Mencintai Hantu? Tidak created by me, Miyoko Kimimori

Disclaimer : Masashi Kishimoto

A/N : Saya tidak mendapatkan keuntungan materiil atau keuntungan apapun dari fanfiksi ini.

Warn : AU, OOC, typo, dll

Pair : NaruSaku

Genre : Fantasy, Romance, semi-horor(?)

Dont like? Dont read!

Happy Reading :)

.

.

.

~Sakura POV~

Lagi-lagi aku kembali ke tempat ini—duduk di sebuah tangga menuju ruangan di lantai dua yang sudah tak terpakai. Tangga menyeramkan yang berada tak jauh dari kelasku. Menyeramkan? Aku rasa tidak. Bahkan aku selalu datang ke tempat ini karena tempat ini seakan menarik perhatianku.

Duduk sendirian, menikmati semilir angin dingin di tengah kesunyian tangga ini membuatku nyaman. Aku tidak suka berisik. Aku tidak suka berada dalam keramaian.

Aku tidak peduli celotehan teman-temanku yang berkata bahwa aku ini aneh, penyendiri, atau apalah. Aku memang seperti ini, senang menyendiri di tempat sunyi, karena aku dapat dengan mudah merasakan segalanya—nafas setiap makhluk hidup yang berada di dekatku. Suara nyanyian, teriakkan kesakitan, tangisan parau mereka seakan terdengar jelas walaupun sebenarnya tak ada satu pun yang bersuara.

Namun, karena hal itu aku mengalami kejadian ganjil yang entah kenapa tiba-tiba terjadi begitu saja. Awalnya, aku kira mataku hanya kelilipan biasa, saat itu reflek aku mengucek kedua mataku. Namun, ketika detik selanjutnya aku membuka mata ...

"Kyaaaaaaaaaaa!"

Aku melihat diriku dikerumuni orang-orang dengan tubuh yang tembus pandang. Tanganku terkepal kuat dengan tubuh gemetar. Mereka semua melihat ke arahku dengan tatapan aneh. Salah satu dari mereka mendekatkan ke arahku sembari memiringkan kepala. Tentu saja hal itu sukses membuat bulu kudukku berdiri.

Dalam ketakutan yang kini menyelimuti seluruh tubuhku, aku bersumpah bahwa mereka ini hanya ilusi. Ya, aku mengucapkan kalimat itu berulang kali dengan air mata yang hampir keluar karena saking takutnya. Seseorang—tidak, maksudku hantu yang kini berada di hadapanku terus saja menatapku tanpa henti, sebelum akhirnya ...

"Huaaaaa! Ternyata sekarang dia bisa melihat kita!" ucapnya bangga dengan cengiran khas.

"He?"

Aku cengo beberapa detik. Menyadari bahwa hantu-hantu itu kini bersorak gembira seraya mulai melayang ke udara hampa. Beberapa diantaranya berlari menembus tembok kemudian kembali lagi, ada juga yang terjun bebas dari tangga kemudian kembali melayang ke atas dengan tangan yang menggaruk kepala disertai ekspresi wajah polos. Rasa merinding itu masih ada walaupun jujur saja aku ingin tertawa nista saat tahu bahwa hantu seperti mereka bisa berbuat konyol seperti yang kini aku lihat.

"Hey, kau sungguh bisa melihatku?" ucap hantu berambut pirang yang kini masih saja terus menatapku.

Aku mengangguk ragu.

"Yattatebayo!" dia melakukan salto tepat di hadapanku. Detik kemudian, dia mulai duduk di sampingku, reflek aku sedikit menggeser takut. "Ah iya, perkenalkan aku Namikaze Naruto."

Matanya berbinar saat melihatku dari dekat. Takut bercampur aneh serasa kental menyelimuti tubuhku. Satu persatu hantu itu mulai memperkenalkan diri mereka. Oh, sesungguhnya, aku ingin saja memukul kepalaku untuk memastikan bahwa ini hanyalah imajinasiku saja—maksudku, hey, selama ini aku duduk di sini sendirian tanpa ada gangguan. Lalu hari ini dengan tak sengaja mataku kelilipan debu, dan ajaibnya aku langsung bisa melihat hantu. Serta, parahnya lagi, hantu-hantu itu seolah senang saat menyadari bahwa aku dapat melihat mereka. Apa aku sudah gila? Atau jangan-jangan dunia ini yang terlalu normal? Entahlah.

