Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi.

Pairing: jelas Akafuri.

Warn: Sho-ai, standart warning, dan alur maju mundur.

Aaa, g sanggup ngelihat FFN dan AO3 tapi Akafuri lama banget pertumbuhannya. Jadi, ngeprodusen sendiri deh. Ayo gelakkan semangat Akafuri.

Happy reading minna ^-^

Suara gegap gempita dengan serta merta mengguyur keheningan yang menghuni stadium basket selama beberapa detik tercengang. Seluruh penonton berdiri untuk memberikan standing applause kepada tim Seirin yang kini menang tipis atas Rakuzan. Satu skor beda kawan, tapi yang namanya menang tetaplah ditentukan walaupun hanya dengan beda satu tunjukan jari.

Tak ada yang tak gembira—kecuali tim yang kalah, tentunya—atas kemenangan Seirin dalam menghadapi tim basket beranggotakan para raja tanpa mahkota dan dipimpin oleh seorang kapten dari generasi keajaiban. Pemain—yang kalau boleh dibilang pasukan—terkuat dan elit itu akhirnya tumbang dan tim yang baru hitungan jari bentuk damai dalam mengikuti kompetisi itu kini berada di strata tertinggi.

Seirin menang dan Rakuzan kalah. Siapa yang bisa membantah?

Kagami berseru lantang—karena ia sudah berhasil mencapai tujuannya, menjadi nomor satu di Jepang—berlari menuju bench dimana anggota Seirin ber-euforia atas hasil kerja keras mereka yang berbuah hasil manis. Senyum tulus Kuroko terkembang, kali ini lebih dari sekedar tarikan halus. Para senpai benar-benar menepuk kouhai-nya dengan pukulan yang bukan main kerasnya—dan itu sakit sekali. Para Kouhai hanya bisa menerima perlakuan tidak sengaja—yang betul-betul nampak sengaja itu—dengan ringisan namun segera melupakannnya karena luapan kegembiraan.

Tapi, jika ditelisik lebih dalam, ada satu orang yang tidak benar-benar menikmati kegembiraan itu. Ia berdiri di belakang tim Seirin, seolah ia orang yang tersingkir dari kerumunan—tersisihkan. Tapi sungguh, bukannya ia kini menguasai misdirection semacam Kuroko. Hanya saja, ia memang merasa tak bisa bergabung. Matanya menatap persona yang berjalan dengan langkah yang tegap, seolah tak terlihat lemah, padahal ia baru saja dikalahkan. Namun, sekilas tadi, saat ia menatap mata itu di antara kerumunan timnya, ia merasa ada yang salah, aneh, tidak benar—ada yang berbeda dengan Akashi.

"Furihata-kun, kau kenapa?" Kuroko menelusuri kerut wajah Furihata. Meneliti bagaimana ekspresi orang itu jelas tak menikmati euforia ini. Seolah kemenangan ini sesuatu yang tak seharusnya terjadi, padahal, bukankah ini yang diharapkan oleh semua tim Seirin dari dulu—termasuk Furihata, kan?

Merasa diperhatikan, Furihata lekas merubah air wajahnya. Ia menunjukkan cengiran, seolah tak ada masalah, mengatakan bahwa tidak ada apa-apa , bergabung bersama yang lain dan berakhir dengan menerima hadiah sebuah pukulan.

"Ah, sungguh. Aku hanya merasa tak percaya bahwa tim kita menang. Yah… masih shock. Kita ternyata juara, aku terlalu senang sampai tidak bisa berekpresi."

Sungguh, jawabanmu bagus sekali, Kouki. Sangat bagus untuk membuatmu merasakan sebuah paku besar menembus hatimu sendiri.

Furihata meringis.

.

.

.

.

"Seijuurou-san."

Pemuda itu duduk di salah satu sudut taman dengan salju berserakan, salju menyerpih di sekitaran rambutnya yang tak tertutup serta pundak dan juga dua buah pahanya yang menyatu. Musim dingin belum berakhir dan ia dengan kukuh duduk disini, hanya dengan memakai jersey yang bahkan sudah tak bisa lagi memberikan hangat pada dirinya yang sudah tiga jam menunggu. Tapi, berapapun banyak waktu yang dibutuhkan asalkan ia bisa menepati janji dengannya, ia akan menunggu disini. Sampai tengah malam sekalipun.

