Kamui Momo meminum champange-nya dengan sekali teguk, lalu gelas itu diletakkan di atas meja bar. Di depannya, duduk seorang pria berambut hijau lumut, yang kira-kira seumuran dengannya.
"Hei Gumiya, apa kau ingin mencari langganan baru?" tanya Momo.
Mendengar itu, Gumiya semangat. "Tentu saja! Memang ada yang mau memesan?"
"Dengan begitu aku akan dapat ekstasi ekstra bukan? Berapa banyak?" balas Momo.
"Hmm... tergantung sih. Kalau kau membawa anak SMA atau SMP, aku bisa berikan sebanyak ektasi yang kaubeli dalam dua minggu. Cukup menggiurkan tidak?" tawar Gumiya.
"Sangat menggiurkan. Pokoknya hari ini aku tidak mau sakau lagi, Gumiya." Momo mengingat-ngingat terakhir kali ia sakau. Dan ia trauma.
"Kapan dan di mana kita akan bertemu lagi?" tanya Gumiya.
Momo melirik jam tangannya. Masih setengah tujuh, "Jam tiga atau empat sore, di SukoTe's Karaoke. Bagaimana?"
"Terserah kau saja, yang penting aku dan kau sama-sama dapat untung. Ngomong-ngomong, siapa orang yang ingin kaubawakan padaku?" tanya Gumiya penasaran.
Seringai misterius terbentuk di wajah Momo, "Adikku."
Story : Criminal Romance
Disclaimer : Vocaloid belongs to Yamaha and Crypton Future Media.
Warning : AU, typo(s), misstypo(s), failed visualization, bad ending, plot hole, OOC, OOT, dan warning-warning lainnya yang tidak bisa disebutkan.
Rate : T (mungkin sedikit menjurus ke T+)
Genre : Romance and Family
Ryuuka Mikan proudly present...
Keluarga Kamui memang bahagia. Satu laki-laki dewasa, satu perempuan yang tak kalah dewasanya, dan empat anak yang perempuan semuanya.
Meskipun tak dikaruniai anak laki-laki, Kamui Gakupo dan Kamui Luka tetap bahagia. Semua anaknya telah sukses, kecuali anak ketiga yang masih kuliah S2 dan anak keempat yang masih SMA.
"Maaa! Aku berangkat sekolah dulu!"
Itu suara si gadis SMA. Kamui Gakuko, anak yang berbeda dari ketiga kakaknya. Mengapa disebut berbeda?
Pasalnya, Gakuko pernah tidak naik kelas, dua kali pula. Pernah ketahuan membawa ekstasi di tasnya, sehingga ia terpaksa dikeluarkan oleh pihak sekolah dan dipindahkan ke sekolah bermutu rendah. Anak yang keras kepala, seringkali membuat sang ayah marah-marah.
Sangat berbeda dari kakak-kakaknya.
Anak pertamanya ia beri nama Kamui Aria. Parasnya cantik, mirip dengan ibunya. Meskipun kepintarannya pas-pas saja, tapi kecantikannya lebih dari malaikat. Laki-laki di sekolahnya selalu mengantre di belakangnya. Namun sayang, Aria agak sombong, yang tak disadari oleh pihak orangtua. Sekarang Aria menjadi salah satu model majalah wanita di Jakarta, sesekali menelepon, itu pun harus dihubungi dulu, dan tak pernah sekali pun mampir ke rumah.
Lalu anak keduanya bernama Kamui Yukari. Gadis yang merupakan murid terpintar di sekolahnya, membuatnya mendapat beasiswa dan karena itu, orangtuanya tak perlu membayar uang sekolahnya. Gadis penyuka kelinci ini juga merupakan anak kesayangan ibunya. Sekarang bekerja sebagai dokter spesialis tulang di California sana. Setiap akhir bulan, ia selalu mengunjungi keluarga dan membawa oleh-oleh.
Anak ketiga bernama Kamui Momo. Dia tidak terlalu cantik, juga tidak terlalu pintar, namun Momo merupakan kategori anak yang sangat disiplin. Pekerjaan rumah selalu dikerjakannya. Dan sekarang, Momo tengah menempuh S2-nya di Jambi ini, tepatnya di STIKOM. Setahun lagi maka ia akan lulus.
"Ya sudah, pergilah. Sekolah yang benar ya!" seru Luka.
"Iyaa!"
