Ide ini muncul begitu saja tanpa permisi, bila ingin meninggalkan flame maka salahkan otak saya yang mulai karatan karena kebanyakan mikirin (ganasnya neraka) UN. Terima kasih.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

-000000-

Kuroshitsuji© by Yana Toboso

(tolong sumbangan seikhlasnya untuk saya agar dapat memiliki hak cipta Kuroshitsuji. Nanti saya kasih nomer rekeningnya) #KAGAK

.

.

Special Black Bridal For Her

by AlayChildren

.

.

.

Rating : T (buat jaga-jaga) ― Genre : Friendship/Hurt/Comfort

.

Summary :

Keinginan polos seorang Elizabeth sebelum menemui ajalnya. Alois dibuatnya tercengang karena ini bukanlah sekadar permintaan biasa.

-000000-

.

.

.

.

.

.

.

.

WARNING! (WAJIB dibaca) :

Fic ini menyebabkan anda mengalami 5 komplikasi penyakit parah sekaligus karena banyaknya typo bertaburan, OOC-nya karakter, crack pair, cerita yang nggak logis, kata-kata pasaran dan kurangnya feel yang didapat. Demi melindungi masa depan yang cerah, tekan tombol backspace bila sudah tidak kuat!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

One of Two :

Elizabeth's Last Wish

.

.

.

.

.

.

"Alois pernah melihat orang menikah, tidak?" Bibir mungil gadis bersurai keemasan melontarkan pertanyaan tidak lumrah bagi pendengaran seorang Alois Trancy.

"Eh?!" Telinga laki-laki manis itu merasakan sensasi tak biasa begitu mendengar sebait kalimat 'asing' yang tiba-tiba diucapkan dari sahabatnya ini. "Uhm… pernah sih, memangnya kenapa?"

Pipi perempuan bermarga Middleford pun merona. "Yah, tidak apa-apa sih… aku suka soalnya." Jelas Lizzy panjang lebar. "Kau tahu? Itu sangat indah! Aku juga pernah melihat pesta pernikahan paman sebulan yang lalu. Saat aku terakhir bisa keluar dari rumah sakit… meski hanya sesaat. Hehehe…"

Orb hijau muda miliknya yang terindah berbinar jelas di sela-sela bulu mata lentiknya yang lebat. Alois menyukai hal itu di setiap hari-harinya memiliki percakapan yang mempertemukan dia dengan Elizabeth di rumah sakit yang sudah seperti tempat tinggal bagi sahabatnya sejak lima tahun silam.

"Oh, begitu…" Jawab Alois berusia dua tahun lebih senior daripadanya. "Hehehe…"

"Iya, dan aku masih ingat sampai sekarang. Kenapa aku ingat? Karena itu hal yang―sekali lagi―benar-benar indah! Indah sampai aku tidak tahu mengucapkan kata apa lagi selain itu…!" Seru perempuan itu. Pipinya merona lagi karena takjub mengingat kembali apa yang telah ia saksikan pada upacara kebahagiaan di waktu itu.

Bagi Lizzy, dunia luar sana adalah kebebasan yang telah dia idam-idamkan. Apa pun yang telah ia dapat dari sana, dibicarakannya saat kembali kepada Alois seolah-olah dirinya paling mengetahui seperti apa, bagaimana, dan siapa itu dunia. Di saat lain, Alois bisa menilai sisi kejam dari kemunafikan dunia itu sendiri mampu ditepis dengan senyum manis dan keceriaan abadi yang terpancar dari gadis itu. Diketahui dari setiap intonasi nada bicara, gestur serta gerak-gerik… dan segalanya.

Di matanya, Lizzy adalah sosok inspiratif pembangkit semangat hidup, yang telah mengusung gelapnya kefrustasian batin menuju cahaya gemilang tanda adanya secercah harapan bila ingin berusaha bertahan di tengah dunia yang penuh ambigualitas. Aura positifnya mengalir terus tanpa berhenti disalurkan kepada Alois secara tak langsung.

Dalam lubuk hatinya telah mutlak menyukai diri Elizabeth sebagai seseorang yang istimewa, meski bukan dalam artian permainan cinta.

"Lalu, apa saja yang kamu ingat saat itu?" Tanya Alois sambil tersenyum. Kedua tangannya ia topangkan pada dagu dan bertumpu pada kasur yang ditempati gadis sepuluh tahun itu, mendekatinya agar dapat menyimak perkataannya lebih jelas.

"Uoh… banyak sekali loh, Alois!" Bibirnya membulat, lucu sekali. "Ada kue, bunga lili, mawar putih, orang-orang berpakaian indah… ah, pokoknya indah, indah, indah! Aku terlalu senang!" Matanya yang terpejam mengerut gemas seperti kepalan tangannya, serta lengan yang terbuka lebar. Dirinya seperti melihat keajaiban dunia kedelapan saja.

