Musim semi, Shizuoka, Jepang
"Ini kunci anda, Minato-san." Kakek beruban itu menyerahkan kuncinya pada Minato, pria berambut pirang yang membawa seorang anak lelaki yang juga berambut pirang. Minato membalas senyuman ramah kakek itu sebelum ia berlalu, menuju kediamannya yang tak jauh dari sana.
"Ayah?"
Minato mengalihkan atensinya, menatap bocah berusia tiga belas yang hanya setinggi dadanya. Naruto —anak laki-laki itu— menatap ayahnya dengan dahi berkerut. Merajuk.
"Kenapa ayah menyewa rumah ini?!" telunjuknya mengarah bangunan tua berlantai dua yang catnya sudah banyak terkelupas itu. Dilihat dari sudut manapun, rumah ini terlihat kumuh dan kuno. Sangat tidak keren menurutnya.
Minato menatap ringan putranya sembari memainkan kunci yang baru ia terima dari kakek pemilik rumah. "Kenapa? Rumah ini bergaya barat kok, seperti yang kau minta."
Naruto menekuk bibirnya. "Tapi bagaimana aku mengajak temanku main ke rumah?!" —Naruto menoleh dan mendapati Minato mencoba mengeluarkan tas besarnya dari dalam mobil.
"Kau hanya perlu berkata 'ayo main ke rumahku!', apa susahnya?" jawab Minato enteng, ia berusaha meletakkan tas itu di pundaknya. Kemudian mulai berjalan.
"Bukan itu maksudku!" Naruto menyusul langkah ayahnya dengan tergesa. "Maksudku, aku tidak mungkin kan menunjukkan rumah jelek ini pada teman-temanku? Apa yang akan mereka katakan nantinya!?"
Krieeet
Pintu kayu dengan cat merah luntur itu terbuka. Mata naruto melebar, mulutnya sedikit terbuka. Di balik pintu itu terdapat ruangan dengan sofa-sofa biru langit yang terlihat sangat empuk. Di atas sofa itu terdapat sebuah lukisan abstrak yang besar dan berbingkai kayu. Di setiap sudut ruangan terdapat sebuah meja kecil dengan pot tanaman hias. Bahkan lantainya dilapisi karpet beludru merah yang menambah kesan hangat ruangan itu.
"Wow." Naruto bergumam kecil.
Minato yang melihatnya hanya memutar bola mata. "Bagus kan?"
Naruto mengangguk kecil. Ia lalu menjejakkan kaki telanjangnya di atas karpet, sedikit menggosok-gosokannya untuk merasakan tekstur karpet itu.
"Aku tidak mungkin kan menunjukkan rumah jelek ini pada teman-temanku?" sindir Minato, berpangku tangan. Naruto hanya tertawa kikuk sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.
"Hehe, kita hanya perlu beli cat tembok, kan?"
Minato pun tertawa, melempar salah satu bantal kecil yang ada di atas sofa. Naruto dengan cekatan menangkapnya sebelum bantal itu mendarat di wajahnya. Yah, masuk klub basket di sekolah ternyata berguna juga.
"Kalau begitu...mana kamarku, Yah?" Naruto melemparkan kembali bantal itu pada ayahnya, bertanya antusias. Minato menghela nafas dan mulai berjalan layaknya seorang guide.
"Nah, ini kamarmu," ucap Minato setelah menyalakan lampu ruangan itu. Kamar yang cukup luas dan sederhana. Hanya ada kasur berukuran sedang, lemari pakaian, meja dan jam dinding yang terletak rapi.
Naruto melompat ke atas kasur dan memainkan pernya. "Lumayan juga."
Minato berdecak. "Ya, lumayan sebelum kau menempatinya. Setelah itu?"
"Aku akan selalu membuatnya rapi kok!" protes Naruto, mengembungkan pipinya. Minato terkekeh geli, candaannya dianggap serius.
"Sebaiknya begitu," ujar Minato sembari menarik gagang pintu. Naruto yang tadinya tiduran pun melompat dari tempat tidurnya dan menarik ujung kemeja Minato.
"Ayah mau kemana?"
Minato menatapnya melalui bahu. "Beres-beres barang. Sebaiknya kau juga bantu ayah."
