The Best Father in the World
Naruto by Masashi Kishimoto
.
Chapter 1 : Regret
Naruto and Boruto
.
.
Penyesalan selalu datang di akhir. Barangkali semua memang sengaja diatur sedemikian rupa, agar rasa sedih karena penyesalan mampu untuk menghukum para manusia yang bertindak tanpa pemikiran bijak.
.
.
Hujan di luar kian deras seiring kilat menyambar tiap 20 detik sekali, sedangkan pria yang baru pulang dari kerja itu buru-buru mengambil jas hujannya, khawatir bukan main ketika sosok bocah kecilnya belum hadir untuk menyambutnya di rumah.
Naruto, nama pria itu. berlari menerobos hujan, sepatunya yang masih melekat di kakinya ia biarkan basah kemasukan air ketika langkahnya beberapa kali terseok ke dalam genangan air. Pikirannya sibuk menerka-nerka dimana gerangan putranya itu. Apakah tidak bisa pulang karena hujan terlanjur deras atau tengah bermain bersama teman-temannya di tempat biasa?
Ia pergi ke sekolah dasar tempat putranya biasa belajar bersama para guru, namun gerbang sekolah itu sudah ditutup. Dengan langkah bingung ia berjalan lurus, di mana rumah Shikamaru adalah satu-satunya yang muncul di benaknya saat ini, barangkali anak itu kecil yang begitu disayangnya itu ada di sana.
Tak ada yang lebih membuatnya lega ketika ketukan pintu di rumah sederhana milik temannya itu disambut oleh Temari beserta Shikadai dan putranya. Anak itu tersenyum dibalik seragam SD yang masih melekat di tubuh mungilnya.
"Ayah khawatir sekali, ayah pikir kau belum pulang dari sekolah. Dan ternyata, jam sekolah sudah berakhir dari tadi." Dengan senyum yang tak dapat disembunyikan ia mengacak rambut bocah itu yang hanya bisa tersenyum bersalah.
"Masuklah dulu Naruto! Hujan masih terlalu deras di luar." Suara Shikamaru yang muncul dari dalam membuatnya menghentikan aksi tangannya. "Seharusnya kau tak perlu hujan-hujanan untuk mencari anakmu, karena dia akan aman bersama kami."
Naruto melepas jas hujannya yang masih meneteskan air, meletakkannya pada gantungan di luar pintu. Kemudian ia masuk ke dalam rumah tuan Nara tersebut. "Mana aku tahu jika dia berada di rumahmu, ku pikir dia masih berada di sekolah dan tak bisa pulang."
Sementara putra mereka sibuk bermain mobil-mobilan, Naruto terus berbicara dengan Shikamaru. Topik pembicaraan mereka menyangkut banyak hal, seolah tak ada yang dapat mengusik keseriusan keduanya.
.
.
Rintk hujan masih tersisa. Mengungkung malam dengan dinginnya udara yang membekukan, seolah langit enggan menghentikan kegiatannya untuk terus meneteskan air.
"Kenapa belum tidur?" Naruto mendekati putranya yang berdiri mematung di balik jendela kaca yang berembun.
Boruto mengerlingnya, senyumnya terkembang setengah malas dan rambutnya acak-acakan. "Ayah, aku merindukan ibu."
Pria itu menghela napas panjang, hatinya seolah jatuh ke dasar perutnya mendengar ungkapan tersebut. Bukannya ia tak rindu terhadap wanita yang begitu dicintainya itu, namun, alam mereka sudah berbeda. Rindu pun tak ada gunanya, sebab mereka tak akan bertemu lagi di dunia ini. "Benarkah?" ia mengakhiri pertanyaannya dengan kekehan.
"Ayah... aku tidak bercanda." Mata birunya bergulir kesal, sang ayah selalu menjawab keseriusannya dengan gurauan.
"Oke, oke, ayah mengerti." Naruto diam sejenak dan mengelus kepala putra 6 tahunnya. "Janagan bersedih hanya karena merindukannya, dia pasti juga ikut sedih. Tahu tidak? Ibumu pasti sekarang sedang berada di surga, dan bisa saja Tuhan memindahkannya ke neraka hanya karena kesedihanmu." Bicara apa sih dia ini? Tapi entah bagaimana, kalimat itu mampu untuk mengukir senyum di bibir Boruto, meski jelas sekali senyum itu adalah sebuah paksaan.
"Apa aku harus tersenyum seperti ini agar terlihat bahagia?" ia menunjukkan senyum perseginya yang mengekspos gigi putihnya yang rapi. Senyum itu lebih seperti cengiran kuda dan Naruto gemas karenanya.
Pria itu tertawa, meski hatinya tak mampu untuk ikut tertawa. "Ya, kalau Boruto bahagia ibu pasti tidak akan dipindahkan Tuhan ke neraka."
"Aku tidak suka jika Tuhan menempatkan ibu di neraka." Ia tidak pernah tahu jika ucapan ayahnya hanya sekedar candaan.
Naruto tersenyum, menatap keluar jendela kaca yang buram oleh butiran gerimis di luar. Teringat dengan mendiang istrinya yang dulu begitu menginginkan melihat putra mereka tumbuh besar dalam perawatannya. Namun, wanita itu meninggal ketika hendak melahirkan anak kedua mereka. Sang bayi pun juga tak bisa diselamatkan. Kadang ia berkhayal, bagaimana jika keluarganya lengkap? Ada dirinya dan Hinata, lalu Boruto dan putri mereka yang tak sempat hidup ke dunia. Tapi kadang-kadang ia sadar jika rencana Tuhan selalu baik, pasti ada hikmah di balik semua cobaan itu. keoptimisan itulah yang mampu membuatnya tegar di saat-saat genting sekalipun.
"Hei, kau mau susu hangat?" Naruto berusaha mengalihkan topik pembicaraan, sejujurnya topik tentang Hinata tak begitu ia sukai.
Senyum Boruto terkembang sempurna, seolah ia lupa dengan topik yang baru saja mereka bicarakan. "Ayah akan membuatkannya untukku kan?"
"Tentu saja, ayo ikut ayah." Tangannya menuntun bocah itu menuju dapur, sementara tawa mereka mengiringi malam dalam dekap hujan.
Naruto mulai merebus air, dan Boruto duduk di kursi ruang makan kecil mereka. Anak itu sibuk menghitung detik jam yang terus berjalan melewati angka 12. Ini masih pukul 8 malam, namun suasana sudah begitu sunyi. Dan ia pikir alangkah menyenangkannya memiliki saudara untuk diajak bercanda.
"Hei, kau melamun lagi?"
Boruto agak tersentak oleh gertakan sang ayah, kemudian tersenyum dengan mata menyipit menyerupai bulan sabit. "Yah... aku dengar Shikadai dan keluarganya akan pergi ke pantai hari minggu nanti."
Naruto berjalan ke arah putranya dengan segelas susu putih yang mengepulkan uap panas. "Lalu?"
Bocah itu berucap ragu-ragu. "Ya...kita kan tidak pernah berlibur, aku juga... aku juga ingin berlibur bersama ayah."
Untuk beberpa saat Naruto mengendapkan keinginan putranya dalam benaknya. Menghitung dalam khyalan uang tabungannya, apakah kira-kira cukup untuk membawa mereka berlibur? "Kalau begitu kita akan berlibur juga."