Di kota Jambi yang sederhana ini, penghasilan mereka pun pas-pasan. Gakupo bekerja di salah satu pabrik mebel, gajinya pun tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Sementara Luka bekerja sebagai tukang cuci keliling, lumayan untuk menambah pendapatan keluarga.
Dulunya Luka bekerja sebagai karyawan di perusahaan asing, namun karena krisis moneter yang melanda di Indonesia, ia menjadi salah satu karyawan yang di-PHK. Namun Luka tetap menerimanya. Ia percaya Tuhan akan menentukan jalan terbaik untuknya.
Luka merasa belakangan ini Momo terlalu aneh. Momo selalu pulang dalam kondisi badan gemetar. Wajahnya pucat seperti hantu. Kata Momo sendiri, ia sedang diet, jadi Luka percaya-percaya saja. Selama anaknya tidak bandel seperti Gakuko, mengapa tidak?
Mengingat Gakuko, Luka hanya bisa menghela napasnya. Bagaimana juga, Gakuko lahir dari rahimnya, ia tak bisa membuang anak itu, apalagi membencinya, walaupun Gakuko terlalu keras kepala dan suka membantah.
Membersihkan kamar Momo adalah tugasnya saat ini, dan Luka pun mengambil sapu dari tempatnya, lalu beranjak ke kamar Momo. Terkunci. Tidak biasanya Momo mengunci kamarnya. Firasatnya mulai aneh.
Untung saja ia ingat di mana ia menyimpan kunci duplikat, jadi langsung saja Luka mengambil kunci itu dan membuka kamar putri ketiganya. Saat pintu terbuka, ia mencium bau apel. Pewangi kamar. Suasana kamar yang didominasi warna hijau pun terlihat normal. Kenapa harus dikunci?
Mulailah Luka membereskan tempat tidur putrinya. Tadi ia sempat lihat Momo terburu-buru ke kampus—padahal baru dimulai jam delapan tapi sudah pergi jam enam—jadi pantas saja tempat tidurnya sedikit berantakan. Dirapikannya lagi selimut yang dilipat asal-asalan, dan sebuah plastik berisi sesuatu jatuh.
Luka mengernyit. Apa ini? pikirnya. Diambilnya bungkusan itu, lalu dicermati baik-baik. Sedetik kemudian, Luka terkejut. I-Ini kan...
Cepat-cepat ia merogoh ponsel yang selalu siap sedia di kantung celananya. Saat ini menelepon suaminya adalah pilihan yang tepat. Ya! Suaminya harus tahu!
"Pa! Cepat pulang ke rumah Pa! Cepaaaattttt!"
.
.
.
"Hahaha, jadi anakmu itu kerja jadi dokter ya?" tanya Kaito, teman seperjuangan Gakupo.
"Iya iya, sudah pastinya. Spesialis tulang!" jawab Gakupo merasa bangga dengan keberhasilan putrinya.
"Lalu lalu, si Aria? Jadi model ya katanya?" tanya Yuuma ikut nimbrung.
"Iya!" seru Gakupo semangat. "Kautahu? Pendapatannya bisa ratusan juta! Tapi dianya milih-milih sih. Alasan jadwal padat katanya."
"Wow! Itu keren sekali!" seru Kaito. "Eh eh, si Momo kok tidak dikuliahkan di luar negeri? Bukankah Yukari sama Aria kuliah di luar negeri?"
"Yah, untuk menghemat pengeluaran saja. Lagi pula, Momonya sendiri tidak mau kuliah jauh-jauh. Katanya takut tidak pernah lihat papa mamanya lagi." Gakupo tertawa keras.
"Tahu tidak? Anakku, si Mizki, sudah mau menikah minggu depan! Tunangannya waw! Keren habis! Kita mah kalah!" seru Yuuma karena merasa Gakupo yang mendominasi percakapan.
"Kita dapat bangku kehormatan tidak?" tanya Kaito dengan nada bercanda.
"Oh tentu saja! Kalian dapat bangku V—V apa namanya?" balas Yuuma.
"VIP!" seru Kaito dan Gakupo serempak.
"Ah ya itu!" seru Yuuma.
"Ya sudah deh! Kita kerja dulu! Entar dimarahin!" ajak Kaito.
Tringggg!
"Duh, ponselmu tidak diubah profilnya jadi diam ya?" tanya Kaito.