Naruto mendesah malas sembari menaikkan kembali tubuhnya ke atas kasur. "Kita kan baru sampai, Yah. Istirahat dulu kek."
"Sudah tanggung capek. Lebih baik istirahatnya nanti saja," ucap Minato santai dan menghilang di balik daun pintu. Naruto menatap bekas kepergian ayahnya dengan berpangku tangan. Ah, dan jangan lupakan bibir moyong itu.
Sedetik kemudian, ia turun dari kasur nyamannya dan pergi menyusul Minato.
.::The Portal::.
A Naruto Fanfiction by Reisouren
All characters © Masashi Kishimoto
"Capeeeek~" keluh anak lelaki berambut pirang yang tengah melandai lenguh di atas sofa ruang keluarga. Tangannya mencengkram bagian leher kaus dan membuat gerakan untuk memberikan rasa sejuk.
Minato menatap putranya geli. "Siapa suruh bawa mainan banyak-banyak?"
Naruto melayangkan tatapan protes padanya, tubuhnya sudah duduk tegak di atas sofa. "Hidupku tak berarti tanpa mereka, Ayah!" telunjuknya mengarah pada box dan rak yang berdiri berdampingan, berisi bebagai macam mainan dan action figure. Butuh waktu lama untuk memindahkan mainan sebanyak itu. Ya, dan untuk mengelapnya satu per satu sampai mengkilap.
Puk
Naruto menggapai benda yang dilempar Minato sehingga menutupi wajahnya. Dahinya kemudian mengernyit. Handuk?
"Sudah, mandi dulu sana. Ayah akan membuatkanmu makanan selagi kau mandi," ucap Minato, dagunya mengedikan arah kamar mandi.
"Ramen? Ya?" pinta Naruto.
Menghela nafas, Minato mengangguk. "Iya iya."
Naruto pun melompat dari sofanya, kemudian berteriak riang sambil berlari menuju kamar mandi.
"Ck, dasar."
.:: The Portal ::.
Anak lelaki pirang itu memajukan bibir basah kemerahannya, bersiul. Di bahunya tersampir sehelai handuk kering. Mata birunya senantiasa bergulir seiring dengan langkah lebarnya. Tidak, tidak. Ia tidak menuju ke kamar mandi. Beberapa detik yang lalu kakinya berputar haluan, mengikuti rasa penasarannya untuk melihat-lihat sisi tersembunyi rumah barunya. 'Tanggung kotor' ia pikir.
Dan langkahnya pun terhenti.
Dengan alis bertautan, dipandanginya pintu bercat merah itu. Tak seperti kebanyakan pintu lainnya yang catnya sudah terkelupas, pintu yang ini catnya masih utuh. Seperti jarang ada orang yang memasuki.
Naruto masih memandanginya. Menerka-nerka. Menimbang-nimbang apakah ia harus masuk atau tidak mengingat cat merah tanpa cela itu membuatnya penasaran setengah mati. Ia pun meneguk ludahnya yang terakhir sebelum tangannya terulur.
Menggapai gagang pintu itu, dan menekannya ke bawah.
Puk
"Apa yang kau lakukan?"
Naruto memutar badannya 180 derajat. Ia langsung menurunkan pandangan terkejutnya tatkala melihat siapa yang berdiri di sana. Ah, siapa lagi yang tinggal di rumah ini selain dirinya.
"Ayah, kau mengagetkanku saja!" Naruto berpangku tangan. Kesal sekaligus lega.
Menggeleng-geleng, Minato pun menarik kembali gagang pintu yang sedikit terbuka itu, menutupnya. Setelah itu kepalan tangannya jatuh di puncak kepala Naruto.
"Ittai! Apa-apaan sih, Ayah!?"
"Bukankah kakek Danzo sudah bilang bahwa kita tidak boleh memasuki ruangan ini!?"
Naruto mengelus-elus puncak kepalanya. "Kapan?"
"Sudah kuduga kau tidak mendengarkannya tadi. Kalau begitu, sekarang kau sudah tahu kan? Jadi jangan diulangi, dan sekarang pergi mandi!"
