ARTIFICIAL LOVE
Chapter One
.
.
Main Cast :
CHANBAEK
.
Other Cast :
Kim Heechul
Park Dajung (OC)
.
Genre :
Romance, Angst
.
Rate :
/ M / YAOI /
.
.
Disclaimmer :
FF ini adalah murni karya BaekQiu.
Jika terjadi kesamaan alur dan cerita, itu hanyalah sebuah kebetulan semata
.
.
My first yaoi fic ever!
Hope you guys enjoy it!
Beware of typos!
.
.
Happy reading!
.
.
.
.
.
"Bawalah ini. Untuk makan malammu."
Baekhyun menatap bungkusan yang disodorkan ahjumma pemilik restoran daging tempat dia bekerja paruh waktu itu dengan sungkan. Dia sudah terlalu sering menerima belas kasihan orang lain. Dan hari ini pun tidak berbeda dari hari sebelumnya.
Byun Baekhyun hanya seorang bocah enam belas tahun biasa yang putus sekolah. Dia tinggal bersama ibunya di sebuah flat sempit dan kumuh di kawasan lampu merah. Sementara dirinya bekerja sebagai pelayan di restoran, ibunya bekerja sebagai wanita penghibur, melayani pria-pria hidung belang yang datang hanya untuk menuntaskan nafsu bejatnya.
Sejak kecil Baekhyun tidak pernah mengenal ayahnya—ibunya memang tidak pernah bercerita tentang sosok 'ayah' itu. Pernah suatu hari dia bertanya dan hanya mendapat lemparan piring sebagai jawabannya. Sejak saat itu Baekhyun berhenti bertanya.
"Terima kasih," gumam Baekhyun yang pada akhirnya menerima bungkusan itu. Upahnya dari bekerja di restoran daging ahjumma memang tidak banyak, tetapi kemurahan hati wanita paruh baya itulah yang membuat Baekhyun bertahan bekerja di sana. Lagipula tidak ada tempat lain yang mau menerima anak yang hanya lulusan sekolah pertama menjadi pegawai mereka.
Pekerjaannya di restoran cukup sederhana walaupun sangat melelahkan. Dia hanya perlu mengantarkan pesanan makanan pada tamu, membereskan meja, dan mencuci peralatan kotor di belakang. Dengan upah itu dia bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ibunya memang bekerja. Tetapi Baekhyun tidak pernah tahu ke mana perginya uang-uang itu. Mungkin dihabiskan untuk berbotol-botol alkohol, karena ibunya selalu pulang dalam keadaan mabuk setiap malam. Itu merupakan pemandangan mengerikan dari seorang ibu. Dan Baekhyun harus menyaksikan itu sepanjang masa pertumbuhannya.
Begitulah kehidupan yang harus dijalani Baekhyun setiap harinya.
Baekhyun mengeratkan mantel butut yang sudah setia melindungi tubuhnya dari kejamnya musim dingin selama bertahun-tahun itu dan berjalan menyusuri trotoar. Jalanan diselimuti salju tebal. Tetapi Baekhyun cukup beruntung hari ini karena badai tidak datang lagi seperti kemarin.
Ah, dia sungguh benci musim dingin.
Jarak antara restoran daging menuju rumahnya memang tidak terlalu jauh. Baekhyun hanya harus menempuh sekitar dua puluh menit dengan berjalan kaki, melintasi satu gedung apartemen dan beberapa blok pertokoan. Tetapi sore itu perjalanan pulangnya terasa begitu lamban karena harus berhati-hati menghindari jalanan beku yang licin. Padahal dia ingin segera sampai di flat bututnya. Setidaknya di dalam sana cukup hangat, meskipun penghangat ruangannya sudah tidak berfungsi dengan baik.
"Hei!" panggil seseorang ketika Baekhyun berbelok masuk ke gang menuju flatnya. Gang itu sempit dan gelap. Bau pesing melukai indra penciumannya. Baekhyun tidak tahu kenapa ada orang yang betah tinggal di tempat terkumuh di Seoul ini. Tempat ini benar-benar tidak layak.
Baekhyun menoleh ke sumber suara. Seorang pria tambun yang tidak begitu jelas wajahnya menghampirinya, berdiri terlalu dekat padanya hingga membuat Baekhyun terpojok ke dinding yang berlumut. Napasnya menguarkan bau busuk alkohol. Baekhyun menahan napas dan menahan rasa takut yang mulai mencekiknya.
"Baru pulang ya?"
"I-iya," jawab Baekhyun takut-takut.
"Aku sering melihatmu melintas di daerah ini. Kau tinggal di apartemen lampu merah itu?"
"Iya," Baekhyun menjawab lagi sambil menahan tubuhnya yang gemetaran.
"Berapa hargamu?"
"A-aku t-tidak—"
"Ayolah, bocah cantik. Tidak usah menyangkal. Kulihat kau sepertinya masih pemula, iya kan? Kalau begitu beri aku pelayanan gratis. Hitung-hitung latihan. Aku akan sangat berterima kasih padamu," katanya yang diiringi tawa menggelegar yang mengejek.
"Ahjussi, a-aku bukan...o-orang seperti i-itu..."
"Kau pikir aku tidak tahu seperti apa orang-orang yang tinggal di apartemen kumuh itu?"
Baekhyun merasa deja vu. Dia pernah mengalami hal ini setahun yang lalu. Di gang yang sama. Tetapi hari itu dia mungkin cukup beruntung karena ada seseorang yang datang menolongnya. Hari ini? Keberuntungan jelas tidak akan datang dua kali.
"J-jangan, tuan. Jangan l-lakukan itu..."
"Diam!" bentak pria itu. Tangannya mulai bekerja menggerayangi tubuh mungil Baekhyun. Menyentuh di sana sini dengan kasar.
Baekhyun berusaha untuk melawan namun sayangnya pria tua pemabuk itu berkali-kali lipat lebih kuat darinya. Dia meronta dan hanya mendapat sebuah cengkraman kuat dari lawannya. Baekhyun mulai putus asa. Itu kenapa dia ingin segera berusia tujuh belas tahun dan mendapatkan hak sepenuhnya terhadap diri sendiri. Dia ingin pergi dari tempat terkutuk ini. Di mana di setiap sudutnya begitu menjijikan. Dan terbebas dari perlakuan penuh hina dari orang-orang.
Entah apa yang terjadi ketika Baekhyun memejamkan mata untuk beberapa saat. Karena ketika dia kembali membuka mata, tidak ada lagi cengkraman paksa yang seperti hendak meremukkan tubuhnya, tidak ada lagi bau mulut yang menguarkan alkohol, tidak ada lagi tangan kurang ajar yang menggerayangi tubuhnya. Pria tambun itu tumbang.
Dan di sanalah Baekhyun melihatnya lagi. Sebenarnya, dia hampir tidak percaya pada penglihatannya. Pria itu ada di sana. Menyelamatkannya lagi. Untuk kedua kalinya. Dan Baekhyun yakin ini bukan lagi sebuah kebetulan. Mungkin ini sebuah takdir.
