Dawn23's unCreatives Team Presents

-1925-

Disclaimer:

Vocaloid Character (For Now):

Crypton Future Media: Miku & Kaito

Original Song:

1925 by T-Pocket

Fic Made By:

Asaichi23

Warning(s): Diksi ngawur, deskripsi kurang, alur agak kurang jelas, fic pelarian. Tapi yang penting: "Don't like my fic? Better push 'Back' button!"

.

.

.

.

-3rd Person's Point of View-

Suara langkah seorang gadis yang sedang berlari terdengar memecah keheningan malam. Terdengar samar nafasnya yang terengah-engah akibat terlalu banyak berlari tanpa henti. Rambut "torquise"nya yang diikat dengan gaya "twintail" terbang ditiup angin malam dingin yang menusuk tulang. Meskipun malam itu sangat dingin, terlihat beberapa butir peluh jatuh dari dahinya.

Terdengar lagi langkah beberapa orang di belakangnya, tak kalah cepat lari mereka dengan si gadis malang itu. Beberapa menit sekali, si gadis melirik ke belakang untuk memastikan jarak antara ia dan pengejarnya. Tiap menit, jarak mereka semakin mendekat, membuat jantung gadis ini makin berdebar. Berdebar karena kelelahan, takut, gugup, semua bercampur menjadi satu.

"Hei! Kau, berhenti sekarang juga!" teriak seseorang yang posisinya paling mendekati si gadis. Ia memakai pakaian serba hitam, dengan topi yang menutupi kepalanya.

"...," gadis itu tak menghiraukannya, tak menjawab, dan pasti tak berhenti. Orang bodoh mana yang mau berhenti kalau ia sedang dikejar?

"Oh, kau mau main kasar? Baiklah... baiklah...," timpal pria yang berada di belakang orang yang teriak pertama kali tadi.

-Click-

Suara yang membuat jantung si gadis makin berdebar, ia tahu bunyi apa itu, sesuatu yang bisa membuatnya meninggalkan dunia dengan sekejap mata. Tak terpikir olehnya, kalau orang-orang itu bakal menghabisi nyawanya sebagai ganti kegagalan mereka menangkapnya hidup-hidup.

"Hei! Kau gila ya? Tangkap saja dia sudah cukup, tak perlu sampai sajauh ini!" pria yang berada paling belakang diantara ketiganya mulai ambil bagian bicara.

"Sudah, kau diam saja! Tinggal bilang kalau dia berontak, dan kita tembak dia sebagai upaya melindungi diri, selesai 'kan?" balas lelaki yang berada paling depan dengan santai.

Lelaki yang sudah menyiapkan pistolnya untuk ditembakkan ke si gadis mulai mengambil posisi menembak. Matanya mengarahkan pembidik pistol tepat ke arah tubuh gadis yang sedang mereka kejar. Tanpa basa-basi lagi, ditariklah benda bernama pelatuk dengan jari telunjuknya.

-Dor!-

Tembakan pertama, meleset. Proyektil panas yang dimuntahkan alat pembawa maut itu mengenai tembok bangunan yang berada di kanan mereka. Disiapkanya lagi pistol itu agar dapat menembak.

"Tch! Meleset. Tapi tembakan kedua pasti tepat!" gumam lelaki yang memegang pistol dengan nada penuh keyakinan.

"Ayolah! Sudah hampir pagi! Aku tidak mau ada orang yang harus kita kirim ke alam sana karena melihat perbuatan kita!" ujar lelaki yang berada paling depan sambil menyapu peluh yang mengucur di dahinya.

"Bagaimana kalau kita hentikan saja pengejaran ini? Dan dilanjut lain waktu?" usul lelaki yang berada paling belakang, sesekali ia rapikan "muffler"nya yang hampir terlepas akibat tertiup angin.

"Tidak-tidak, gadis itu harus ditangkap sekarang juga, titik," Balas lelaki yang berada paling depan.

-Dor!-

Tembakan kedua, meleset. Lagi-lagi benda pembawa maut itu meleset, kali ini mengenai tiang lampu yang berada beberapa meter dari si gadis. Seketika itu juga, dengan kasarnya lelaki yang berada paling depan merebut pistol dari temannya itu. Kali ini dia yang akan menembak. Dengan penuh keyakinan, dibidiknya si gadis yang tengah berlari di depannya.

"Dasar bodoh! Lihat, ini caranya menembak!" desis lelaki yang berada di depan pada teman-temannya.

"Tolonglah, biarkan dia pergi. Tak perlu sampai begini 'kan?" mohon lelaki ber"muffler" itu pada kedua temannya.