Sontak Alois cekikikan geli melihat polah tingkah Elizabeth. "Kamu senang sekali. Apa sih.. istimewanya dari acara itu untukmu?"

"Karena…" Lizzy seimut mungkin menodong wajah sahabat semasa kecilnya itu dengan telunjuk. "Semua orang di hari itu terlihat bahagia! Dan, di saat mereka bahagia… wajah mereka terlihat cantik tanpa terkecuali!"

Jawaban yang terlalu lugu dan polos. Sesaat mata laki-laki itu membulat.

"Hei, kamu kira laki-laki juga cantik? Berarti aku cantik juga, dong…" Canda Alois berpura-pura berperilaku selayaknya wanita.

Mereka berdua tertawa lepas kemudian.

"Cantik dalam artian lain, Alois…"

Lemahnya keadaan anak itu tidak membuat semangatnya ikut melemah. Kekuatannya yang saat ini menjadi senjata guna menggempur komplikasi jantung dan asma yang tengah mendera.

Separuh dari dunianya adalah Elizabeth, ia adalah anak yang istimewa. Meski bisa dikata kelakuannya sudah tidak pantas dilakukan lagi pada usianya yang sudah sedemikian dewasa itu.

Namun, selama mereka berdua bisa tertawa dan berbagi bersama,

bagi Alois Trancy adalah lebih dari cukup.

Sekali lagi, karena separuh dari dunianya adalah Elizabeth.

.

-000-

.

Tapi pada kenyataannya, keabadian itu memang mustahil diciptakan di tengah kefanaan dunia ini. Kebahagiaan tak lebih dari fatamorgana dalam peradaban yang pasti akan hilang seiring waktunya pada masing-masing jiwa yang bersemayam.

Semua kumpulan kata dramatis yang membentuk sebuah paragraf di atas berlaku penuh untuk Alois saat ini. Takdir yang mempertemukannya dengan kenyataan pahit sangat tidak bisa dielakkan, sekuat apapun kakinya berlari dan terjatuh. Ia biarkan raganya hancur menjadi abu tanpa makna dalam imajinasi. Kepercayaannya pada cerahnya masa depan yang akan dilewati dan hangatnya rasa berbagi luluh lantak oleh bengisnya keputusan langit.

Hampa, hanya itu yang dirasakan. Sulit dibilang apakah ia menangis, ataupun marah. Seolah tercampur menjadi satu lalu sulit mendeskripsikan kombinasi emosi tersebut.

Mata dan hatinya diwajibkan untuk kuat, sekuat apa yang sedang di alami perempuan sahabatnya ini. Tak habis pikir, apa yang telah mempengaruhi Elizabteh sebelumnya bila ia bisa sekuat ini dalam mengarungi detik-detik di saat terbaring kritis. Hampir seluruh tubuhnya berhiaskan selang penghubung cairan kimia, antibiotik memualkan serta tajamnya suntikan dan infus yang merusak kulit mulusnya berkali-kali. Tidak ketinggalan, alat detak jantung pun terpasang manis tepat di samping gadis polos itu.

Alois kalah telak dibandingkan Elizabeth.

"Alois kenapa menangis?" Tanya Lizzy mungil dalam bekapan plastik transparan dengan selang pemasok oksigen. Merdunya keceriaan yang terkandung dalam setiap intonasi masih ada. Kedua mata indahnya adalah satu-satunya anggota tubuh yang dapat bergerak sebagaimana normalnya. Tiga perempat pergerakannya terkunci atas belenggu-belenggu kedokteran yang memberikannya ketidaknyamanan.

"Tidak kok…" Ia menarik paksakan batinnya yang tersedot lubang kepedihan. Selama itu terus berlangsung, aliran mungil berkilauan tak henti-henti terjun menetes dari rahang Alois.

Lizzy bisa menangkap kebohongannya. Dengan acuh tak acuh, seakan ia mencerna kata-kata palsu bocah dua belas tahun itu. Sekuat tenaga Lizzy kumpulkan oksigen,

"Aku mau bilang sama Alois…"

Mengutarakan sebuah perkataan. Alois menjeda aksi tangisnya sejenak.

"Aneh tidak, sih…"

Perkataan sakral yang pernah ia dengarkan dari anak berumur sepuluh tahun. Sekali dalam seumur hidup.

"Kalau aku bisa menikah sama kamu?"

Sepuluh tahun, ingat. Usia Elizabeth Middleford adalah sepuluh tahun. Jantung Alois terasa ingin copot. Telinganya bergidik. Perkembangan psikologis yang lambat karena terus-menerus berdiam di rumah sakit membuat perempuan itu…

"Soalnya, aku lihat semuanya senang. Suasananya juga menyenangkan. Aku sering bilang 'kan? Ada renda-renda cantik, kue, mawar putih, lili, dan banyak lagi…"

Alois terpatri. Kosakata di otaknya hilang total setelah dikumandangkannya sebuah ucapan tak biasa oleh gadis marga Middleford.

