Honeyween

Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya. Tidak ada keuntungan material apapun yang didapat dari pembuatan karya ini. Ditulis hanya untuk hiburan dan berbagi kesenangan semata.
Pairing: America/Belarus. Genre: Supernatura/Horror. Rating: M. Other notes: AU, berdasarkan urban legend di Hawaii.

(Seharusnya liburan singkat itu menyenangkan untuk Alfred dan Natalya, tetapi, karena suatu sebab yang tak Natalya mengerti, dia diserang oleh hal-hal yang merusak perjalanannya.)


.

A/N 1: kutaruh di rate M karena ada tema-tema sugestif yang kalau menurut kebudayaan Indonesia, agak dewasa dan kurang pantas buat dibaca anak-anak di bawah enam belas tahun, meskipun yang seperti ini wajar saja di negara barat untuk dibaca remaja tanggung. sekali lagi, perbedaan budaya. saya tidak ingin menyesatkan pembaca yang belum waktunya untuk mengetahui kalimat-kalimat yang sedikit dewasa.

.


"Aku mau donat!"

Natalya menyingkirkan poni panjangnya dan bola matanya meliuk-liuk mencari sumber suara. Oh, tak jauh dari tempat duduknya. Dia membiarkan anak rambut itu menjuntai jatuh tak beraturan lagi. Bola matanya berputar bosan. Bandara dan segala kesibukannya. Dan keributan. Segalanya yang membuat kepalanya penuh sementara dia sudah harus pusing dengan gema dari pemikirannya sendiri.

"Aku mau permeeeeen!"

"Donat!"

"Permen!"

Natalya tidak tahan lagi. Dia membuka tasnya dan dengan tergesa mengambil iPod yang terselip di antara dompet dan kertas-kertas aneh dari brosur tentang Hawaii hingga bekas struk makan siang tadi di dalamnya. Earphone-nya, lagi, begitu kasihan—terbelit di antara sisir dan botol parfum yang tersudut di dasar. Lekas-lekas dia uraikan kekusutan yang makin membuatnya kesal itu dan dia pasang earphone-nya ke telinga.

Alfred mencabut yang sebelah kanan. Tanpa sempat Natalya menyadari, wajah Alfred cuma menyisakan satu jengkal jarak dengan pipinya.

"Hanya satu kali memakai earphone dalam satu hari, ingat?" kedua alisnya turun dan naik dengan cepat. "Berhenti terlalu sering menutup diri, oke?"

Natalya mendecih. "Dua kali untuk hari-hari yang punya pengecualian."

"Kurasa kita tidak pernah membuat perjanjian begitu," Alfred kemudian menarik yang sebelah kiri. "Satu kali tetap satu kali. Kau harus mulai membuka dirimu dengan cara berhenti menjadi penyendiri dengan earphone di telinga. Sekarang. Mulai dari sekarang. Jangan membantah, Natalya-ku," dia begitu senang memancing Natalya dengan cengiran seduktif. Cengiran yang hanya membuat Natalya ingin menamparnya ketika dia memperlihatkannya di saat yang salah. Setidaknya, jangan di sini. Dan di mood Natalya yang sedang seperti ini—mood ciri khasnya yang begitu mudah tersulut untuk meledak jika dihadapkan pada keramaian.

"Aku sedang sangat benci keributan."

"Bukankah memang biasanya begitu?" Alfred mendelik jahil. Tangannya menyingkirkan earphone Natalya dan memasukkannya ke dalam tas laptopnya sendiri.

"Kali ini sangat-sangat-sangat benci. Kembalikan barangku. Sekarang. Ini perintah, Jones."

"Sesama Jones tidak boleh memerintah seperti seorang bos pada babunya, Nyonya."

Natalya menggeram. Jika satu kali membuat keonaran terhadap mood -nya dihargai satu dolar, maka Alfred adalah seorang bilyuner dan Natalya jatuh melarat dan bahkan mungkin harus menggadaikan pakaiannya karena mengupah hal tak berguna.