"Huh? Kenapa harus kita lakukan itu? Adakah sesuatu antara kau dan dia? Kenapa kau begitu berkeras dari tadi?" tanya lelaki yang berada di urutan kedua.

"...," si lelaki ber"muffler" diam seribu bahasa, tak punya jawaban untuk pertanyaan temannya itu.

-Dor!-

Tembakan ketiga, tepat sasaran!. Kali ini benda pembawa maut itu sukses mengenai kaki kanan si gadis. Sontak ia pun terjatuh, dan berusaha berdiri dengan seluruh tenaganya yang tersisa. Ketiga lelaki itu pun makin mendekat, si pemegang pistol sekarang berlagak layaknya malaikat kematian yang siap mencabut nyawa si gadis, diarahkannya lagi pistol itu tepat di arah kepala sasarannya. Wajah gadis itu terlihat begitu ketakutan. Melihat kematian tinggal beberapa langkah darinya, tanpa dinyana, matanya mengeluarkan tetes demi tetes cairan yang biasa kita sebut air mata.

Sekarang hanya masalah waktu sebelum si pemegang pistol itu menarik pelatuk sebagai tanda akhir kehidupan si gadis. Para lelaki itu tinggal beberapa langkah darinya. Gadis itu menyeret tubuh mungilnya ke belakang, mencoba menjauhkan diri dari mereka walaupun jaraknya tak berarti. Si pemegang pistol tersenyum, senyum iblis, sarat dengan kejahatan dan kedzaliman. Si gadis yang menyadari bahwa hidupnya akan berakhir malam itu, hanya dapat memejamkan mata. Memasrahkan hidupnya pada Tuhan, dan berdoa agar kematiannya tak begitu sakit.

-Dor!-

Tembakan terakhir, tepat sasaran! Di kepala si pemegang pistol tadi! Si lelaki ber"muffler" mengeluarkan pistolnya dan menembakkan alat pembawa maut itu ke kepala rekannya sendiri. Entah apa yang merasukinya sehingga ia melakukan hal demikian. Temannya yang lain hanya bisa diam melihat kematian orang yang tadi mau mengakhiri hidup si gadis. Selang beberapa lama, lelaki ber"muffler" itu mengarahkan pistolnya ke temannya yang lain. Ia mengisyaratkan temannya agar ia pergi dari hadapannya sekarang juga. Seakan mengerti dengan isyarat itu, ia mengambil langkah seribu, meninggalkan lelaki ber"muffler" berdua, ralat, bertiga dengan mayat dan si gadis.

-Kaito's Point of View-

Tanpa kusadari, kukeluarkan pistol ini dari sarungnya di pinggangku, dan langsung kutembakkan ke kepala komandan. Entah setan apa yang masuk ke tubuhku sehingga aku berani berbuat seperti ini? Hanya untuk menolong seorang gadis malang yang belum kukenal sama sekali.

Mataku masih menatap nanar ke arah mayat komandan yang baru saja kubunuh. Entah hukuman apa yang bakal kuterima begitu mereka tahu kalau aku membunuhnya. Ah, peduli setan, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang lebih baik aku kabur, sebelum yang lain datang, dan mengirimku ke alam sana.

Sekarang mata biruku ini tertuju pada si gadis yang masih diam terpaku melihat ke arahku. Ia melihatku dengan tatapan heran, takut, dan bingung. Air mata masih terlihat berlinang di pipinya yang putih bak pualam. Kudekati dia beberapa langkah, tapi ia meneriakiku dengan suaranya yang tinggi.

"JANGAN MENDEKAT, KAU PENJAHAT! TINGGALKAN AKU SENDIRI!" teriaknya padaku, bukan kata-kata yang layak diucapkannya pada seseorang yang telah menyelamatkan hidupnya kan?

"Tenang, aku tak berniat jahat, mari kulihat lukamu, siapa tahu bisa kuobati" ujarku, kudekati lagi gadis itu beberapa langkah. Lagi-lagi ia meneriakiku dengan suaranya yang mulai terdengar parau.

"SUDAH KUBILANG, JANGAN MENDEKATIKU SATU LANGKAH PUN, PEMBUNUH!" teriaknya lagi. Hei-hei pembunuh inilah yang telah menyelamatkanmu dari mati muda, nona! Kau ingat? Beginikah caramu untuk mengucapkan terima kasih? Sungguh manis!

Kepalaku mulai pusing, jengkel dengan gadis ini, aku mesti cepat-cepat kabur dari sini, tapi tak bisa kutinggalkan gadis ini di sini. Nanti perbuatan "baik"ku sia-sia dong? Jadi kucoba membujuk gadis ini agar ia mau ikut denganku.