Pria berpostur tinggi tegap itu menurunkan kepalan tangannya yang baru saja dia gunakan untuk menghantam wajah si pria tambun. Dengan napas berburu dia menatap Baekhyun. "Pergilah," katanya, persis seperti saat dia menolongnya dulu.
Baekhyun tidak berpikir dua kali lagi untuk lari. Pria tambun itu sudah tumbang, kalah di tangan pria tinggi 'penolong-nya' itu. Seharusnya dia tidak langsung pergi. Di mana sopan santunnya? Dia bahkan tidak berterima kasih. Tetapi dia tidak sempat berpikir ke sana. Prioritas utamanya hanyalah segera menyelamatkan diri.
.
.
.
Membuka pintu flatnya membutuhkan usaha ekstra karena pintu masuk itu selalu dijejali dengan sepatu dan heel milik ibunya yang tidak pernah repot-repot dirapikan oleh pemiliknya. Dan ketika dia berhasil masuk, bau alkoloh—lagi—menyapa penciumannya.
"Apa yang di tanganmu itu?" tanya wanita yang sepertinya baru bangun tidur itu. Dia menatap bungkusan di tangan Baekhyun dengan penasaran.
"Makan malam," sahut Baekhyun singkat.
"Kebetulan aku lapar. Berikan padaku!"
"Ini makan malamku, bu. Kalau ibu mau, kita bisa membaginya."
"Anak haram sialan! Begitu saja kau perhitungan!" maki ibunya.
Baekhyun sudah terbiasa dengan makian itu. Bahkan dia pernah mendengar yang lebih kejam dari barusan.
Kalau sudah begitu, Baekhyun akan kehilangan seleranya untuk makan malam. Lebih baik dia kelaparan sampai pagi dari pada harus melihat wajah ibunya lebih lama lagi. Ibunya membencinya, tetapi perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan karena Baekhyun juga membenci ibunya. Setelah menaruh bungkusan makanan itu di atas meja kopi, Baekhyun segera mengurung dirinya di dalam kamar.
"Anak brengsek! Satu-satunya penyesalan dalam hidupku adalah melahirkanmu! Kau dengar itu?!" maki ibunya lagi meskipun Baekhyun sudah di dalam kamarnya.
Kim Heechul pernah menjadi gadis tercantik dan dipuja banyak pria. Sampai suatu hari bisnis orangtuanya bangkrut dan dia harus terlunta-lunta di jalanan. Dia baru berusia lima belas saat itu dan satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk bertahan hidup adalah menjual diri. Kemudian, di usia enam belas dia sudah mengandung Baekhyun. Entah lelaki brengsek mana yang sudah menanamkan benih di rahimnya—Heechul tidak mengingatnya.
Sejak saat itu, hidupnya yang sudah begitu sulit, semakin tidak mudah. Di usia muda dia harus melacurkan diri, juga membesarkan seorang anak dari pria yang tidak diketahui. Penderitaannya menjadi berkali-kali lipat. Dan hanya dengan menelan alkohol setiap hari, setidaknya dia bisa melupakan seluruh nasib sialnya itu meski hanya sesaat.
Jarum pendek pada jam dinding sudah lurus menunjuk angka delapan. Saatnya Kim Heechul pergi mengais won dari kantong setiap lelaki hidung belang di luar sana yang butuh pelepasan seksual. Dia menyapukan makeup tebal di wajahnya sembari mengagumi pantulan dirinya di cermin. Dia masih tetap cantik dan menawan karena bagaimana pun usianya baru menginjak tiga puluh tiga tahun.
"Sempurna," gumamnya puas.
Keluar dari kamarnya, Heechul melirik sekilas ke pintu kamar Baekhyun. Tidak ada suara apa pun dari dalam sana. Kemungkinan Baekhyun sudah terbuai dalam mimpi. Setelah memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal, dia segera meninggalkan flat kumuhnya.
.
.
.
Siapa pria tinggi tegap itu?
Baekhyun menatap langit-langit kamarnya sambil menerawang. Pikirannya terbang pada sosok pria penolongnya itu. Sudah dua kali pria itu menyelamatkannya. Namun Baekhyun tidak pernah mengetahui identitas pria itu.
Apa dia tinggal di daerah ini? Tidak mungkin. Dilihat dari sisi mana pun, pria ini bukan kaum melarat sepertinya. Lagi pula, Baekhyun sudah hapal dengan wajah orang-orang penghuni flat lima lantai tempat tinggalnya. Dan tidak ada satu pun yang wajahnya menyerupai pria itu.
Atau mungkin... dia tinggal di apartemen yang berjarak beberapa blok dari sini?
Mungkin saja.
Dilihat dari penampilannya, pria itu sudah pasti tidak seumuran dengan Baekhyun. Dia tampak mapan dan dewasa. Mungkin usianya sekitar tiga puluh? Yang pasti, pria itu bukan bocah ingusan seperti Baekhyun. Dan poin lainnya, pria itu berwajah tampan.
Tinggi, tampan, dan mapan.
Sempurna.
Baekhyun segera menutup wajahnya yang bersemu merah dengan bantal. "Apa yang sudah kupikirkan?" gumamnya malu. Tidak sepantasnya dia berpikir seperti itu. Seharusnya dia berterima kasih padanya, bukan malah membayangkan yang tidak-tidak tentangnya.
.
.
.
Baekhyun sudah merasakan perubahan orientasi seksualnya sejak dia berusia sepuluh tahun. Atau mungkin juga sejak dia lahir. Ibunya yang tidak pernah memberikan kasih sayang layaknya orangtua lain, membuat Baekhyun diam-diam membenci ibunya. Dan wanita-wanita lain di dunia ini.
Sebelum dia berhenti sekolah, ada banyak teman perempuannya yang memiliki wajah menarik. Cantik dan manis. Tetapi tidak ada satu pun di antara mereka yang membuatnya tertarik. Lagi pula, gadis-gadis itu juga enggan berdekatan dengannya karena Baekhyun termasuk murid pendiam dan tidak gaul seperti yang lain.
Dan Baekhyun semakin yakin akan penyimpangan seksualnya ketika dia bertemu si 'penolong' itu lagi untuk yang ketiga kalinya. Beberapa blok dari flat lampu merahnya, di sebuah minimarket. Baekhyun yang sore itu pulang dalam keadaan perut yang kelaparan, memutuskan untuk memberi satu cup ramen dan memakannya di sana.
Dan pria 'penolong' itu ada di sana. Tengah menatapnya.
Baekhyun harus menahan dentuman di dadanya ketika pria itu mendekat ke arahnya. Dengan satu kantong belanjaan di tangan kanannya, dia berdiri menjulang di hadapan Baekhyun yang hanya bisa terpaku antara takut dan bingung. "Kau lagi."
Baekhyun tidak menjawab. Apa yang harus dia katakan? Dia tidak tahu.
"Jangan melintas di gang itu lagi. Terlalu berbahaya untuk pria lemah sepertimu," katanya.
Baekhyun berpaling pada cup ramen-nya yang sudah mulai mendingin. Dia menundukkan wajah dalam sebelum akhirnya mendapat keberanian untuk berbicara, "Terima kasih untuk pertolonganmu. T-tapi aku memang tinggal di sana."
"Di flat lampu merah itu?" tanya pria itu terkejut.