"Kau jengkel karena anak-anak?" Alfred pun berdiri, pemberitahuan untuk memasuki pesawat sudah diberikan. "Serius? Karena anak-anak kecil yang masih polos dan bahkan tidak tahu tindakannya salah atau benar? Cepat atau lambat kau akan jadi ibu, Nat," dia mengulurkan tangan, dan mengejutkan; Natalya menyambutnya dan berjalan dengan tangan masih tetap terkait satu sama lain. Alfred melanjutkan, dengan mencondongkan tubuh pada Natalya, berbisik pada telinganya, "Dan bukankah tujuan kita ke Hawaii ini adalah untuk membuatmu menjadi ibu?"

Natalya mendorong wajah Alfred, wajahnya masih dingin seperti biasanya. "Setidaknya aku punya gen pendiam dan tenang, aku tidak akan punya anak yang ribut."

"Aduh, sayang sekali, sepertinya kau lupa siapa dan dan bagaimana sifat suamimu, hahaha!"

"Aku ibunya. Aku yang akan mengandungnya dan aku yang akan mewariskan lebih banyak genku padanya. Tapi kurasa kita sudah sepakat bahwa sampai setidaknya dua tahun ke depan kita tidak akan punya anak."

Alfred menggeleng, "Prinspi genetika tidak bekerja dengan cara itu, Sayang," lalu dia menambahkan setelah jeda, "Dan kesepakatan itu bisa saja gugur kalau salah satu dari kita ceroboh."

"Tutup mulutmu sekarang atau kau akan kutendang dan aku akan berlibur sendiri ke Honolulu," dia menarik tangannya dan menghempaskan tangan Alfred, lalu berjalan cepat sendirian. "Dan kalaupun ada yang ceroboh, itu pasti kau."

"Ahahahaha! That's my Natalya for you! Heeei, Nat, tunggu!"

Sekarang Natalya merasa bahwa karma menampar wajahnya. Dia yang membenci keributan, kenapa harus jatuh cinta dan bahkan mengatakan 'ya' saat ditawari cincin pertunangan padanya, lalu mengangguk dan menyambut ciuman pernikahan di hari dia memakai gaun putih berkilau waktu itu, dari seorang Alfred Fitzgerald Jones? Mungkin dia harus menyalahkan percikan rasa suka yang terjadi ketika Alfred melarikan dirinya ke rumah sakit setelah dia jatuh dari tangga saat pesta di rumah Francis berakhir, ciuman di kamar rumah sakit, dan pertolongan tanpa menuntut balas dari Alfred ketika dia baru saja kehilangan dompet dan segala harta benda berharganya di dalam sana.

Oh, masa lalu. Setidaknya perasaannya telah berterima dengan kenyataan dan dia tahu bahwa dia tidak bisa selamanya hidup sendiri. Tidak tanpa kedua kakaknya yang lebih memilih pulang ke kampung halaman mereka sana.

Natalya duduk duluan di kursi samping jendela dan Alfred hanya datang sebentar ke bangku di sampingnya dan meletakkan tas. Sambil lalu dia berpamitan singkat, "Toilet," dan Natalya membiarkannya tanpa menoleh sedikit pun.

Pada beberapa menit awal, Natalya tidak bermaksud untuk memandang apapun, tetapi kemudian matanya seperti diarahkan begitu saja ke langit di atas gedung bandara yang bisa dengan bebas dipandang. Mendadak mendung menggelayut di sana, Natalya tidak tahu sejak kapan, tetapi setelah dia membuka mata seusai mengerjapkannya seperti biasa, mendung itu sudah ada di sana.

Dan kilat menyambar.

Natalya terpaku sesaat. Kilat itu terjadi lagi. Lagi. Semakin sering dan seperti mendekat. Semakin dekat malah semakin besar saja. Matanya tidak berkedip, dan tangannya refleks menggenggam apa saja yang bisa disentuh saat ini.

"Natalya?"

