WARNING : Sebuah FF based on Akagami no Shirayukihime TANPA heroine semacam Shirayuki (ofc :v) dan Kiki. Some of OOC dialogues?


CHAPTER 1 : Arrival

Sejauh mata memandang, seekor kuda putih berlari laju tepat menuju pintu gerbang istana. Walaupun pintu besar nan kokoh itu jelas-jelas tertutup, tidak menghalangi sang penunggang untuk mengurangi kecepatan lari kudanya. Sadar akan kenekatan penunggang dan penunggangnya sendiri, penjaga pintu gerbang serta-merta berseru kepada rekannya yang berada di dalam.

"Pangeran Zen kembali!"

Kedua pintu gerbang segera terbuka, bersamaan dengan si kuda putih memasuki halaman istana. Kalau saja tidak direm segera oleh penunggang, bisa saja si kuda bablas masuk istana. Si penunggang pun turun dan berseru kepada penjaga terdekat: "Tolong bawa kudaku." Serah-terima tali kemudi pun terjadi, dan si penjaga menggiring kuda tersebut bersamanya.

Ketika berbalik hendak menaiki undakan istana, penunggang tadi langsung dihadapkan oleh sesosok pria berambut hijau yang lebih besar darinya. Tanpa tedeng aling-aling, ia jitak kepala berambut putih milik sang penunggang. Si penunggang meringis kesakitan.

"Kemana saja kau, hah, Zen?!" seru pria itu sampai urat muncul di dahinya.

Zen memegangi kepalanya yang mulai nyut-nyutan. "Kau pasti tahu, kan, apa yang kulakukan ketika tidak berada di istana?"

"Kau sudah menghabiskan jatah kaburmu bulan ini, Zen. Kau tidak bisa terus-terusan kabur selagi berkas administrasimu belum juga kelar. Apa ini seharusnya sikap seorang pangeran? Tak bertanggung jawab terhadap tugasnya sendiri? Mengabaikan kondisi rakyatnya di daerah lain? Tidak disiplin terhadap peraturan?!"

"Iya iya, Mitsuhide. Aku paham aku salah."

"Kalau memang begitu, segera kau menuju ruanganmu!" Mitsuhide tanpa ampun meremas lengan baju Zen dan melempar seorang-orangnya ke arah tangga istana. Sang korban seolah berputar di udara namun berhasil mempertahanakan jejak di tanah.

Keduanya pun melewati aula istana kemudian menyusuri salahsatu lorong yang terhubung setelah mendaki anak tangga. Istana Wistal, namanya, berarsitektur modern Clarines yang berkolaborasi dengan ukiran kuno negeri ini. Warna putih yang mendominasi istana juga menghiasi pilar-pilar tinggi sepanjang lorong. Setiap berapa meter akan ada penjaga yang mengawas. Ada juga beberapa penjaga yang melintas ditambah lalu-lalang pelayan istana. Walaupun termasuk sepi, namun istana akan ramai jika digelar suatu acara penting yang sampai mengundang bangsawan atau rakyat sekalipun. Suasana sepi ini kadang membuat Zen jenuh sehingga biasa memakai alasan ini untuk kabur dari istana.

"Kau tenang saja, Mitsuhide. Kau akan lihat seluruh berkas telah selesai saat kaburku berikutnya," ucap Zen enteng.

"Tidak ada saat berikutnya. Pastikan kau benar-benar telah mengurusi seluruh berkas di saat aku kembali nanti. Jika tidak, aku benar-benar akan menguncimu di ruang kerja," ancam Mitsuhide dengan menggeretakan pelan pedangnya yang tergantung di pinggang.

"Saat kau kembali nanti? Memangnya kau mau ke mana?"

"Aku perlu mengurus beberapa hal untuk kedatangan tamu penting di istana. Bisa dibilang, aku penanggung jawab utama untuk hal ini, atas restu Yang Mulia Raja, tentunya. Jadi, kau jangan terlalu pikirkan hal ini dan fokus saja pada tugasmu," jelas pengawal pangeran itu.

Zen termangu sejenak. "Aku belum pernah dengar soal tamu penting ini dari siapapun. Harusnya aku tahu sesuatu untuk hal begini. Dan, kenapa malah kau yang menjadi penanggung jawab utama?"

"Sudah kubilang tidak usah kau pikirkan. Bukan berarti kedatangannya sepenting itu sampai perlu diadakan pesta jamuan dan sebagainya. Lagipula, kau akan tahu secepatnya setelah ia tiba," Mitsuhide kali ini tersenyum misterius, bikin sang pangeran semakin penasaran.

Hampir mencapai ruang kerja pangeran, Mitsuhide bergerak menuju lorong lain. "Aku akan ke ruang penjaga untuk mendiskusikan perihal ini. Pastikan kau benar-benar mengerjakan tugasmu sampai tuntas, mengerti?"

"Iya iya, aku paham." Setelah mendengar hal itu, keduanya berpisah menuju tujuannya masing-masing.