Baekhyun mengangguk. "Ya."
Setelah mendengar jawaban Baekhyun, pria itu terdiam cukup lama. Hal ini tentu saja membuat Baekhyun resah. Kalau tidak ada lagi hal yang ingin dia katakan, kenapa dia tidak kunjung pergi sehingga Baekhyun bisa mengobati rasa laparnya yang menyiksa sejak dia bangun tidur pagi ini? Ramen-nya sudah benar-benar dingin.
"Minumlah." Pria itu menyodorkan sekaleng cola dari kantong belanjaannya pada Baekhyun.
Baekhyun menggeleng keras, berusaha menolak. Tetapi ketika dia mengangkat wajahnya untuk menatap si pria itu, dia tidak bisa berkutik. Apalagi ketika pria itu sudah membukakan kaleng soda itu untuknya. Baekhyun menerimanya dengan tangan yang sedikit gemetaran.
Kenapa orang asing ini baik sekali padanya?
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, pria yang bahkan Baekhyun belum mengetahui namanya itu pun pergi. Meninggalkan Baekhyun yang termangu menatap kepergiannya dari balik kaca minimarket.
.
.
.
Sengaja Baekhyun masuk ke dalam flat bututnya dengan mengendap-endap. Menghindari pertemuan dengan ibunya adalah hal favoritnya sekarang. Dia berjalan tanpa suara melintasi ruang tengah dan tampaknya sang ibu sedang berada di dalam kamarnya.
Baekhyun sudah muak karena setiap pulang bekerja ibunya selalu menagih apa pun yang dimilikinya. Uang, makanan, apa pun. Dan tidak pernah menyisakan sedikit pun untuknya. Baekhyun selalu berakhir kelaparan setiap malamnya. Ibunya juga kerap merampok uang hasil bekerja paruh waktunya yang tidak bisa dikatakan banyak itu. Baekhyun berusaha mati-matian untuk menabung. Sehingga ketika usianya sudah genap tujuh belas tahun, dia bisa pergi dari neraka dan nenek sihir itu.
Setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menguncinya, barulah Baekhyun bisa bernapas lega. Dia mengelus dadanya dan berjalan menuju tempat tidurnya. Melepas mantel kumalnya, dia segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur keras itu. Dan kembali membayangkan pertemuannya dengan pria itu.
Perasaan apakah ini, pikirnya. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ada perasaan kagum, terlindungi, dan juga sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Sebuah hasrat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Seperti sesuatu yang mendebarkan dan meletup-letup. Membayangkan wajah pria itu saja sudah membuat bulu halus di seluruh tubuhnya meremang. Membayangkan tangan kekar pria itu menyentuhnya membuat sesuatu di balik celananya merasa sangat antusias.
Tetapi kemudian Baekhyun terperanjat ketika mendengar ketukan keras di pintu kamarnya yang rapuh. "Yak anak haram, keluar kau!" teriak ibunya dari luar.
Baekhyun menghela napas kesal. Sambil menyeret langkahnya, dia membuka pintu kamarnya sedikit saja, menampakan pemandangan wajah ibunya yang sepertinya sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Baekhyun menanti ibunya berbicara.
"Kau sengaja menghindariku ya, brengsek?" amuk ibunya.
"Ibu mau apa?" tanya Baekhyun, tak mau lagi berbasa-basi.
"Sialan, kau! Kemarikan uangmu! Aku butuh uang sekarang juga."
"Tidak ada, bu. Aku tidak punya."
Jawaban Baekhyun membuat ibunya semakin mendidih. "Dasar kau parasit! Kau tidak pernah ada gunanya dalam hidupku! Untuk apa kau pergi bekerja kalau kau tidak mendapat uang?!"
Tanyakan itu pada dirimu sendiri, batin Baekhyun sinis. Kemana perginya uang-uang hasil melacurmu?
"Semua uangku sudah habis, bu. Dan bulan ini aku belum mendapat upah."
Ibunya menendang pintu menggunakan heel-nya dengan geram. "Awas kalau kau berbohong! Kalau kau berani menyembunyikan sepeser uang pun dariku, kupastikan aku akan membakar kamarmu itu!"
Kemudian wanita itu pergi meninggalkan rumah.
Baekhyun kembali menutup pintu kamarnya sambil mengacak rambutnya dengan frustasi. Terkadang dia berpikir, apa benar wanita kejam itu ibunya? Kenapa ibunya sangat membencinya?
Pernah satu kali Baekhyun hendak mengakhiri hidupnya. Dia merasa sudah tidak kuat lagi menahan penderitaan ini. Ibunya memang tidak pernah menyiksanya secara fisik, tetapi kata-kata kasarnya pun sudah seperti sembilu untuk Baekhyun. Dia hanyalah bocah remaja biasa yang sedang tumbuh. Tetapi kenapa hidupnya harus menderita seperti ini?
Terkadang Baekhyun juga menangis. Di malam-malam yang sepi dan dingin, dia meratapi nasib buruknya. Menyalahkan Tuhan atas ketidakadilan ini. Dia hanya sedang mencari pelampiasan, mencari sosok yang patut dipersalahkan atas hidupnya yang tidak pernah bahagia ini.
Dan ketika malam mulai merambat naik, Baekhyun memutuskan untuk keluar dari flatnya. Dia ingin mencari udara segar. Pikirannya sudah terlalu keruh. Dia butuh sesuatu untuk mengurangi sedikit beban di kepalanya. Sambil mengencangkan mantelnya, Baekhyun berjalan menuju lapangan kecil—tempat di mana anak-anak dari penghuni flat lampu merah biasanya bermain bola. Lapangan itu sangat sepi dan gelap. Baekhyun mencari tempat yang sedikit bersih dan berbaring di sana.
Mengabaikan rasa dingin yang sangat dibencinya, Baekhyun berbaring terlentang menatap langit yang kelam. Tidak ada bintang, bahkan langit malam pun sama murungnya dengan Baekhyun. Kalau dipikir-pikir, dia tidak begitu hapal seluk beluk kota besar ini. Meski pun dia lahir dan besar di Seoul, tetapi dia tidak pernah pergi ke mana pun selain sekolah dan tempat kerja paruh waktunya.
Dan jika usianya sudah genap menginjak tujuh belas, ke mana dia harus pergi?
Akan cukupkah uang tabungannya itu untuk bertahan hidup di kota Seoul yang kejam ini?
Ah, tetapi hal itu bisa dia pikirkan nanti. Saat ini yang harus dia pikirkan adalah bagaimana cara dirinya pergi dari tempat ini. Ibunya yang kejam itu, meski pun tidak pernah menyayanginya, pasti akan mati-matian mencegahnya pergi. Tentu saja, karena hanya Baekhyun-lah sumber penghidupannya selama ini. Dan hanya pada Baekhyun-lah wanita itu melampiaskan segala keluh kesah hidupnya. Ya, meski pun dengan cara yang menyakitkan.
Sedang asyik bergelut dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Baekhyun dikejutkan oleh sebuah suara dua pasang langkah kaki yang saling bersahutan, sedang bergerak ke arahnya. Buru-buru dia bangun dan tersaruk-saruk dalam gelap mencari semak untuk bersembunyi. Lapangan sempit ini memang gelap. Tidak ada orang yang mau repot-repot memasang penerangan di sini, sehingga dia tidak bisa melihat wajah dua orang yang mendekat itu.
