disclaimer : Harry Potter belongs to JK Rowling, not me.
a/n : hai *again* it's still me, nessh. yah, aku memang udah lama tidak muncul dan menghilang begitu saja dari infantrum *digaploks*. tapi yah, semua ada alasannya. anyway, salah satu teman dekatku ingin aku melanjutkan cerita ini. jadi, aku membuat cerita ini sebagai hadiah ulangtahun yang lebih awal untuknya. semoga, aku bisa menyelesaikan cerita ini tepat di hari ultahnya yang ke-19 bulan oktober nanti. wish me luck! *big grin*
warning : hmm.. Rate-T biar aman aja. AU. agak OOC. many typo(s). mungkin agak membosankan, entahlah.
summary: sekuel dari I Wanted To Be With You. Albus Potter, Rose Weasley dan Scorpius Malfoy secara tidak sengaja menemukan fakta tentang Harry Potter dan Hermione Weasley yang akhirnya terarah pada Rose yang ternyata adalah putri dari Harry Potter dan Hermione Weasley. Mereka mendesak Harry dan Hermione untuk menceritakan pada mereka, segalanya.
I Wanted To Be With You: Find The Truth
by nessh
Prolog
Albus Potter POV
Hai, aku Albus Severus Potter. yeah, aku putra dari Harry Potter dan yeah aku tau namaku memang berat. Bagaimana tidak? Aku menyandang nama tiga penyihir terbesar dalam sejarah! Albus Dumbledore, Severus Snape dan Harry Potter. Tidakkah ini menakutkan? Untukku, itu menakutkan.
Tidak seperti Potter lainnya (atau Weasley), aku seorang Slytherin. Saat aku baru masuk Hogwarts, sepanjang perjalanan ke Hogwarts aku terus memikirkan kata-kata Dad, bahwa tidak masalah jika aku memang masuk Slytherin, maka asrama itu akan beruntung memilikiku. Pernyataan Dad itu sedikit menenangkanku. Dan ya, berkat itu sebelum namaku dipanggil aku sudah memutuskan bahwa aku akan pergi ke asrama mana pun yang topi seleksi pilihkan untukku.
Aku masih ingat saat topi seleksi bertanya padaku apa aku mau mengikuti jejak keluargaku atau tidak. Dan tentunya aku sudah menyiapkan jawaban untuk itu.
"Aku akan pergi ke asrama mana pun yang menurut anda pantas untukku Tuan Topi Sir,"
"Kau benar-benar berani dan berpendirian kuat Mr Albus Potter. Seperti ayahmu dan kedua mantan kepala sekolah Hogwarts itu. Kalau begitu, seperti yang pernah aku katakan pada ayahmu, menurutku kau akan sangat berhasil di... SLYTHERIN!"
Semua orang melongo tidak percaya. Aku bisa melihat wajah kakakku langsung pucat, sahabatku Rose melongo bahkan Professor McGonagall pun hanya bisa menatapku tidak percaya saat aku berjalan dengan kepala tegak menuju asrama baruku. Seorang Potter masuk asrama Slytherin itu sangat mengejutkan, apalagi darah keluarga Weasley juga mengalir dalam diriku. Oh, apa aku sudah mengatakan kalau ibuku adalah Ginny Weasley?
Scorpius Malfoy adalah orang yang pertama kali bertepuk tangan untukku, disusul dengan tepukan tangan dari orang-orang di Aula Besar. Ia juga yang pertama menyambutku dan memberiku selamat karena telah masuk Slytherin. Sejak saat itu, aku dan Scorpius menjadi teman baik.
Sebenarnya Scorpius anak yang baik, walau James dan keluarga Weasley masih memandangnya sebelah mata hanya karena dia seorang Malfoy. Dia seorang teman yang setia, yang selalu ada di sana untuk membantuku dan selalu mendukungku, aku sendiri berusaha sebaik mungkin untuk menjadi teman yang baik baginya.
Hubungan Dad dan Mr Malfoy bisa dibilang cukup baik, walaupun mereka jarang bertemu kecuali saat mengantar dan menjemput kami di King's Cross, tapi mereka tidak pernah bersitegang. Dad menghargai Mr Malfoy, begitu pula sebaliknya. Hanya Paman Ron dan saudara-saudaranya yang masih tidak bisa menerima keluarga Malfoy.
