Game On
.
Characters belong to Masashi Kishimoto.
.
This Is SasuHina Story!
Alternative Universe! Out Of Character! Plot Rush! Unbetaed! Grammatical Errors! Typical Errors!
You've been warned!
.
And please note that I already got you warned for possibility of big ass twist in the future.
.
Inspired by an romance action-romance yang saya lupa judulnya T.T
.
.
.
Gedung utama Anbu Holding berdiri kokoh dikelilingi tembok dan pagar tinggi. Sistem keamanan ketat dengan kamera pengawas super canggih sudah cukup memberikan tanda bahwa gedung ini bukanlah gedung perusahaan biasa.
Sampai sekarang, Hinata tak mengerti mengapa orang-orang seolah bertingkah dan beranggapan bahwa tidak ada yang menarik dari perusahaan ini. Tapi jika menebak-nebak, Hinata pikir orang dalam Anbu pasti memiliki cara sendiri untuk menutup mulut orang-orang yang curiga atau mencoba mengendus apa yang ada di balik tembok kokoh gedung itu.
"Tanda pengenal," petugas keamanan yang berjaga di pos gerbang utama langsung memintanya tepat saat kaca mobil terbuka. Mata Hinata melirik senjata api yang terletak di bagian pinggang si petugas. "Nona Hyuuga?" wajah sangar petugas itu sedikit melunak, binar hormat juga terlihat meski samar. Hinata memalingkan muka. Ia tidak menginginkan perhatian ataupun penghormatan seperti itu. "Anda boleh masuk, Nona," ujar petugas itu lagi sebelum menyerahkan tanda pengenal Hinata kembali.
Tanpa repot menutup kaca mobilnya, Hinata kembali melaju pelan, kini menuju areal parkir. Halamannya cukup luas dengan berbagai ornamen, air mancur dan tanaman menghias di tempat yang tepat. Dilihat secara kasar, orang yang melihatnya pasti tak meragukan bahwa ini adalah perusahaan multinasional.
Hinata tak menginginkan perhatian. Dan berada di tempat ini artinya mau tak mau ia akan menghadapi banyak orang dan pertanyaan mereka. Namun bagaimanapun, ia tak bisa mengabaikan perintah sang ayah untuk datang.
"Nona Hyuuga Hinata," suara seorang pria langsung menyapanya begitu ia memasuki gedung utama. "Selamat datang di maskas besar kami. Saya Kou, sekertaris ayah Anda."
Hinata menatapnya sejenak hanya untuk memberi tanda bahwa ia mendengarkan apa yang pria itu katakan.
"Ke arah sini, Jendral Hyuuga telah menunggu. Dan ini," pria itu menyodorkan sebuah kartu. "Tanpa kartu ini Anda tidak akan bisa mengakses fasilitas apapun di gedung ini."
"Terima kasih," gumam Hinata kemudian mengikuti langkah Kou menuju elevator.
Elevator yang mereka naiki seakan bergerak begitu lamban, setiap detiknya terasa begitu menyesakkan untuk Hinata. Ia belum mendengar kabar tentang sang ayah beberapa bulan belakangan dan kemarin, lelaki paruh baya itu memintanya kemari.
Pada lantai dua puluh satu elevator berhenti, pintunya terbuka. Mereka kembali berjalan hingga sampai di depan sebuah pintu dengan dua petugas berseragam berdiri tegap di depannya.
"Identitas," ujar salah satu dari petugas, Kou memperlihatkan kartu identitas yang menggantung di depan dadanya kemudian menginformasikan tentang identitas Hinata. Mereka melewati beberapa pintu lagi sebelum akhirnya sampai di kantor ayah Hinata.
"Jendral Hyuuga?" ujar Kou setelah membuka pintu, Hinata masih berdiri di balik pintu. "Hinata sudah disini."
"Biarkan dia masuk," mendengar suara sang ayah entah mengapa membuat perutnya menegang.
Konyol bagaimana Hinata merasa seperti seorang murid bermasalah yang diperintahkan masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Diam-diam Hinata meneguk salivanya sendiri sebelum menghadap sang ayah yang duduk di balik meja mahoni.
Hyuuga Hiashi terlihat tajam dengan setelan jas hitam yang rapih. Dengan penampilan seperti itu rasanya tak heran jika orang-orang tak mempercayai tentang usianya yang telah menembus kepala lima.
"Ayah," Hinata berusaha untuk terdengar tenang, ia sedikit menundukkan kepalanya saat sang ayah berdiri dari kursi.
"Keterlambatanmu bukanlah sesuatu yang aku favoritkan, Hinata."
"Maaf, Ayah."