Baekhyun menahan napasnya sambil berjongkok di balik semak. Sebisa mungkin tidak membuat pergerakan atau mengeluarkan suara yang bisa memancing kecurigaan orang itu. Hanya berbekal cahaya bulan, dia mengintip dari baling semak.
"Lepaskan aku!" suara seorang wanita yang tengah meringis kesakitan terdengar. Itu suara ibunya. Baekhyun membekap mulutnya sendiri. Ibunya... kenapa dia ada di sini?
"Di sini lebih menyenangkan, Heechul," ujar pria yang datang bersamanya itu seduktif. Baekhyun bisa mendengarnya dengan baik.
"Tidak. Aku ingin kembali ke diskotek. Atau kita bisa menyewa motel di dekat sini. Asal tidak di tempat ini. Di sini dingin sekali..." kata Heechul setengah merengek.
"Cih, jalang sepertimu saja minta diperlakukan istimewa! Kutiduri kau di tempat kumuh ini saja sudah beruntung!" pria itu mengejek.
"Kalau begitu perjanjian kita batal. Aku tidak mau melayanimu," kata Heechul tersinggung. Dia mendorong dada pria di hadapannya itu dan berputar untuk meninggalkannya. Akan tetapi, pria itu dengan cepat menarik tangannya.
Heechul memekik terkejut ketika pria itu segera memojokkannya ke dinding pembatas lapangan dengan kasar. Bibirnya dengan ganas melahap bibir Heechul, sementara tangannya dengan kurang ajar bermain-main di tubuh seksi wanita itu.
Baekhyun hanya mampu menyaksikan adegan itu tanpa bisa melakukan apa-apa.
Ibunya tengah diperkosa di depan matanya. Tapi Baekhyun tidak bergerak untuk menolongnya. Dia melihat bagaimana pria itu menghujamkan kejantanannya pada tubuh ibunya yang mendesah tertahan, entah itu karena nikmat atau nyeri. Tetapi Baekhyun hanya mematung di tempat persembunyiannya.
Tapi... apakah ini termasuk sebuah pemerkosaan? Ibunya adalah seorang pelacur. Dan ini adalah bagian dari pekerjaannya. Ini bukan sebuah pemerkosaan.
Setelah pria itu mendapatkan apa yang diinginkannya—sebuah puncak kepuasan seksual, dia tertawa mengerikan. Heechul merosot ke tanah, lelah dan kehabisan tenaga. Pria itu membetulkan pakaiannya yang berantakan dan melemparkan sejumlah uang dari kantong mantelnya ke wajah wanita di hadapannya. Kemudian dia pun berlalu.
Heechul memunguti uang itu dan menghitungnya. Dia memekik marah ketika mengetahui jumlah uang yang diberikan pria itu padanya. "Brengsek kau! Jangan datang padaku kalau kau tidak punya cukup uang untuk membayarku! Sialan! Pantas saja kau bahkan tidak mampu membayar penginapan! Aku adalah pelacur termahal di sini! Kau pikir kau siapa bisa memperlakukanku seperti ini, huh?! Lihat saja kalau aku melihat wajah burukmu lagi, akan kupastikan kenjantananmu yang bahkan tidak bisa memuaskanku itu terpotong-potong!"
Setelah melampiaskan amarahnya dan menangis meraung-raung, Heechul mengusak airmatanya. Dia bangkit dan membetulkan pakaiannya yang sudah tidak berbentuk. Dan dengan tergopoh-gopoh meninggalkan tempat itu.
.
.
.
Keesokan harinya ketika sedang menjalani kerja paruh waktunya, Baekhyun tidak bisa melupakan kejadian tadi malam antara ibunya dan pria hidung belang itu. Dia juga tidak bisa melupakan bagaimana ibunya menangis meraung-raung—hal yang tidak pernah disaksikan Baekhyun.
Baekhyun selalu berpikir bahwa ibunya adalah wanita lacur berhati baja. Tidak pernah menangis. Yang dilakukannya saat marah hanya memaki, akan tetapi tidak pernah menangis layaknya perempuan lainnya. Ini pertama kalinya bagi Baekhyun melihat sisi lain ibunya yang rapuh. Mungkin selama ini wanita itu menyembunyikan sifat aslinya dari Baekhyun? Entahlah.
"Kau sedang ada masalah?"
Baekhyun tersentak ketika ahjumma pemilik restoran sudah berada di sampingnya. Saat ini adalah jam makan siang, dan restoran sedang ramai di penuhi pengunjung. Tetapi ahjumma menemukan salah satu pegawainya melamun di antara pegawai lain yang sibuk melayani para tamu.
"T-tidak. Maafkan saya. Saya akan kembali bekerja," kata Baekhyun tidak enak.
"Kalau kau ada masalah, kau bisa bercerita padaku, nak. Siapa tahu aku bisa membantumu."
"Terima kasih, ahjumma. Saya permisi dulu," kata Baekhyun kemudian kembali pada pekerjaannya.
Ada banyak sekali tamu yang baru saja datang dan Baekhyun tidak tahu apa ini yang disebut dengan sebuah kebetulan karena dia melihat pria itu lagi, masuk ke dalam restoran bersama... seorang wanita. Tiba-tiba saja hati Baekhyun mencelos.
Baekhyun tidak mengerti dengan perasaannya ini. Dia bahkan tidak mengenal baik pria itu. Tidak tahu namanya. Tetapi suasana hatinya jadi buruk ketika pria itu datang bersama seorang wanita. Baekhyun bahkan tidak tahu status hubungan mereka. Mungkin mereka hanya teman atau mungkin... kekasih.
"Kau bekerja di sini?" sapa pria itu pada Baekhyun. Yang disapa hanya bisa berdiri kaku. Dia memberikan buku menu dan membiarkan pria dan wanita itu memilih makanan yang akan dipesannya.
"Iya."
Mata Baekhyun tidak bisa diam. Dia memperhatikan penampilan pria itu yang terlihat lebih formal dengan pakaian kerjanya. Rupanya pria ini pekerja kantoran. Dia bukan rakyat jelata sepertinya. Dan wanita yang bersamanya pun sama. Pakaiannya terlihat elegan dan sudah pasti mahal.
"Kau sudah makan siang?"
Baekhyun mengalihkan perhatiannya dari si wanita ke pria itu. Memastikan pendengarannya, apakah betul pria itu sedang berbicara padanya. Dan memang benar, pria itu sedang menatapnya. Baekhyun tiba-tiba menjadi gugup.
"Makan sianglah bersama kami," tambah pria itu ketika mendapati Baekhyun yang hanya terbengong.
"A-aku... tidak bisa. Aku sedang bekerja. Maaf," kata Baekhyun.
"Sayang sekali," gumam pria itu kemudian dia menatap si wanita. "Kau mau pesan apa, sayang?"
