Disclaimer : Attack on Titan belongs to Hajime Isayama, i take nothing except fun of making this story :)
Warning : typo(s), a little bit OOC, au, multi-genre, multi-chapt
Note : ini multi-chapter pertamaku yang di upload di FFN ( kedua, kalau dihitung secara keseluruhan ), cerita multi-chapt pertama pernah di upload di wattpad—hanya saja, alur berantakan dan niat remake :')
But anyways, enjoyy uwu
[ what shines above ]
.
Bocah sembilan tahun itu menatap langit dipenuhi bintang gemintang dengan mata sienna-nya. Tangannya sibuk menggambar lautan konstelasi di buku tulisnya. Kalau di kota tempat dia tinggal, bintang-bintang sebanyak dan seindah ini tidak akan tampak.
Dia meraih kamera, memotret langit malam ( bocah ini sudah bisa mengatur ISO—diajarkan ayahnya yang bekerja sebagai fotografer ). Menatapnya sambil berdecak kagum.
"Sedang apa?" anak yang lebih tua lima tahun di atasnya itu bertanya. Manik lazuardinya terlihat indah di bawah sinar purnama.
"Melihat bintang," bocah perempuan itu menjawab sambil tersenyum lebar, memamerkan gigi ompongnya yang baru saja copot dua minggu lalu. "Coba kau lihat ke atas. Indah, bukan?"
"Hm," temannya itu menengadah, mengukir senyum tipis. "Tapi, kau tahu, tidak, Hanji? Sejak seminggu lalu, kau terus melihat bintang. Apa kau tidak bosan?"
"Heeei, siapa bilang langit malam membosankan?!" dia cemberut, "Mereka indah, tahu. Indaaaaaah!"
Teman bermanik lazuardi itu, Erwin Smith, tertawa pelan. "Iya, iya. Indah."
Hanji mendengus, sebelum tertawa lepas. "Erwin, sebenarnya ada yang ingin aku katakan. Tapi, kalau mengatakannya, aku takut terdengar seperti orang idiot."
Manik lazuardi itu terkunci pada manik sienna gadis itu, "Oh, ya? Katakan saja, aku tidak akan mengejekmu."
"Hmm, tapi jangan bilang siapa-siapa ya?"
Erwin mengangguk antusias.
"Aku ingin mencari alien!"
Erwin memang tidak tertawa seperti kebanyakan orang. Dia juga tidak menganggap gadis itu idiot. Hanya saja ...
"... Kau yakin?"
"Hm-hm!" dia mengangguk, terlihat menggemaskan. "Di antara miliaran galaksi, mungkin juga miliaran semesta, mana mungkin kita tinggal sendiri, Erwin!"
Sebenarnya topik pembicaraan Hanji terdengar terlalu berat untuk anak usia sembilan tahun yang biasanya, membahas tentang kartun favoritnya atau video game. Tapi faktor ayahnya, seorang fotografer yang mencintai antariksa, atau ibunya yang selalu bermimpi menjadi astronot, membuat mata gadis itu memancarkan bintang-bintang.
"Aku mengerti, tapi," Erwin baru saja hendak menyahut sebelum terdengar panggilan dari villa.
"Hanji, Erwin!" terdengar panggilan, seseorang melambai. "Masuk, sudah waktunya tidur."
"Ah," Erwin dan Hanji saling tatap. "Berarti ini malam terakhir kita, ya?" Hanji menunduk.
"Tapi, kita masih bisa bertukar pesan, kok. Sewaktu-waktu, kita juga bisa ketemu." Erwin tersenyum, berusaha menghibur.
"Tapi, kan—" Hanji hampir menangis, "Kita terpisah jauh sekali. Aku harus naik pesawat untuk melihatmu lagi."
"Jangan menangis!" Erwin kalap, "Meski begitu, kau dan aku masih akan tetap bersama, kok! Aku janji akan berkunjung, aku akan menabung!"
Hanji terisak pelan, "Benar, ya?"
Erwin tersenyum, mengangguk. Sebelum sahutan itu kembali terdengar.
Ketika Hanji membereskan buku-buku, pensil dan kameranya, dia melihat sesuatu yang bergerak secepat cahaya. Lalu terdengar suara debum samar di balik pepohonan.
Asap.
Hanji mendelik, "Erwin! Kau dengar itu? Dan, lihat! Lihat!"
"Hm?" Erwin berbalik, "Lihat apa, Hanji?"
"As—" Hanji terdiam. Gumpalan asap itu menghilang begitu saja, seolah-olah tidak pernah ada di sana.
"Lupakan," Hanji melangkah lesu. "Ayo, kita kembali."
Jauh di dalam pepohonan, sosok bertubuh ringkih di lempar ke permukaan tanah yang keras. Dan sesuatu itu kembali melesat menembus atmosfer, menembus antar-antar galaksi.
.
.
[ what shines above ]
.
-prologue-
[ something that flies through the atmosphere ]
.
story by : Ares
.
.
"Asik, ya," Nanaba berkomentar. "Gimana jalan-jalanmu ke Kanada?"
"Uwoh," Hanji mengacungkan kedua jempolnya. "Seru abis! Aku melihat bintang-bintang dan konstelasi yang indah! Aku bertemu teman lamaku, dia lebih tua, sih. Kami menginap di vila-nya. Namanya—"
"—Erwin Smith." Nanaba menyeringai menyebalkan ( oh, lihatlah. Gigi gadis itu sama ompongnya dengan Hanji ).