"Halooo, apa kau dengar aku?" hantu pirang di depanku ini semakin mendekat ke arahku.

"Ja-jangan mendekat!" ucapku spontan.

"Kenapa kau diam saja? Kami sudah memperkenalkan diri, mengapa kau malah tertegun?"

Sesegera mungkin aku menjawab dengan lidah bergetar, "A-aku … namaku Haruno Sakura."

"Tuh 'kan! Kataku juga apa, namanya itu Sakura!" celetuk hantu beralis tebal, aku sedikit melirik ke arahnya sembari menatapnya aneh. Beberapa detik kemudian aku kembali memfokuskan mataku pada hantu pirang yang kini masih saja tersenyum ke arahku.

"Jadi namamu benar Sakura?" ucapnya kemudian.

"Ya, begitulah," jawabku sekenanya.

"Kau … cantik."

DEG!

"Eh?" aku mengerjapkan kedua mataku kemudian menatapnya dengan heran, namun sepertinya hantu itu—maksudku, Naruto, tidak memperdulikannya.

"Ah, iya, Sakura, apakah selama ini kau senang berada di sini?"

Aku tersentak. "A-apa maksud—mu?"

"Kau adalah gadis pertama yang selalu datang ke tangga ini tanpa ada rasa takut sedikit pun," jawabnya cepat disusul anggukan kepala dari beberapa hantu lain. Namun …

PLUK!

Mati! Teriak hatiku reflek. Aku terperanjat dan hampir berteriak kencang saat tak sengaja melihat kepala salah satu hantu itu jatuh ke bawah setelah mengangguk, menyisakan leher yang berdarah dan kepala buntung yang berada dekat kakinya. Aku bergidik takut—lagi. Terlihat ada sebagian hantu yang terkekeh geli melihat reaksiku barusan. Rasanya menyebalkan saat aku menatap mereka. Apanya yang gadis pertama yang tidak takut? Bodoh! Batinku bicara.

"Jika kau selalu datang ke sini, berarti kau merasa nyaman 'kan?" Naruto melanjutkan. Sepertinya dia benar-benar tidak bisa membaca air mukaku yang ketakutan. "Apa kau senang berada di sini?"

Sedetik kemudian aku menjawab sembari menahan rasa takutku. "Ya … a-aku suka tempat ini. Di sini sunyi, aku suka ketenangan seperti ini. Rasanya aku dapat merasakan semuanya saat berada di tempat ini." Entah kenapa rasa takut itu seketika hilang saat bibirku terus menceritakan perasaanku tentang tangga ini, dan aku kembali melanjutkan, "Angin sunyi di tempat ini seolah memperbolehkanku mendengarkan suara-suara yang entah itu dari mana asalnya. Suara tangisan, suara tertawaan, suara parau, jeritan, panggilan, atau bahkan sebuah suara yang seolah mengajakku berbicara. Aku yakin suara-suara itu berasal dari mahluk yang tinggal di sini, seperti … eeerrr ... kalian—para hantu. Aku yakin suara itu ada dan aku tidak takut saat harus mendengarnya. Namun beda halnya ketika—umm … ya, kau tahu, ketika aku harus bertemu langsung dengan kalian, terasa sedikit—menakutkan."

Aku terkekeh pelan dan mengakhiri pembicaraan itu dengan sebuah bibir melengkung penuh. Sedikit kuperhatikan, shapirre-nya nampak berkilat kala aku mengatakan hal tadi. Lagi-lagi dia tidak bisa membaca aura ketakutan yang menguar dari tubuhku. Astaga.

Ok, aku tidak masalah jika dia memang tidak peka. Namun, yang aku herankan, entah kenapa tubuhku malah tertegun. Mataku tidak mau melepaskan pandanganku dari mata secerah langit itu. Aneh, hatiku tiba-tiba berdesir. Aku merasa seperti membelah atmosfir berlapis-lapis, lalu terbang ke langit ketujuh dan meluncur bersama paus akrobatik menuju rasi bintang paling manis namun—

BUGHT!