Natalya mendongak dan mendapati Alfred sudah datang, dengan kebingungan yang terpeta jelas di wajahnya. Natalya kemudian menyadari tangannya yang mencengkeram tangan Alfred, ingin dilepasnya tapi Alfred mencegahnya. Malah balas menggenggamnya.

"Ada apa?"

"Kurasa kita akan terbang di saat yang salah," dia baru sadar napasnya tak beraturan ketika berbicara. "Seseorang harus tahu ini."

"Salah kenapa?" Alfred mengernyitkan dahi dan memandang jendela. "Cuaca baik-baik saja."

"Jangan menyepelekan! Mendung di sana—"

"Mendung?"

"Itu!" tunjuk Natalya pada kaca jendela. Dengan jelas sekali jemarinya mengarah pada area kelabu di luar sana.

"Cerah, Nat. Cerah. Bahkan di ujung jarimu ada matahari. Perlu pinjam kacamataku?"

Giliran kening Natalya yang mengernyit dan bibirnya terkatup kesal. Dia belum mau menyerah, "Tadi ada kilat. Banyak. Malah semakin dekat ke pesawat. Bahaya untuk pesawat—"

Punggung tangan Alfred menempel di kening Natalya, lalu pemiliknya bertanya, "Tadi malam kau tidur jam berapa? Tubuhmu aneh begini, berkeringat dingin. Mungkin kau berhalusinasi, Nat, karena menurut mataku, langit di luar baik-baik saja dan pesawat ini akan tinggal landas dalam hitungan detik lagi."

"Itu hanya matamu—"

"Coba lihat baik-baik sekali lagi," Alfred menangkup wajah Natalya dan memalingkannya ke arah jendela.

Natalya terdiam. Tidak ada mendung, tidak ada kilat. Yang ada hanya atap bangunan yang bersinar karena pantulan matahari musim panas tepat mengenainya dan mungkin suhu puncak harian sedang berada di detik ini.

"Mungkin kau hanya perlu tidur. Mungkin kau masih lelah karena acara jamuan makan malam—resepsi kedua merepotkan yang direncanakan Arthie dan Mattie itu? Pahlawanmu akan dengan sangat senang hati meminjamkan bahunya, Nyonya." Alfred lalu menarik kepala Natalya tepat ketika peringatan bahwa pesawat akan segera berangkat.

Natalya menutup mata, lalu membukanya lagi. Benar-benar tidak ada mendung. Panas, malah. Lantas dia menutup mata, membiarkan tangan Alfred yang mengelus puncak kepalanya menjadi hal yang menenangkannya sedikit demi sedikit.

Dia hanya ingin segera meninggalkan keanehan California dan menjejakkan kaki di Honolulu.


Batas kota Honolulu sudah beberapa menit lalu mereka lalui. Alfred mengemudi dengan santai, sambil mendengarkan lagu country yang disetel pada volume sedang. Kadang bergantian dengan musik rock—daftar putar pemutar musik Alfred di iPod-nya memang amat bervariasi. Sesekali dia ikut bernyanyi dan memaksakan suara sampai bagian yang tinggi hingga kehabisan napasnya. Natalya berharap menemukan sesuatu yang menarik di jendela, namun dia tidak mendapati apapun sebagai pengobat rasa bosannya.

"Kau bisa pakai daftar putarmu," Alfred mematikan lagu di perangkatnya. Berhasil membaca suasana hati Natalya.

Natalya memang memerlukan itu. Maka lagu yang mengalun di mobil sewaan tersebut pun berganti dari deretan lagu ballad berbahasa Inggris sampai lagu-lagu berbahasa Balto-Slavia yang mana Alfred hanya bisa menggeleng mendengarkannya.

"Sebenarnya kita mau ke mana?" Natalya menurunkan volume musik, "Kita tidak menyewa mobil hanya untuk berkeliling menghabiskan bahan bakar, 'kan?"