Khusus untuk Zen, ketika tengah membuka pintu ruangannya, telah nampaklah di depan mata berkas-berkas bertumpuk menjulang di atas meja kerjanya yang searah garis lurus dengan lokasinya menapak. Ia menghembus panjang, "Dasar diriku."


Sekitar tujuh hari sebelumnya, Negeri Astrud

Petang telah menjalari langit. Angin berhembus lembut menemani burung-burung gereja melintasi langit sore menjelang malam itu. Eireen yang sedari tadi mengitari pemakaman akhirnya berhenti di satu-satunya nisan di puncak bukit. Dari titik itu, nampak jelas pemandangan matahari hampir mencelupkan diri di cakrawala. Tudung hijau tua Eireen ia buka seluruhnya setelah sedari tadi angin memaksakan. Nampaklah wajah pemilik tudung. Mata hijaunya berkaca-kaca berpadu dengan suatu tekad. Ia tatap nanar batu nisan di hadapannya, menekuk kakinya perlahan seakan agar sama tingginya dengan batu nisan.

"Hai, Bu," ucap Eireen lembut pada nisan tersebut.

Hai, Rin, batin Eireen membalas sapaannya. Bagaimana kabarmu?

"Sampai saat ini, aku baik-baik saja," Eireen membalas batinnya sendiri. Ia membayangkan segala percakapan ini antara ia dengan ibunya. Walaupun rasanya nelangsa, cukup menenangkan ketika membayangkan ia dengan ibunya sedang mengobrol sambil menikmati pemandangan matahari terbenam.

"Mm… Bu," lanjutnya. "Mungkin ini saat terakhir aku dapat mengunjungimu. Selepas berpamitan, aku akan langsung memacu kuda menuju Clarines. Jangan khawatir, aku sudah membawa cukup bekal."

Baiklah. Hati-hati selama perjalanan, ya, batinnya kembali berujar. Untuk sekian menit, antara Eireen dengan batinnya terdiam tanpa percakapan. Matahari tinggal seujung ufuk. Eireen tatap lekat-lekat nisan ibunya, belum mau mengakhiri percakapan ini.

Kau benar-benar telah memantapkan hati soal ini, Rin?

"…Ya, begitulah. Ibu pernah bilang, kan, 'Jika ada kesempatan, pergilah sejauh-sejauhnya dari Astrud'. Inilah kesempatan itu, Bu."

Tapi, Clarines… negeri yang amat jauh. Kau yakin akan meninggalkan Ibu?

Eireen tersentak dengan batinnya sendiri. Yang tadi itu bukan bayangan akan pernyataan ibunya. Namun lebih kepada pertanyaan dirinya pada diri sendiri.

Ia terdiam sejenak. "Aku yakin Ibu tidak akan keberatan jika aku meninggalkannya. Malahan, akan sangat mendukung keputusanku ini." Yang itu ia ucapkan sebagai balasan pada diri sendiri.

"Maafkan aku, Bu… jadi harus meninggalkanmu." Eireen pun bangkit dari posisinya. Matahari telah benar-benar tenggelam, menyisakan cahaya lemahyang berpencar di langit.

"Selamat tinggal, Bu. Aku selalu menyayangimu." Selepas mengatakan itu, Eireen berbalik menuruni bukit, beranjak meninggalkan pemakaman. Dalam keremangan, nampak bayangan kudanya duduk menunggu di bawah pohon ia diikat. Batinnya kembali berujar: Ibu juga menyayangimu, Rin.


Di keremangan sore, Zen masih saja berkutat dengan berkas-berkas administrasinya. Sebagian besar merupakan laporan-laporan keadaan daerah-daerah di bawah wewenangnya yang perlu ditelusuri, direvisi, dan di-acc (author bingung cara kerja pemerintahan jadi biar keren pake cara kerja dosen aja ya :v). Wajahnya terlihat penat dan jenuh. Hanya supaya tidak dikunci di ruang kerjalah ia masih berusaha bertahan.

Namun, tugasnya terhenti sejenak akibat terdengar ketukan pada pintu. Ia berseru: "Masuklah!"

Zen terkejut akan sosok pria yang mengetuk pintunya. Pantas saja, karena pria beriris sama dengan dirinya ini memang jarang mengunjungi ruangannya. Ialah pangeran pertama Clarines, kakak Zen, Izana Wistaria.

"Hai, Dik." Izana serta-merta memasuki ruangan. "Pantas kau menyuruhku masuk. Kau sedang sendirirupanya. Tak ada yang biasa stand-by membukakan pintu," ucap Izana tanpa canggung. Mengingat mereka berdua memang jarang berkomunikasi antar saudara, apalagi hanya berdua di dalam suatu ruangan.

Zen mendengus dalam hati terhadap perkataan kakaknya. "Maafkan aku. Saat ini aku sedang sibuk dan Mitsuhide tengah ada urusan," namun Zen berhasil membalas dengan tetap bertata krama, selayaknya adik seorang pangeran.

Izana mendekati satu sisi dinding kosong sebelah pintu untuk tempatnya bersandar. "Ya, aku tahu kau sibuk." Setelah merasa pas dengan sandaran punggungnya, ia melipat tangannya di dada, kemudian menatap Zen lekat-lekat. "…Dan aku tahu urusan apa yang tengah Mitsuhide lakukan."