Dan ketika aku sedang asyik mengobrol dengan teman-teman asramaku, seekor burung hantu terbang memasuki Aula Besar. Seluruh orang di Aula langsung terdiam saat Prongs, burung hantu Dad itu, mendarat di bahu James. Kendra, gadis kelas tiga yang duduk di hadapanku dan Scorpius, berkata dengan nada heran "Biasanya surat datang di pagi hari,"
Mataku pun kembali melayang pada James yang segera mengambil surat yang terikat di kaki Prongs dan Prongs pun kembali terbang keluar dari Aula Besar.
Wajah James memucat saat ia membaca surat itu, ia segera melompat dari kursinya dan segera berlari pada Rose sambil membisikkan sesuatu. Wajah Rose ikut pucat saat mendengar kata-kata James. James dan Rose segera menghampiriku di meja Slytherin.
"Mum—Al—Mum—" suara James terdengar gemetar, aku tidak pernah mendengar James berbicara seperti ini sebelumnya. Terdengar begitu rapuh, begitu lemah dan tidak berdaya. Biasanya nada suara James selalu bersemangat, tidak seperti ini.
"Ada apa dengan Mum?" perasaan tidak enak segera menjalari tubuhku. Apalagi saat melihat Rose yang sudah hampir menangis di sampingnya.
"Mum—dia—" James menarik nafas panjang sambil memejamkan matanya, seakan berusaha mencari kekuatan untuk berbicara. "Mum—sudah—dia—meninggal,"
Duniaku runtuh saat itu juga. Baru tadi pagi aku melihat Mum tersenyum padaku sambil menyiapkan sarapan , Mum memelukku di King's Cross dan meminta James menyampaikan salam sayang pada Professor Longbottom. Sekarang James memberitauku kalau Mum sudah meninggal, apa dia bercanda? Aku berharap James bercanda.
Tapi tidak, James tidak bercanda. Mum memang meninggal. Begitu pula Paman Ron dan Hugo. Mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat mereka baru saja pulang dari toko Sihir Sakti Weasley. Mobil yang Paman Ron kendarai kehilangan kendali hingga akhirnya menabrak sebuah truk yang berjalan dari arah berlawanan. Hanya Lily yang selamat dari kejadian itu. Dad dan Bibi Hermione yang memutuskan untuk diam di King's Cross lebih lama tentunya baik-baik saja.
Professor McGonagall mengijinkanku, James, Rose dan sepupu-sepupuku untuk pulang malam itu juga menggunakan Floo dari ruang kepala sekolah. Kami langsung pergi ke The Burrow. Mataku menoleh ke sekeliling lalu menangkap tatapan Dad padaku, ia tersenyum kecil lalu kembali menoleh pada Bibi Hermione yang mengubur wajahnya di antara kedua tangannya, Dad membisikkan sesuatu padanya sambil mengalungkan lengannya di bahu Bibi Hermione. Lalu aku menoleh ke arah lain, dimana Rose dipeluk erat oleh Granma Molly yang menangis histeris.
Tapi entah kenapa, di hari itu aku tidak bisa menangis. Bahkan ketika aku menghadiri pemakaman Mum, Paman Ron dan Hugo, aku hanya bisa diam.
Dan sejak aku menginjakkan kaki di The Burrow sampai di saat aku hendak kembali lagi ke Hogwarts, keluargaku malah tidak berbicara sepatah katapun padaku. Termasuk James, kakakku sendiri. kenapa? Karena aku adalah seorang Slytherin! Hanya karena aku seorang Slytherin! Konyol sekali bukan? Hanya Dad, Rose dan Bibi Hermione yang masih mau berbicara denganku.
Hell, bahkan ketika aku baru saja kehilangan ibuku sendiri mereka masih sempat berpikir seperti itu.
Dan—
"Ahem,"
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan menyadari bahwa di depanku sudah tidak ada siapapun. Segera aku mendekati goblin yang berada di balik meja. Dari table-tag keperakan yang berada di meja, aku mengetahui nama goblin itu. Edhook.