"Hunting," Alfred bersiul mengikuti lagu yang—akhirnya—berbahasa Inggris lagi, dan dia cukup kenal karena pernah menyukainya. "Memotret adalah hobi lamamu, 'kan?"

"Hn," Natalya lalu merapatkan kelopak matanya lagi. Menikmati perjalanan yang sunyi; dan ajaibnya jalanan tak terlalu ramai. Padahal dia kira mereka akan berpapasan dengan banyak orang di musim panas sebuah negara tropis yang terkenal bahkan sampai ke pelosok pedesaan benua seberang. Walau yang mereka kenal biasanya hanyalah wanita dengan rok rumbai dan hiasan bunga-bunga yang sedang menari, tentu kebanyakan dari mereka bermimpi dan bahkan merencanakan liburan di tempat seperti ini di musim yang ekspektasi tak melulu melebihi lima puluh persen kemungkinan untuk terjadi.

"Kau mengemudi terlalu pelan."

"Menikmati waktu, Arlovskaya-Jones. Tidakkah itu gunanya liburan?"

Natalya mengembuskan napas tanpa membuka mata. Entahlah, dia tiba-tiba merasa mengantuk tanpa bisa dia jelaskan mengapa. Secara tak sadar otaknya membangkitkan memori campur imajinasi; tentang kakak perempuannya dan pacarnya yang juga kakak Alfred memberikan hadiah tiket ke Hawaii untuk berdua, tentang liburan di pantai yang sebenarnya sudah lama dia inginkan, dan buah-buahan tropis, lalu pesan Katyusha yang berbunyi sering-seringlah bermanja pada Alfred dan goda dia, itulah gunanya bulan madu, adikku sayang!

Persetan. Memangnya Katyusha sendiri sudah pernah menikah. Natalya meragukan kredibilitas Katyusha sebagai kakak pemberi nasehat yang baik; mungkin dia hanya membual karena terlalu ingin mendapat keponakan secepatnya.

Natalya berada di antara batas sadar dan tidak ketika dia merasakan berhentinya pergerakan mobil.

Alfred tidak ada di kursi pengemudi. Natalya mengerjapkan matanya dengan cepat.

Jalanan semakin kecil dan sepi. Dan bahkan menggelap karena pohon-pohon. Mungkin sudah tiba, dia rasa, tetapi dia ragu mengapa tempat wisata di lokasi seperti Hawaii membolehkan metode parkir sembarangan di bawah pohon begini. Mungkin hanya Alfred yang terlalu ceroboh?

"Al—"

Duk, duk, duk—Natalya sontak menoleh ke arah jendela tepat di sampingnya. Dia tercenung sesaat, belum mampu menghilangkan rasa kagetnya. Untunglah hanya Alfred.

Dan Alfred mengisyaratkan Natalya untuk membuka jendela.

Kaca mobil turun. "Apa?"

"Tunggu di dalam saja, ya. Kurasa ada masalah dengan mobil kita dan aku ingin mencari bantuan."

"Aku ikut."

"Jangan," telunjuk Alfred mengarah ke atas, barulah Natalya sadari bahwa langit telah menjadi mendung dan titik-titik air mulai jatuh. Beberapa sudah menjadi motif di kaca depan. "Sepertinya akan ada hujan lebat. Kau tidak bawa jaket, aku juga, jadi tunggu saja di dalam, aku akan segera kembali."

"Tidak," Natalya mencoba membuka pintu mobil, tetapi tangan Alfred melewati jendela dan menahannya.

"Tetap di situ. Ikuti kata suamimu ini, oke? Lanjutkan saja tidurmu di dalam."

Tanpa sempat Natalya menyanggah, Alfred pergi dengan berlari. Wanita itu cuma bisa menyandarkan dirinya sambil mendongak di kursi.

Natalya tidak tahu bahwa langit musim panas bisa secerewet langit musim gugur. Rasanya dia tidak memejamkan mata begitu lama tetapi mendung sudah melingkupi seluruh bagian langit seolah dari awal memang ada di sana.