Zen balas menatap pangeran pertama itu. Tatapannya tidak percaya, dan Izana paham maksud ekspresi tersebut. "Mengenai kedatangan tamu istimewa, bukan? Hal ini sudah lama kuketahui. Bahkan, aku tahu siapa tamu yang dimaksud dan keperluan apa ia kemari."

Ruangan hening sejenak. Zen geram dan heran dengan maksud kakaknya mengatakan ini semua. Namun, ia memilih diam, tapi tidak bagi Izana ketika melihat ekspresi adiknya telah memakan umpan yang ia beri.

"Kau pasti kaget ketika aku mengetahui apa yang seharusnya kau ketahui tapi ternyata kau tidak ta—"

"Sebenarnya ada keperluan apa kau kemari?" nada bicara Zen meninggi. Dia muak selalu dipermainkan dengan kata-kata oleh kakaknya. Ia sibuk, dan hanya akan membuang waktunya jika terus meladeni pria berambut pirang itu.

Ekspresi Izana nampak telah puas. Ia pun mulai berjalan mendekati meja kerja Zen. Sang pangeran tertua meletakan rangkapan kertas yang sedari tadi digenggamnya di atas meja tersebut. Sang pangeran satunya pun meraih kertas itu. Sebelum memulai membaca, Izana menambahkan: "Untuk beberapa minggu ke depan, aku akan mewakili Ayah dalam kunjungan ke beberapa negara, serta menghadiri pertemuan antar negara di Tanbarun untuk berdiskusi perihal kenegaraan. Oleh karenanya, perihal internal Clarines—terutama yang berada di bawah wewenangmu—kuserahkan padamu. Termasuk perihal yang tertulis di kertas ini mengenai peresmian beberapa aset Wistal yang baru selesai dibangun oleh count sekitar…"

Zen menatap sebentar rangkapan kertas di tangannya sebelum menatap kembali Izana yang belum selesai menjelaskan. "Memang tidak begitu banyak. Namun, peresmian yang tidak bijak dapat memengaruhi tanggapan dan reaksi kelompok masyarakat lainnya. Kuharap kau sebagai wakilku, dapat bertindak selayaknya pemimpin rakyat Clarines…"

Izana berhenti sejenak seraya berbalik hendak mengangkat kaki. "…Dan tidak mengecewakan kami, tentunya." Mulailah pangeran pertama melangkahkan kaki menuju pintu ruangan,hendak meninggalkan Zen yang tertegun akibat ucapannya.

"Ah, benar juga," ucap Izana menghentikan geriknya yang telah membuka pintu. Mulutnya membentuk seringai tipis. "Kau benar-benar tak perlu memikirkan soal tamu itu. Walaupun aku yakin pengawal berambut hijaumu itu telah mengatakannya, namun kalian sebenarnya juga akan dan harus saling mengenal, mau tak mau."

Izana pun benar-benar meninggalkan Zen dengan dahi berkerut. Heran mengapa kakaknya selalu bisa merangsang saraf kekepoannya.

Sementara itu, di sisi lain istana, pintu gerbang belakang istana terbuka lebar. Bukanlah menyambut kedatangan kereta kuda yang dikelilingi oleh prajurit-pengawal kerajaan, melainkan hanyalah seekor kuda coklat dengan penunggannya yang bertudung hijau tua. Bukanlah disambut dengan terompet penyambutan ataupun seluruh rakyat Wistal, melainkan hanya beberapa penjaga di kanan-kiri yang membentuk rute menuju istana sambil memberi tanda hormat dengan mengangkat pedang masing-masing di depan dada.

Sang penunggang pun turun ketika telah berada dekat dengan undakan istana. Di hadapannya, Mitsuhide berjalan mendekat dengan tampang gagah mengenakan seragam pengawal resminya dan tak lupa menenteng pedang di pinggang. Ketika telah berhadap-hadapan, si penunggang menurunkan tudung yang menyembunyikan rambut coklatnya. Mitsuhide tersenyum melihat sosok tamu yang telah ditunggu-tunggu kehadirannya. Si penunggang pun balas tersenyum, terlepas dari kelelahannya setelah berhari-hari perjalanan.

"Selamat datang di Clarines, Eireen Berdine."


Hai Readers yg tlah membaca hingga akhir/stengah/cuman numpang lewat... Glad to meet yall!

Saya membuat FF ini bukannya saya benci canon ZenXShirayuki atau meragukan keahlian Kiki sbg ksatria wanita :vv Saya memang ingin membuat tokoh ksatria wanita ketjeh bersanding dgn pangeran in the end of the day (cihuyyy/spoiler?nope) dan anim istana sentris yg paling berkesan bagi saya yaa Ans ;* dan begitulah akhirnya saya membuat AU AnS dgn stereotype "gada ksatria itu wanita woe" (krn kiki gada :v)

Moga2 readers sekalian keep supporting saya yyy... kritik/saran dimangga :))