"Ah maaf-maaf. Sebentar, dari istriku," ujar Gakupo setelah membuka ponselnya, "halo Ma? Ada apa? ... Apa?! K-Kamu serius?! ... Iya iya! Aku akan segera ke rumah! ... Bisa, nanti minta izin dulu dengan Bos Hiyama! ... Oke, tunggu di rumah ya!"
Tut. Sambungan terputus.
"Ada apa?" tanya Kaito heran melihat wajah Gakupo yang panik.
"A-Aku harus ke rumah sekarang!"
.
.
.
Luka tengah menangis di atas kasur Momo. Gakupo sendiri hanya bisa terdiam melihat pil-pil berwarna-warni di dalam sebuah plastik kecil. Pil ekstasi.
"Paaaaa..." Luka terisak, "a-aku tidak menyangka kalau anak kita seperti ini..."
"Biar aku habisi anak itu!" seru Gakupo geram.
"A-Aku ... bereskan ... k-kamar Gakuko dulu ya Paa...," ujar Luka sambil berusaha bangkit dari posisi duduknya. Kakinya seperti lumpuh saja rasanya.
Di kamar Gakuko, Luka menangis lagi, bahkan lebih parah daripada saat berada di kamar Momo. Dengan setengah tenaga yang tersisa—karena sebagian besar tenaganya habis karena menangis saja—Luka mulai merapikan kamar Gakuko yang setengah berantakan.
Luka menemukan sebuah buku harian di bawah bantal, yang gemboknya tidak dikunci. Memang tidak baik membuka privasi orang, tapi buka sedikit saja boleh bukan? Ah, entah mengapa Luka merasa sangat bersalah jika tidak membaca buku harian itu.
"Aku penasaran...," gumamnya. Di depan buku itu tertulis tahun di mana Aria masih SMA kelas dua, yang berarti Gakuko masih SD kelas tiga atau kelas empat
Lembar pertama. Luka melihat tulisan bulat-bulat yang memang khas tulisan Gakuko. Memang sedikit berantakan, sampai-sampai Luka harus menyipitkan mata untuk membacanya.
12 Juni xxxx
Hari ini aku kesal
Mulutku menggamm kata tanda sebal
Omelan yang bergema di telingaku serasa kebal
Papa ngomel kayak ban bocor belum ditambal!
Hari ini aku dimarahi Papa, karena aku tak mau pulang ke rumah dan Kak Yukari mencariku sampai dua jam lebih, katanya. Heh, siapa suruh Papa dan Kak Yukari mencariku? Aku kan bawa ponsel, dan aku sudah bilang kalau aku mau kerja kelompok bersama Gumi dan Lola. Huh dasar!
Luka tertawa kecil. Gakuko memang sangat polos saat kecil. Dan tak dipungkiri kalau Gakuko selalu diomeli ayahnya sendiri. Dicari-carinya halaman yang terkadang membuatnya terkesan. Dan betapa terkejutnya saat ia menemukan petunjuk untuk Aria.
21 Agustus xxxx
Seperti biasa, Kak Aria jahat
Kata-katanya saat mengomeliku menusuk seperti pahat
Hanya karena aku tak bisa taat
Tapi aku tahu aku pasti kuat
Sampai aku mendengar berita yang membuatku takut
Luka mengernyit. Berita apa? Oh iya, apa ini kebiasaan Gakuko menulis sebait kalimat—entah puisi atau pantun—sebelum memulai catatannya?
Aku melihat dengan sendirinya kalau Kak Aria menghisap daun-daunan. Seperti orang gila! Kuceritakan hal ini kepada Kak Yukari, dan dia menamparku! Katanya 'Tidak mungkin Kak Aria mengonsumsi ganja!' Mungkin karena dia adik kesayangan Kak Aria maka sampai dibelanya seperti itu? Lalu kutanya Mama apa artinya ganja. Mama bilang kalau aku belum saatnya tahu.
Tes.
Luka menangis, lagi. Ternyata semua anak-anaknya berlaku tidak baik di belakangnya. Dan berlaku polos tak tahu apa-apa di depannya. Kini Luka tak mampu berdiri lagi. Dan ia hanya terduduk di atas kasur Gakuko, dengan tangan masih memegang buku harian gadis itu.