Hiashi menghembuskan nafas panjang yang terdengar berat. "Duduklah!"
Hinata melakukan apa yang diperintahkan setelah melepas parka coklatnya.
"Kau tahu kenapa kau disini sekarang?" tanya sang ayah.
"Tidak."
"Aku yakin kau tahu bahwa ini bukanlah perusahaan biasa, kau cukup cerdas untuk menebaknya," ujar Hiashi ringan, Hinata mengangguk. "Kau tahu apa yang kami lakukan disini?" kembali direspon dengan anggukan Hinata. "Bagus. Ini," kali ini Hiashi menyodorkan sebuah berkas kepada Hinata.
Hinata berkedip dua kali sebelum mengambil berkas itu, ia buka kemudian perlahan ia cermati isinya. "Apa ini?"
"Kau ditetapkan sebagai seorang agen," jawab Hiashi tanpa basa-basi.
"Apa? Ayah... aku?"
Hiashi menyandarkan punggungnya di kursi sambil menatap sang putri. Dan Hinata menyadari tatapan itu. Lagi-lagi, ia mengecewakan ayahnya.
"Berhenti menjadi orang yang lemah. Sekarang, setidaknya kau bisa berusaha membuktikan bahwa dirimu berguna."
"Aku... tidak bisa, Ayah."
"Kau pikir aku memberimu pilihan?!" tanya Hiashi tajam. "Kau keluar dari universitas bergengsi untuk hal bodoh yang kau sebut cinta! Kabur dari rumah, sepenuhnya mempermalukan aku dan ibumu! Kau menghancurkan dirimu sendiri dengan membelot dari apa yang orang tuamu katakan! Aku memberimu kesempatan untuk menata hidupmu kembali, Hinata. Jangan lagi memberiku kekecewaan."
Hinata memejamkan mata, menarik nafas perlahan. Setiap kata itu seperti pecahan kaca yang dihujamkan ke dadanya.
"Dengar, Hinata. Ibumu dan aku tahu bahwa kita tidak bisa selamanya menjadi keluarga yang utuh. Pekerjaanku tidak memberiku ruang untuk itu," nada bicara Hiashi melunak, namun hawa yang dibawanya masih sedingin es. "Ibumu hanya memilikimu dan kau terus membuatnya kecewa. Kali ini aku tak memintamu, aku memerintahkanmu."
"Kenapa aku?" tanya Hinata datar. "Kau tahu pada akhirnya aku hanya akan menghasilkan kegagalan."
"Misi ini... membutuhkan seseorang sepertimu," jawan sang ayah tenang. Hinata mengangkat wajah dengan raut bertanya. "Secara fisik mungkin kau jauh dari standar. Tapi aku tahu kau mampu menerjemahkan dan menjabarkan situasi dengan baik. Kami membutuhkan itu," tambahnya jujur.
"Kau bisa menemukan orang seperti itu dimanapun. Tidak perlu aku."
"Kau cukup bekerja dengan otakmu. Biar partnermu yang mengurus sisanya."
"Aku masih tidak mengerti," Hinata menggeleng.
Hiashi kembali menghela nafas. "Ini tidak begitu penting tapi aku akan mengatakannya jika dengan ini mungkin kau bisa lebih memahami. Kau ceroboh dan tak pernah menyentuh bidang ini. Itulah kenapa kami membutuhkanmu. Dan menurutku, hanya kau yang dapat bekerja sama dengan agen yang akan menjadi partnermu."
"Aku?"
"Aku tidak mengatakan bahwa kau akan menjadi pahlawan. Ini akan menjadi misi yang panjang dan berbahaya. Dan hanya satu agen kami yang cocok untuk misi ini," perhatian Hinata benar-benar ia berikan kepada penjelasan sang ayah. "Tapi... dia luar biasa sulit dikendalikan. Dia adalah bintang utamanya dan kau harus berusaha membuatnya tetap menjaga perannya dalam misi ini. Mengerti?"
Hinata menarik nafas lagi, ia tahu ia tak sedang berada dalam posisi yang memperbolehkannya untuk menolak.
"Pelatihanmu akan dimulai besok dan kau akan memegang pangkat agen tingkat dua. Jika kau terlambat besok, bukan aku yang akan memberimu kesulitan," jelas Hiashi padat. "Pastikan kau membaca berkasnya. Ko akan mengirimkan lencana dan kode akses sore ini."
"Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk bicara," ujar Hinata.
"Aku tidak ingin mendengar keluhanmu. Aku tidak punya waktu untuk itu," respon Hiashi cepat, menatap serius manik Hinata yang serupa dengan maniknya. "Hinata, tidakkah kau ingin memberikan kebanggaan pada orang tuamu? Inilah kesempatanmu. Aku tahu yang terbaik untukmu."