"Dengar dulu, sekarang orang-orang yang 'sama' denganku akan segera datang ke sini, dan pasti mereka akan melakukan hal yang sama dengan yang teman-temanku lakukan padamu. Jadi sekarang kau tinggal pilih, mau ikut denganku, atau tetap berdiam diri di sini?" bujukku, kulihat sekeliling, masih aman untuk saat ini. Orang-orang masih belum terbangun, walaupun ada tiga, tidak, empat tembakan yang sudah keluar dari sesuatu yang bernama "pistol" itu.

"...," gadis itu tak menjawab, kepalanya tertunduk ke bawah, yang membuatku tak bisa melihat raut wajahnya. Ayolah, percepat berpikirnya nona, aku tak mau ada lagi yang dikirim ke alam sana oleh senjata ini!

Tch! Habis waktuku untuk menunggu gadis ini berpikir! Sudahlah kutinggal saja, terserah mau dibilang tak berperasaan atau semacamnya, aku masih muda, dan belum waktunya mati bung! Jadi kuputuskan kutinggalkan dia sendirian di sini. Semoga Tuhan melindungimu, nona! Kubalikkan badan dan bersiap untuk lari, tapi ternyata gadis ini memanggilku lagi, tapi dengan suara lebih lembut.

"Tu-tunggu! Tolong, bawalah aku bersamamu," pintanya dengan mata berair, yang membuatku tak dapat menolak permintaannya.

"Kenapa tidak dari tadi?" ujarku jengkel. Andai ia mengutarakannya lebih awal, pasti kami sudah jauh dari tempat ini.

"Karena..."

"Ah! Terlalu lama! Sekarang naiklah! Aku akan gendong kau sampai ke 'tempat rahasia'!" ujarku padanya. Kuambil posisi jongkok di depannya, agar ia lebih mudah kugendong. Setelah ia sudah di punggungku, langsung saja aku jalan menjauhi tempat itu.

Kugendong gadis ini menjauhi tempat dimana kubunuh komandanku sendiri. Jalan- jalan besar kuhindari, begitupun dengan cahaya-cahaya lampu penerangan jalan. Mengantisipasi agar kami tak mudah ditemukan. Tiba-tiba gadis yang belum kuketahui namanya ini menggenggam pundakku dengan kencang, rintihan terdengar dari bibirnya. Kuputuskan untuk menghentikan langkahku, dan melihat keadaannya.

"Hei, lukamu bertambah sakit ya?" tanyaku padanya. Kulihat luka tembak yang menganga di kakinya, hanya ditutupi sehelai sapu tangan berwarna merah jambu, yang sekarang hampir berubah menjadi merah darah.

"...," gadis ini mengangguk, jadi langsung saja kuambil kotak P3K lapangan yang kusimpan di balik mantel yang kugunakan. Kubersihkan dulu lukanya, lalu kuperban agar pendarahannya berhenti.

"Nah, sekarang sudah agak enak 'kan?" tanyaku padanya.

"Iya" jawabnya singkat tanpa basa-basi. Hei, ucapkan sesuatu yang lain 'kek! Terima kasih kah?, perkenalkan dirimu kah? Masa' Cuma itu saja yang kau ucapkan untuk penyelamat hidupmu?

"Aku... aku takut! Kau tak akan tinggalkan aku sendiri 'kan?" ucapnya dengan suara bergetar. Lagi-lagi gadis ini menangis, jadi kupeluk saja dia, siapa tahu bisa lebih tenang sedikit. Kalau wanita dipeluk, bisa membuatnya merasa tenang 'kan?

"Tentu saja tidak, sekarang boleh kutahu siapa namamu, nona?" ujarku sambil mengelus pelan rambut "torquise"nya.

"Miku, Hatsune Miku" jawabnya sambil terisak. Miku ya? Nama yang bagus, akhirnya kau beritahu juga namamu..

"Kau boleh panggil aku Kaito, Shion Kaito, Miku. Sekarang bagaimana kalau kita jalan lagi? Kalau sudah pagi, susah untuk menghindari para anggota "Tokko" itu!" ujarku.

"Iya, tapi aku masih tidak kuat berjalan, luka ini terasa sangat sakit kalau aku menggerakkan kakiku walau cuma sedikit," ujarnya sambil sesekali melirik ke arah kakinya yang sudah kuperban.