"Hahahaha!"

—aku langsung terjatuh di atas hamparan tanah berbatu. Sakit.

Abaikan perkataan gilaku tadi. Baru saja aku hampir jantungan—lagi—saat mendapati kepalaku yang berdenyut nyeri. Mataku lekas mendelik ke samping mencari sosok yang baru saja tertawa keras setelah melempar batu kecil tepat ke arah kepalaku.

"Kakak jelek! Kakak payaaaahhhh! Weeeee!"

Mataku memicing pada sosok hantu anak kecil yang kini tengah menjulurkan lidahnya—meledekku. Jadi kau, ya? Aku membatin. Secara reflek aku melempar kembali batu itu ke arahnya.

Huh, bodoh bukan? Padahal aku tahu bahwa dia itu hantu, tapi kenapa aku tetap saja melakukan itu? Ck! Kepalaku lekas menggeleng pelan menyadari tingkah konyol yang baru saja aku lakukan. Di sisi lain, anak kecil itu semakin tertawa keras menyadari batu tersebut menembus tubuhnya.

"Tidak kena! Lemparan macam apa itu? Payah!" dia berbalik kemudian meledekku dengan bokongnya. "Kalau bisa ayo tangkap aku, Kakak Jelek!"

"Mattaku, anak itu …." Naruto berdecak tak percaya. "Konohamaru, jangan terlalu berlebihan!"

Anak kecil itu melirik ke arah Naruto. "Tak apa Naruto-nii, habisnya kakak itu memang jelek sih! Payah lagi! Hahahaha!"

Kurasakan kepalaku kembali berkedut, kesal. "Anak kecil sialan," ucapku tanpa sadar.

Aku segera menghampirinya dengan setengah berlari. Aku bersumpah tak bisa menyembunyikan ekspesi kesalku saat ini. Mungkin aku akan terlihat mengerikan. Buktinya aku melihat anak kecil itu lekas berlari menuruni tangga saat menatap wajahku dari jarak yang lumayan dekat.

"Huaaaaaa! Kakak jelek yang seram!" teriaknya sembari tertawa dan berlari entah kemana.

"He?" aku tertegun sejenak, namun bibirku lantas tersungging disusul tatapan mata yang licik. "Awas saja kau."

Aku sudah memikirkan rencana gila untuk memberi pelajaran anak itu. Kalau aku dapat menangkapnya, aku akan memasukkan hantu jelek itu ke dalam botol usang yang bau. Kita lihat bagaimana ekspresi memelasnya nanti jika aku berhasil melakukan itu.

Saat kaki kananku hampir menapak pada anak tangga di bawah, entah kenapa tiba-tiba saja kakikku sulit digerakkan dan terasa agak sakit. Sial, kakikku keram disaat seperti ini? gerutuku dalam hati. Keseimbanganku mulai terganggu. Tubuhku oleng ke samping karena kaki kananku yang tidak bisa menapak dengan benar. Aku segera menutup mata kala menyadari bahwa aku akan jatuh, namun …

TAP!

Tanganku terasa digenggam kuat, tubuhku langsung tertarik ke belakang dan seketika aku terjatuh dalam dekapan seseorang. Ini terasa … dingin. Dengan segera aku menoleh ke belakang dan aku begitu terkejut melihat siapa yang kini tengah mendekapku.

"Kau tidak apa-apa?"

"Na—ruto?"

"Ah, maafkan tingkah Konohamaru, ya? Dia memang seperti itu. Sebenarnya dia hanya kesepian saja."

Tak menanggapi, aku terdiam, lebih tepatnya aku merasa heran. Aku mulai bergelut dengan pikiranku sendiri dan tak memperdulikan rasa dingin akibat peraduan kulitku dengan tubuh Naruto.

Coba ingat baik-baik dari awal. Naruto adalah salah satu hantu di sekolah ini, lalu aku adalah siswi di sekolah ini yang selalu menyendiri di tangga, kemudian beberapa menit lalu aku dapat melihat Naruto dan hantu lainnya secara jelas, dan kini dia—Naruto—bisa menyentuhku bahkan sampai memelukku seperti ini? Demi apapun juga, aku berteriak keras dalam hati dengan emerald yang tak hentinya mengerjap untuk memastikan kenyataan. Apa lagi ini? Gumam batinku.