"Maaf Mr Edhook, aku Albus Potter ingin melakukan penarikan," kataku dengan suara seresmi mungkin.
Edhook mengangguk, "Bisa kulihat tongkat dan kunci lemari besimu Mr Potter,"
Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan kunci emas juga tongkat sihir Phoenix milikku. Yap, aku memiliki tongkat sihir dengan bulu burung Phoenix sebagai intinya, seperti tongkat pertama milik Dad.
Edhook meneliti tongkat dan kunciku. "Anda merawat kunci dan tongkatmu dengan baik sekali Mr Potter," komentarnya.
Aku mengangguk, "Aku harus menjaga barang-barang milikku bukan," ujarku sambil nyengir.
Edhook mengangguk setuju bahkan sedikit tersenyum, "Benar sekali Mr Potter. Jarang sekali aku melihat tongkat dan kunci dalam kondisi sebaik ini," Edhook menyerahkan kembali kunci dan tongkat sihirku. "Graphnuk akan mengantar anda ke lemari besi keluarga Potter," lanjutnya sambil memanggil seorang goblin.
Aku mengangguk sekali dan mengucapkan terima kasih sebelum mengikuti goblin yang sudah berdiri menungguku. Kami berjalan menuju kereta yang akan mengantarkanku ke lemari besi keluargaku. Geez, sebenarnya aku benci sensasi naik kereta Gringgots ini. Tapi aku harus melewati ini jika aku ingin memenuhi kembali kantongku yang sudah hampir kosong itu dengan Galleon.
"Lemari besi keluarga Potter," ujar Graphnuk setelah beberapa detik berputar-putar dalam kereta dan membuatku mual.
Aku segera mengeluarkan kunciku dan menyerahkannya pada Graphnuk, melompat turun dari kereta sambil menenangkan diriku dan menahan desakan untuk mengeluarkan isi perutku sementara Graphnuk membuka pintu lemari. Pintu lemari terbuka dan aku segera mengeluarkan kantungku, mulai mengisinya dengan berbagai Galleon, Sickle dan Knut.
Aku merasakan kakiku menyenggol sesuatu. Aku menoleh dan mendapati sebuah kotak kayu yang terlihat sudah cukup tua tersembunyi di balik tumpukan emas. Siapa yang menaruhnya disini? Dad? Grandad James? Atau James? Dan kenapa—
"Sir, kita tidak bisa selamanya ada di sini," ujar Graphnuk yang terlihat mulai agak kesal.
Aku menarik kotak itu dari tumpukkan emas, "Apa aku boleh membawa ini?"
"Anda boleh membawa apapun yang berada di dalam lemari besi ini kecuali pintu lemari ini sir," jawab Graphnuk tidak sabar. Aku memutar mata dan segera memasukkan kotak itu ke dalam tas yang sudah kuberi mantra perluasan tidak terdeteksi dan mantra peringan seperti yang Bibi Hermione ajarkan padaku.
Segera saja Graphnuk mengunci kembali lemari itu, menyerahkan kuncinya padaku dan aku pun harus mengalami sensasi kereta Gringgots lagi.
Aku berjalan keluar dari Bank Gringgots, angin musim panas langsung menyambutku di depan Bank. Aku menghirup nafas dalam-dalam, kembali berusaha menyingkirkan rasa mual itu. aku melihat banyak anak-anak berjalan kesana kemari sambil membaca daftar keperluan sekolah mereka. Lima hari sebelum liburan musim panas usai adalah saat dimana Diagon Alley sedang ramai-ramainya dengan orang-orang yang berbelanja di saat-saat terakhir. Syukurlah aku sudah melewati masa itu.
Oh, aku belum bilang? Aku baru saja lulus dari Hogwarts dan sekarang sedang dalam pelatihan untuk menjadi Penerjemah yang bertugas untuk menerjemahkan buku-buku dari huruf rune kuno ke huruf latin yang bisa dimengerti siapa pun.
Kenapa aku memilih menjadi Penerjemah? Gampang saja, aku menyukai Rune Kuno melebihi apapun. Seperti Paman Charlie yang sangat menyukai naga atau Hagrid yang sangat menyukai hewan-hewan aneh. Selain itu, aku tidak ingin bertemu James di Departemen Auror. Hubunganku dan James tidak lagi seperti dulu sejak aku masuk Slytherin. Begitu pula dengan—
"Al!"