Mata Boruto melebar, senyumnya tampak merekah di bibir tipisnya. "Benarkah?"
Tak ada yang bisa dilakukan Naruto kecuali tertawa melihat putranya tiba-tiba merangkulnya erat. Sebagai seorang buruh di sebuah pabrik mi instan, gajinya kadang tak cukup untuk memenuhi kehidupan mereka selama satu bulan. Tabungan hanya digunakan untuk saat-saat genting, misalnya ketika Boruto sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Namun, ia kira untuk sekali ini saja tak masalah untuk menuruti keinginan bocah kesayangannya tersebut.
.
.
Bagi anak kecil seperti Boruto waktu seakan berjalan lambat, lama sekali menunggu hari berganti menjadi minggu, seolah ia harus menunggu setahun.
Dan ketika hari yang dinanti itu tiba. Ia bangun begitu pagi hanya untuk menyiapkan apa saja yang mungkin dibutuhkan di tempat wisatanya. Wajar saja, ini adalah pertama kalinya sang ayah berbaik hati mengajaknya berlibur, dan kegembiraannya begitu meluap-luap. Ia berdiri lama di depan lemari. Tiba-tiba terpikir kemana ayahnya akan mengajaknya untuk menikmati hari Minggu kali ini? Apakah mereka akan pergi ke pantai seperti keluarga Nara?
Dengann cepat kakinya melangkah ke dapur, di mana ayahnya tengah menyiapkan sarapan. "Pagi yah."
Naruto menoleh, tersenyum dengan rambut acak-acakan. "Hei... kau sudah bangun?"
Anak itu mengangguk, duduk di kursi ruang makan dan mengamati ayahnya yang sibuk dengan rebusan airnya, kelihatannya pria itu tengah membuat susu dan kopi. "Kita akan berangkat jam berapa?"
Naruto diam sejenak, tertawa dan tangannya tangkas menuangkan air mendidih ke dalam cangkirnya yang berisi serbuk kopi. "Kita akan berangkat jam 8."
"Kita akan ke tempat wisata mana?"
"Kita akan ke kebun binatang." Ia menjawab singkat, tak lagi memperhatikan ekspresi wajah putranya yang agak tertekuk.
Meskipun Boruto merasa kecewa. Tapi kebun binatang tidak buruk juga, setidaknya ayahnya mengajaknya pergi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya.
"Apa kau begitu tidak sabar?" kali ini pria itu duduk di sampingnya setelah meletakkan segelas susu di hadapannya.
Boruto mengangguk, berusaha tersenyum meski setengah terpaksa. Tidak mau menunjukkan kekecewaannya di depan pria yang begitu berarti untuknya itu. Lagipula ia sadar, sang ayah pasti tak memiliki cukup uang untuk membawa mereka ke pantai.
Entah bagaimana, di matanya sang ayah tak pernah menunjukkan wajah sedihnya, tak pernah menunjukkan kemarahannya, bahkan ketika ia melakukan hal fatal, berkelahi dengan teman misalnya. Laki-laki itu hanya menasehatinya dengan banyak kalimat bijak yang terkadang tak mampu dicerna otak kecilnya. Jadi untuk itu, rasanya agak ragu untuk membuat hati pria itu kecewa.
"Kenapa kau akhir-akhir ini suka melamun?" Naruto menghela napas panjang usai menyesap kopinya yang masih mengepulkan uap. "Makanlah! Setelah itu kita akan bersiap-siap untuk berangkat ke kebun binatang."
Boruto gelagapan mengolesi rotinya dengan selai, tak begitu fokus dengan kegiatannya. Ia tidak benar-benar tahu apa yang harus ia ekspresikan, sebab suasana hatinya tidak sebagus yang diperkirakan sang ayah.
.
.
Bus beberapa kali berhenti di halte untuk menurunkan penumpang dan menjemput penumpang lain. Jalanan cukup ramai di hari Minggu itu, dan Boruto tak henti-hentinya menatap takjub pada kendaraan-kendaraan besar yang beberapa kali mereka temui.
Mereka sampai di kebun binatang ketika jam di tangan Naruto nyaris menunjuk pukul 10. Agak siang dari perkiraan sebelumnya, sebab jalanan yang macet tidak masuk dalam daftar kemungkinannya.
Senyum Boruto adalah hal yang selalu berusaha ia perjuangkan apapun resikonya, karena baginya, kebahagiaan putranya adalah segalanya. Tidak peduli jika ia harus mempertaruhkan nyawa demi membuat anak semata wayangnya itu tetap tersenyum bahagia seperti saat ini.
"Hei yah, lihat itu!" jari mungilnya menunjuk gajah dalam kandangnya yang sibuk dengan makanannya.
Anak itu begitu ceria. Berkali-kali bilang bahwa jerapah adalah hewan kesukaannya, sebab, hewan yang satu itu tinggi sekali, seolah bisa mengapai langit dengan leher panjangnya, dan Naruto tertawa mendengar penuturan tersebut.
Mereka berkeliling. Melihat monyet yang bergelantungan di pohon, melihat buaya yang tengah diberi makan, dan singa yang bermalas-malasan di kandangnya. Ya... menghabiskan minggu dengan pergi ke kebun binatang memang tidak terlalu buruk, setidaknya bagi Boruto begitu.
Ketika mereka benar-benar keluar dari kebun binatang, matahari sudah hampir tenggelam dan bus yang mereka naiki melaju begitu lambat. Seolah mereka tengah berjalan di jalanan yang penuh duri dan salah sedikit saja ban bus itu akan meledak.
Perjalanan terasa begitu panjang. Boruto sudah lelap dengan kepala yang bersandar nyaman di pundak sang ayah. Wajah anak itu tampak lelah di balik tameng bahagianya, dan Naruto harus beberapa kali membetulkan posisi kepala putranya agar tak sampai jatuh ke bawah.
Pria itu menghela napas panjang, tersenyum dan mengelus kepala Boruto. Merasa lega sekaligus bangga pada dirinya sendiri karena mampu membesarkan anak itu meski hidup mereka tidak terlalu berkecukupan, setidaknya ia tak mengingkari janjinya pada Hinata sebelum sang istri meninggalkannya.
"Hei nak, maafkan ayah tak mampu memberikanmu kebahagiaan lebih". Matanya sedikit berkabut, dan buru-buru ia mengedipkan mata hanya untuk menghilangkan genangan air dimatanya. "Kau harus sukses suatu saat nanti ."
Itu cuma keinginan kecil, lagipula jika Boruto memang tak mampu menjadi orang sukses ia akan tetap puas melihat putranya tumbuh dewasa dan menikah, kemudian ia akan memiliki cucu, ya Tuhan... betapa bahagianya ia jika itu benar-benar mampu untuk ia lihat di hari tuanya kelak.
.
.
Boruto masih cukup cengeng di usia 15 tahunnya, ia menangis di acara wisudanya hanya karena tak masuk 10 besar siswa berprestasi, dan untuk itu Naruto harus seharian menghibur putranya agar tak menangis terus-menerus.
"Itu tidak menjamin sebuah kesuksesan, jangan menangis terus, oke?" meski lelah dan seolah tak ada kata-kata lagi yang tersisa di otaknya, toh Naruto tetap duduk di samping sang anak yang sejak pulang dari sekolah tengkurap di tempat tidur dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
"Aku merasa menjadi orang bodoh."