Naruto melayangkan tatapan malasnya sebelum ia melangkah. "Cih. Tidak masuk akal."
"Jangan diulangi lagi, Naruto!" seru Minato.
"Ya ya. Aku mengerti."
Oh tidak, Naruto menyeringai.
.:: The Portal ::.
Kaki telanjang itu menyentuh permukaan lantai marmer yang dingin. Sebuah tangan terulur dalam kegelapan, meraba-raba dinding. Tangan itu pun berhenti bergerak saat pemiliknya telah menemukan apa yang ia cari. Benda yang dingin dan terbuat dari besi.
Krieet
Naruto menjulurkan kepalanya pada pintu yang setengah terbuka. Lehernya berputar ke kanan dan kiri. Ia pun mulai melangkahkan kakinya perlahan, berusaha sedapat mungkin tak menimbulkan suara untuk keluar dari kamarnya.
Sebelum menyalakan senter itu, Naruto menatap pintu kamar ayahnya melalui bahu.
"Maaf, Ayah. Aku hanya penasaran," bisiknya. Kemudian mulai berjalan.
Melewati ruang keluarga, dapur, kamar mandi, naik ke atas tangga, menyusuri lorong dan berputar ke arah kiri —ia pun sampai di hadapan pintu itu. Pintu bercat merah tanpa cela yang membuatnya penasaran. Tersenyum riang, ia pun menyorot gagang pintu itu dengan senternya.
Menekan gagang itu dan mendorongnya perlahan.
Perlahan sekali.
Sampai pintu itu terbuka.
"Ah!"
Cahaya terbatas yang keluar dari senter itu cukup membantu Naruto. Ia bisa melihat dua buah kursi berdebu dan lukisan-lukisan berpigura yang sudut-sudutnya disarangi laba-laba. Seperti dugaannya, ruangan ini terlihat seperti tak didatangi orang dalam waktu yang lama.
Ia pun melangkahkan kaki telanjangnya masuk. Sedikit berjinjit mengingat tebalnya debu yang menyelimuti lantai kayu itu.
Tak ada yang spesial di sini. Ruangan ini terlihat seperti ruangan biasa di rumah gaya barat. Naruto terkekeh kecil. Jika sedikit dibersihkan, mungkin bisa menjadi ruangan rahasiaku.
Tidakkah terdengar keren mempunyai ruangan rahasia sendiri?
Naruto tiba-tiba menurunkan senyumannya. "Tapi kenapa si pak tua itu melarang aku dan ayah masuk ke sini?"
Dahinya berkerut di kegelapan, tanda bahwa ia tengah berpikir. Dan ia pun menarik sudut bibirnya kembali, kali ini lebih lebar. Sebuah seruan riang bergema di ruangan itu.
"Mungkin ada harta karunnya!"
Naruto berjingkrak-jingkrak. Kemungkinan itu ada! Semangatnya terbakar dalam sekejap. Ia bahkan hampir menjatuhkan senternya.
"Sekarang, jika aku adalah pak tua, di mana aku akan menyembunyikan harta karun itu?"
Naruto bergumam, berjalan mengitari kursi. Kemudian berjongkok, mengintip bagian bawah kursi-kursi itu. Ia mendesah kecewa saat yang ia temukan hanyalah jaring rapuh dengan laba-laba kecil di atasnya.
"Tidak berguna!"
Ia kemudian menegakkan kakinya. Mengembungkan pipi sembari menggerak-gerakkan senter itu, mencari peti atau semacamnya. Tapi, manik biru itu bahkan tak menemukan lemari atau apapun yang bisa menyimpan peti harta karun.
Hampir saja Naruto memutuskan untuk menyerah dan kembali ke kamarnya, atensinya teralihkan oleh sesuatu. Bukan, bukan peti harta karun. Tapi sebuah lukisan.
Naruto mendekati lukisan itu.
"Lukisan yang bagus," gumamnya.
Adalah lukisan sebuah ruangan dengan dinding dari kayu. Lukisan itu sangat realistik, terlampau realistik. Di ruangan itu terdapat sebuah meja kayu dengan dua kursi berhadapan tanpa sandaran yang juga terbuat dari kayu. Ruangan itu hanya punya satu jendela. Yang aneh adalah pemandangan di luar jendela itu. Seolah jendela itu berhadapan langsung dengan langit.