Aku menoleh, mencari-cari asal suara itu. Lalu aku melihat seorang gadis berambut cokelat lebat melambai-lambai dari depan Florean Fortescue. Aku tersenyum lebar saat melihat sosok sahabat sekaligus sepupuku itu yang ternyata tidak sedang sendirian.
"Hey Rose, Scorp! Apa yang kalian lakukan disini?" tanyaku saat aku sudah berada di depan mereka. Aku memeluk Rose dan Scorpius sekilas.
"Rose memintaku untuk menemaninya mencari buku," jawab Scorpius menunjuk Rose yang berdiri di samping kirinya.
Aku nyengir jahil, "Ah bilang saja kalian kencan," aku tersenyum puas saat melihat wajah Rose dan Scorpius memerah. Dan tidak bisa menahan tawa saat Rose memukul pundakku. Rose dan Scorpius mulai berkencan sejak mereka kelas tujuh. Aku masih ingat ketika Scorpius bertanya padaku apa tidak masalah jika dia mengajak Rose pergi ke Hogsmaede berdua saja. Tentu saja aku berkata tidak ada masalah dengan itu semua, apalagi aku tidak punya perasaan apapun pada Rose. Kami sepupu! Tidak mungkin aku menyimpan perasaan khusus untuknya.
Anyway, seluruh keluargaku—kecuali Dad dan Bibi Hermione. Merlin! Bahkan ibu Rose sendiri tidak keberatan!—langsung saja heboh ketika mereka tau tentang Scorpius dan Rose, mereka juga menyalahkanku karena aku yang telah bertanggung jawab membuat mereka berdua dekat. Mereka berusaha menjauhkan Rose dan Scorpius, tapi itu tidak pernah berhasil. Bahkan sampai sekarang.
"Hehe, maaf Rosie," ujarku, masih berusaha meredam kekehanku.
Rose mendengus, "Hentikan itu, kita bukan anak-anak lagi," gerutunya.
Aku mengangkat kedua tanganku tanda menyerah, tidak ingin berdebat lebih lama dengan Rose karena bisa dipastikan aku pasti kalah. "Kalian libur? Bukankah pelatihan menjadi Auror dan Healer sangat berat?" tanyaku, mengganti topik pembicaraan.
"Aku libur hari ini, dia juga. karena itulah aku mengajak Scorpie ke Diagon Alley hari ini," jelas Rose yang langsung melupakan topik sebelumnya, "Kukira kau tidak libur hari ini, kalau aku tau kau libur aku juga akan mengajakmu," tambahnya, terlihat agak tidak enak.
Cengiran di wajahku semakin lebar mendengar satu kata yang diucapkan Rose, "Scorpie? Scorpie dan Rosie?"
Wajah keduanya bersemu lagi. Aku tertawa terbahak-bahak. Puas dengan reaksi yang aku dapatkan, walau sebenarnya aku sudah tau tentang 'panggilan sayang' mereka itu sejak lama.
"Hentikan Al! Kita menjadi pusat perhatian di sini," desis Scorpius sambil memandang ke sekeliling. Aku ikut memandang ke sekeliling, oh ternyata kami bertiga memang diperhatikan banyak orang.
"Bagaimana kalau kita ke Leaky Cauldron? Mumpung kita bertiga libur," ajakku.
Rose dan Scorpius berpandangan, aku menahan keinginanku untuk menggoda mereka berdua lagi. "Tentu," jawab keduanya.
Seakan kembali ke masa-masa Hogwarts dulu, aku, Rose dan Scorpius berjalan menyusuri jalanan Diagon Alley menuju Leaky Cauldron. Dulu kami sering sekali berjalan-jalan bertiga seperti ini, walau Rose seorang Gryffindor, ia sering bergabung denganku dan Scorpius. Kami piknik di danau atau pergi mengunjungi Hagrid atau pergi ke Hutan Terlarang. Hagrid bilang kami mirip sekali dengan Harry, Ron dan Hermione saat mereka masih seumuran kami. Hanya saja mereka bertiga adalah Gryffindor, sedangkan kami adalah perpaduan dari Gryffindor dan Slytherin. Oh, dan tidak ada salah satu pun dari kami yang temperamen seperti Paman Ron. Kecuali Rose, di saat-saat tertentu. Seperti misalnya, masa-masa ujian.