"Tidak begitu nak, ayolah jangan terpuruk seperti ini. Kau masih bisa menjadi siswa berprestasi di SMA nanti." Ia tersenyum, dengan sabar mengelus kepala Boruto yang agak basah oleh keringat.
Anak itu tiba-tiba beranjak duduk, serabutan mengusap air matanya. "Ayah tidak kecewa padaku?"
Pria Uzumaki itu menggeleng. "Untuk apa ayah kecewa padamu? Bagi ayah kau adalah yang terhebat, apapun yang terjadi." Masih lekat ia menatap wajah sendu di hadapannya, mata anak itu tampak merah karena lelah menangis. "Jangan menangis lagi. Kau kan laki-laki, laki-laki itu harus kuat, tidak boleh menangis hanya karena hal sepele seperti ini."
Tanpa aba-aba, anak itu memeluk erat sang ayah. Naruto memang tak mendengar suara tangisan Boruto, namun ia bisa merasakan sesenggukan anak itu berusaha menahan tangisannya.
"Ini hanya masalah sepele."
.
.
Kadang seorang anak tak selamanya menjadi penurut, apalagi ketika masa-masa remaja. Mereka sibuk mencari jati diri sesungguhnya, anak-anak muda itu sering melanggar aturan, dan bertindak kurang ajar. Banyak yang bilang masa perubahan ditentukan di saat-saat seperti ini, karena si cengeng pun bisa menjadi seorang pembangkang yang ahli.
Beberapa bulan terakhir Naruto sering dibuat khawatir oleh tingkah Boruto yang tak lagi mencerminkan kepribadiannya yang baik. Anak itu sering pulang larut malam. Nilai akademiknya menurun drastis, dan beberapa kali ia menjumpai wajah putranya penuh dengan luka lebam yang menyedihkan.
"Lihat, sekarang sudah nyaris tengah malam, dan kenapa baru pulang?" Naruto menghela napas panjang, tak lagi mau kompromi dengan toleransi yang diberikannya selama ini.
Boruto menatapnya malas, tampak lelah dan hanya berdiri di hadapannya dengan wajah tertekuk.
"Kau dengar pertanyaan ayah kan? Kenapa baru pulang?"
"Memang apa pentingnya jika ku beri tahu?" ia kesal dengan pertanyaan sang ayah yang terus diulang-ulang setiap hari, padahal pria tua itu pun tahu jika dirinya pulang malam karena bermain dengan teman-temannya.
Anak itu sudah berani membantah, dan untuk bertahun-tahun kesabarannya yang sudah terlatih sedemikian rupa akhirnya runtuh juga. "Ayah mengkhawatirkanmu. Tidak seharusnya kau pulang selarut ini."
"Ayah, aku sudah besar. Aku sudah 17 tahun dan bukan bocah kecilmu yang manja. Kau tidak seharusnya mengkhawatirkanku berlebihan seperti ini." Padahal ia pikir setelah sampai rumah bisa langsung beristirahat di kamar, tapi ternyata ceramah ayahnya menjadi penyambut utama.
"Ayah tahu kau sudah besar. Tapi nak, ayah mohon jangan menjadi pemberontak seperti ini." Naruto memijit pelipisnya. "Ayah mendapat surat panggilan lagi dari sekolahmu, kali ini pelanggaran seperti apa yang kau lakukan?" beberapa minggu yang lalu ia juga mendapat surat panggilan dari sekolah karena putranya itu kedapatan memukul wajah putra tuan Shimura, hingga bocah malang itu dibawa ke rumah sakit.
Boruto hanya diam, mendecak beberapa kali karena tak suka dengan tatapan menuntut dari sang ayah. Mana ia tahu kenapa ayahnya dipanggil ke sekolah, ada banyak sekali pelanggaran yang ia lakukan dan untuk itu ia lupa satu-persatu pelanggarannya.
"Ibumu tak pernah menginginkanmu menjadi anak seperti ini. Ayah mohon jangan buat dia kecewa." Jujur, Naruto sedih dengan perubahan sikap putranya. Bagaimana mungkin anak yang begitu baik bisa berubah secepat ini menjadi anak yang begitu pembangkang?
"Ibu sudah mati. Mana tahu dia dengan sikapku. Ayah saja yang terlalu membesar-besarkan masalah." Berkali-kali ayahnya mengatakan jika sang ibu akan kecewa, dan jangan harap itu mampu mengelabuinya seperti waktu kecil dulu.
Naruto dibuat ternganga dengan jawaban Boruto, nyaris memukul pipi anak itu jika saja kasih sayangnya tak lebih besar dari kemarahannya. "Beraninya kau ini."
"Kenapa aku harus tak berani?" dan ketimbang memperpanjang malam mereka dengan perdebatan tak penting, ia masuk ke dalam kamar. Membanting pintunya hingga suara dentumannya menggema ke seluruh sudut rumah.
.
.
Naruto tahu jika putranya bukan lagi bocah kecil yang harus selalu ia khawatirkan. Namun, tetap saja, nalurinya sebagai orang tua tak pernah bisa memendam hasrat kekhawatiran itu. maka ketika nyaris tengah malam dan hujan di luar semakin deras, ia buru-buru mengambil payung dan berlari menerobos hujan. Bagaiamna mungkin ia tak khawatir mendengar beberapa kali guntur menggelegar seolah memecah angkasa, sedangkan Boruto belum juga muncul di rumah.
Ia tak benar-benar tahu di mana anak itu berada. Maka ia mengetuk satu-persatu rumah teman Boruto. Meminta maaf telah mengganggu acara istirahat mereka hanya untuk mencari putranya yang tak kunjung pulang ke rumah. Namun, tak satu pun teman Boruto tahu di mana keberadaan anak itu. Hal itu membuatnya semakin khawatir.
Naruto nyaris tak percaya ketika melihat Boruto tengah duduk sembari bergurau bersama teman-temannya di sebuah rumah kosong ujung kota. Tanpa banyak pikir lagi ia menuju ke sana.
Pertama kali Boruto menyadari kehadiran sang ayah, perasaannya yang semula baik berubah menjadi buruk. Ia tak akan menghampiri pria itu jika saja sang ayah tak terus memanggil namanya.
"Ayah kenapa kemari?" pertanyaan itu adalah hal paling ganjil yang ia lontarkan.
"Kau harus pulang sekarang, ini sudah malam." Naruto berusaha mengeringkan rambutnya yang terkena percikan air hujan. Mau bagaimana lagi, payungnya masih tak mampu untuk melindunginya dari lebatnya hujan yang turun.
"Ayah pulang saja duluan." Boruto mengerling teman-temannya yang seolah menahan tawa melihatnya tengah bercengkrama dengan sang ayah, dan ia benci karenanya.
"Mana mungkin bisa begitu. Ayah sudah jauh-jauh datang kemari dan kembali begitu saja tanpamu? Kau bercanda?"
"Aku tidak bercanda yah, ayah kembali saja duluan dan aku akan menyusul." Suara deras hujan mengalun mengiringi percakapan mereka, dan keduanya harus berbicara dengan intensitas suara lebih keras agar saling mendengar.
"Ayolah, kau harus pulang sekarang, hujan semakin deras. Ayah takut kau tak bisa pulang." Namun pria ini tak menyadari betapa kesal raut wajah putranya.