"Oke-oke, naiklah lagi! Tempat tinggalku sudah dekat kok!" pasti kau akan kugendong lagi 'lah! Mana mungkin aku sebegitu teganya membiarkanmu yang masih lemah ini berjalan tanpa bantuan!

Miku pun sekarang telah berada di punggungku lagi. Kumulai lagi langkah demi langkah menuju tempat persembunyianku. Seperti biasa, selalu hindari jalan besar dan lampu-lampu jalan ketika kau sudah masuk dalam daftar pencarian orang. Perjalanan begitu sunyi, tak ada satu katapun keluar dari mulut kami berdua, membosankan. Seiring langkahku yang berat, rasa bosan itu makin memuncak, jadi... ya kumulai saja perbincangan dengannya, siapa tahu bisa menghilangkan rasa bosan ini.

"Hei, Miku."

"Ya?" jawabnya dengan suaranya yang renyah, terdengar seperti suara anak kecil, menurutku.

"Errr... tidak jadi deh," balasku. Padahal aku yang mulai pembicaraan, tapi malah tak punya apa-apa untuk dibicarakan, jadi terpaksalah kami berjalan dalam kesunyian lagi.

"Ng... Kaito," sekarang malah Miku yang balik memanggilku, apa yang kira-kira ia akan katakan ya?

"Hm? Ada apa?" jawabku dengan singkat, pandangan mataku masih melihat sekeliling, mencari jalan paling aman dan cepat untuk kami berdua.

" Mmm... teri...," ucapannya terdengar terbata-bata, kenapa? Adakah sedikit rasa gengsi dalam dirimu untuk mengucapkan "kata itu"?

"Sama-sama," potongku tanpa memberinya kesempatan berbicara, tinggal bilang "terima kasih" saja kok susah sekali? Sudahlah tak perlu dipikirkan lagi, sekarang pikirkanlah bagaimana kita bisa tiba di tempat persembunyian, Kaito!

"He-hei, aku kan belum bilang apa-apa. Lagian belum tentu aku mau mengucapkan terima kasih 'kan?" ujarnya sambil meronta di punggungku. Hati-hati, nanti kalau jatuh, aku tidak tanggung lho!

"Sudah bisa kuduga apa yang akan kau ucapkan, masa' kau tidak bilang terima kasih pada penyelamatmu sih?" jawabku dengan secuil rasa bangga karena telah menyelamatkannya, walaupun mesti kukorbankan komandanku yang malang untuk mencapainya.

"Huuh... dasar sok tahu! Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu mau selamatkan aku dari mereka? Jangankan kenal, ketemu saja pasti baru malam ini 'kan?" Miku menanyakan hal yang jawabannya belum terpikirkan olehku, yaitu apa alasanku menyelamatkan dia. Kira-kira apa jawaban yang bagus untuk kuberikan padanya ya?

"Eh... itu, apa ya? Alasannya..." bagus sekali Kaito, sekarang kau tak punya jawaban untuk gadis ini, jangan sampai ia berpikiran aneh-aneh tentang dirimu!

"Kamu suka sama aku ya?" Jawabnya dengan enteng tanpa dosa sedikitpun, dasar gadis lugu.

Sontak beberapa detik setelah ia mengucapkan itu, kutolehkan kepalaku ke belakang. Disambutnya mata biruku yang menatap bingung kepadanya dengan sepasang mata "torquise" indah miliknya. Kulihat wajahnya yang merona merah setelah tak seberapa lama kutolehkan wajahku. Bagus sekali, sekarang ia malah berpikiran kau suka padanya! langkahku pun terhenti, kami berdua terdiam beberapa saat sampai akhirnya ia mulai berkata lagi.

"Atau jangan-jangan kau mau melakukan hal yang tidak-tidak padaku ya?" ujarnya sambil memeluk dirinya sendiri. Akhirnya ia makin ngelantur! Sempurna sudah, sekarang ia mulai berpikiran macam-macam tentangmu, Kaito! Ayo pikirkanlah sesuatu dengan otakmu yang kekuatannya terbatas ini!

"Yang benar saja! Kalau memang niatku begitu, kenapa tidak kulakukan sekarang?" jawabku dengan jawaban yang ngelantur pula, sekarang sudah ada dua orang ngelantur di malam yang dingin ini.

"Kyaaa... tidaaak! Lepaskan! Turunkan aku dasar kau mesum!" ia mulai meronta lagi, dan sekarang tubuhku mulai tak seimbang, dan jatuhlah kami berdua dengan posisi ia berada di atasku, dan aku yang terlentang di bawahnya.