"Terkadang, aku berpikir… apa aku bisa merasakannya? Aku ingin jadi pengantin bergaun putih bersih yang indah sekali… cantik dan wajahnya berseri-seri… memakai mahkota mungil berkain chiffon transparan putih, menutupi separuh wajah. Aku masih ingat betul perempuan yang digandeng paman seperti itu rupanya. Aku suka…"

"Lizzy…" Genangan baru dari sudut mata Alois siap menumpahkan air mata lagi.

"Terus, paman yang menggandengnya terlihat gagah sekali memakai jas hitam. Melihat keduanya, rasanya aku mendapat kebahagiaan tersendiri. Aku pernah membayangkan sendiri loh, kalau kamu sedang memakai jas itu, hihihi… tampan~"

"Sudah ya Lizzy, kamu sedang pakai oksigen. Nanti sesak, dadamu sakit. Terima kasih banyak buat pujianmu itu." Sehalus mungkin anak bermarga Trancy menyetop pembicaraan agar pikirannya tidak melambung jauh memikirkan kalimat terakhir.

Jeda selama beberapa menit. Kedua insani berbeda jenis saling bertatapan. Sampai akhirnya,

"Aku mau jadi pengantin bersama Alois. Aku mau merasakan bahagianya menikah."

Yang bersangkutan tertegun. "Lizzy, kamu jangan bercanda, ah."

"Aku serius. Aku mau memakai baju pengantin yang cantik... dan melihat Alois memakai jas hitam keren, lalu menggandengku erat seperti saat waktu kita bersama setiap hari…" Tangan laki-laki pemilik orb azura digenggam erat Elizabeth.

"Kamu, bagaimana bisa―"

Sebelum terlambat. Jangan hancurkan keinginannya, Alois. Biarkan sahabatmu ini merasakan kebahagiaan sejati bagi hidupnya. Setidaknya, senyuman ketenangan bisa menghantarkannya saat ia tak bernyawa lagi.

Lebih tepatnya, tak bernyawa lagi untuk tiga bulan yang akan datang.

Sebenarnya, permintaan aneh anak ini tidak lebih. Maksudnya, Elizabeth benar-benar murni hanya 'menginginkan' kebahagiaan dari pernikahan itu. Bisa dibilang, ia menganggap pernikahan sebuah momen yang penuh euforia melambangkan keadaan dunia yang ia inginkan. Bukan sebagai sumpah setia untuk sehidup semati sebagai suami istri pada umumnya. Jujur, Elizabeth masih terlalu polos untuk memikirkan pranata keluarga serta unsur-unsur yang lebih dalam dari luasnya definisi pernikahan. Hanya itu saja.

Maka dari itu, Alois Trancy hanya membisu sambil menatap kosong genggaman tangannya dan tangan daripada Elizabeth Middleford. Syair-syair kepedihan pada saat-saat terakhir yang membahagiakan dalam ikatan erat persahabatan jelas tergambar antara mereka berdua. Laki-laki itu harus menggunakan kesempatan kecil ini untuk menatap hijau zamrud kesukaannya sesering yang terdapat pada dua bola mata Lizzy―begitulah panggilannya.

.

.

.

.

.

.

- ELIZABETH'S LAST WISH : END -

.

.

.

.

.

.

.

.

.

HOLLLLLAAAAH EPRIBADIEEEH! ! ! ! AIEM KOM BEKKKK! ! ! ! ! *nangis bahagia*

Gak perlu ba-bi-bu, saya cuman membeberkan kalau basic dari tema fic ajal (alay, jelek, ancur, lebay) ini adalah majalah infotainment yang pernah saya baca, dan waktu itu ada artikel tentang anak kecil nikah sebagai permintaan terakhirnya sebelom mati atau apa gitu… yah, pokoknya yang berkaitan dengan hal begituan deh. Lupa-lupa inget saya, karena hal itu terjadi sudah lama sekali. Waktu itu saya masih sekitar kelas 2-3 SD (ciusan dah). Dan yang paling saya inget, ada fotonya. Anak kecil umur 10 tahunan cewek dan cowok pakai baju pengantin. Co cwit gile~ XD

Dengan biadab, saya salurkan ingatan remang-remang ternistah itu menjadi fic terbobrok yang pernah ada di peradaban ini. Yang akhirnya pas saya abis bikin ginian pun batin segera teriak, INIAPA? INIAPAAN?! HELL BGT DAH GUE BIKIN CERITA NGGAK LOGIS! AKAL SEHATMU MANA, CHILDREN?! APA ELO BUTUH DITELEPONIN RSJ SEKARANG?!

Oiya, fic ini cocoknya rated T apa K+ menurut anda? Tolong dijawab lewat review, ya.

Terakhir, sampai jumpa pada chappy kedua nanti! (dengan catatan readers masih kuat mbaca fic paling ajal milik saya ini)

.

.

Salam titan :3

.

Review/flame?