Aku dan Scorpius memesan Wiski Api sementara Rose memilih untuk memesan Butterbeer saja. Kami bertiga duduk di sebuah meja yang berada di salah satu pojok di Leaky Cauldron. Tempat yang jauh dari pusat perhatian dan memberi kami lebih banyak privasi juga tidak mengganggu siapapun kalau-kalau kami saling beradu pendapat dengan suara keras.
Aku bercerita tentang Pelatihan Penerjemah-ku yang ternyata sangat santai dan tidak terikat waktu. Aku bisa mengerjakan pelatihanku dimana saja selama aku bisa menyelesaikan tugas-tugasku sesuai dengan tenggat waktu. Ceritaku itu membuat Rose dan Scorpius menjerit iri. "Siapa suruh kalian memilih profesi yang sulit?" kataku sambil nyengir. Rose dan Scorpius mencibir.
Lalu Scorpius menceritakan tentang Pelatihan Auror-nya yang sangat menguras waktu dan energi. Ia juga mengeluh padaku karena James, kakakku tersayang sekaligus salah satu pelatihnya, sangat keras dan disiplin pada semua calon Auror itu, termasuk pada Scorpius. Scorpius juga harus rela melakukan pelatihan di tempat yang terpencil. "Kalian harus selalu siap untuk hal yang terburuk!" Scorpius memperagakan gestur James saat mengatakan itu. aku dan Rose tidak bisa menahan tawa.
Pelatihan Healer yang dijalani Rose juga tidak lebih ringan atau berat dari Scorpius. Healer juga disiapkan untuk keadaan yang serupa dengan Auror karena terkadang Healer juga ikut dalam misi-misi berbahaya dari Departemen Auror. "Dan Hell! Kalian para Auror kadang memiliki luka aneh yang sangat sulit untuk disembuhkan!" keluh Rose.
"Aku semakin yakin dengan pekerjaan yang aku pilih," aku berkata puas. Rose dan Scorpius menepuk bahuku keras sambil menggeleng-geleng. "Hei!" protesku sambil mengurut-urut kedua bahuku. Mereka berdua menghiraukan protesku.
"Hey Al, boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Rose, tiba-tiba terlihat serius.
Aku mengangguk, berusaha tetap terlihat santai. "Tanya saja, kenapa begitu serius?"
"Apa kau dan James masih—kau tau," tanya Rose, terlihat tidak nyaman.
Aku menunduk menatap Wiski Api-ku sebelum menegaknya sampai habis. "Kurasa aku tidak perlu menjawabnya. James hanya melirikku sekilas setiap kali kami bertemu. Dad sendiri tidak tau harus berbuat apa,"
"Dan Lily?"
Aku hanya tersenyum kecil, menggenggam gelasku yang kini kosong lebih erat.
Rose mengulurkan tangannya dan menggenggam jemariku erat. Aku menatap mata cokelatnya, ia tersenyum, aku balas tersenyum. Atmosfer yang tadinya riang langsung berubah menjadi sendu. Aku benci ini.
"Ah!" aku melepas genggaman tangan Rose dan segera membuka tasku. "Tadi aku menemukan sesuatu di lemari besi keluargaku," Aku mengeluarkan kotak yang tadi kutemukan dan meletakkannya di atas meja. Scorpius dan Rose menatap kotak itu penuh tanda tanya.
"Apa ini?" tanya Scorpius sambil meneliti kotak tua itu.
Aku mengangkat bahu, "Kita buka saja," aku mengeluarkan tongkatku dan menunjuk kunci kotak itu. "Alohomora," aku mengatakan mantra pertama yang terlintas di benakku. Dan ternyata kotak itu terbuka!
"Mudah sekali," komentar Rose sambil mengerutkan dahi, terlihat curiga. Aku hanya mengangkat bahu. Lalu kami bertiga segera membongkar isi kotak itu yang ternyata hanya berisi barang-barang tua.