Oh, tunggu. Naruto menangkap sesuatu. Warnanya hijau, rimbun di belakang jendela itu.
Naruto menjentikkan jarinya yang bebas. "Ah! Ini pasti rumah pohon!"
Bersamaan dengan itu, cahaya yang menyilaukan keluar dari lukisan itu. Naruto spontan menutup matanya. Senter yang dipegangnya pun telah lepas dari tangannya.
Dalam sekejap, tubuhnya bagai dihisap penyedot debu. Ia pun merasa tubuhnya tercerai berai, walau tak merasakan sakit. Ia bahkan tak dapat melihat apapun. Tak juga dapat berpikir.
Sungguh, Naruto berharap ini adalah mimpi.
.:: The Portal ::.
Minato terjaga.
Ia terbagun oleh suara bisikan dan langkah kaki yang terdengar dari luar kamarnya. Seperti ada yang berkeliaran di rumah ini dengan mengendap-endap.
"Naruto?"
Minato menegakkan punggungnya. Kedua tungkainya ia jatuhkan di pinggir kasur. Tak mendapatkan respon apapun, Minato memutuskan untuk mengenakan sandal kelincinya dan mengecek keadaan di luar kamarnya.
"Naruto?" seru Minato di depan kamar putranya. Ia lalu menengadahkan kepalanya, melihat jendela ventilasi kamar Naruto. Tak ada secercah cahaya pun di sana —kamar itu gelap gulita. Bukankah itu artinya Naruto sudah tidur?
Tapi itu tak menghilangkan kecurigaan Minato karena tak lama kemudian, ia memutuskan untuk masuk.
"Naruto, kau masih bangun?"
Ceklek
Naruto tidak ada di kamarnya. Selimut bergambar spiderman itu pun sebagian melorot sampai ke lantai. Minato sempat berpikir bahwa Naruto berjalan sambil tidur —Naruto sering melakukannya. Tapi, itu tidak mungkin mengingat Naruto meninggalkan pintu kamarnya dalam keadaan tertutup.
Mana ada orang tidur menutup pintu, bukan?
Minato melebarkan matanya. "Jangan-jangan!"
.:: The Portal ::.
"Kyaaaa!"
Naruto mengerjapkan matanya seiring usahanya mengumpulkan kesadaran. Kepalanya berputar-putar. Sekujur tubuhnya pegal-pegal. Hal pertama yang ia lihat tidak begitu jelas. Seperti ada dua sosok yang tengah menatapnya.
"Waaa!"
Naruto menyeret tubuhnya ke belakang. Telunjuknya di arahkan ke depan, menunjuk dua orang misterius berpakaian aneh yang ekspresi wajahnya tak jauh berbeda dengan dirinya. Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka semua terkejut.
"S-siapa kalian?" Naruto semakin memundurkan tubuhnya, menatap mereka ngeri.
Dua orang itu saling berpandangan. Terlihat bingung, sama-sama tidak mengerti. Mereka berdua sedang mempelajari mantra dan tiba-tiba seseorang berambut pirang muncul begitu saja dari ketiadaan. Macam terjatuh dari lukisan yang tertempel di dinding.
"Seharusnya kami yang bertanya, siapa kau? Bagaimana kau bisa ada di sini?!" Yang laki-laki tegas bertanya. Berbeda dari teman perempuan yang berdiri di sampingnya, ia sama sekali tak terlihat takut.
Naruto meneguk ludahnya. "A-aku…aku tadi…" —mata biru Naruto bergerak-gerak menganalisa sekitarnya— "AH!"
"Ruangan ini! Ruangan ini persis seperti yang ada di lukisan itu! Mejanya, jendelanya juga!"
Anak laki-laki dan perempuan itu saling berpandangan.
"Ha? Rumah pohon ini ada dalam lukisan?" Anak laki-laki itu bertanya dengan wajah geli. Naruto berangguk-angguk dengan cepat.