"Ayah, aku sudah besar. Aku bukan bocah 6 tahun yang tidak bisa pulang sendiri hanya karena hujan tutun." Ia membentak. Tapi percuma saja, suara hujan meredam bentakan itu. yang tampak hanya lototan lebar matanya yang menyebalkan.
"Ya. Ayah tahu." Naruto diam, menghela napas panjang. Menelan ludah demi membuat sakit hatinya reda oleh bentakan yang mungkin saja terdengar begitu keras jika tak teredam suara hujan.
"Sebaiknya ayah pulang, kau begitu memalukan." Boruto mendengus, kembali mengerling ke arah teman-temannya yang kini malah cekikikan melihatnya. Memang apa yang salah sih? Apakah penampilan ayahnya begitu memalukan? Rambut putih yang mencuat di antara kerumunan rambut pirang ayahnya dan keriput-keriput tipis di sekitar mata pria itu tak begitu memalukan. Ataukah perhatian berlebihan ayahnya yang membuat teman-temannya menertawakannya? "Ayah pulang saja, aku bisa pulang sendiri."
"Tapi..."
"Ku bilang aku bisa pulang sendiri!"
Tak ada lagi yang bisa dikatakan Naruto ketika putranya kembali berbalik menuju bangku di mana teman-temannya berkumpul. Ia menahan genangan air yang entah kenapa harus muncul di kedua matanya, ia berbalik dan berjalan di tengah derasnya hujan hanya dengan payung yang nyaris terombang-ambing oleh gerakan kencang angin. Putranya semakin keterlaluan, padahal usianya masih 18 tahun. Bagaimana jika suatu saat nanti ia malah dianggap hanya seorang tua renta yang tak berguna? Padahal ia masih ingat dulu, ketika hujan seperti ini tengah mengguyur bumi, putranya akan melompat-lompat kegirangan ketika ia menjemputnya.
Senyum pria itu merekah di antara bibirnya yang kaku. Ya Tuhan... tentu saja segalanya sudah berbeda. Perhatian terlalu besar membuat anak itu merasa malu. Sebab, benar katanya, jika Boruto sudah dewasa, tak perlu lagi dikhawatirkan secara berlebihan.
Malam itu, Naruto pikir ia harus mengurangi perahtiannya yang kelewat batas itu. ya... harus! Barangkali dengan begitu putranya akan bisa tetap menghormatinya sebagaimana mestinya.
.
.
Lulus dari SMA nilai Boruto tidak begitu buruk, dan setelah melewati serangkaian tes ia akhirnya diterima di Todai. Perguruan tinggi yang begitu ia inginkan sejak lama.
Naruto agak lega, sebab sikap putranya tak begitu mengecewakan akhir-akhir ini. Anak itu tak lagi suka membentaknya seperti beberapa bulan lalu. Suatu hal yang tak begitu ia mengerti soal sikap anak muda zaman sekarang, berubah kapanpun dan tak ada yang tahu apa penyebabnya.
"Hei yah, kau tak perlu khawatir soal biayanya, aku akan berusaha keras agar bisa mendapatkan beasiswa." Katanya ketika mereka usai makan malam, menyisakan piring kosong dan sendok yang kotor.
"Ayah tahu." Naruto tersenyum. Menyembunyikan kesedihan di balik bibir yang melengkung palsu. "Ayah hanya sedikit khawatir."
Uzumaki muda itu mendecak. "Ayah, sudah ku bilang berkali-kali, kau tak perlu khawatir padaku. Aku sudah besar dan kau tahu itu."
Pria itu mengangguk, helai-helai putih rambutnya tampak sedikit lebih nyata dibanding beberapa tahun terakhir. "Ya... kau memang sudah besar, ayah tahu itu."
Keduanya saling diam. Suasana canggung menyeruak di antara celah yang tersisa, dan ketimbang membiarkan waktu tetap dihabiskan dengan hal membosankan itu, Boruto lebih memilih mengambil piringnya untuk dibawa ke tempat cuci piring. Naruto mengikutinya, tak tega membiarkan putranya mencuci piring-piring kotor itu.
"Biarkan kali ini aku yang mencucinya yah, nanti ketika aku tak lagi berada di rumah ini, aku tak perlu lagi mencuci piring-piring ini kan?" anak itu menyeringai, gigi putihnya begitu berkilau oleh cahaya samar dari lampu dapur.
"Kau yakin?" mau tak mau pria itu tersenyum juga. Hatinya terasa damai oleh gurat-gurat halus sebuah kebanggaan.
Tanpa menjawab anak itu sudah mulai mencuci satu-persatu piring yang kotor. Menyalakan kran air, dan tak lagi peduli terhadap tatapan ayahnya yang begitu lekat.
Ada sedikit rasa yang mengganjal hatinya memikirkan sang anak yang hendak pergi ke ibukota untuk melanjutkan sekolah, meningalkannya sendirian di rumah kecil ini. Itu kelihatannya cukup buruk, dan membuat tidurnya tak tenang di malam-malam yang sepi. Meskipun ia berkali-kali meyakinkan diri jika putranya sudah cukup dewasa untuk bisa menjaga diri, namun, tetap saja ada sebagian hatinya yang tak bisa berhenti khawatir.
.
.
Ketika tahun ajaran baru tinggal menghitung hari saja, Naruto mengantarkan Boruto ke sebuah halte yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumah mereka. Terharu melihat putranya yang memeluknya erat sebelum benar-benar memasuki bus yang akan membawanya ke Tokyo itu. Bagaimana tidak, koper milik putranya membuatnya seolah akan meninggalkannya untuk waktu yang sangat lama.
"Jaga dirimu, oke." Raut khawatir Naruto membuat putranya kembali mendecak.
"Seharusnya ayah yang harus jaga diri." Ia tertawa setelahnya, melambai pelan. "Ayah... aku berangkat ya."
Pria yang menginjak usia 50 tahun itu menghela napas panjang. Mengukir senyum di wajah tuanya yang makin keriput tiap harinya. "Hati-hati."
"Pasti." Anak itu mengangguk, kini benar-benar memasuki bus. Pintu tertutup dan Naruto hanya bisa menyaksikan bus itu melaju meninggalkannya sendirian. Terpaku dengan banyak kekhawatiran yang tak berujung.
Ya... ia hanya bisa berharap tentang keselamatan anaknya.
.
.
Waktu bergulir, dari hari menjadi bulan dan bulan menjadi tahun. Kerinduan panjang akan dilepas tiap-tiap akhir tahun. Dan setiap kali melihat putranya pulang dengan wajah yang kian menunjukkan rupa dewasanya, Naruto hanya bisa tersenyum dan menyambut anak itu dengan pelukan hangat. Bagi orang tua sepertinya, tidak ada yang lebih membuatnya bahagia lebih dari melihat putranya tumbuh menjadi pemuda tampan yang hebat.
Boruto akan menghabiskan waktu liburannya dengan mengunjungi rumah teman-teman semasa kecilnya, dan kadang ia bersama sang ayah pergi ke sungai untuk memancing ikan. Sesuatu yang dulu nyaris tak pernah ia lakukan.
"Bagaimana kuliahmu?" Naruto bertanya disisa sore mereka, duduk memandang matahari yang nyaris tenggelam.