Ini mengingatkannya lagi pada kejadian di bandara. Tetapi setidaknya ini nyata dan Alfred juga melihatnya. Dia tidak berhalusinasi dan paling tidak dia aman dari kekacauan liburan karena faktor psikologis.

Alfred tidak kembali juga bahkan ketika hujan menjadi benar-benar lebat dan kombinasi mendung pekat dengan pohon-pohon telah mengubah sekitar menjadi malam. Natalya mengubek tasnya dan segera menaruh ponsel di telinga—

"... Sialan kau," Natalya menaruh lagi ponselnya dengan kasar begitu melihat ponsel Alfred ternyata ditinggalkan di dekat persneling. Ia membanting diri ke kursi. Lagi.

Ada bunyi-bunyian aneh di atap mobil. Kadang seperti sesuatu yang digesekkan dengan kasar dan dalam, kadang seperti ketukan yang keras. Natalya—dengan penalaran cepatnya—segera menyimpulkan bahwa Alfred telah memarkirkan mobil mereka di bawah ranting yang rendah dan besar; dan awan memang sengaja memuntahkan butiran hujan yang lebih besar di atas kepalanya.

Natalya kembali tidur.


Dan terbangun saat hujan sudah reda.

Dua jam setelah kepergian Alfred.

Natalya menurunkan kaca jendela dan mengulurkan tangan, memastikan bahwa gerimis kecil pun sekarang tak ada.

Dahinya berkerut ketika menarik tangannya kembali. Apa di Hawaii memang lumrah terjadi hujan berwarna merah? Setahu Natalya, deviasi tentang hujan, kalaupun ada di muka bumi, kemungkinan terjadinya mungkin sekian nano persen. Dia segera keluar dari mobil—

—hanya untuk mendapati Alfred.

Mulut Natalya terbuka lebar dan matanya membelalak besar. Kulit pucatnya bertambah putih, darah seperti disedot dari tubuhnya, "ALFRED!"

Tetes merah menghujaninya. Darah Alfred. Darah Alfred yang tergantung terbalik di dahan pohon dengan sekujur tubuh penuh luka. Bagian atas mobil bergores kasar, dan tangan Alfred terjuntai juga kuku-kukunya terkelupas seakan baru mencakar atap mobil itu; meronta setelah tergantung dan tubuhnya disayat serta digores dan dicongkel di beberapa bagian. Bajunya robek di sana-sini. Wajah Alfred pucat dengan dilelehi tetesan darah dan matanya membelalak, kacamatanya tanggal entah terlempar ke mana.

Natalya mundur perlahan dan menggeleng, tidak, ini tidak nyata, Alfred masih hidup dan dia sedang mencari pertolongan—lalu dia mendongak lagi. Nyata, tidak? Nyata—nyata. Wujud itu dapat dia sentuh. Dingin dan kaku. Sedikit basah karena mandi darah.

Dan, Natalya berteriak sampai berlutut.

Tiba-tiba jasad Alfred jatuh terjun ke depan wajahnya dalam keadaan masih tergantung, dengan mata yang menatap Natalya lekat-lekat tapi kosong tanpa jiwa.

"Aarghh—"

"—lya!"

"—talya!"

"Natalya!"

Natalya mengerjapkan mata. Cerah, terang. Jalanan yang masih lebar. Mobil yang berhenti. Beberapa pohon. Alfred yang memandang wajahnya khawatir. Lagi, dia mengerjapkan mata. Masih nyata. Tidak ada deretan pohon yang lebat dan hujan darah Alfred.

"Kau mimpi buruk?" tangan Alfred meraba keningnya. "Kau berkeringat dingin."

Natalya mencerna suasana. Mimpi, benar-benar mimpi. Tapi seperti benar-benar nyata. Lalu dia memicingkan mata, agak jauh di depan sana ada daerah yang terlihat seperti menyempit dan punya lebih banyak pohon.

"Kembali!"

"... Ha?"