Dan jantung Baekhyun berdenyut nyeri ketika mendengar panggilan 'sayang' itu keluar dari mulut pria 'penolong'nya. Tentu saja. Tentu saja pria itu sudah memiliki kekasih. Pria tampan dan mapan sepertinya mana mungkin masih sendiri. Baekhyun merasa sangat bodoh sudah pernah 'berharap' pada pria itu. Dan yang lebih menyakitkan adalah pria itu normal. Dia menyukai perempuan.
Setelah mencatat pesanan dua orang itu, Baekhyun segera berlalu ke bagian dapur dan menyerahan catatan pesanan. Sementara menunggu makanan matang, Baekhyun menggantikan rekan kerjanya di bagian kasir. Dari balik meja kasir itu, Baekhyun tak henti-hetinya memperhatikan segala gerak-gerik pria itu.
Bagaimana dia berbicara pada wanita itu. Bagaimana dia tertawa. Bagaimana dia tersenyum. Bagaimana dia dengan lembutnya menyibakkan poni dan menyampirkan rambut wanitanya ke belakang telinga.
Ah, seandainya dia ada di posisi wanita itu...
.
.
.
Di malam yang begitu sepi di dalam flatnya, Baekhyun berdiri di bawah guyuran shower. Air hangat terjun membasahi tubuhnya. Dan dalam keadaan seperti itu, pikiran Baekhyun berkelana. Lagi-lagi objek khayalannya adalah pria itu. Dia menjadi sangat terobsesi pada pria tampan itu.
Betapa tampan pria itu... Betapa kuat pria itu... Begitu jantan pria itu ketika melindunginya... Tubuh tingginya yang bidang... Lengan kekarnya...
Baekhyun memejamkan mata. Tanpa sadar, tangannya sudah bergerak untuk menyetuh kejantanan miliknya yang sudah setengah tegang. Dia tidak ingat dari mana dia belajar untuk memuaskan diri sendiri. Tetapi hal ini cukup mampu meredakan frustasinya akan pria itu. Dan Baekhyun sudah melakukannya berulang kali.
Membayangkan pria itulah yang sedang menyentuh kejantanannya sekarang. Memijatnya dengan lembut namun erat. Menggerakkan tangannya maju mundur, memberikan kenikmatan yang sama ke setiap permukaan kejantanannya. Tidak ada yang terlewati. Ujung kejantanannya mengeluarkan cairan bening yang semakin membuat kegiatan itu nikmat. Licin dan menggairahkan.
Dan Baekhyun merasakan sesuatu seperti khendak meledak di dalam tubuhnya. Sebuah pencapaian kenikmatan. Tangan itu semakin cepat bergerak di kejantanannya. Baekhyun mengerang, menggigit bibirnya sampai rasanya dia bisa merasakan darahnya sendiri. Detak jantung semakin cepat, dan napasnya sudah tidak bisa terkontrol lagi. Dan Byun Baekhyun mencapai klimaksnya. Kejantanannya memuntahkan cairan putih kental yang cukup banyak.
Segera setelah pulih dari orgasmenya, Baekhyun membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi. Perasaan malu setelah mencapai kepuasan selalu menyiksa batinnya. Dia berbaring menyamping di atas tempat tidur dan memeluk lututnya. Murahan sekali dirinya karena sudah membayangkan seorang pria menyentuhnya hingga dia mencapai kepuasan seksual.
.
.
.
"Mau ke mana kau?" tanya ibunya ketika sore itu ibunya terlihat sedang bermalas-malasan di depan tv. Biasanya jam seperti ini wanita itu sudah bersiap-siap untuk bekerja malam. Tetapi hari ini tampaknya untuk mengangkat pantatnya dari sofa butut saja dia enggan.
"Mencari udara segar," sahut Baekhyun.
Ibunya langsung mencibir. "Cih, bocah haram sepertimu sok bergaya seperti orang kaya! Mencari udara segar? Kenapa tidak sekalian mencarikanku sekoper uang supaya aku bisa keluar dari tempat sialan ini?"
Baekhyun hanya menghela napas bosan. "Aku pergi, bu."
"Jangan pulang kalau kau tidak membawa makan malam untukku!" teriak ibunya ketika Baekhyun sudah berada di luar pintu.
Mengabaikan teriakan ibunya, Baekhyun segera keluar dari komplek perumahan kumuh itu. Menyusuri trotoar di sore hari dengan udara dingin menusuk tulang. Baekhyun masuk ke dalam sebuah minimarket dan mengambil cola dari rak minuman dingin. Dia juga mengambil cup ramen dan menyantap makan malamnya di sana. Inilah makanan yang paling murah yang bisa dia dapatkan.
"Ramen lagi?" tanya seseorang dan Baekhyun segera menoleh hanya untuk menemukan pria itu ada di sana lagi.
Ini aneh sekali. Kenapa begitu banyak kebetulan seperti ini terjadi di antara mereka?
"Ya," sahut Baekhyun, tak tahu lagi harus menjawab apa.
"Ramen tidak terlalu baik untuk kesehatan. Kau harus makan makanan sungguhan."
"Ini makanan sungguhan untukku," sahut Baekhyun.
"Bagaimana kalau makan malam di tempatku?" tawar pria itu dan wajah Baekhyun segera memucat. Pria ini... mengajaknya makan malam bersama? Membaca ekspresi terkejut Baekhyun, pria itu segera mengerti, "Ah, aku lupa untuk memperkenalkan diri. Aku Chanyeol. Park Chanyeol. Kau?"
"Byun Baekhyun."
"Jadi, bagaimana? Apa tawaran makan malamku diterima?" tanya Chanyeol lagi.
Baekhyun menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. Dadanya bergemuruh. Tetapi demi Tuhan, pria ini hanya mengajaknya makan malam biasa, bukan sebuah kencan romantis! Kenapa Baekhyun harus tersipu seperti ini?
"K-kau bisa masak?" tanya Baekhyun.
Chanyeol terkekeh pelan. "Hmm bagaimana ya... Karena sejak SMU aku sudah tinggal sendiri, aku jadi terbiasa membuat makanan sendiri. Tidak bisa dibilang enak sih, tapi rasanya lumayan kok."
"Aku bukan meragukanmu..." kata Baekhyun, takut kalau Chanyeol tersinggung.
"Lantas?"
"Aku hanya takjub karena tidak semua pria bisa memasak."
"Maka dari itu, aku menawarkanmu untuk mencicipi masakanku. Bagaimana?"
Akhirnya Baekhyun tidak bisa menolak lagi. Dia mengikuti Chanyeol menuju tempat tinggalnya. Dan dugaan Baekhyun benar. Pria ini tinggal di satu-satunya apartemen cukup elit di kawasan ini. Baekhyun seperti salah tempat ketika memasuki gedung apartemen mewah itu. Pakaiannya yang lusuh benar-benar tidak cocok dengan segala keeleganan tempat ini.
Ketika mereka sampai di lantai tempat tinggal Chanyeol di tingkat sepuluh, Chanyeol segera memasukkan password. Baekhyun hanya berdiri dengan perasaan tak menentu. Dan ketika pintu terbuka, Chanyeol segera mengajaknya masuk. Dengan ragu, Baekhyun melangkah ke dalam.