"Hei, tatapan itu untuk apa?" Hanji menunjuk dengan gestur tidak sopan. Telunjuknya di arahkan lurus-lurus ke gadis berambut pendek pirang itu.
"Bukan apa-apa, kok!" Nanaba menyeringai, dia hendak mengatakan sesuatu sebelum Hanji memotong gadis itu cepat.
"Tahu, tidak?" serunya, "Waktu itu, malam terakhir di Kanada, aku melihat—"
"—jodohmu? Hehe," Nanaba menyeringai ( astaga, apa yang bocah sembilan tahun ini pikirkan ).
"Bukan!" Hanji mendengus sebal, "Kau ini, di usiamu yang masih sebesar kacang mede, sudah berani bahas-bahas topik asmara. Sadar umur, dong!"
"Haha, maaf, maaf." Nanaba tersenyum, "Lanjut, tadi kau melihat apa?"
Mimik wajah Hanji kembali antusias, "Coba tebak, aku melihat ... sesuatu yang asing."
"Hantu?"
"Bukan!" Hanji menjerit sebal, "Lebih mirip sesuatu yang berasal dari luar bumi!"
"Meteor?"
Hanji cemberut, membuat Nanaba tertawa, "Oke, oke, aku tidak akan memotong."
Hanji berdeham, "Aku melihat ... U.F.O!"
"HA!" Nanaba memukul sofa kuat-kuat, "Bodoh, benda itu tidak benar-benar ada! Hahaha! Kau ini terlalu banyak nonton film yang berhubungan dengan sains, sih! Hahaha!"
Hanji sudah menduganya.
"Kau menyebalkan. Pulang sana. Aku tidak jadi memberimu oleh-oleh."
"He—heeeeeiii, jangan ngambek, Hanji!" Nanaba memeluk lengan gadis bersurai cokelat acak-acakan itu. "Aku, kan, hanya bercanda."
Hanji mendengus, kembali melanjutkan, "Sebenarnya, aku tidak begitu yakin itu apa. Tapi ada cahaya yang melesat sangat cepat, menubruk pepohonan, kemudian asap mengepul hebat. Sejurus kemudian—"
Nanaba mengerjapkan mata, menunggu jawaban sahabatnya itu.
"—asapnya menghilang!"
Hening.
"Kau mimpi, kali."
"Sungguhan! Masa, kau tidak percaya, sih?!" Hanji mendesah putus asa.
"Atau mungkin terlalu banyak menghirup udara malam membuat saraf otakmu rusak." Nanaba iseng menyimpulkan, dan itu tidak membuat Hanji senang sama sekali.
"Pulang sana."
"Eh, Hanjiii!" Nanaba cemberut, "Kamu kenapa, sih?"
Berkali-kali di permainkan, gadis berkacamata tebal itu ngambek. Dia membenamkan wajahnya di bantal sofa yang tebal.
"Hei, maaf, deh." Nanaba menepuk pundak Hanji. Seharusnya dia mengerti kalau temannya ini memang menggilai antariksa. Kalau dia sudah antusias begini, argumennya tidak boleh dipatahkan, tidak boleh di tertawakan. Kalau terjadi, binar-binar di manik sienna itu akan hilang.
"Begini, kalau saja benda itu benaran U.F.O, lalu ada alien yang tersesat di Bumi," ucapan Nanaba sukses membuat Hanji menengadahkan kepalanya, "Apa yang akan kau lakukan?"
"Kalau alien itu perempuan, aku akan menjadikannya temanku," Hanji menjawab, mood-nya tiba-tiba berubah drastis. "Kalau dia laki-laki, aku akan menjadikannya pacarku."
Oke, sahabatnya ini gila. Dua menit lalu, dia baru saja komplain ketika Nanaba membahas topik asmara.
Nanaba bahkan tidak yakin kalau alien punya gender.
"Meskipun, kepalanya besar dan kulitnya hijau?"
"Meskipun kepalanya besar dan berkulit hijau."
Maka Nanaba pulang dengan sekotak cokelat dan ribuan pertanyaan dalam kepalanya. Menjelajah lingkup semesta, mendarat di Titan, pergi ke bulan, tapi dari semua imaji Hanji, ini yang paling membuatnya terlihat gila.
...
Ranting-ranting bergesekan, sosok ringkih itu gemetaran. Di raihnya buah beri di semak belukar, sembari berharap buah itu tidak akan membunuhnya.
Walau rasanya hambar, bagaimana pun, dia harus tetap hidup.
Dia harus tetap hidup. Harus.
Dia harus segera melakukan apapun yang dia bisa agar tidak berakhir seperti orangtuanya.
...
tbc
a/n : halo QwQ
prolognya pendek, ya? maapkan XD
oh, iya. Aslinya, cerita ini awalnya mau saya terbitkan ke penerbit dengan tokoh OC, tapi karena sepertinya ini berkonten romance, saya tidak bisa mengirimkan ini ke sana, soalnya main theme-nya harus fantasi. ( ini sebenarnya bakal jadi semacam Sci-Fi, sudah terlihat, kan, dari pembahasan alien-nya? tapi, bakal ada konten romance-nya, jadi ... begitu :3 )
semoga suka, dan kalau suka, ikutin terus, ya XD /ceilah /tampar
Salam,
Ares