"Kembali. Kita pulang. Atau cari tempat lain. Jangan ke sana. Ini perintah. Kembali, Jones. Tidak boleh ke sana," Natalya meracau dengan mata tanpa berkedip yang kosong, dan kepalanya menggeleng-geleng cepat.

"Hei, hei, tenanglah. Ada apa memangnya? Kau tiba-tiba kelihatan sakit."

"Akan kuceritakan kalau kau memutar mobil ini kembali dan meninggalkan jalan ini. Cepat."

"Tidak jadi hunting fo—"

"Tidak. Tutup mulutmu dan segera tinggalkan jalan ini."


"Jadi begitu."

Alfred lalu bergabung dengan Natalya di bangku panjang itu, memunggungi toko kecil tempat Natalya membeli sekaleng minuman soda yang kini sedang dia pegang erat-erat, tanpa ia teguk sedikit pun meski isinya telah kontak dengan udara luar selama sekian menit. Alfred lalu membuka kaleng minumannya dan meminumnya tiga regukan.

"Apa sebelum kita pergi kau sempat membaca buku-buku koleksiku di apartemen?"

Kening Natalya bergaris-garis saat dia menatap Alfred, "Apa hubungannya?"

"Aku punya beberapa buku tentang legenda urban di Hawaii. Apa yang kaualami sama persis dengan apa yang pernah terjadi di Morgan Corner, tidak jauh dari tempat kita berhenti tadi."

Natalya menunduk lagi, kaleng di tangannya mencekung dan isinya sedikit meluber. Punggung tangan Natalya memutih melakukannya. Tangan Alfred pun melingkar di pundaknya. "Kau hanya bermimpi. Jangan takut. Cuma mimpi. Mim-pi. Aku ada di sini. Semua itu tidak nyata."

Alfred ingin tersenyum gembira ketika Natalya merebahkan kepala di pundaknya. Wanita ini bukan tipikal orang yang akan membalas kontak fisik semudah Alfred menyuarakan sebuah tawa. Dia menjawab kasih sayang yang diwujudkan lewat sentuhan bukan dengan cara gamblang. Bisa dihitung berapa kali Natalya bisa membalas pelukan Alfred kalau Alfred tidak memancingnya dengan kontak lain yang lebih jauh. Sesulit dia membuka hatinya dia merespons kasih sayang yang diberikan pada fisiknya.

Tangan Natalya membalas pelukan Alfred pada pinggang laki-laki itu dan dia mengubur wajahnya di kerah kemeja Alfred, bergumam rendah di sana, "Aku takut."

"Kehilanganku?" satu kecup pada kepala, "Setidaknya detik ini aku masih bersamamu. Mau pergi atau pulang ke hotel saja? Oh tapi kalau pulang hotel, tentu ada kompensasinya, Manis," dia melirik licik pada Natalya. "Ow, ow—"

Natalya melepaskan pelukan berikut menyertakan satu pukulan pada bahu Alfred. "Kau sudah mendapatkannya tadi malam. Dan yang tadi malam lebih mengerikan daripada yang pernah kau lakukan sebelumnya."

"Perlu kujelaskan arti bulan madu?"

"Tidak perlu. Tidak penting," Natalya melempar kalengnya ke tempat sampah dan membiarkan isinya berhamburan saat dia membuangnya, lalu berjalan dengan kaki menghentak sampai ke mobil.

"Jadi, jadi, kita ke mana sekarang?" Alfred masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. "Mau ke mana? Sebut saja, akan kubawa kau sebagai ganti yang tidak jadi tadi."

"Honolulu. Kembali saja," Natalya menopangkan kepalanya di atas tangan yang ditekuk di bingkai jendela. "Berkeliling."

"Aye-aye, captain!"

Natalya diam saja di sepanjang perjalanan kembali ke Honolulu, tetapi dia tidak tidur sama sekali. Alfred sesekali mengajaknya bicara namun dijawabnya dengan amat singkat seolah tak punya niat. Tubuhnya kaku dan dia hanya mau memandang ke jendela. Tetapi satu hal yang membuat Alfred rela membiarkan semuanya adalah tangan Natalya yang tidak mau membiarkan dia menyetir dengan dua tangan.

