"Ada apa?"
"Oh my God..."
"Dia... dia... tidak mungkin..."
.
.
Tidurku yang nyenyak ini terganggu akibat suara-suara yang terus bergema di kepalaku. Gaduh yang membuatku tak bisa kembali lelap, terpaksa aku bangun dan rasanya ingin menghardik siapapun yang tidak punya rasa toleransi karena sudah mengganggu tidurku. Kubuka kedua mataku dan langsung bangun dari tempatku semula. Dan yang kulihat adalah hal yang tidak kusangka-sangka.
.
.
"Awas! Minggir!"
"Tadi pagi... aku sarapan di sebelahnya..."
"Cepat panggil guru!"
.
.
.
Harvest Moon Tale of Two Towns © NATSUME and it's affiliates
Another Chance © Ayaka Aoi
AU, typo(s), fast-plotted, OOC, Lillian's POV, etc
Pairing haven't decided yet.
.
.
me
.
who was I?
.
.
Sekumpulan siswa siswi yang mengenakan seragam sekolah mengerubungiku saat ini. Mereka menatapku dengan tatapan yang sulit ditafsirkan; ada pandangan tidak percaya, takut, sedih, dan juga ada yang tidak berekspresi seakan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Beberapa di antara mereka ada yang berpegangan satu sama lain dengan tangannya yang gemetar, ada yang menutup mulut mereka dengan tangannya masing-masing, dan ada juga yang berlalu lalang, entah apa yang mereka lakukan. Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda; hanya satu hal yang kutahu, mereka menatapku dengan begitu nanar.
"Eh? Ada apa?" tanyaku panik dengan suara yang cukup lantang meskipun aku tidak bermaksud seperti itu. Yang tidak kumengerti, tiada satupun yang menjawab pertanyaanku, mereka tetap asyik dengan monolog mereka masing-masing.
.
.
"Dia hanya berpura-pura 'kan? Ada yang sedang ulang tahun hari ini?"
"Apa yang kau lakukan? Kubilang cepat panggil guru!"
"Ini sungguhan?"
.
.
Dengan penuh rasa bingung aku perlahan mendekati seorang gadis pirang dengan mata emeraldnya yang sembab. Ia tampaknya sangat tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia terus berbicara pada dirinya sendiri dengan suara seraknya dengan lirih, tidak peduli ada yang mendengarnya atau tidak, bahkan mungkin ia tidak peduli jika suaranya sendiri mampu terdengar oleh yang lain.
"Aku melihatnya... ta-tapi aku tidak bisa mencegahnya... A-Aku seharusnya bisa datang... lebih cepat... dan..."
Kata-katanya tercekat. Ia tak lagi bersuara, hanya isaknya saja yang terdengar. Aku yang tadinya berniat untuk menanyakan apa yang terjadi, mengurungkan niatku dan memandangnya beberapa saat. Ia tidak berhenti menangis. Kekuatan empati sepertinya bekerja kepadaku. Tanpa sadar kuulurkan tanganku ke atas kepalanya, berniat untuk mengusap surai indahnya yang tergerai sepunggung.
"Eh?"
Aku mengulangi gerakanku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kok?"
Hal yang sama terjadi kembali. Dan aku juga tetap tidak percaya.
Tanganku menembus tubuhnya.
Kuarahkan tanganku lagi secara hati-hati ke arah pipinya yang basah. Aku ingin menghapus lajur air matanya. Aku harus.
Kucoba kembali.
.
.
Gagal.
Aku tidak bisa. Telapak tanganku menembus wajahnya.
Aku benar-benar tidak bisa melakukannya, meski aku tidak ingin percaya hal itu.
Aku tidak bisa menyentuhnya.
Aku tidak mengerti. Dan mungkin aku tidak ingin mengerti.
Kutatap kedua tanganku lekat-lekat. Kuangkat ke arah langit luas. Cahaya mentari menembus begitu saja. Tubuhku transparan. 'Is this for real?' batinku canggung.
Aku mundur beberapa langkah, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Baru kusadari, semua yang ada di sini menujukan perhatiannya pada suatu objek yang ternyata bukan diriku. Aku mengikuti sorot seorang siswa yang ada di sana, yang ujungnya membuatku tak ingin percaya pada kenyataan lagi.
Ada aku di sana. Ada diriku.
'Ah, bukan, ia hanya mirip denganku,' sergahku pada diriku sendiri. Seseorang yang malang dan kebetulan sekali memiliki fitur yang sama denganku. Ia tergeletak tak bergerak, bersimbah darah di sekujur tubuhnya, tubuh yang benar-benar sama dengan tubuhku. Tampak kaki kirinya dalam posisi yang tidak normal, mungkin patah. Begitu juga tangan kanannya. Ouch, terlihat sangat menyakitkan. Roknya sedikit tersibak, memperlihatkan pahanya yang tampak tersayat panjang, cukup dalam, seperti digores dengan pisau yang tajam. Sebagian wajah gadis itu tertutupi surai karamelnya yang berwarna merah darah, dan sebagian wajahnya yang terlihat tampak lebam.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya diam mematung, hingga tiba-tiba kurasakan sebuah tangan yang menepuk bahuku.