"Ah, kau sudah kembali?" seorang wanita muncul dari ruang tengah. Wanita yang sama dengan yang datang bersama Chanyeol ke restoran tempat Baekhyun bekerja.
Baekhyun membeku. Dia mau tak mau melemparkan tatapan penuh tanda tanya pada Chanyeol.
"Ah, kenalkan... ini Park Dajung. Istriku," kata Chanyeol sambil merangkul pundak istrinya.
Baekhyun menelan ludahnya. Istri? Ya, tentu saja wanita ini istrinya. Kalau bukan, Chanyeol tidak akan memperlakukannya semesra itu ketika mereka makan di restoran tempo hari.
"B-byun Baekhyun," ujar Baekhyun terbata sambil menyalami wanita itu. Tangannya tiba-tiba saja dingin dan berkeringat. Rasanya, dia juga ingin pulang saja saat ini. Lebih baik dimaki ibunya di rumah dari pada berada di tempat ini dan menyaksikan dua sejoli yang begitu serasi satu sama lain ini.
"Aku mengundang Baekhyun untuk makan malam bersama kita," jelas Chanyeol dan istrinya tersenyum senang.
"Itu bagus," kata istrinya sambil menatap Baekhyun. "Kali ini giliran Chanyeol yang akan memasak. Kita bisa duduk santai dan mengobrol."
Baekhyun hanya mampu membalas senyum wanita itu dengan senyum miliknya yang begitu canggung.
"Aku tidak akan lama," kata Chanyeol sambil membawa kantong belanjaannya ke dapur.
Baekhyun berdiri kikuk di ruang tengah. Dan Dajung mengajaknya untuk duduk di sofa untuk menonton tv atau sekedar mengobrol.
"Jadi... berapa usiamu? Kau tampak muda sekali," tanya Dajung.
"Enam belas," jawab Baekhyun malu sambil meremas ujung mantel bututnya.
"Wow. Berarti kau masih sekolah?"
"Tidak lagi. Aku sudah berhenti."
"Kenapa?" Baekhyun bergerak tidak nyaman mendapat pertanyaan itu. Dan sepertinya Dajung mengerti kalau topik itu tidak disenangi Baekhyun. "Maaf. Maaf. Kalau kau tidak mau menjawabnya tidak apa. Aku hanya penasaran."
Baekhyun mengangguk.
"Kau mau cemilan?" tawarnya sambil menyodorkan toples makanan ringan.
Baekhyun menggeleng. "Tidak, terima kasih."
Dajung tersenyum lembut. Cukup sulit berbicara dengan Baekhyun karena sepertinya Baekhyun itu tipe anak yang tertutup dan pemalu. Ketika mengetahui bagaimana Chanyeol menolong anak ini dua kali dari serangan pria mabuk yang ingin memperkosanya, Dajung jadi merasa iba pada bocah ini. Baekhyun selalu terlihat waswas, apalagi di lingkungan yang baru dikenalnya seperti ini.
Pada akhirnya, Dajung membiarkan Baekhyun menonton tv sementara dirinya pergi ke dapur untuk membantu Chanyeol. Dan ketika semua makanan sudah tersaji di atas meja makan, Chanyeol memanggil Baekhyun untuk bergabung. Dengan canggung, Baekhyun duduk di seberang pasangan itu. Ada banyak makanan tersaji di atas meja. Tetapi Baekhyun tidak begitu mengenali makanan-makanan itu karena sepertinya itu bukan makanan Korea.
"Ini Ratatouille. Kau pernah mencobanya?" tanya Chanyeol menunjuk pada piring makanan yang berisi berbagai macam sayuran yang dipanggang di oven.
Baekhyun menggeleng pelan. Mendengar namanya saja baru sekarang, desahnya dalam hati.
"Dan menu utama kita, Beef Borgignon. Kau pasti akan menyukainya," tambah Chanyeol.
Apa lagi ini, batin Baekhyun.
"Ayo, Baekhyun. Tidak usah malu. Kau harus menghabiskannya," kata Dajung tersenyum lembut.
Makan malam berlangsung hangat. Chanyeol dan Dajung saling bersahutan berbicara sementara Baekhyun hanya puas menjadi penonton saja. Menyaksikan suami istri itu berbincang mesra membuat hati Baekhyun sakit. Dia ingin segera pulang dan mengunci diri di dalam kamarnya yang pengap. Dia benar-benar tidak suka dengan pemandangan di depan matanya.
Harusnya aku menolak ajakan makan malam ini, batin Baekhyun menyesal.
Tiba-tiba dia teringat pada ibunya di rumah. Sepertinya hari ini ibunya tidak pergi bekerja. Entah apa alasannya. Biasanya meski sedang dalam kondisi tubuh tidak sehat pun ibunya selalu memaksakan diri untuk pergi. Dia tidak pernah betah berlama-lama tinggal di rumah. Dia hanya pulang untuk tidur dan makan. Tetapi sepanjang hari ini ibunya hanya duduk di depan tv.
"Uhm, b-bolehkah aku membawa sisa makanan ini pulang?" tanya Baekhyun. Sebenarnya dia malu meminta-minta. Tetapi dia tidak memiliki uang sekarang dan ibunya sudah mengancam tidak akan membiarkannya masuk ke rumah sebelum membawa makan malam untuknya.
"Tentu," kata Chanyeol. "Masih tersisa banyak di pan. Aku akan membungkuskannya untukmu."
"Biar aku saja," kata Dajung, menahan tangan suaminya untuk berdiri. Dia segera berjalan ke dapur dan mengambil kotak makan dari deretan kabinet di dapurnya yang elegan namun berkesan minimalis itu.
"Kau menyukai makanannya?" tanya Chanyeol pada Baekhyun ketika mereka hanya berdua saja di ruang makan.
"Terima kasih untuk makan malamnya," kata Baekhyun pelan.
"Tidak masalah," sahutnya. "Aku akan mengundangmu lagi untuk makan malam-makan malam yang lain."
"T-tidak perlu," kata Baekhyun sambil menggelengkan kepala. "Ini saja sudah cukup."
"Kau masih tinggal di sana?" tiba-tiba Chanyeol mengalihkan topik pembicaraan. Wajahnya berubah serius.
Baekhyun hanya mampu mengangguk. Awalnya dia hanya menunduk canggung namun ketika dia mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Chanyeol, dia dipertemukan dengan mata cokelat menawan milik pria itu. Matanya menelusuri garis rahang tegas Chanyeol, mata besarnya, hidung bangirnya, bibir tebal menggodanya.
Pria ini begitu sempurna, batin Baekhyun. Tapi sayang, dia milik wanita itu.
"Tempat itu berbahaya. Juga bukan tempat yang layak untuk kautinggali," kata Chanyeol.
"Aku sudah tinggal di sana sejak lahir."
"Aku bahkan mendengar desas-desus kurang baik tentang tempat tinggalmu itu. Katanya wanita-wanita di sana bekerja dengan cara me—"
"Melacurkan diri?" Baekhyun tersenyum pahit. "Ibuku salah satu pelacurnya."
Chanyeol bungkam untuk beberapa saat. Merasa amat tidak enak hati pada Baekhyun. Dia menyesal sudah mengatakan ini dan mungkin sekarang Baekhyun sangat tersinggung oleh ucapannya. "M-maaf."