Mendadak Luka teringat sesuatu. Tahun ini bukankah sama persis dengan tahun di mana Gakuko ketahuan membawa pil ekstasi? Cepat-cepat ia menghapus air matanya dan mencari-cari halaman yang ia butuhkan.
Dapat.
9 November xxxx
Pil-pil ekstasi
Pil-pil pembawa sensasi
Mengotori hati yang bersih
Disebabkan karena kurang kasih
Hari ini adalah hari yang tak pernah kulupakan. Hari di mana aku dikeluarkan oleh pihak sekolah, sebelum aku mengutarakan bantahanku. Hah. Kenapa sih semua orang selalu mengagung-agungkan kakak-kakakku sih? Termasuk orangtuaku juga. Aku juga perlu perhatian. Aku kurang perhatian sejak kecil!
Oke Diar, sepertinya ini bakal panjang. Ekstasi yang terdapat di tasku sebenarnya karena sebelum pergi ke sekolah, aku menemukan pil ekstasi yang kuketahui milik Kak Aria. Aku juga tahu kalau Kak Aria juga menyimpan shabu-shabu, ganja, dan lainnya yang kuketahui sebagai narkoba. Lalu, aku menyimpannya di dalam tas sekolahku.
Jadi, pada saat belajar bahasa Inggris, mendadak dari pihak sekolah menyuruh memeriksa tas-tas kami. Razia. Aku langsung teringat dengan ekstasi Kak Aria, tapi tetap tak kubuang. Aku memang ingin keluar dari sekolah ini! Aku ingin tahu seberapa perhatiannya orangtuaku yang hanya peduli pada ketiga kakakku saja.
Dan tadaa! Aku ketahuan membawa ekstasi dalam tas. Dan aku langsung disuruh menghadap kepala sekolah. Pihak sekolah lalu menelepon orangtuaku, dan Mama datang. Aku tahu pasti Papa tak akan datang, memegang raporku saja enggan. Aku memang tak menaruh harapan pada Papa, karena kutahu Papa tak menyayangiku. Tak akan pernah.
Jadi, hari itu juga aku dikeluarkan. Katanya takut mencemarkan nama sekolah. Aku melihat Mama menangis, dan itu membuatku tak tega. Sesampainya di rumah, Kak Aria, Kak Momo, dan Kak Yukari mengejek-ngejekku, karena aku tak bisa seperti mereka. Dan saat Papa pulang, Papa menamparku...
Tapi aku sedikit senang. Aku memang sering membuat Papa dan Mama marah, dan itu membuktikan bahwa mereka perhatian padaku.
Luka terdiam sejenak. Memang ia dan Gakupo kurang memberikan perhatian pada Gakuko, mengira anak itu memang bandel dari sananya.
Tes...
Ah, sudahlah. Kenapa ia harus membahas masa lalu yang kelam seperti ini? Yang terpenting adalah ia sudah sadar, bahwa ia harus memberikan perhatian dan kasih sayang lebih pada anak-anaknya, terutama Gakuko
.
.
.
"Pr matematika Bu Lenka akan kukerjakan segera. Pr-ku menumpuk arghhh!" pekik Gakuko frustasi.
Grep!
"Sia—eh Kakak?" panggil Gakuko.
"Cepat ikut aku," ujar Momo.
"Untuk apa Kak?" tanya Gakuko.
"Ikut saja!" bentak Momo keras, membuat Gakuko langsung menciut dan bungkam.
Momo menarik tangan Gakuko kuat-kuat, bahkan Gakuko hampir seperti diseret-seret. Sesekali Gakuko menjerit kesakitan, karena tangannya dicengkram terlalu kuat, namun tak dipedulikan oleh Momo. Saat tahu menjerit tak ada gunanya, Gakuko hanya diam.
Ketika sadar, iris violet Gakuko membulat. Diskotik ... bau bir ... pengedar narkoba ... semuanya memang khas pergaulan bebas. Dan Gakuko membenci itu. Sejak kapan di kota Jambi ada diskotik yang tidak diketahui seperti ini? Ia yakin seratus persen kalau pemerintah yang tahu akan hal ini pasti akan menutup tempat ini.
Oh ya, tadi Gakuko sempat melihat nama diskotik ini di luar. SukoTe's Karaoke. Oh, jadi ini tempat pergaulan bebas yang disamarkan? Dengan nama tempat karaoke, begitu?
"Ka-Kakak? Ja-Jangan bilang kalau..."