Natalya tidak mau melepaskan genggaman tangan mereka semenjak mobil dinyalakan.


"State Capitol," ucap Natalya sambil mengeluarkan kamera dari tasnya ketika mereka sudah masuk ke dalam keramaian Honolulu kembali.

"Siap!" dan Alfred memperhatikan GPS, "Delapan menit dari sini. Siapkan kamera! Apa kita perlu turun di depan sana untuk memotret?"

"Sebentar saja. Jangan lama. Cukup satu-dua foto. Aku tidak mau berlama-lama."

"Aah, as you wish, missus! Kita menuju ke sana!" Alfred mempercepat perjalanan mereka, menyalip dengan tangkas dan tak menghiraukan Natalya yang menegurnya karena terlalu gesit. Delapan menit perjalanan jadi lebih singkat dua menit. Alfred memarkir mobil itu di dekat sebuah mobil lain berwarna silver ketika tiba di tepian jalan masuk menuju gedung pemerintahan tersebut.

Natalya turun dan mengarahkan kameranya ke gedung tersebut. Agak menyamping, dia mulai membidik State Capitol dari sisi kanan gedung. Dia mengeker melalui kameranya, namun keningnya mengerut. Matanya memicing melalui lubang kecil kamera tersebut, memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Ah, barusan tidak ada orang di halaman—dimaklumi karena hari ini bukan hari kerja—tapi sekarang ada. Cepat sekali datangnya. Dan terlebih, dari arah mana?

Kejanggalan itu membuat Natalya tidak jadi memotret. Dia mundur dan memperhatikan dari tempatnya berdiri.

Tidak ada.

Dia mengintip lewat kameranya lagi; ada.

Mundur lagi; tidak ada.

Dia mundur. Tetapi karena lebih percaya pada logika dan kemungkinan akan dirinya yang masih berhalusinasi, dia membuktikan sekali lagi dengan menggunakan kamera itu.

Ada. Dengan seorang anak kecil kali ini. Wanita dengan pakaian hitam dan rambut digelung tinggi, serta tanaman yang melingkar di kedua pergelangan tangannya itu lagi-lagi hadir. Dan tetap memandang Natalya. Di samping tubuhnya, berdiri seorang anak yang sebelumnya tidak ada sama sekali. Natalya memperbesar bidikannya.

Lalu dia melemparkan kamera itu. Untung saja talinya masih melingkar di leher, atau kalau tidak dia harus menggantinya dengan yang baru karena gerak refleks barusan. Dia memalingkan wajah dan segera memasuki mobil lagi, kali ini dia membanting pintunya lalu menguncinya sendiri.

"Nat! Natalya—hei, hei, kau kenapa lagi?"

Natalya memijat keningnya, tak peduli pada Alfred yang duduk beringsut pelan di kursi pengemudi untuk mendekat padanya.

"Hei, hei," dia menepuk pelan lutut Natalya. "Mengalami sesuatu yang mengerikan lagi?"

Natalya menatap Alfred, "Kau melihat seseorang di halaman gedung itu?"

Alfred menoleh lalu mencermati bagian depan State Capitol, matanya menyipit sebentar lalu dia berbalik pada Natalya lagi. "Tidak ada siapa-siapa."

"Aku ..." Natalya menggantung kalimatnya, melamun untuk beberapa saat. "Melihat seseorang di sana. Perempuan, pakaiannya hitam, rambut digelung tinggi. Dan kesekian kalinya aku melihat dia bersama anak kecil. Seperti bayi yang baru bisa berjalan. Dan wajahnya," Natalya menutup mata dan menarik napas dalam-dalam, "berlubang. Setengahnya saja, dan matanya yang lain membelalak lebar. Seperti sedang memandangiku sambil tersenyum jahat."