"Terbaik? Termasuk menjadikan putrimu sebagai agen pembunuh?!"
"Tidak ada diskusi lagi tentang ini. Keluarlah!" tutup Hiashi akhirnya.
..
...
..
"Nama?"
"Hinata."
"Selamat datang, Agen Hinata," petugas meneliti lencana yang dibawa Hinata sebelum memperbolehkannya memasuki area pelatihan. Cukup banyak orang dengan berbagai kegiatan. Rasanya Hinata ingin menghilang secara instan saat seluruh pasang mata mengarah padanya.
Mereka adalah agen pembunuh, batin Hinata berteriak. Tajam, kuat, berisi. Begitulah mereka seharusnya terlihat. Seringan kapas namun secepat kilat. Begitulah mereka seharusnya bergerak.
"Wow, lihat... siapa bayi kelinci ini?" salah satu dari mereka berironi.
"Lebih tepatnya, bayi siapa kelinci ini? Dengan begitu aku bisa menjawab bahwa dia bayi jendral kita," sahut yang lain di sambung dengan beberapa tawa sumbang.
"Hentikan, dasar kalian primitif!" seorang agen wanita mencibir kawan-kawannya dan berjalan ke arah Hinata dengan senyum ringan. "Hi. Kau Hinata, kan? Kau tahu, beberapa hari ini kau sudah jadi bahan perbincangan disini," jelasnya untuk berbasa-basi kemudian mengulurkan tangannya. "Aku Tenten."
Hinata membalas jabat tangan wanita itu namun tak membalikkan senyumannya ataupun kata-katanya.
"Senang bertemu denganmu, Hinata," tambahnya lagi.
"Hebat sekali bagaimana kalian orang-orang kaya bisa langsung membuatmu menginjak peringkat dua hanya karena jabatan ayahmu," celetuk seseorang bersurai jingga mencolok dengan nada mencemooh.
"Kubilang hentikan, Yahiko!" ketus Tenten.
Namun sebelum ia bicara lebih banyak dengan Hinata, sebuah seruan berbunyi 'Keluar kalian, bedebah keparat!' yang datang dari pintu masuk terdengar menyebar ke setiap sudut ruangan.
"Oh, mulai lagi dia," Tenten memutar malas bola matanya. "Baiklah, sampai jumpa lagi, Hinata."
"Yeah... sampai jumpa, Bunny. Cobalah untuk bersenang-senang," Yahiko masih mempertahankan senyum mencemoohnya sambil berjalan melewati Hinata.
Hinata memutar tubuhnya dan melihat sosok yang tak dikenalnya melangkah cepat ke dalam ruangan. Kaus hitam, celana panjang dan sepatu yang terlihat kasual. Penampilan yang cukup normal jika dia berniat latihan. Hanya saja surai hitamnya yang berantakan sama sekali tak membantu gaya rambutnya yang aneh menjadi terlihat lebih baik.
Hinata masih menatapnya saat sosok pria itu duduk di salah satu kursi dan menaikkan kedua kakinya ke meja. Memangnya siapa dia? Bertingkah layaknya boss? Bagi Hinata pria itu terlihat seperti berandal kampus daripada seorang agen.
Hinata memutuskan untuk menyudahi tatapannya kepada sosok itu. Sebagai gantinya, ia melihat-lihat beragam senjata yang tersusun di rak-rak yang menempel pada dinding. Kebanyakan merupakan senjata yang tak ia kenali, namun setidaknya ia tahu mana yang harus ia ambil jika partner yang melatihnya nanti memintanya untuk memilih.
Bicara soal partner, sepertinya partner Hinata ini terlambat. Agak terlalu terlambat. Di benaknya sudah membayangkan bagaimana penampilan partnernya nanti. Jika agen tingkat empat saja sudah terlihat begitu hebat di mata Hinata, bagaimana partnernya ini yang Hinata ketahui merupakan salah satu dari dua agen tingkat lima di agensi ini.
"Hey!" lamunan Hinata seketika hancur oleh suara itu.
Hinata kembali memandang sosok itu. "Ya?"
"Jika kau sudah selesai membersikan tempat ini, cepat pergi," ujar pria persurai kelam itu enteng.
"Maaf?" Hinata berkedip tak percaya. "Aku bukan petugas kebersihan."
Pria itu menegakkan posisi duduknya, tangannya mengibas pelan di udara. "Siapapun kau, cepat keluar. Kau menggangguku."
Hinata mengerutkan keningnya. "Aku bahkan tidak melakukan apapun."
"Tapi aku alergi dengan gadis berambut panjang. Puas?" balasnya sambil menyeringai.