"Jangan bilang sama Papa dan Mama kalau kau tidak ingin mati," ujar Momo dingin, "aku akan mempertemukan kau dengan salah satu kenalanku."
"Untuk apa Kak? Apa jadi orang-orang tidak waras di tempat ini?" Mata Gakuko langsung membulat. "TIDAK KAK! AKU TIDAK MAU!"
"Shttt! Diamlah!" seru Momo. "Pokoknya kau ikut aku saja!"
Momo mendudukkan Gakuko dengan paksa di atas sebuah sofa. Gakuko bisa melihat laki-laki berambut hijau, yang kira-kira seumuran dengan kakaknya. Ada apa ini? Dari tampangnya, pemuda ini orang berandalan. Firasatnya mulai tak enak.
"Gakuko, ini Megpoid Gumiya, dan Gumiya, ini Kamui Gakuko, adikku, yang mau jadi langganan ekstasimu. Mana bayaranmu itu?" ujar Momo memperkenalkan kedua belah pihak, yang diakhiri dengan sebuah tagihan perjanjian.
Gakuko langsung memelototi kakaknya, yang hanya dibalas tampang sok polos yang membuat Gakuko ingin muntah. Kembali ia beralih menatap pria yang disebut Gumiya tadi. Oh ayolah! Siapa pun tolong!
Entah keberanian dari mana, Gakuko menampar pipi kakaknya.
Plak!
"Dasar murahan!" pekik Gakuko, "Kakak tega menukar adiknya sendiri dengan sebuah ekstasi!"
Momo tercengang, begitu pun Gumiya. Gakuko langsung berlari keluar dari tempat memuakkan itu. Tangannya sibuk merogoh ponsel dalam sakunya. Diketiknya pesan untuk Mamanya. Sebaiknya orangtuanya tahu hal ini, dan memang seharusnya tahu.
Saat ingin menekan tombol send, tiba-tiba ponselnya menghilang dari tangannya. Ternyata, Momo ada di belakangnya bersama Gumiya, dengan seringai yang cukup mengerikan.
"Gakuko, sudah kubilang tadi, bukan?"
Gakuko meneguk ludahnya ketakutan. Sudahlah! Setidaknya ia mesti keluar dari sini!
Dipaksanya kaki itu berlari, dan saat ia menoleh ke belakang, ternyata Momo tak mengejar, melainkan Gumiya. Ia mengerutkan dahinya. Kenapa pemuda ini malah mengejarnya? Namun ia tak mau berpikir lagi, ia maunya keluar dari sini! SEKARANG!
"Hosh ... hosh..."
Tak terasa Gakuko sudah berdiri di luar. Jantungnya berdetak abnormal sejak tadi. Gakuko sudah ingin mengatur napasnya, namun tiba-tiba tubuhnya didorong Gumiya yang juga menyusul sampai keluar.
"Kau ini ada apa sih?!" bentak Gakuko keras.
"Hati-hati! Aku mencium pematik api tadi!" balas Gumiya tak kalah keras.
Tak apa sih kalau mau menyelamatkan! Tapi tidak menindih juga! batin Gakuko kesal. Badan Gumiya memang menindih tubuhnya.
Duarrr!
Mereka berdua menoleh ke arah diskotik itu, yang mereka duga adalah sumber suara ledakan tersebut. Asap pun mengepul seiring dengan jago api yang melalap habis bangunan berkesan mewah itu. Gumiya hanya terdiam, sementara Gakuko mulai terdiam sedetik, sebelum akhirnya berteriak.
"Tidaaakkkkk! Kakakkkkkk! Tidaaaaaaakkkkkkkkkk!"
.
.
.
"Aria! Jawab Papa dengan jujur! Apa kau masih mengonsumsi barang terlarang itu? ... Jangan bohong! Papa sudah tahu semuanya! ... Pulang ke rumah! Sekarang! Kenapa kau jarang menghubungi kami atau bahkan berkunjung ke sini? ... Dasar anak durhaka kau!"
Tut tut tut. Sambungan terputus.
"Pa! Gakuko kenapa belum pulang-pulang juga?! Kalau Momo sih wajar! Ia bisa pulang larut kalau harus mengerjakan tugas dosennya! Ini sudah jam enam sore! Pihak sekolah Gakuko mengatakan semua murid sudah pulang!" tanya Luka panik.