Sekali lagi, Alfred memastikan dengan melihat ke State Capitol. Ada satu—oh, dua—pengunjung yang berjalan mendekat ke gedung, itu saja. Tidak ada dua siapapun yang terlihat seperti yang Natalya bicarakan.

"Kurasa sebaiknya kita pulang saja," Alfred mengeluarkan kunci mobil. "Kau memang butuh istirahat. Tidak apa-apa, aku tidak akan menagih apapun darimu sampai di hotel nanti," suara Alfred bernada mencandai, "Aku akan menemanimu tidur agar kau tidak perlu takut seperti tadi lagi."

Natalya tidak menjawab sama sekali. Dia memandang jalan dengan ekspresi seperti patung tanpa nyawa. Alfred mengusahakan agar hotel lebih cepat mereka capai.


Ketika Natalya terbangun, ada bau cokelat panas. Pandangannya menjelas beberapa saat kemudian—ada Alfred yang sedang duduk di atas tempat tidur, bersandar pada sisi kepala ranjang dan meminum cokelat panas sambil membaca buku panduan perjalanan. Dari pakaiannya, laki-laki itu pasti sudah mandi. Natalya beringsut untuk duduk.

"Selamat pagi," Alfred memberi senyum. "Tidak mimpi buruk lagi, 'kan? Kau tidur dua belas jam penuh tanpa terbangun."

Natalya memijat kepalanya. Agak sakit juga. Tidur terlalu lama tidak pernah baik untuk tubuhnya, tetapi dia tetap sering melakukannya. Terlebih ketika pikirannya butuh istirahat.

"Tidak terganggu lagi, bukan? Kurasa kau hanya kelelahan," Alfred mendekat pada wajah Natalya dan menekan punggung tangannya ke kening Natalya. "Oh, normal. Bagus. Berarti, siap untuk rencana hari ini, Nyonya?"

"Hng ..."

"Ayo, ayo, bersemangatlah!" Alfred menaruh cokelat panasnya di meja lalu mengangkat kedua tangan Natalya ke atas sambil menggoyangkannya, "Semangat, semangat!"

"Berhenti membuatku jadi bonekamu, pryhožy."

Alfred tertawa keras kemudian menjatuhkan dirinya di pangkuan wanita tersebut. Memandang dari bawah tidak membuatnya memudarkan senyum—Natalya dari sisi manapun tetap terlihat bagus baginya walau dia sedang tidak dipandang balik. Dia mencolek dagu Natalya dan begitu senang melihat wanita itu tampak risih diganggu saat kesadarannya masih belum pulih benar.

"Kau memarahiku tapi sambil memujiku tampan, oh ya ampun, Natalya, bilang saja kau ingin bermanja padaku pagi ini."

"... Tsk."

Alfred bangkit, "Aku belum menciummu sebagai ucapan selamat pagi," lalu diciumnya Natalya. "Mm, siap untuk Pantai Waikiki hari ini?"

"Tidak sebelum kau mengabulkan permintaanku."

"Ya, ya, ya—"

"Cium aku lagi."

Alfred tertawa kencang dan cuma bisa memeluk Natalya sambil menyembunyikan wajahnya di bahu istrinya untuk menghentikan tawa itu, "Dasar kau," dia menggeleng, lalu mengulangi ritual pagi mereka tersebut. Natalya mengalungkan tangannya di leher Alfred, membuat mata mereka sama-sama terpejam, dan ia melemahkan dirinya untuk jatuh di bawah Alfred tanpa melepaskan sedikit pun kontak yang terjadi. Lalu Alfred tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain dengan kancing piyama Natalya.

Oh, sepertinya rencana untuk pergi ke pantai harus tertunda beberapa saat.

tbc.


A/N 2: semua kejadian yang dialami Natalya di hawaii (yang di bandara itu murni buatanku sendiri) kuambil dari urban legend yang kubaca dari ww3 . hpu . edu /kalamalama /archive /2610 /sub /Etcetera dot htm.