Foto-foto Grandad James dan Grandma Lily bersama para Marauder's juga Dad yang masih bayi. Sepertinya foto ini diambil saat natal. Mainan tua. Sebuah kotak cincin dan sebuah perkamen tua. Aku membuka lipatan perkamen tua itu dan membaca sebaris tulisan yang terukir dalam tinta perak.
"Silsilah Keluarga Potter?"
Rose dan Scorpius yang sedang asyik mengomentari foto-foto tua itu langsung menoleh ke arahku. "Perkamen tua itu?" dahi Scorpius berkerut.
"Perkamen tua yang kosong,"
"Itu karena perkamen ini membutuhkan darah untuk menunjukkan isi perkamen ini," kata Rose.
"Kenapa?" sahutku dan Scorpius bersamaan.
"Agar hanya keturunan keluargamu yang bisa membacanya. Ayo kita lihat," sebelum aku sempat menghindar, Rose sudah meraih tanganku dan memberi sayatan di ujung jari telunjukku.
"Aw!" aku mengaduh.
Rose tidak memperdulikanku dan langsung meneteskan darahku ke atas perkamen. "Oke itu cukup," ujarnya riang lalu segera mengayunkan tongkatnya untuk menyembuhkan jariku.
"Sekarang apa?" tanya Scorpius penasaran.
"Sekarang kita tunggu," jawab Rose.
Aku mengusap-usap ujung jariku yang walau lukanya sudah tertutup tapi masih tetap terasa perih.
"Muncul!" seru Rose.
Aku dan Scorpius langsung bergeser mendekati Rose yang memegang perkamen itu. Berbagai nama yang dihubungkan dengan garis-garis bermunculan. Rose menunjuk barisan paling bawah, "Lihat, ini kau, James, Lily dan—"
Mataku mengikuti arah jari Rose.
"Itu—apa itu namamu Rose? Dan ibumu?" tanya Scorpius. Aku bertanya hal yang sama dalam hati. Nama Dad dan Mum dihubungkan dalam garis lurus yang tegas, tersambung dengan namaku, James dan Lily. Tapi nama Hermione Jane Granger dan Harry James Potter dihubungkan dengan garis putus-putus yang akhirnya mengarah pada nama Rose Hermione Potter dan seorang lagi, Jasmine Helen Potter.
Siapa Jasmine? Dan kenapa nama Rose ada di silsilah keluargaku? Dia seorang Weasley! Benarkah?
Rose menelan ludah, "Itu—itu—kurasa memang namaku. Dan—dan garis putus-putus itu menandakan—" Rose menggigit bibirnya, matanya mulai terlihat tidak fokus, tanda kalau Rose merasa panik atau tidak nyaman, "—itu menandakan—hubungan—umm—hubungan tanpa—tanpa—"
"Tanpa ikatan pernikahan?" Scorpius membantu menyuplai kata-kata, sementara aku hanya bisa melongo menatap perkamen itu. Rose mengangguk kaku.
"Tapi siapa Jasmine?" tanya Scorpius lagi.
Jari Rose yang terlihat agak gemetar menelusuri garis putus-putus itu. "Garis ini menunjukkan kalau—kalau Jasmine itu—umm—saudaraku,"
"Saudara kita," ralatku dengan suara pelan. Rose dan Scorpius langsung menoleh menatapku, kedua pasang alis mereka terangkat. Aku hanya mengangkat bahu, "Jika apa yang perkamen katakan ini memang benar, itu berarti kau dan aku adalah saudara. Kakak-adik,"
Rose menunduk menatap perkamen itu lagi. Tiba-tiba ia melipat perkamen itu dan memasukkannya ke dalam jubah, lalu ia bangkit dari kursinya. "Aku akan bertanya pada Mum," ujarnya singkat.
"Rose!" panggilku dan Scorpius, tapi terlambat. Rose sudah ber-Dissapprate.
Aku mengayunkan tongkatku untuk membereskan barang-barang kembali ke dalam kotak. Dibantu oleh Scorpius yang jelas-jelas sudah terlihat panik karena Rose pergi begitu saja. "Kau bisa langsung pergi menyusulnya kalau kau mau," kataku.