"Jangan bercanda! Keluar dari tempat ini, sekarang!" ia menarik tangan Naruto, memaksanya berdiri. Kemudian ia menyeret Naruto ke arah pintu dan membukanya. Angin kencang seketika menusuk-nusuk wajah Naruto begitu pintu itu terbuka, membuat iris biru itu melebar selebar-lebarnya.
Secara spontan, Naruto berpegangan pada daun pintu. Demi apapun, ini adalah rumah pohon tertinggi yang pernah ia masuki. Makhluk sebesar gajah pun akan terlihat sekecil semut jika dilihat dari sini. Ia tak sanggup melihat ke bawah lebih lama lagi, atau ia akan muntah.
Namun, anak laki-laki itu dengan keras kepala terus menerus menarik Naruto.
"Gila! Kau mau membunuhku?!" teriak Naruto dengan mata terpejam. Melihat hal itu, anak perempuan yang sedari tadi menonton mereka dengan pasif, mulai mendekati mereka. Wajahnya terlihat ragu.
"Sasuke-kun, mungkin sebaiknya kita dengar dulu ceritanya. Siapa tahu ia tak berbohong," bujuknya. Anak laki-laki yang dipanggil Sasuke itu pun dengan wajah terpaksa menurunkan cengkramannya dari lengan Naruto.
"Hn."
.:: The Portal ::.
Minato bergegas menuju lantai atas. Beberapa kali kakinya tersandung karena ia lupa menyalakan lampu. Perasaannya benar-benar tidak enak. Naruto pasti pergi ke sana!
Ia menyelesaikan tikungan lorong itu dengan putaran sempurna. Minato berjanji akan menjewer telinga Naruto saat ia menemukannya. Bagaimana bila ruangan itu berisi barang berharga kakek Danzo? Bagaimana bila ruangan itu berisi senapan-senapan berburu kakek Danzo dan Naruto dengan ceroboh memainkannya?
Minato menggeleng-gelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang memadati otaknya. Ia kemudian menghentikan langkahnya saat mata birunya menangkap pintu merah ruangan terlarang itu setengah terbuka.
Menghirup nafas, ia pun berjalan cepat menuju ruangan itu dan mendorong pintunya dengan kasar. Pintu itu pun terbuka sepenuhnya dengan suara bedebam keras.
"NARUTO!"
Minato menurunkan tatapan marahnya, menggantinya dengan kerutan di dahi. Pintu ini terbuka, tapi sosok bocah berusia tiga belas itu tidak ada di sana. Yang ada hanyalah senter yang terjatuh di lantai dalam keadaan menyala.
"Naruto! Jangan bersembunyi!" seru Minato setengah berteriak.
Jangkrik yang tinggal di halaman depan menjawab seruannya. Setengah dongkol, Minato memungut senter itu dan mengarahkannya ke segala penjuru ruangan. Tidak, ia tidak menemukan apapun di sana. Di kolong kursi, di balik pintu, di sudut ruangan —Naruto tak ada di mana-mana.
Kalau saja ia menyadari, salah satu lukisan di ruangan itu telah jatuh dari tempatnya.
.:: The Portal ::.
Naruto meletakkan kedua tangannya di atas meja. Tubuhnya ia condongkan ke depan. Manik birunya menatap lekat tanpa berkedip sosok gadis dengan rambut bagai permen kapas yang juga balas menatapnya. Mereka mempertahankan posisi itu sejak beberapa menit yang lalu.
"Apa kau selalu mengamati wajah orang lain seperti itu?" —sebuah suara tak diinginkan terdengar dari anak laki-laki yang berdiri di samping anak perempuan itu. Naruto tak mengindahkannya sementara objek yang ia amati mulai menggeliat gelisah.
"Siapa namamu?" Tanya Naruto, semakin mencondongkan tubuhnya. Anak perempuan itu spontan menarik kepalanya, kemudian menoleh pada temannya yang tengah berpangku tangan —meminta bantuan. Namun anak laki-laki yang diketahui bernama Sasuke itu malah membuang wajahnya.
Menghela nafas, gadis itu membuka mulutnya. "Haruno Sakura."
Naruto tersenyum lebar.
"Kau cantik," komentarnya tanpa pikir panjang.