Gakupo memang memutuskan tidak bekerja hari ini, dengan alasan stres akan kebenaran yang terungkap secara mendadak ini. Begitu pun Luka, ia tak memasak makanan apa-apa sejak kejadian pagi yang mengejutkan batinnya, makan siang mereka lewatkan begitu saja.
"Aku pusing Ma. Ini terlalu mendadak. Aku baru tahu kalau Gakuko pernah memenangkan lomba cerdas cermat yang ia ikuti diam-diam, bahkan sampai pialanya pun ia sembunyikan. Lalu soal Aria dan Momo yang mengonsumsi narkoba. Dan ini semua membingungkan diriku!" cetus Gakupo bertubi-tubi.
"Sabar dan tenang Pa. Aku juga begitu," ujar Luka menenangkan suaminya.
"Aku mau menonton televisi dulu. Politik selalu bisa menjadi obat penenangku." Gakupo beranjak dari ruang makan menuju ruang keluarga, dan mulai menyalakan televisi.
"Hati-hati Pa! Nanti kebanyakan bisa OD, terus is dead deh!" celetuk Luka iseng.
"Mama sembarangan ih! Ini obat yang paling ampuh! Obat narkoba mah kalah!" balas Gakupo, lalu mulai mencari siaran favoritnya, Jambi Kita.
"Pa, tidak ada siaran yang lebih bagus ya?" tanya Luka.
"Justru ini siaran paling bagus menurutku!" jawab Gakupo.
Kebakaran terjadi di SukoTe's Karaoke yang diyakini disebabkan karena korsleting listrik. Terdapat sekitar belasan orang yang tewas dan sisanya luka bakar. La—
Tit!
"Lho Pa? Kok televisinya dimatikan?" tanya Luka.
"Suasana hatiku makin rusak!" seru Gakupo sambil mengacak-ngacak rambutnya dan langsung masuk ke kamarnya.
"Aduh Papa, aku kan penasaran. Buka lagi ah," dengan nekat Luka membuka televisi lagi.
—"Kami sedang mencurigai dua orang yang dibalik semua ini. Kami sempat melihat mereka keluar dari diskotik dengan berlari," ujar seorang wanita berusia tiga puluhan, yang merupakan pemilik SukoTe's Karaoke, Sukone Tei.
"Yang pertama adalah Megpoid Gumiya," seorang pria berambut putih dengan tanda pengenal 'Utatane Piko' memberi jeda sebentar, sambil membuka kertas yang tadi dilipatnya, "seorang mantan narapidana, dan juga pengedar narkoba yang sedang diincar-incar polisi. Kira-kira usianya sekitar dua puluhan."
Lalu, terpampanglah wajah Gumiya yang memenuhi layar televisi. Luka melotot, bukan karena kenal, melainkan menyayangkan pemuda yang masih muda itu, malah sudah berlaku kejahatan. Pengedar narkoba.
Ngomong-ngomong soal narkoba, air matanya mulai menggenang lagi. Teringat anak-anaknya yang munafik itu!
"Dan yang kedua adalah Kamui Gakuko—"
Napas Luka seolah berhenti sesaat. Kamui Gakuko? I-Itu anaknya! Apa jangan-jangan Gakuko sudah mengikuti yang namanya ... pergaulan bebas?
"—hmm, tidak banyak informasi yang didapatkan. Gambarnya pun menunjukkan bahwa Gakuko masih anak SMA. Para saksi mengatakan Gakuko kabur dari TKP bersama Gumiya, beberapa menit sebelum TKP meledak. Kami mendapatkan kartu pelajarnya sebagai tanda pengenalnya yang jatuh di lantai." Piko mengakhiri keterangan yang didapatkannya.
Terpampang jelas gambar CCTV, di mana gambar Gakuko dilingkari tinta merah. Napas Luka tercekat, bahkan lebih parah dibanding sebelumnya.
"Ti-TIDAAAAKKKKK!"
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
A/N : Oke, dengan berat hati Mikan terpaksa bilang kalau ini two-shot, atau mungkin bisa sampai three-shot. Maaf banget Dian-nyan! Document to Go Mikan ngga kuat nampun dokumen lebih dari 3k+. Maaf banget.
Maaf juga ngga bisa curcol banyak-banyak. Ni hape mau meledak TwT #nak
So ... keep or delete?
P.S : Mikan ngerasa penulisan Mikan berubah banget #nak