Mata Hinata menyipit tak suka, namun ia mencoba mengabaikan pria itu. "Bukan masalahku," gumamnya.
"Wow," pria itu berdiri. "Itukah caramu berbincang dengan seorang pembunuh di ruangan penuh senjata tajam dan senapan?"
Hinata mundur selangkah agak terintimidasi dengan pria itu meski jarak mereka masih cukup jauh. "Aku menunggu pelatihku," gumam Hinata jujur, berharap ucapannya bisa membuatnya menghindari masalah dengan pria itu.
Pria itu seakan membatu untuk waktu yang cukup lama setelah mendengarnya. Mata kelamnya menatap Hinata dengan keterkejutan dan ketidakpercayaan.
"Kau... Hinata?"
"Ya," Hinata tak mengerti kenapa ini begitu mengejutkan bagi pria itu.
"Oh ini lelucon sialan!"
"Apa?"
"Mereka bilang akan memberiku seseorang untuk bekerja, bukan seekor marmut!" ujarnya sarkatis.
"Huh?" jelas Hinata tersinggung.
"Dan sekarang kau tingkat dua? Mustahil! Sial!" cercanya lagi tanpa memberikan kesempatan pada Hinata menjawab.
"Oh tunggu... kau... Agen Thunder?" bola mata Hinata terlihat seperti ingin keluar dari tempatnya. "Salah satu agen tingkat lima disini?"
Tanpa menjawab Hinata, pria itu menendang kaki kursi tempatnya tadi duduk dan melanjutkan umpatannya. "Keparat! Mereka mempermainkanku! Inilah kenapa aku berakhir dengan membunuh semua partnerku!" desisnya lebih kepada diri sendiri.
Sejujurnya, Hinata juga terkejut mendapati pria inilah yang ternyata akan melatih dan menjadi partner kerjanya. Ia sempat membayangkan lelaki gondrong bertubuh besar dengan otot disana-sini yang akan menjadi partnernya. Bukannya pria di hadapannya ini yang—sudah Hinata bilang di awal—lebih cocok seperti tipikal mahasiswa bermasalah. Memang Agen Thunder ini memiliki tubuh yang bagus sebagai seorang lelaki, tapi tetap saja diluar ekspektasinya.
"Kau ahli bertarung di bidang apa?"
Pertanyaan si pria itu tepat tertuju ke Hinata, membuatnya menghentikan segala hal yang ia gambarkan di benaknya. Namun Hinata tak juga membuka mulut untuk menjawab.
"Jadi?"
Hinata meggigit lidah pelan.
"Bidang apa keahlianmu, dungu?!" Thunder mulai kehilangan kesabarannya yang memang sangat sedikit.
"Aku..." Hinata menjilat bibirnya sebelum meneruskan. "Aku... pernah ikut pramuka."
Thunder merasakan pelipisnya berkedut mendengar jawaban Hinata. "Jadi kau ahli dalam menyelamatkan tupai dan membuat api unggun lalu menari-nari seperti kera di sekelilingnya, begitu?!" cercanya.
"Kami tidak melakukan it—"
"Aku tidak peduli!" ia memotong kalimat pembelaan Hinata. "Pasti ada kesalahan disini!"
Hinata menyerah. Pria ini menjengkelkan, irasional dan super arogan. "Bukan aku yang membuat peraturan disini," Hinata bergumam rendah, namun sayang masih bisa didengar sang Thunder.
"Ya, bukan. Kau mengikuti aturan mainku sekarang. Aturan pertama yang harus kau patuhi adalah jangan mencoba melawanku verbal ataupun fisikal karena kau masih ingin bernafas, jelas!"
"Tidak juga," gumam Hinata lagi, masih begitu rendah.
"Apa?!"
"Aku tidak benar-benar ingin tetap bernafas."
Thunder menyeringai tajam mendengarnya. "Kau berada di tempat yang tepat kalau begitu," ia melirik ke jam dinding sejenak sebelum kembali melihat Hinata. "Sembilan puluh menit. Putari halaman. Jangan berhenti," perintahnya tanpa basa-basi lebih panjang.
Lavender Hinata kembali membulat.
.
to be continued...
..
.
This would be cringeworthy I think .-.
But yea! Ini inspired dari salah satu novel yang dua taun lalu saya pinjem dan sekarang saya desperately pengen baca ulang. Sialnya saya lupa judul+authornya T.T... jadi saya lampiasin dengan coba buat genre serupa wkwkwk
Oh ya, beberapa adegan dari novel itu yang masih membekas di otak saya mungkin bakal saya tempel disini juga hhaha
Udah dipublish di wp. And... toodles~~~
Mind to review?