"Tidak apa," sahut Baekhyun sambil berpaling pada piring makannya yang hampir kosong.
Tak berapa lama Dajung kembali dengan beberapa kotak besar makanan. Baekhyun menatap kotak-kotak itu dengan bingung. Kenapa ada banyak sekali makanan? Dia kan hanya meminta satu porsi saja untuk ibunya.
Ketika Baekhyun ingin menolaknya, Dajung menggeleng. Dia menyodorkan kotak-kotak makanan itu dengan paksa ke dalam pangkuan Baekhyun. "Aku tidak mau mendengar penolakan," katanya sambil mengerucutkan bibirnya.
Baekhyun menoleh pada Chanyeol untuk meminta persetujuan. Dan Chanyeol mengangguk mantap. "Ambillah."
Akhirnya Baekhyun pulang dengan membawa banyak sekali makanan. Dan Chanyeol dengan senang hati mengantarkannya pulang. Awalnya Baekhyun menolak karena dia malu kalau Chanyeol melihat rumah kumuhnya. Akan tetapi Dajung memaksa dengan alasan dia takut seseorang akan bertindak kurang ajar lagi pada Baekhyun jika dia pulang seorang diri malam-malam begini.
"Kau tinggal di lantai berapa?" tanya Chanyeol setibanya mereka di depan flat lampu merah yang kumuh dan temaram itu.
"Lantai tiga."
"Boleh aku masuk?"
"Oh, tidak. J-jangan. Ada ibuku di rumah."
"Baiklah," kata Chanyeol. Kemudian menyerahkan kotak-kotak makanan itu pada Baekhyun. "Aku pulang dulu. Kalau kau butuh apa-apa, jangan sungkan untuk meminta bantuanku."
.
.
.
Jam sudah tepat menunjuk angka sembilan ketika Baekhyun masuk ke dalam rumahnya. Ibunya masih di posisi yang sama seperti saat dia pergi tadi. Tangannya masih dengan gusar memindah-mindahkan channel siaran. Dan ketika langkah kaki Baekhyun memasuki ruang tengah, ibunya menoleh.
Baekhyun langsung mengangkat kotak-kotak makanan itu ke hadapan ibunya. "Makan malam," katanya malas.
Buru-buru ibu beranjak dari sofa dan menghampirinya. "Ish dasar sialan kau! Kau memberiku makanan hasil curian ya?" tuduh ibunya.
"B-bukan," bantah Baekhyun. "Aku tidak pernah mencuri."
"Lantas kau dapat makanan ini dari mana?" tanya ibunya yang kini sudah membuka-buka kotak makanan itu. Matanya berbinar ketika melihat makanan-makanan lezat di dalamnya.
"Seseorang berbaik hati memberikannya."
"Jalang!" umpatnya. Berkata kotor memang sudah menjadi bahasa keseharian ibunya. "Kekasihmu ya?"
"B-bukan," sahut Baekhyun dengan wajah merona.
Tetapi ibunya tidak begitu saja mempercayai ucapan Baekhyun. Dia menatap Baekhyun dengan mata memicing. "Kau... punya kekasih seorang chaebol?"
"Dia bukan kekasihku!"
"Wah... wah... wah..." ibunya berdecak takjub. "Anak haramku yang tidak berguna..." gumamnya. "Sebenarnya dulu saat kau masih di dalam kandungan, aku berniat membunuhmu... Tetapi entah kenapa aku selalu gagal melakukannya. Sekarang rasanya tidak sia-sia aku membiarkanmu hidup."
Baekhyun mengerutkan dahinya tak mengerti. "Maksud ibu apa?"
"Kau harus mendapatkan gadis itu, bagaimana pun caranya. Kalau bisa, hamili dia supaya kau dan dia terikat selamanya."
"Apa?" Baekhyun melebarkan matanya. Apa maksud ibunya berkata seperti itu? Melangkah mundur secara perlahan, Baekhyun melihat kilatan jahat di mata ibunya. Ibunya pasti merencakan sesuatu. Dan sesuatu itu sepertinya bukan hal yang baik.
"Kita bisa kaya."
Baekhyun menggeleng kencang. Tidak. Ibunya tidak mengerti. Dia sudah salah paham. Dia tidak paham keadaan sesungguhnya. Ibunya tidak tahu kalau pria yang Baekhyun sukai sudah menikah. "Ibu tidak mengerti."
"Bagian mana yang tidak kumengerti? Ceritakan padaku."
"Ini tidak seperti yang ibu pikirkan. Dia sudah menikah!"
Heechul terpaku sesaat sebelum tawa kerasnya memekakan telinga. "Yak! Kau benar-benar jalang rupanya!" Dan setelah tawanya reda, dia bertanya, "Berapa usianya? Tiga puluh? Empat puluh? Wow, kau benar-benar dapat jackpot!"
Baekhyun tidak menjawab. Dia memutar tubuhnya dan dengan langkah besar segera memasuki kamarnya diikuti dengan bantingan pintu yang keras.
.
.
.
Di hari liburnya dari pekerjaan paruh waktu, biasanya Baekhyun akan menghabiskan harinya dengan mengubur diri di bawah selimut tipis di kamarnya yang sempit dan pengap. Atau kalau dia sedang mood, dia akan keluar dan duduk sepanjang hari di kursi taman yang tak jauh dari flat lampu merahnya sambil menyaksikan orang-orang yang sedang bersantai di sana.
Dengan sebatang rokok di tangan kanannya yang mengepulkan asap tipis, Baekhyun menatap ke kejauhan. Rokok itu dia dapatkan secara diam-diam dari teman kerjanya di restoran. Dia memang masih di bawah umur, tetapi mau bagaimana lagi, toh, hidupnya sudah terlanjur rusak. Katanya benda itu bisa menghilangkan stres meski pun hanya sejenak dan dia ingin mencobanya.
Tetapi baru saja dia menghisap satu dua kali, paru-parunya langsung memberontak. Dia terbatuk untuk beberapa saat yang pada akhirnya dia melemparkan rokok itu ke tanah dan menginjaknya hingga nyala apinya padam. Dia memang bukan tipe pria untuk hal-hal seperti itu. Tidak bisa keren dan jantan seperti pria lain.
Hari sudah beranjak siang akan tetapi salju masih tampak tebal di setiap sudut jalanan. Dia merogoh saku mantelnya dan hanya menemukan beberapa ribu won saja di dalamnya. Dia kelaparan. Makanan yang diberikan Chanyeol beberapa hari lalu sudah tandas dihabiskan ibunya. Dan tidak meninggalkan apa pun untuk dimakan Baekhyun ke esokan harinya.
Membawa tubuh kurusnya berjalan menyusuri trotoar, Baekhyun berhenti di depan gedung apartemen mewah yang milik Chanyeol dan tiba-tiba ucapan pria tampan itu melintas di kepalanya.
...kalau kau butuh apa-apa, jangan sungkan untuk meminta bantuanku...
Baekhyun memegangi perutnya yang keroncongan. Dia ingin masuk tetapi merasa ragu. Apakah dia ada di dalam? Mungkin saat ini Chanyeol sedang berada di tempat kerjanya atau sedang makan siang di suatu tempat. Tapi...bukankah masih ada istrinya yang baik hati itu?
