengeluarkan tawa yang langsung dicuri, dibawa pergi hembusan angin sebelum telinga sang lelaki belum sempat menggapainya.
Bibir berpoles gincu merahnya melengkung ke atas.
Seolah menyadari lengkungan samarnya, abu-abu tajam lelaki itu membesar, mencoba mengintimidasi . Perkiraan diantara perkiraan tak terhitung dan lahirlah satu kesimpulan: lelaki itu mendengar. Ia tertawa, seringan bulu angsa yang langsung dicuri lagi oleh angin yang sama, menyibukkan diri kembali ke tujuan pertamanya ia disini. Mencari sang merah yang masih enggan keluar dari persembunyian.
"Nona…" suara itu memanggil. Datar. Jengkel pun tersirat dalam dalamnya suara.
Ia tidak mendengar. Tidak—belum—tak mau. Ia takkan beranjak sebelum sang merah ditemukan.
"Draco." suara itu kembali memanggilnya. Tidak sedatar yang tadi. Lebih dalam. Jengkel mulai membumbung naik ke permukaan meski masih tertutup tameng selubung.
Deg!
Kali ini ia tolehkan kepalanya, mendesis tidak suka.
Wajah lelaki itu memerah delima oleh percampuran malu dan marah yang hampir diambang batas. Seperti yang ia cari diantara coklat-coklat kering itu. Lelaki itu menggumamkan kata "maaf," yang ia sendiri menganggapnya tidak pernah keluar dari bibir sang lelaki.
Ia tertawa geli dan lagi sang angin kembali memakannya. Lenyap lagi seperti sebelumnya. "Mukamu merah." ucapnya. Ia serta merta berdiri sembari membersihkan debu dari gaun beludru abu-abunya. "Ayo pulang."
Dan dengan ucapan juga senyum mengulum bibir itu, mereka menutup hari yang lelah bertarung dengan manik-manik oranye.
TBC