Scorpius menggeleng, "Aku—aku tidak tau kemana aku harus mencari Rose. Hell! Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang!" keluhnya.
Aku memutar mata, "Hey Scorp, aku baru saja menemukan bahwa ayahku memiliki affair dengan ibu baptis kakakku, kenapa malah kau yang tidak bisa berpikir jernih," aku berusaha bergurau walau sebenarnya aku sendiri merasa tidak bisa berpikir jernih.
"Kau lupa bagaimana Rose jika ia sedang marah Al? Dia bisa bertindak sangat bodoh!"
Gerakan tanganku berhenti. Scorpius benar, Rose tidak akan berpikir panjang saat ia sedang dalam keadaan terdesak atau tertekan. Sebuah refleks yang menurut Scorpius seharusnya Rose gunakan dengan menjadi Auror bukannya Healer. "Kita harus segera menemukannya," aku mempercepat gerakan tongkatku dan dalam sekejap semuanya sudah rapi. Aku kembali memasukkan kotak itu ke dalam tas.
"Kemana? Kemana kita bisa menemukannya?"
"Aku tidak tau. Kita cari dia ke The Burrow dulu,"
"Apa? kau tau kan mereka membenciku?"
"Aku tau! Jadi kau ikut aku atau menunggu di sini?" desakku. Scorpius terlihat sedang terlibat dalam perang batin, hingga akhirnya ia menghela nafas panjang dan mengangguk. Aku meraih tangannya dan kami berdua segera ber-Apparate berdampingan ke The Burrow.
Tapi Rose tidak ada di The Burrow atau pun di flat yang ia sewa bersama Bibi Hermione di sekitar pusat kota London Muggle, Bibi Hermione sendiri tidak ada di sana. Satu-satunya tempat yang tersisa di pikiranku adalah Hogwarts. Tempat Bibi Hermione mengajar Mantra menggantikan Professor Flitwick yang baru saja pensiun dua tahun yang lalu.
Aku dan Scorpius ber-Apparate di Hogsmaede yang terlihat agak lengang. Kami mencari-cari Rose dari Three Broomstick sampai Hog's Head tapi tidak menemukan Rose. Berarti tempat yang belum kami cari adalah—
"Apa mungkin Rose ada di Hogwarts?" tanya Scorpius tidak yakin.
Aku menggeleng pelan, "Ini masih libur musim panas jadi aku tidak tau. Tapi kita harus coba,"
Scorpius dan aku baru saja berniat masuk ke Hogwarts ketika aku melihat Rose berlari keluar dari Honeydukes. Aku langsung menarik lengan Scorpius, mengajaknya berlari menyusul Rose yang terus berlari ke arah Shrieking Shack.
"Rose!" teriakku lantang.
"Rose tunggu!" Scorpius ikut berteriak.
Rose berhenti berlari dan berdiri tidak bergerak di tempatnya. Aku berhenti beberapa langkah di belakang Rose sementara Scorpius terus maju dan merangkul Rose dengan lembut. Biasanya aku akan mengejek mereka berdua jika mereka melakukan adegan seperti ini di depanku. Tapi saat ini aku tidak berpikir untuk melakukan hal seperti itu. bukan saatnya.
Rose mengatakan sesuatu, aku mengambil satu langkah agar bisa mendengarnya lebih jelas. "Mum tidak menyangkal..." ujar Rose di sela isak tangisnya. Aku mengambil satu langkah lagi dan suaranya terdengar semakin jelas. "Mum malah minta maaf..."
Saat jarak antara aku dan Rose hanya terpisah dua langkah, ia menoleh. Wajahnya merah dan basah karena airmata, ia menatapku dalam-dalam. Ia tersenyum sendu, "Itu benar Al. Apa yang perkamen itu katakan,"
Aku menahan nafas, sementara Rose mengambil langkah mendekatiku dan mengulurkan kedua tangannya untuk memelukku. Rose memelukku erat sementara kedua tanganku hanya terkulai lemas di kedua sisi tubuhku. Rose berbisik di telingaku,
"Aku adalah putri dari Harry Potter,"
Thank You for reading *big smile*