Kembali mengecek ponselnya, ia tak menemukan apapun selain gelap pada layar ponsel—menandakan tak ada panggilan ataupun pesan masuk. Furihata menghela nafas. Sudah keberapa puluh kali ia mengecek ponsel? Tapi, kenapa Akashi tak juga menelpon?

Padahal, biasanya jika Akashi membatalkan pertemuan. Bahkan ketika terlambat sekalipun, Akashi selalu memberitahunya. Lalu, kenapa sekarang tidak? Kenapa, kenapa membiarkannya menunggu? Disini, sendirian.

Akashi itu, selalu saja membuatnya tenang. Dia seolah selalu berusaha membuat Furihata ada pada titik amannya, membuatnya sedikit demi sedikit dapat menerima Akashi. Akashi itu, meski orangnya kelihatan kejam dan selalu mengintimidasi, tapi ia selalu bersikap baik pada Furihata. Walaupun, yah, sering juga bersikap seenaknya sendiri tapi ia selalu bisa membuat Furihata nyaman. Yang perlu dipertanyakan sekarang, setelah ini, apa Akashi masih Akashi yang itu?

Ketika enam jam kemudian dan waktu jelas menunjukkan pukul sepuluh malam. Furihata mengigit bibir, frustasi antara ingin menghubungi Akashi atau tidak. Ia ingin menelpon tapi ia takut Akashi marah. Selama ini, yang selalu menghubunginya terlebih dahulu adalah Akashi. Makanya, walaupun Akashi selalu baik, Furihata tetap merasa enggan. Entahlah, dia masih takut diantara rasa nyamannya bersama orang itu.

Dan lagi, mungkin saja Akashi masih butuh menenangkan diri setelah pertandingan itu. Mungkin Akashi masih terpukul hebat, mungkin Akashi masih lelah—tentu saja, ia 'kan pemain regular—dan merasa tak punya cukup waktu untuk menemui Furihata atau sekedar menelpon, atau mungkin ia sudah membenci Seirin dan Furihata termasuk di dalamnya. Ataukah, ia sudah melupakan Furihata?

Semua pikiran buruk itu membuatnya kalut. Ia mencoba berpikir positif, tapi rasa takut itu menggulungnya cepat-cepat dan menghempaskannya pada kenyataan yang terjadi. Ia takut, takut Akashi tak lagi bersamanya dan tak lagi mencintainya.

Heh, mana pantas ia dicintai oleh seorang yang sempurna macam Akashi. Si prodigy berdarah biru yang kelewat tampan. Mimpimu Furihata, mungkin selama ini ia hanya dibohongi Akashi, dipermainkan olehnya. Tapi, kebaikan Akashi selama ini tak terlihat bohong, itu nyata dan Furihata merasakannya.

"Tak apa, baru jam sepuluh. A-aku masih bisa menunggunya sedikit lebih lama."

Dan ketika waktu tengah malam lewat, Furihata tetaplah menjadi satu-satunya persona hidup di taman itu. Seorang diri, bahkan lampu-lampu gemerlapanpun tidak lagi menemani.

TBC

Hueee, ini terinspirasi dari Zemira yang karyanya judulnya Missing Piece di AO3. Si mbaknya bikin saya penasaran bukan kepalang sampai pingin guling-guling dan nusuk sesuatu biar lega. Dan juga, terinspirasi pas Akashi yang Oreshi udah kembali dan Bukoshi melemah, hilang. Bukannya di mau menyamai karya tulisannya, ya tuhan, karya dia bagus sekali. Di ga sanggup nyamain, hanya saja, ga nahan nunggu karyanya yang tak kunjung update padahal udah nunggu sampe ileran /salah nak. Jadi, di berniat buat cerita dengan ide begitu tapi nanti alurnya beda(semoga). Alias, versi di sendiri.

Saran, kritik, dan komentarnya ditunggu. Di masih penulis amatiran yang banyak kekurangan. Apalagi dalam menulis AkaFuri .

Review?