Gadis bernama Sakura itu menundukkan pandangannya. Kalau dilihat lebih teliti, kau bisa melihat rona kemerahan dibalik kulit seputih susu itu. Ya, Naruto benar. Ia memang cantik. Bisa dibilang, gadis pertama selain mendiang ibunya yang Naruto pikir memiliki wajah yang benar-benar cantik.
"T-terimakasih," cicit gadis itu.
Naruto mengangguk dengan semangat penuh.
"Dari pada itu, ceritamu tadi benar-benar tidak masuk akal." —Naruto memutar bola matanya. Wajah cerahnya seketika mendung mendengar penuturan tak diharapkan yang lagi-lagi seenaknya terlontar dari mulut anak laki-laki bernama Sasuke itu.
"Aku masih tidak percaya bahwa ada dunia lain di dalam lukisan itu," tambahnya sembari mengedikan dagunya ke arah lukisan —ruangan bergaya barat dengan sebuah meja dan dua buah kursi— yang tertempel di dinding kayu rumah pohon.
"Yang tidak masuk akal itu kau yang berniat membunuhku tanpa pikir-pikir. Sadis." Naruto menopang pipinya dengan tangan kanan —kesal.
Sasuke memutar bola matanya. "Mana kutahu kau tidak bisa terbang."
Mulut Naruto berkomat-kamit mengikuti setiap kata yang diucapkan Sasuke tanpa suara. Namun, bocah pirang itu tiba-tiba menghentikan aksinya saat ia tiba di penghujung kalimat.
Eh, apa dia bilang terbang?
"T-terbang? Jadi kalian bisa terbang?!" Naruto spontan berdiri dari kursinya. Matanya melotot, hampir keluar dari tempatnya. Ia menatap kedua teman barunya ini bergantian. Sakura mengangguk ragu. Sasuke mengeluarkan 'hn'-nya.
"Kalian madoushi?"
Sakura dan Sasuke masih meresponnya dengan cara yang sama.
"Kalau begitu kalian punya…" Naruto memeragakan seolah ia menaiki benda panjang bergagang, "…sapu terbang?"
Sakura dan Sasuke saling berpandangan. Alis mereka bertautan. Mereka pun dengan kompak menggelengkan kepala mereka. Jawaban yang tak terduga ini membuat bocah pirang itu heran.
"Lho? Kalau begitu kalian terbang pakai apa?"
"Apa yang kau katakan? Semua orang di sini bisa terbang."
Naruto kembali mengeluarkan wajah terkejutnya. "Tanpa sapu terbang?"
"Tanpa sapu terbang," jawab Sasuke. Jelas dan tegas.
Naruto dengan mempertahankan wajah herannya kembali duduk di kursi yang ia duduki tadi. Di semua film tentang penyihir yang pernah ia lihat, para penyihir hanya bisa terbang jika ada sapu terbang. Tak ada sapu terbang, tak bisa terbang. Tak ada sapu terbang…bisa terbang?
"Aku benar-benar terkejut." Naruto meletakkan kedua tangannya di pipi.
"Apa di duniamu, madoushi terbang menggunakan sapu?" Tanya Sakura, dibalas anggukan kecil oleh Naruto.
Sasuke mendengus keras-keras. "Apa semua madoushi di duniamu berprofesi sebagai tukang bersih-bersih?"
Naruto mendelik. Sejurus kemudian, ia tersenyum.
"O, tidak. Mereka menggunakan sapu untuk memukuli penyihir keras kepala yang hampir membunuh orang tak berdosa," sindirinya. Walau begitu, sikap Sasuke menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak peduli.
Naruto menurunkan pandangannya ke arah satu-satunya gadis di antara mereka. Sececah rasa kesal yang tersisa di raut wajahnya perlahan-lahan memudar.
"Ngomong-ngomong…apa aku bisa pulang ke duniaku?" tanyanya. Nada bicaranya mulai resah. Di film-film yang pernah ia lihat, dua dunia yang berbeda memiliki masa yang berbeda. Bisa-bisa, tinggal sehari di dunia ini sama dengan seratus tahun di dunianya. Kalau begitu, ayahnya akan…
"Apa aku bisa pulang sekarang?" tambah Naruto terburu-buru. Memikirkan hal itu membuatnya semakin resah.