"Baik, baik sekali." Ia tersenyum. Memadang wajah ayahnya yang kian tua oleh gurat-gurat keriput yang makin jelas. "Bukankah ayah juga bangga aku bisa mendapatkan beasiswa?"
Pria itu mengangguk. "Ibumu juga bangga pastinya."
Boruto menghela napas panjang. "Jangan mengungkit ibu lagi yah, dia tidak lagi berada di dunia ini. Dia tidak benar-benar tahu apa yang menimpa kita." Hatinya selalu kesal tiap kali sang ayah menyinggung tentang sang ibu. Itu hanya akan membuatnya semakin sedih.
Naruto hanya diam, tak menyahut dan melihat putranya dengan mata sayu.
"Biarkan ibu tenang di sana yah, dunia kita sudah berbeda." Ia tersenyum ke arah Naruto, membuat kekecewaan yang sempat terlintas di wajah sang ayah tiba-tiba sirna begitu saja.
"Ya... kau benar." Setelah helaan napas yang kesekian kalinya, pria ini berjalan ke dalam rumah. "Ayah akan menyiapkan makanan, kau mau bantu?"
Uzumaki muda itu berjalan mengikuti langkah Naruto. "Dengan senang hati."
.
.
"Kemarin Shikadai dibelikan ayahnya motor." Boruto berucap usai makan malam, dan kini ia tengah mencuci piring dengan gerakan seolah-olah ia telah mahir dengan pekerjaan tersebut.
Naruto diam di meja makan, mendengarkan perkataan putranya yang lebih mirip gumaman. "Dan kau menginginkan motor seperti Shikadai?"
Anak itu menggeleng, membuat Naruto menghela napas panjang, antara lega dan bangga dengan sifat tak mudah iri yang dimiliki anaknya itu.
"Tapi ada satu hal yang aku inginkan dari ayah."
Kening pria 50 tahunan itu mengernyit, keheranan jelas tampak dari raut wajah tua yang lelah tersebut. "Apa yang kau inginkan?"
Boruto berbalik, menghadap sang ayah dengan seringaian lebar yang tampak begitu penuh di wajahnya. "Satu kali ini saja, benar, aku hanya akan meminta ini." Dia diam sejenak, mengamati Naruto yang terus menatapnya, bahkan hingga nyaris tak berkedip. "Ketika aku lulus dari perguruan tinggi nanti, belikan aku mobil ya yah... hanya itu yang ku minta."
Pernyataan itu nyaris membuat Naruto tersedak oleh ludahnya sendiri. Apa ini tidak bercanda? Apa yang bisa ia gunakan untuk membelikan mobil yang diminta putranya. Mungkin dulu yang diinginkan anak itu hanya sekedar mobil mainan, namun kini ketika usianya tak lagi 5 atau 6 tahun, keinginannya begitu di luar dugaan.
"Ya yah... ku mohon, aku akan menjadi orang sukses setelah itu dan memiliki pekerjaan yang hebat, ayah mau kan mengabulkannya?" binar-binar permohonan tampak nyata di manik birunya, dan Naruto tak kuasa untuk menolak.
Naruto mengangguk, anggukan itu seolah bukan benar-benar keinginannya. Bagaimana mungkin ia bisa membelikan putranya mobil, sedangkan untuk makan sehari-hari saja saja ia harus pontang-panting mencari pekerjaan, karena bagaimana pun juga orang sepertinya tak begitu dibutuhkan tenaganya, sebab yang muda jauh lebh banyak.
"Benar ya, ayah sudah janji." Boruto buru-buru mencuci tangannya dan memeluknya erat. Kebahagiaan tampak jelas menari-nari di kedua matanya, dan Naruto enggan untuk menghancurkan kebahagiaan tersebut.
Malam mereka terasa biasa bagi Boruto, namun tidak bagi pria tua itu, yang memikirkan bagaimana ia akan mendapatkan uang untuk membeli mobil yang diinginkan putranya? Sebagai orang tua, ada banyak hal yang ingin ia penuhi perihal kebutuhan anaknya. Andai ia bergelimang harta, maka itu mudah saja. Namun, keadaan ekonomi yang sulit membuat segalanya ikut terasa sulit juga.
.
.
Hari dimana Boruto wisuda sudah benar-benar terjadi. Ia pulang dengan perasaan bercampur aduk antara bahagia dan bangga.
Pria Uzumaki itu turun di halte biasanya. Tak mengabari sang ayah tentang kepulangannya karena ia pikir itu mungkin kejutan yang luar biasa.
Taksi yang mengantarkannya berhenti di depan rumah sederhana milik ayahnya, dan pria yang rambutnya sudah setengah beruban itu keluar dengan senyum yang nyaris meledakkan wajahnya. Pasalnya senyum itu begitu lebar, seolah wajah itu hanya dipenuhi oleh senyuman.
"Hai... kau pulang tanpa mengabari ayah dulu?" orang tua itu sudah merentangkan tangannya, menyambut kedatangan putra kesayanagnnya dengan begitu bangga. Kerinduan yang besar membuatnya nyaris tak berhenti menatap tipa inci wajah anak itu.
"Ya, aku memang ingin membuat kejutan untuk ayah." Ia dan sang ayah memasuki rumah. "Ayah tidak lupa soal kejutannya kan?"
Sang ayah tersenyum, memasuki rumah dan kembali keluar dengan sebuah jaket hitam yang terlipat rapi. Jaket itu terlihat baru dan dengan senyum yang masih tersisa, tangannya yang renta mengulurkan jaket itu pada Boruto.
"Apa ini yah?" kening pria muda itu mengernyit.
"Hadiah untukmu." Singkat kalimat itu terucap, dan Naruto mengira tidak ada yang salah dengan pemilihan katanya. Namun, entah bagaimana ekspresi wajah putranya berubah dengan cepat.
"Ayah... ku bilang, aku ingin mobil. Bukan jaket." Kekecewaan terlihat jelas mengoar dari binar-binar matanya.
"Dengarkan ayah-"
"Aku tak perlu mendengarkanmu, ku bilang aku ingin mobil, bukan jaket. Aku tahu kau memang miskin tak bisa membelikan mobil yang ku inginkan." Dia menelan ludah, wajah itu kini diliputi kemarahan dan kekecewaan. "Tidak ada yang lebih membuatku menyesal daripada memiliki ayah sepertimu."
Naruto tercekat, hatinya sakit dan seolah jatuh ke dasar perutnya, mata yang semula memancarkan binar kebahagiaan itu, kini berkabut. "Nak..."
"Sudah cukup!" tanpa aba-aba ia berlari keluar rumah dengan tas yang melekat di punggungnya.
Sejenak Naruto tak paham apa yang tengah terjadi. Namun, begitu otaknya mampu mencerna semuanya, ia berlari mengejar putranya itu. "Hei... kau mau kemana?" tak ada sahutan, sebab yang ia kejar tak lagi tampak oleh penglihatannya.
.
.
Pagi itu Naruto mendengar suara Boruto memanggilnya, membuat rasa kantuknya mendadak hilang. Matanya melebar dan ia mulai bangun dari tempat tidurnya, namun ketika kesadarannya telah benar-benar ia dapatkan, rumah itu tetaplah hening. Tidak ada Boruto yang tadi memanggilnya, hanya detak jam dinding yang menggema ke seluruh ruangan.