"Namaku Mikhail. Ikutlah denganku. Waktumu sudah tiba."
Sontak aku langsung membalikkan badanku. Tampak seseorang dengan gestur yang sangat formal. Rambut putih cepak dengan wajah yang menawan juga perawakan yang tinggi, tak lupa ia menyunggingkan senyum simpul kepadaku. Sex appealnya bahkan melebihi kadar maksimum dalam standarku. Ia tak ubahnya seperti pemeran karakter keturunan bangsawan di film-film. Mungkin sangat jarang jumlah manusia yang seperti dia di dunia ini.
Tunggu... Dia punya sayap di punggungnya.
"Kau cosplayer?" tanyaku polos. Ia hanya tercengang, sebelum beberapa saat kemudian mulai membuka suara.
"Itu," Ia menunjuk pada sosok yang tergeletak berlumur darah tadi, "adalah kau," sambungnya datar tanpa ekspresi, tanpa senyum yang ia tunjukkan sebelumnya. Rasanya ingin aku tertawa atas pernyataannya itu, tetapi anak balitapun tahu bahwa ia tidak bercanda. Tersurat keseriusan di nada bicaranya. Aku hanya terdiam, memaksakan otakku untuk mencerna perkataannya barusan, dan mendoktrin diri sendiri supaya percaya dengan informasi yang kudapat.
"Jadi, kau sudah mengerti sekarang? Ayo, ikut denganku. Aku ditugaskan untuk mengantarmu ke after life." Ia mengulurkan tangannya seraya tersenyum—senyumnya yang sama dengan sebelumnya. Senyum yang menurutku sangat memukau, dan bisa saja semua wanita rela ikut dengannya. Tetapi entah mengapa aku tetap tak bergeming.
"Kenapa aku mati?"
Oke, aku tahu kata-kata itu terdengar janggal, tetapi aku tak tahu mengapa aku mengucapkannya. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Dari sekian banyak pertanyaan yang terbentuk di kepalaku, hanya itu yang mampu keluar. Setidaknya untuk sementara ini.
Mikhail terdiam. Ia menatapku dengan tatapan yang tidak dapat kudeskripsikan.
"Bagaimana diriku semasa aku hidup?"
Pada akhirnya, Mikhail menggelengkan kepala.
"Maaf, aku tidak tahu hal itu," ucapnya dengan senyumnya yang lagi-lagi membuat sebagian dari diriku meleleh, "yang aku tahu hanyalah tugasku sekarang ini. Mengantarmu ke tempat di mana kau akan diadili."
Aku menoleh ke arah siswi pirang sebelumnya, dan menatapnya bimbang. Tiba-tiba ia jatuh pingsan dan hal itu membuatku cukup terkejut. Ingin aku menghampirinya dan melakukan apa yang bisa kulakukan, tapi aku tahu aku tidak akan bisa membantu apa-apa. Aku kembali pada lelaki di hadapanku.
"Tidak adil," protesku, yang membuat Mikhail sedikit tersentak.
"Aku bahkan tidak tahu tentang apa-apa, dan kau bilang aku akan diadili?" tanyaku dengan senyum sarkastik. Lelaki bersayap itu hanya dapat memandangku membatu.
"Kau ingin tahu bagaimana hidupmu?" tanyanya dengan penuh keraguan.
Aku mengangguk mantap. Kubalas tatapan matanya tanpa sungkan. Dan entah mengapa, kurasakan kehampaan di kedua indera pengelihatannya. Sesuatu yang dingin, sesuatu yang sunyi.
Dan di tengah kekosongan itu, kurasakan suatu bagian dari diriku berdesir di luar kendali.
Ia tersenyum lembut, dan sayap putihnya bergerak, mendekap dirinya selama beberapa saat, dan saat sayapnya mengembang, ia sedang menggenggam suatu objek di tangannya.
"Satu bulu, satu hari. Dan sampai hari itu tiba, aku akan selalu ada di sisimu, mengawasimu." Ia merenggangkan benda yang ia pegang yang ternyata adalah sebuah kalung bulu yang tampaknya berasal dari sayapnya sendiri. Sekali lagi, ia menarik sudut bibirnya dan memakaikan kalung itu di leherku.
"Ini yang kau minta, dan hanya ini yang bisa kulakukan," bisiknya perlahan.
Tiba-tiba semuanya gelap. Aku tidak bisa melihat apapun, aku hanya dapat merasakan ngilu di sekujur tubuhku dan anyir darah yang menyesakkan dadaku. Aku berusaha untuk bangun, tetapi untuk membuka mata dan menggerakan badanku saja aku tak mampu.
Semuanya gelap.
Dan aku tak tahan dengan sakit yang mendera tubuhku ini.
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Begitu menggigit, sebelum akhirnya aku terlelap dalam tidurku yang dalam.
Entah bagaimana, aku sendiri tidak mengerti.
.
.
.
To Be Continue
.
.
.
Review, please readers? *wink