Sakura dan Sasuke saling berpandangan.
"Mungkin kau bisa mecoba cara yang sama dengan caramu masuk ke dunia kami," usul Sakura. Naruto terlihat mempertimbangkannya, sesaat sebelum ia mengangguk antusias.
"Ah, itu boleh juga!"
Namun, sesaat kemudian, ia menurunkan antusiasmenya.
"Tapi, aku juga tidak mengerti bagaimana caranya aku bisa masuk ke dunia ini." Naruto meletakkan kepalanya di atas meja. "Aku hanya berdiri di depan lukisan rumah pohon ini dan mengamatinya. Setelah itu, tiba-tiba dari lukisannya keluar cahaya yang menyilaukan dan aku pun ada di sini."
Hening.
"Ah! Mungkin aku cukup berdiri di depan lukisan itu dan menunggu cahaya silaunya keluar." Naruto bangkit dari kursinya dan berjalan menuju lukisan yang tertempel di dinding. Ia berdiri di hadapannya dengan matanya mengamati, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Naruto melebarkan senyumannya.
Harapannya melambung ke angkasa.
.
.
.
"ARRRGH!"
Cahaya itu tidak pernah muncul!
Naruto yang frustasi tiba-tiba mengerang, lalu jatuh dengan lututnya. Sakura yang iba pun mendekatinya dan berjongkok sambil mengelus-elus punggungnya.
"Sebaiknya otak pas-pasanmu itu banyak belajar dari kejadian ini," komentar Sasuke sementara Naruto mengacak-acak rambutnya.
"Sebaiknya kau memberiku saran, bukannya terus-menerus merecokiku." Naruto memanyunkan bibirnya.
"Itulah saran untukmu."
Naruto kembali menatap Sasuke. "Apa kau tak berniat membantuku?"
"Sudahlah kalian berdua. Sebaiknya kita mencari cara lain," ujar Sakura berusaha melerai, sebelum rumah pohon ini porak poranda oleh pertengkaran tak berguna.
Keheningan yang panjang pun turun di atmosfer, membiarkan deru lembut angin sore mengisi waktu mereka. Ketiganya berpikir keras, mencari cara yang bisa ditempuh demi mengembalikan Naruto ke dunianya.
"Ah! Aku tahu!"
Naruto segera menoleh ke gadis di sampingnya, sedangkan Sasuke hanya meliriknya lewat sudut mata. Sakura secara bergantian menatap Sasuke dan Naruto. Bibir merah mudanya menyunggingkan senyuman ceria yang merubah suasana suram di rumah pohon ini dalam sekejap.
"Kakashi si Tahu Segala! Ia pasti bisa membantu kita!" ujarnya dengan suara teredam —suara yang keluar saat kau berusaha meredam pekikanmu.
Sejurus kemudian wajah Naruto sumringah. "Hah? Maksudmu, aku bisa kembali ke duniaku?"
Sakura mengangguk-angguk dengan cepat tanpa menurunkan senyumannya. Naruto dengan wajah gembiranya meraih tangan Sakura dan menggerakkannya naik-turun. Mereka berdua tersenyum sangat lebar. Harapan yang besar itu kembali melambung di dada Naruto.
"Itu mustahil." —Naruto menurunkan senyumannya— "Dia tidak bisa terbang," pungkas Sasuke.
Naruto melayangkan tatapan tak senangnya. "Masalah kalau aku tidak bisa terbang?"
"Ya, masalah besar," jawab Sasuke santai.
Naruto memandangnya tak mengerti, sampai ia mendengar —"Orang kerajaan bisa-bisa menangkapmu karena kau berbeda."
Naruto terdiam. Sementara itu, Sakura berdiri dari tempatnya dan mendekati Sasuke.
"Tapi kita tidak perlu membawanya keluar kan? Naruto bisa menunggu di sini sementara kita menemui Kakashi!" Sakura bersikeras.
Sasuke memutar seluruh tubuhnya pada Sakura. Onyx itu bertemu emerald. Hitam bertemu hijau. Kegelapan bertemu kecerahan. Anak lelaki itu merendahkan kepalanya.