Ia tinggal sendiri selama 5 tahun terakhir. Setelah Boruto tak lagi pulang ke rumah, ia tak tahu di mana anak itu berada. boruto tak pernah memberi kabar, dan teman-temannya tak satu pun yang tahu. Putra semata wayangnya menghilang tanpa jejak, dan disini ia hanya mampu memendam rindu sendirian, berapa kali pun ia berusaha mencari tahu keberadaan putranya, hasilnya selalu sama, tak ditemukan. Ia khawatir kalau-kalau anak itu sudah pergi jauh, jauh sekali hingga alamnya tak lagi bisa ia gapai. Bagaimana jika itu memang mungkin?
Naruto bangkit, menghela napas panjang sembari berjalan ke arah jendela kaca, mengamati salju yang turun dan menumpuk semakin tebal di tanah. Pohon-pohon layu tertutup salju dan ranting-ranting tak berdaun tak ubahnya hatinya yang kehilangan semangat untuk hidup.
Ketika ia kembali menghembuskan napas, uap yang keluar dari mulutnya menempel di permukaan kaca. Saat itu ia baru sadar jika udara terasa cukup dingin. Ia buru-buru mengambil jaket di lemari. Berjalan pelan menuju dapur untuk membuat susu hangat. Minuman itu adalah satu-satunya hal yang mampu mengobati rasa rindunya pada putra semata wayangnya.
.
.
"Ayah... belikan mobil-mobilan telbalu yang sepelti itu." bocah 5 tahun tersebut menunjuk layar TV dengan kaki yang tidak berhenti melompat-lompat di depan sang ayah.
"Kemarin kan ayah sudah membelikan mobil-mobilan baru." Pria itu tersenyum dan menarik putra kecilnya agar mendekat ke arahnya.
"Tapi aku ingin yang seperti itu." telunjuknya yang kecil sibuk mengarah ke layar TV yang masih menampilkan iklan dari sebuah produk mainan tersebut.
"Oke, ayah akan belikan. Asal kau tidak nakal." Akhirnya ia menyerah, putranya itu memang suka sekali meminta sesuatu tanpa bisa diajak kompromi.
"Asyik..." ia melepaskan diri dari rangkulan sang ayah, dan kembali melompat-lompat bahagia. Tertawa lebar hingga menampakkan gigi-gigi kecilnya yang rapi.
"Hei... hati-hati kau bisa jatuh nanti." Sang ibu menasehati. Ekspresi wajah wanita itu tak mampu menyembunyikan raut khawatirnya.
Suara ketukan pintu memecah keberasamaan mereka, jarang ada tamu malam-malam seperti ini. Jika hanya seorang teman kerja, maka mereka hanya cukup menghubunginya. Sekarang zaman sudah canggih, hanya perlu sebuah alat kecil multi fungsi yang disebut ponsel untuk membahas beberapa hal dari tempat berbeda secara cepat dan praktis.
Setelah cukup lama hanya diam dan saling pandang, sang istri akhirnya buka suara. "Biar aku yang membukanya." Dia sudah berdiri, namun suaminya lebih dulu berdiri dan berjalan menuju pintu.
Meskipun selama perjalanannya melewati ruang tamu pikirannya dipenuhi dengan sosok yang ada di balik pintu, namun tetap saja, ia tak bisa berhenti menduga bahwa itu hanya seorang tetangga yang mungkin akan pergi jauh ke rumah orang tua mereka dan menitipkan rumah padanya.
Pintu terbuka, dan sosok di belakang pintu itu terjawab sudah. Tapi itu malah membuatnya kaget. Iris birunya menunjukkan keterkejutan yang luar biasa.
"Ya Tuhan... aku akhirnya menemukanmu."
.
.
"Bagaimana kau bisa tahu rumahku?"
Pria berambut hitam itu, Shikadai, menghela napas panjang, mengekspos kelelahannya yang tak lagi bisa ditutupi. "Panjang ceritanya, dan itu sangat sulit."
Boruto tak tahu harus bersikap bagaimana, meskipun ia sudah berusaha senormal mungkin namun tetap saja ada sebagian hatinya yang merasa bersalah pada teman semasa kecilnya tersebut.
Shikadai mendecak. "Aku mencarimu ke seluruh Tokyo. Tapi aku tak mendapatimu di sana, bahkan Inojin mengira kau mungkin sudah tewas oleh kehidupan Tokyo yang kejam."
Ketimbang menyahuti kalimat yang terlontar dari bibir lawan bicaranya, ia lebih memilih diam. Menyimak.
Pemuda Nara itu tak melanjutkan ucapannya ketika seorang wanita berambut hitam muncul dari dalam rumah, menghampiri mereka dengan dua cangkir minuman yang tampak mengepulkan uap panas.
"Silahkan diminum." Wanita itu mempersilahkan dengan sopan.
Shikadai mengerutkan kening, keheranannya tampak jelas menghiasi wajahnya yang kian tampak dewasa.
"Perkenalkan, dia istriku, namanya Sarada." Ia paham atas pertanyaan temannya yang hanya terpancar lewat tatapan itu. Shikadai jelas mempertanyakan status wanita itu. "Dan Sarada, ini temanku, Shikadai Nara."
Shikadai memaksakan senyumnya, kemudian berdiri untuk menjabat tangan wanita dengan paras cantik tersebut. "Senang bertemu denganmu."
Sarada mengangguk. "Senang bertemu denganmu juga."
Setelah acara perkenalan singkat itu, Sarada pamit undur diri dan kembali membiarkan kedua pria itu meneruskan kegiatan mereka.
"Sejak kapan kau menikah?"
Boruto diam sejenak. "6 tahun lalu."
Ada raut tak nyaman mengoar dari raut si pria Nara. Sebuah kegelisahan mengganjal hatinya. Dia mengangguk pelan sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Kau sukses sekarang. kau memiliki cabang rumah makan di Tokyo."
"Kau tahu?"
Shikadai mengangguk. "Aku menemukan alamat rumahmu ketika tak sengaja makan di rumah makan milikmu." Ia ingat ketika seorang pramusaji tak sengaja menjatuhkan makanan pesanan seorang pelanggan, dan seorang laki-laki memarahinya seraya menyebut nama 'Boruto', laki-laki itu tampaknya bertanggung jawab atas rumah makan tersebut. Jadi... usai menghabiskan makanannya, Shikadai memutuskan bertanya alamat rumah Boruto, mengaku sebagai teman lamanya. Padahal saat itu, ia tidak yakin jika Boruto yang dimaksud pria itu sama dengan Boruto yang ia maksud.
"Silahkan diminum kopinya." Boruto mempersilahkan ketika ia merasa tidak nyaman jika hanya diam menyimak kalimat lawan bicaranya.
Shikadai lagi-lagi hanya mengangguk, menyesap kopinya dan meneguknya sepelan mungkin. Baru setelah tiga tegukan, ia meletakkan cangkir itu kembali ke atas tatakan. "Pulanglah ke Osaka."
Boruto menatap si pemuda Nara. Matanya agak melebar. Namun kemudian, ia berusaha menutupi keterkejutan yang nyaris naik ke atas ubun-ubunnya. Ia gugup saat Shikadai mengingatkannya dengan kota kelahirannya.