"Na-Naruto, kau … bisa menyentuhnya?" hantu beralis tebal itu segera mendekat dengan tatapan tak percaya.

Kulihat kini para hantu kembali mengerumuniku dengan tatapan heran, tentu saja. Meski begitu, aku merasa ada yang aneh. Memang benar karena kejadian ini mereka terlihat heran, aku pun jelas-jelas heran, namun kenapa wajah hantu pirang itu terlihat biasa saja?

"Hantu bisa menyentuh manusia? Yang benar saja," ucap hantu gendut dengan kedua mata yang membulat.

"Kenapa kau bisa melakukannya? Kau itu hantu 'kan?"

Mereka mulai berbisik satu sama lain seraya melemparkan tatapan tidak mengenakkan padaku dan Naruto. Mereka terlihat bingung sekaligus aneh. Baik sorot mata, ekspresi wajah, dan cara berbicara mereka benar-benar membuatku tak nyaman. Namun, Naruto seakan menghilangkan suasana canggung itu dalam sekejap.

"Hah, sudahlah, aku juga tidak tahu," jawab Naruto santai. Ia mulai membantuku untuk duduk kembali di tangga. "Kalian semua tidak usah khawatir, mungkin ini hanya kebetulan saja," ucapnya kemudian masih dengan santai disertai wajah polosnya.

"Tapi Naruto kau—"

"Sudahlah, Lee. Hal sepele seperti ini tak perlu kau besar-besarkan."

Hantu beralis tebal itu mendengus, lalu bergumam pelan, "Apanya yang kau sebut sepele, Baka Naruto."

"Huh … merepotkan." Sebuah suara lain terdengar, semua pandangan lantas tertuju pada hantu berambut nanas yang tengah berbaring di tangga paling atas. "Mungkin benar itu hanya kebetulan. Kita—para hantu juga kadang bisa menyentuh beberapa benda yang kita kehendaki 'kan? Sudahlah, jangan memperpanjang masalah, kalian akan repot sendiri."

"Shikamaru …" hantu bernama Lee itu tertegun melihat sosok transparan di atas sana.

Mereka diam. Sebagian hanya mengendikkan bahu. Sebagian lagi nampak mendengus sembari melayang pergi. Suasana kembali hening. Hanya ada beberapa hantu yang tidak pergi, mungkin mereka juga tidak terlalu mempermasalahkan ini.

"Sebenarnya aku juga sedikit terkejut dengan semua ini, namun aku bersyukur karena aku dapat menyentuh Sakura, aku jadi bisa menyelamatkannya." Bibirnya melengkung, ia tersenyum lembut ke arahku.

Tanpa berpikir dua kali, aku berpaling wajah. Aku tak mau terlihat bodoh saat harus menatap senyumnya yang sedikit … umm … manis? Ah, lupakan!

"Apa kakimu baik-baik saja?" Naruto lekas bertanya sembari mendekat.

Seolah tak mau membuat wajahku sendiri semakin merona, terpaksa aku menatapnya dari ekor mataku. "Hanya sedikit keram," jawabku cepat.

"Apa kau ingin aku me—"

"Tidak!" seketika aku menjerit. Ok, hantu-hantu itu lekas menoleh ke arahku dengan cepat dan aku sukses terkekeh pelan dengan wajah tanpa dosa. Sembari mecoba mengatur volume bicaraku dan juga kecepatan degup jantungku yang di luar batas normal, aku mulai melanjutkan perkataanku, "Na-nanti juga sembuh sendiri, kok. Hehehe."

Awalnya tertegun namun ia cepat tersenyum—lagi. Pada akhirnya Naruto menemaniku di tangga ini hingga kakiku dapat digerakkan kembali dengan sendirinya. Dan, entah kenapa aku malah menikmati waktuku saat bersama dengannya, bersama hantu, sesuatu yang seharusnya tidak pernah bisa aku lihat dan aku sentuh.

TBC

Concrit, please?