"Aduuh... tak bisakah kau tenang sedikit? Sekarang kita sedang dicari oleh anggota 'tokko' yang lain, kau tidak mau kejadian tadi terulang bukan?" ujarku kesal, kenapa gadis ini begitu histeris? Bikin repot saja, pokoknya harus cepat sampai tempat persembunyian, supaya bisa langsung istirahat.

"Hehehe, maaf-maaf, sekarang, maukah kau gendong aku lagi, Kaito?" pintanya sambil menggaruk kepalanya pelan.

Belum sempat kubalas ucapannya, beberapa anggota "tokko" terlihat melintas di peempatan jalan di depan kami. Mereka terdiri dari empat orang, dan salah seorang dari mereka melihat keberadaan kami. Seperti polisi menemukan buronannya, orang yang pertama kali menyadari keberadaan kami langsung berteriak, memperingatkan temannya yang lain. Tanpa basa-basi lagi, mereka mengeluarkan sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, yaitu senjata.

Mereka tidak hanya mengarahkan senjatanya ke arah Miku, tapi juga ke arahku, yang mungkin sudah dikabarkan memberontak kepada "tokko". Kucoba untuk bangkit dari posisiku sekarang, dan berusaha untuk menghindari mereka.

-Click-

Lagi-lagi bunyi yang tak kuharapkan, bunyi senapan di pompa, aku harus bergerak cepat sebelum kami berdua jadi sasaran hidup mereka, jadi segera kugendong lagi Miku, kali ini bukan di punggung, tapi di depanku. Setelah Miku berhasil kugendong, langsung saja aku berlari menjauhi para anggota "tokko" itu.

-Dor Dor Dor Dor-

Bunyi berondongan peluru yang dimuntahkan senjata yang kali ini bernama senapan mesin itu benar-benar sudah menghancurkan keheningan malam, orang-orang pun mulai panik karena mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Para anggota "tokko" itu tidak mengejar kami, melainkan terus menembaki kami dengan membabi buta. Tapi untunglah aku langsung mencari tempat berlindung di balik dinding sebuah rumah. Setelah beberapa lama, mereka pun pergi, tak tahu kenapa, mungkin ada perintah lain yang turun. Jadi kami aman, yah untuk saat ini.

"Terima kasih Tuhan, aku selamat lagi kali ini," gumam Miku, seketika pandanganku tertuju padanya, dibalasnya pula pandanganku dengan wajah keheranannya.

"Kenapa kau melihatku begitu, Kaito?" tanyanya denga penuh kebingungan.

"Miku, apakah kau percaya 'Tuhan'?" tanyaku

"Tentu saja, kenapa?" kini giliran Miku yang balik bertanya.

"Lalu, kenapa kau bisa masuk dalam salah satu sasaran kami?" gumamku, apakah Miku difitnah? Atau kami yang salah informasi? Masih belum bisa kupastikan sekarang.

"Kau bicara apa sih? Aku tidak mengerti sama sekali, kau mau menjelaskan kenapa tadi kalian mengejarku tanpa alasan?"

"Kami, anggota 'tokko' ditugaskan untuk menangkap mereka semua yang menentang Kaisar, yang mencoba merubah ideologi Jepang, dan yang paling utama, kami diperintahkan untuk...," tak kuteruskan kalimatku, entah kenapa sulit sekali kuucapkan akhir kalimat ini.

"Yang paling utama? Apa itu?" Miku makin penasaran dengan akhir kalimat yang tak kulanjutkan itu.

"Menghabisi orang-orang 'Sayap Kiri'"

*May Be Continued*

A/N

Ah, terima kasih banyak bagi teman-teman yang sudah bersedia membaca fic saya yang terinspirasi dari lagu "1925". Awalnya saya juga bingung apa maknanya ini lagu. Ternyata setelah saya gugel-gugel, maknanya dalem juga ya? Menceritakan mengenai perpolitikan Jepang pada tahun 1925, dimana pada tahun itu terkenal sebuah hukum yang bernama "Peace Preservation of Law" atau "Hukum Pemeliharaan Perdamaian" dalam Bahasa Indonesia, dimana para anggota kepolisian memburu mereka yang terlibat dan disangka terlibat dengan "Golongan Sayap Kiri" a.k.a. Komunis, agak mirip "Operasi Trisula" kalo di Indonesia ya?

Baiklah, berhubung saya nggak terlalu ngerti sejarahnya Jepang, mungkin cukup dulu penjelasan mengenai fic saya di atas. Akan saya update fic ini setelah saya sudah dapat cukup referensi untuk menulis chapter 2! Sekali lagi terima kasih banyak karena sudah membaca fic pendek ini!