Yoongi menatap kepada lautan biru di atasnya, kepada selimut putih kusut yang mengarungi. Memasangkan telinga pada helaan angin yang menyentuh permukaan kulitnya, merabai dan menyapa bersama dinginnya pagi.
Ia tidak bercakap-cakap. Di sebelahnya, ia rasakan seseorang bersandar, ia bisa merasakan sebuah tangan menggenggam erat tangannya. Ia rasakan. Dan ia cermati rasa itu, memikirkan kebenaran dan kenyatannya.
Ia tatap langit yang mengawang. Memejamkan mata.
"Hyung ..."
Suara itu merabai indra dengarnya, menyapa dengan suara lembut yang biasa ia dengar bersama kecupan di pagi hari di tempat tidur itu. Suara yang mengisi kesehariannya dengan sebuah kecerewetan yang luar biasa.
"Hyung ..." itu tidak membuat Yoongi menolehkan kepalanya, sembari Yoongi sadari bahwa tak ada lagi tubuh yang bersandar di sampingnya.
Ia tatap langit.
Berharap walau sedikit.
Mengingat walau samar.
Mencoba walau tak akan bisa.
Yoongi tidak bergerak-gerak. Tidak bercakap-cakap. Tubuhnya mati rasa. Ia telah berdiri sekian lamanya, dan matanya telah menatap langit sebegitu penatnya. Namun tubuh enggan menunduk duduk, meninggal pergi, atau sekedar melemaskan bahu.
Sepatu hitam legamnya, ia beli dua hari lalu, karena acara itu begitu mendadak dan tanpa ada pemberitahuan. Ia pasangkan jas milik ayahnya, karena ia tak memiliki jas hitam yang pantas, karena acara itu tak memberitahukan suatu apa pun padanya.
"Hyung," suara itu memanggil, seolah memang benar ada. "Hyung, pergilah."
Namun Yoongi tak menjawab, tak pergi pula. Tak menginginkan apa pun selain berharap bahwa yang telah berlabuh pergi dapat memutar haluannya untuk kembali pada dunia.
"Aku baik-baik saja."
Yoongi menggeleng. Kali itu, ia turunkan wajahnya, kemudian bersama sebuah sendu dalam manik matanya, ia tatap sosok yang berdiri di depannya. Matanya menangis.
"Jim."
"Hyung, pulanglah."
"Jim, kembali."
"Pulanglah, Hyung."
"Jimin!"
Sosok manis yang tubuhnya digeluti jas putih. Jas terakhirnya. Pakaian terakhirnya.
"Jimin ..."
Yoongi menatap bersama sendunya, Jimin, miliknya yang berharga, perlahan melangkahkan kakinya mundur, menjauhi diri yang telah kehilangan kekuatan.
"Jim ..."
"Hyung, aku baik-baik saja."
Yoongi tidak baik-baik saja. Ia ingin memeluk tubuh di depannya, ingin menciuminya dan merabainya seperti pada malam-malam mereka saat itu.
Ingin menggenggam tangannya seperti saat ia naiki altar itu.
Namun sosok itu menjauh. Semakin jauh. Hingga hilang tak berbekas. Dan Yoongi tahu, ia tak bisa lakukan apa pun untuk menariknya kembali.
Ia menjatuhkan matanya pada nisan di bawahnya, di mana matanya menatap nama yang telah meninggalkan.
Min Jimin
22 tahun
"Min Jimin," membacakan. Tubuh telah letih dan ia terduduk, bersama gemetar yang ada. Ia ketakutan. "Selamat jalan."
.
.
.
.
"Hyung, ini Kim Taehyung. Jimin masuk rumah sakit. Pendarahan parah. Kau bisa datang? Truk baru saja melindasnya. Astaga. Aku tidak tahu harus bagaimana, tolong jika kau terima pesan ini, cepatlah ke rumah sakit. Hyung, kumohon, tinggalkan pekerjaanmu sebentar, dia membutuhkanmu. Kumohon hubungi aku kembali."
.
.
Yoongi tahu, ia telah datang begitu terlambat, dan ia tak memiliki jalan untuk kembali pada waktu yang telah hilang. Kembali pada Jimin. Yang telah menghilang bersama waktu.
.
.
FIN/?
.
.
RnR?