Tahu-tahu Baekhyun sudah berdiri di depan pintu apartemen Chanyeol dan menekan bel. Mungkin mengemis sepiring makanan tidak akan begitu melukai harga dirinya, toh, Chanyeol mau pun istrinya adalah orang yang baik. Lama Baekhyun menunggu di depan pintu tetapi tidak ada yang muncul.
Mungkinkah istrinya juga bekerja? Tidak ada di rumah?
Menghela napas kecewa, Baekhyun memutar tubuhnya untuk meninggalkan apartemen Chanyeol. Dia berjalan ke arah lift dan menekan tombol. Sambil menunggu pintu lift terbuka, Baekhyun memainkan ujung mantel bututnya dengan bosan. Dan ketika bunyi DING terdengar, dia langsung mengangkat wajahnya.
"Baekhyun?"
Chanyeol keluar dari dalam lift sambil memandang Baekhyun heran. Kenapa bocah ini ada di gedung apartemennya? Terutama di lantai tempat tinggalnya?
Baekhyun yang terkejut hanya bisa tersenyum canggung. "Hai."
"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya sambil menghampiri Baekhyun. Berdiri tepat di hadapan Baekhyun dengan tinggi yang menjulang. Baekhyun harus sedikit mendongak agak bisa menatap pria itu.
"A-aku..." Apa yang harus kukatakan?
"Kau sudah makan siang? Ah, sebenarnya aku pulang hanya untuk mengambil berkas yang tertinggal. Tetapi sepertinya sudah tidak ada lagi waktu untuk mencari makan siang di luar. Mau makan bersama?"
"B-baiklah."
Tak berapa lama mereka sudah berada di dalam apartemen Chanyeol. Baekhyun mengikuti langkah Chanyeol menuju dapur sambil mengedarkan pandangannya ke penjuru apartemen yang tampak sepi.
"Istrimu di mana?" tanya Baekhyun.
"Kami tidak tinggal satu rumah. Dia bekerja di Bundang dan terlalu jauh jaraknya dari sini. Jadi dia membeli apartemen baru di sana dan akan pulang kemari setiap akhir pekan," jelas Chanyeol yang kini sudah mengenakan celemek dan mulai bermain dengan bahan makanan. "Tidak apa kan kalau kubuat makan yang sederhana?"
"Oke," sahut Baekhyun singkat. Pikirannya sedang dipenuhi oleh satu hal. Jadi Chanyeol tinggal seorang diri?
"Kau tidak bekerja?"
"Aku sedang libur."
"Kenapa kau bisa ada di sini?"
Baekhyun memalingkan wajahnya. Berpikir. Malu sekali kalau dia mengatakan bahwa dia datang untuk mengemis sepiring makanan. "Aku kehilangan jam tanganku. Dan kupikir mungkin tertinggal di tempatmu."
"Oh?" Chanyeol tampak terkejut. Kemudian berkata lagi, "Nanti akan kucarikan. Atau kalau tidak ketemu, aku akan membelikan jam tangan baru untukmu."
Wajah Baekhyun langsung merona merah. "I-itu tidak perlu."
Ketika Chanyeol selesai memasak, dia membawa sepiring besar kimchi pancake ke atas meja makan. Dan memberikan Baekhyun sepasang sumpit. Mereka mulai menyantap makanan itu. Terutama Baekhyun yang makan dengan lahapnya. Dia benar-benar kelaparan.
Tetapi kemudian ponsel Chanyeol berbunyi nyaring dan sang pemilik harus tersentak berdiri karena tadi dia menaruh ponselnya di atas konter dapur. "Sebentar," katanya pada Baekhyun.
Baekhyun mengangguk dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk mengisi perut.
"Halo?" Baekhyun bisa mendengar suara bariton Chanyeol menjawab panggilan telepon.
"..."
"Aku sedang makan siang," jawabnya. Kemudian melirik Baekhyun sekilas. "Di sini juga ada Baekhyun. Kau sudah makan siang?"
Mendengar namanya disebut, Baekhyun menyimpulkan bahwa mungkin si penelepon adalah Dajung. Sementara Chanyeol terus berbicara di telepon, Baekhyun sudah hampir menghabiskan separuh dari kimchi pancake buatan Chanyeol.
"Kita bahas ini nanti saja, sayang," Chanyeol menghela napas lelah, memijat pelipisnya.
"..."
"Tapi itu tidak mudah. Butuh waktu untuk melakukannya."
"..."
"Aku sedang berusaha. Oke?"
"..."
Lagi-lagi Chanyeol menghela napas. "Aku tidak mengerti kenapa kau menginginkan hal gila ini."
"..."
"Baiklah. Sampai jumpa akhir pekan."
Setelah mengakhiri obrolannya di telepon, Chanyeol kembali ke meja makan sambil menghela napas resah. Dan hal itu tidak luput dari perhatian Baekhyun. Sepertinya tadi Chanyeol dan istrinya terlibat pembicaraan serius.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Baekhyun memberanikan diri.
Chanyeol yang terkejut mendapat pertanyaan itu dari Baekhyun segera menggeleng. "Tidak ada. Hanya sedikit perdebatan biasa dengan Dajung. Kami memang selalu begitu."
Baekhyun mengangguk.
"Oh ya, Dajung bilang kau berhenti sekolah?"
Baekhyun mengangkat wajahnya untuk menatap mata Chanyeol. "Ya."
"Kenapa?"
"K-kau tidak perlu tahu," sahut Baekhyun dingin. Namun setelah mengatakan itu, Baekhyun merasa menyesal. Chanyeol sudah begitu baik padanya, dan dia membalas kebaikan pria itu dengan kalimat dingin seperti itu. Baekhyun menundukkan wajahnya. "Uhmm... kau tahu, masalah ekonomi."
"Kau masih ingin sekolah?"
"Tidak lagi. Aku ingin bekerja mengumpulkan uang sebanyak mungkin."
"Untuk apa?"
"Aku ingin pergi dari tempat kumuh itu. Aku ingin punya kehidupan baru."
"Sayang sekali kau belum cukup umur," kata Chanyeol.
Dan Baekhyun tahu betul soal itu. "Aku tahu," sahutnya sedih. Masalahanya hanya pada usia Baekhyun yang secara hukum masih harus berada di bawah pengawasan orang tuanya. Tetapi jika usianya sudah menginjak tujuh belas, dia akan benar-benar pergi dari sana. Dari neraka itu.
"Aku bersedia menjadi walimu dan kau bisa tinggal di sini bersamaku," kata Chanyeol.
Baekhyun hanya mampu diam terpaku. Tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya dari mulut Chanyeol.
.
.
.
TBC
.
.
.
Gak tau apa yang lagi melintas di kepala tiba-tiba pengen bikin FF kek begini.
Masih dengan pairing favorit aku : CHANBAEK ya guys!
FF ini mungkin tidak akan banyak makan chapter. Mungkin sekitar tiga chapter aja (threeshot).
So, REVIEW, FAV, dan FOLLOW!
Okayyyyy?