"Kau tahu kan, apa yang selalu Kakashi tanyakan sebelum ia memberikan sebuah informasi?" tanyanya. Mutiara hitam itu menangkap gerak-gerik gelisah gadis berambut musim semi di hadapannya ini.
"I-ia selalu bertanya alasan," jawab Sakura ragu.
"Kalau begitu, apa alasan kita untuk meminta informasi dari Kakashi?"
Sakura memutar lehernya, menatap Naruto yang telah berdiri dari posisinya. Bocah pirang itu menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya 'ada apa'.
"Naruto," cicit Sakura, pelan sekali. Gadis itu kemudian menunduk.
"Tapi Naruto kan…"
Sasuke menegakkan kembali lehernya. Anak lelaki itu sempat melirik Naruto sebelum ia berjalan ke arah satu-satunya jendela di sana. Helaan nafasnya samar-samar terdengar. Sakura yang mendengar hal itu semakin menundukkan kepalanya. Sejenak sebelum—
"Ah!"
Sasuke memutar lehernya. Naruto menaikkan kedua alisnya.
"Aku ingat." Sakura menyelundupkan tangannya ke dalam jubah hitam yang ia kenakan. Beberapa saat kemudian, ia mengeluarkan sebuah botol kecil transparan dengan cairan ungu di dalamnya. Kedua teman lelakinya mengerutkan dahi mereka.
Sakura menggoyang-goyangkan botol itu. "Tobiyaku."
"Tobi?" Naruto memiringkan kepalanya.
"Apa itu benar-benar akan berguna?" tanya Sasuke. Diam-diam Naruto mengarahkan tatapannya pada anak lelaki berjubah hitam itu. Wajahnya kentara sekali menyiratkan ketidaksukaan —dengan sedikit rasa iri.
'Cih. Tampangnya sih oke, tapi belagunya gak ketulungan.'
"Bagaimana, Naruto?"
Naruto mengerjapkan matanya, kemudian mengalihkan pandangannya pada Sakura. "Hah? Oh, iya — Eh, apa?"
Sasuke memutar bola matanya —"Aku bilang, apa kau mau mencobanya? Sekali tegukkan saja, kau bisa melayang di udara!"
Telunjuk Naruto mengarah pada botol itu. "Apa ini aman?"
"Tentu saja. Aku pernah mencobanya pada tikus," jawab Sakura optimis. Naruto menurunkan lengannya, kemudian menatap Sakura tanpa ekspresi.
"Apa kau menyamakanku dengan tikus?" Namun sejenak kemudian tangannya menggapai botol itu "—Baiklah, aku akan meminumnya."
.::TBC::.
Chapter selanjutnya…
"Wowowow! Aku bisa terbaaaang!"
"Hiyaaa! Sakura-chan, bagaimana cara mengendalikannya?!"
"Kakashi-sensei! Tolong beri tahu kami!"
"Kau harus menjalani takdirmu."
"Apa aku bisa keluar dari sini?"
Glosarium:
Madoushi: Penyihir
Tobiyaku: Nama obat karangan author. Terdiri dari kata tobi (terbang) dan yaku (ramuan; onyomi dari kanji kusuri)
Doumo, Reisouren deshita!
Yah, akhirnya bisa nulis fanfic lagi. Kali ini, saya bikin yang less-romance. Walau begitu, saya akan mengusahakan agar The Portal gak hambar (seenggaknya gak terlalu). Oh ya, karena saya SasuSaku Big Fans, jadi saya usahain masih ada unsur SasuSaku-nya lhooo…meskipun gak akan terlalu banyak muncul sih. Menurut kalian, dalam fanfic ini saya bikin mereka couple atau enggak? Well, tebak sendiri deh :D
P.S. Tadi ada adegan 'Sasuke merendahkan kepalanya' kan? Di anime-nya (season pertama, bukan yang shippuden), mungkin Sasuke tingginya hampir sama kayak Sakura, tapi di fanfic ini saya buat lebih tinggi dikit. Jadi tinggi badan Sakura itu setelinganya Sasuke. Sedangkan tinggi badan Naruto hampir sama kayak Sasuke —ceritanya Naruto kan anak basket. Jadi yang paling chibi di sini itu Sakura, bukan Naruto.