"Aku tak memaksa, tapi..." pemuda itu mengeluarkan sebuah jaket hitam dari dalam tas selempangnya. Keberadaan tas itu bahkan tak disadari Boruto. "Ayahmu menitipkan ini padaku. Dia bilang bahwa aku harus menyerahkannya padamu."
Suasana terasa begitu canggung. Boruto bahkan memilih diam ketimbang menerima jaket hitam itu dari tangan temannya. Ia menelan ludah dan merasakan ada yang salah dengan semua ini.
"Aku sudah jauh-jauh dari Osaka ke Sapporo untuk menemuimu. Dan aku cuma minta kau menerima jaket ini jika kau memang tak berniat kembali ke Osaka. Tidak kah kau mau berbaik hati untuk menerima jaket ini? Setidaknya aku telah menyampaikan amanat ini dari ayahmu." Ucapan panjang lebar pemuda Nara itu hanya terdengar seperti gumaman di telinga Boruto. Sebab masa lalunya tengah berputar-putar di dalam benaknya.
Tak ada sahutan. Namun, dengan gerakan pelan tangannya mulai menerima uluran jaket itu.
"Ayahmu bilang kau harus memeriksa jaket itu. aku tidak mengerti memeriksa yang bagaimana. Tapi... mungkin kau tahu." Shiakdai tak mengatakan apapun lagi, hanya menatap lawan bicaranya yang masih terpaku melihat jaket hitam itu. beberapa saat membiarkan suasana hening tak membuat semua terlihat baik-baik saja, setelah sekian lama tak bertemu membuat segalanya tak lagi seperti dulu.
"Bagaimana keadaan ayah?" Boruto akhirnya bicara setelah kebisuan panjangnya.
Helaan napas Shikadai terdengar begitu keras dang mengganggu. "Jika kau ingin tahu keadaannya, pulanglah."
Pemuda Nara itu tak terlalu lama berada di rumah si tuan Uzumaki. Dia berkata bahwa perjalanannya akan memakan waktu yang panjang, jadi dia harus pulang untuk memenuhi permintaan sang ibu. Boruto merasa geli dengan sikap temannya itu, yang tak peranh berubah sejak dulu, selalu takut dengan ibunya, bahkan ketika usianya tak lagi bisa dianggap anak-anak.
.
.
Setelah kepulangan Shikadai, malam beranjak semakin petang. Berapa kali pun Boruto berusaha memejamkan matanya, kelebat masa lalunya terus membayang dalam kepalanya. Sementara suara-suara Shikadai penuh di telinganya, serupa dengingan lebah yang begitu mengganggu.
Maka dengan enggan ia bangkit dari temapt tidur. Membetulkan selimut yang menutupi tubuh istrinya sebelum ia berjinjit pelan untuk keluar kamar. Ia menuju ruang tengah, mengambil jaket yang diberikan Shikadai padanya.
Beberapa saat, ia hanya mampu memandangi jaket itu dalam diam. Teringat bahwa ayahnya pernah memberikan jaket itu padanya.
"Ayahmu bilang kau harus memeriksa jaket itu. aku tidak mengerti memeriksa yang bagaimana. Tapi... mungkin kau tahu."
Dengan gerakan cepat ia memasukkan tangan kanan ke saku jaket, dan mendapati sebuah kunci dari dalam sana, bukankah ini...
"Itu kunci mobil?"
Boruto menoleh ke asal suara, di mana istrinya tengah berdiri di sampingnya dengan mata yang mulai tergenangi air. Ia kembali menatap kunci di tangannya. Ini kunci mobil? Pkirannya kacau saat itu. Bercampur aduk antara merasa bersalah dan menyesal. Seolah seseorang baru saja menariknya ke dalam jurang yang kelam, dan ia kehilangan dirinya.
"Kau bilang, ayahmu tak pernah membelikanmu mobil." air mata wanita itu mengalir. "Kau mungkin salah selama ini."
Borto menelan ludah. Dalam hati, ia mengiyakan perkataan istrinya bahwa selama ini ia mungkin salah.
"Oh ya Tuhan... Boruto." Sarada menangis. Ia tahu segalanya tentang suaminya, tahu tentang sang suami yang kabur dari rumah dan tahu segala seluk-beluk alasan kenapa Boruto meninggalkan rumah. Namun, meski begitu, selama ini ia tak peranh berhasil membujuk suaminya untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ayah. Dan sekarang ia melihat kenyataan yang menyakitkan.
Pria itu tak menangis. Ia hanya merasakan matanya berkabut. Apa yang telah ia lakukan selama ini? Ia pergi meninggalkan ayahnya yang sudah tua. Menikah tanpa memberitahunya, dan bahkan tak memberi kabar selama 7 tahun belakangan. Ia telah menjadi pendosa.
Malam itu ia tak bisa tidur. Berharap pagi segera datang, agar ia bisa cepat-cepat pergi ke Osaka dan menemui sang ayah. Ia akan meminta maaf, mengenalkan sang istri pada ayahnya dan menunjukkan buah hatinya pada pria tua itu.
Lalu hal terakhir yang akan ia lakukan adalah mengajak sang ayah tinggal bersamanya. Kasihan pria tua itu jika harus menghabiskan masa senjanya hanya tinggal sendirian di rumah mungilnya. Ya... itu kelihatannya ide yang bagus.
Terlepas dari semuanya. Ia agak takut jika ayahnya tak mau memaafkannya. Apakah itu mungkin?
.
.
Boruto sampai di Osaka menjelang sore. Perjalanan 12 jam dengan shinkansen mampu membuatnya kelelahan dan nyaris terlelap. Sebab malamnya begitu terganggu oleh rasa bersalahnya terhadap sang ayah, dan lagi, ia harus berangkat dini hari agar tak ketinggalan kereta yang menuju osaka. Ia terlalu bersemangat dengan perjalanannya untuk bertemu sang ayah hingga melupakan acara istirahat.
Dan kini ia agak asing dengan rumah mungilnya yang tengah terbentang di hadapannya. Rumah itu tertutup rapat, terlihat lebih buruk dibanding terakhir ia lihat. Beberapa kali rasa gugup dan takut melandanya. Helaan napasnya terdengar memecah suasana musim gugur itu.
Ia terus melangkah, berpikir bahwa ia akan menjelaskan segera pada ayahnya bahwa ia telah menikah dengan seorang gadis cantik asal Sapporo, dan ia telah memiliki seorang anak laki-laki yang berumur 5 tahun. Sayangnya, anak dan istrinya tak bisa ikut kali ini karena anak itu mendadak sakit. Maklumlah udara begitu tak bersahabat akhir-akhir ini. Penjelasan itu membuatnya yakin bahwa sang ayah akan memaafkannya dan menerimanya lagi sebagai Boruto yang dulu, putra semata wayang Naruto yang begitu disayang dan dibanggakan oleh si Uzumaki tua.
"Ayah..." ia mengetuk pintu beberapa kali. Namun, tak ada sahutan dari pria tua itu. ini tidak seperti yang ia duga sebelumnya. "Ayah... aku pulang."
Sebuah langkah kaki berhenti di belakangnya. Belum sempat Boruto menoleh, sebuah suara mendahului rencananya.
"Kau... Boruto?"
Baru ketika telah benar-benar menoleh, ia tahu siapa orang itu. "Nenek Tsunade?"
Wanita itu merangkul pria di hadapannya, tangisnya pecah. Boruto tak bisa melakukan banyak hal kecuali membalas pelukan wanita tua itu dan sesekali menenangkannya. "Aku begitu merindukanmu. Kenapa kau baru pulang sekarang?"
Mereka saling melepaskan pelukan, kini berdiri dan tak ada yang mampu Boruto pikirkan lagi kecuali penyesalannya yang semakin meruncing tiap detiknya. "Panjang ceritanya, dan kupikir aku nyaris tak mampu menceritakannya."
Wanita itu menghela napas, mengusap matanya yang masih berair. "Ayahmu mencarimu selama bertahun-tahun. Dia meminta bantuan banyak orang. Mengerahkan semua teman-temanmu. Tapi tidak ada yang tahu di mana kau berada." air mata Tsunade mengalir semakin tak terkendali. "Aku kasihan pada Naruto yang hampir setiap hari melamun memikirkanmu. Tubuhnya kurus, dia tampak menyedihkan ketika terakhir kali ku lihat."
"Dan sekarang, ayah di rumah kan nek?"
Mata wanita itu seolah menjelaskan sebuah kesedihan yang tak berujung, perpisahan yang menyedihkan, dan penyesalan yang tak akan terobati. "Kau tidak tahu?"
"Apa? Tidak tahu apa?" ia tidak mengerti arah pembicaraan mereka sekarang.
Dan ketimabng menjawab dengan serangkaian kalimat, wanita itu justru menangis sesenggukan, seolah lidahnya begitu kelu untuk mengatakan sesuatu, dan tenggorokannya tak mampu untuk melontarkan suara.
"Nek..."
"Ayahmu itu sudah pergi nak, dia pergi jauh, jauh sekali."
Boruto terduduk. Lututnya lemas dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun meyakini bahwa pantang bagi seorang laki-laki menangis akhirnya runtuh juga. Ia menangis di depan pintu rumah mungil ayahnya. Tersedu, seolah hatinya mendadak membengkak oleh penyesalan yang teramat dalam. "Ya tuhan... apa yang telah ku lakukan."
Tsunade juga tak beranjak dari teras rumah itu. ia memandang pria di hadapannya dengan air mata yang tak berhenti menetes.
Sementara itu, Boruto nyaris tak mampu menggerakkan kakinya untuk kembali berdiri. Ia merasa telah menjadi pendosa dan sangat berdosa. Apa yang telah ia lakukan selama ini? Pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya.
Ia membiarkan sang ayah tinggal sendirian. Ia kabur dari rumah karena kesalah pahaman yang seharusnya tak terjadi. Ya... andai itu tak terjadi, mungkin sekarang ia merasa lebih tenang. Tapi segalanya tak berjalan seperti yang ia inginkan.
Napasnya tersengal, dan hidungnya tersumbat oleh cairan menyebalkan. Meski begitu, tangisnya tak juga reda.
"Jangan menangis lagi. Kau kan laki-laki, laki-laki itu harus kuat, tidak boleh menangis hanya karena hal sepele seperti ini."
Masa kecilnya melintas di memorinya, seperti kaset rusak yang diputar beberapa kali.
.
.
Boruto memutuskan memasuki rumah itu ketika tahu pintunya tak terkunci, dan Tsunade akhirnya pamit pulang.
Ia mengamati ruang tamu yang masih sama dengan dulu. Sama sekali tak berubah. Ayahnya masih tak memiliki barang berharga apapun. "Ayah... aku pulang." Gumamnya pelan. Mendadak hidungnya basah dan matanya terasa perih.
Tidak ada lagi sambutan seperti dulu. Senyuman manis dan sapaan selamat datang yang familiar di telinganya. Jujur ia menginginkan sambutan itu. harusnya ia tak pergi hari itu, harusnya ia membiarkan sang ayah menjelaskan semuanya, dan ia mendengarkan dengan baik. Dan terlalu banyak harusnya yang tak mampu ia ungkapkan satu-persatu.
Kakinya melangkah lebih dalam. Sampai di ruang makan, ia seolah melihat film tayangan ulang. Dimana bayangan masa lalunya bersama sang ayah tampak jelas. Mereka sedang makan malam bersama, membahas banyak hal yang terkubur jauh di memori otaknya. Apa yang mereka bahas terlalu buram untuk diingat. Namun, senyum pria tua itu masih terpatri kuat di benaknya.
"Maafkan aku..." bisiknya. "Ayah... maafkan aku."
Ketika kakinya baru selangkah memasuki garasi rumah kecil itu, hatinya sakit, seolah mati rasa. Kini mata dengan iris biru itu menatap nanar mobil yang seharusnya ia lihat sejak lama. Mobil itu amat digemari beberapa tahun lalu, dan kini terparkir menyedihkan dengan tumpukan debu di atasnya. Terlihat tua dan tak tersentuh.
Boruto berhitung di dalam hatinya, berharap setelah hitungan ketiga ia akan mendapati ayahnya berteriak memanggil namanya dan menanyakan bagaimana kabarnya. Namun, ketika hanya suara tangisnya sendiri yang ia dengar, ia sadar, ayahnya telah benar-benar pergi dari dunia ini, dan fantasi-fantasi bodoh yang dipikirkannya tidak benar-benar terjadi. "Ayah... aku merindukanmu."
Seperti seseorang tengah membelai lembut rambutnya, ia merasa nyaman.
.
.
Semilir angin menerbangkan dedaunan kering, meliuk-liuk di antara udara sore yang sejuk. Musim gugur menghadirkan sore yang redup, dan matahari tersembul malu-malu di balik awan kelabu.
"Maafkan aku yah." Boruto menelan ludahnya, rasa sakit menggerogoti hatinya hingga membuatnya nyaris kehabisan napas. "Aku tahu, aku salah. Maafkan aku karena tak mau mendengarkan penjelasanmu dan memilih pergi meninggalkan rumah."
Kata-kata Shikadai beberapa waktu lalu masih membekas jelas di ingatannya. Pemuda itu menceritakan perjuangan ayahnya untuk bisa membeli mobil yang harganya jutaan Yen itu. ayahnya melakukan banyak pekerjaan selama setahun. Mulai dari buruh di perkebunan desa dekat pinggiran kota, kuli bangunan, hingga meminjam uang pada ayah Shikadai. Itu semua dilakukan ayahnya agar hadiah yang diinginkannya benar-benar terwujud. Tapi apa yang ia lakukan? ia malah pergi dari rumah dan membuat pria itu kecewa.
"Ayah, maafkan aku, aku menyesal." Dan tak ada lagi yang dilakukannya kecuali terduduk di samping makam sang ayah. Menangis tersedu, seolah tak ada apapun lagi yang mampu membuatnya berhenti untuk menyesal.
"Kau adalah ayah terbaik di seluruh dunia, dan aku terlambat menyadarinya."
END
Kira-kira ada yang bisa ngerasain feelnya ga? Kok kayanya feelnya flop abis.
Ini rencananya bakal terdiri dari 4 chapter, tiap chapter main charanya beda, dan ga ada sangkut pautnya sama yang chapter 1, chapter 2 nanti shikadai, chapter 3 Inojin dan chapter 4 Sarada, tapi masih sama-sama bahas soal ayah.
Oke sekian...
Tinggalkan review (ga meksa kok)
