Yo yo yo, i'm back!
Says BANZAIIII to me! BANZAIIII! BANZAIIII, BANZAIIII
Setelah lama bermeditasi, kahirnya saya nulis juga. Di tengah kesibukan disini ... Ok, mari hentikan curhatan saya.
Saya hanya akan meluruskan hal yang tidak diinginkan ke depannya. Saya membuat cerita ini bukan karena menelantarkan yang lain, bukan.
Saya membuat cerita ini karena, inilah tujuan saya masuk FFn dari awal. Untuk membuat cerita seperti ini. Namun, karena dulu kemampuan saya belum mumpuni. Makanya projek ini tertunda, dan karena saya sudah berkembang serta merasa cukup untuk membuat cerita dengan tema seperti ini.
Maka tanpa membuang waktu saya membuatnya.
Baik, tanpa banyak bicara lagi.
Here is it, my new story. Keep calm and enjoy the text
.
.
.
.
.
.
.
"Pegangan!"
Sebuah kendaraan roda dua melesat dengan cepat, membelah angin tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di depan. Dua orang remaja berbeda gender terlihat di atas kendaraan itu, dengan remaja laki-laki yang mengemudikan dan remaja perempuan yang nampak sedang menembak ke arah belakang.
Di belakang mereka, seekor makhluk besar dengan tubuh yang sudah sangat rusak berlari dengan semua anggota gerak tubuhnya. Yah, makhluk itu mengejar kedua remaja itu dengan kedua tangan dan kakinya. Bahkan kecepatannya hampir menyamai kendaraan yang ditumpangi keduanya.
Makhluk itu terus berlari, menghiraukan rentengan peluru yang menghantam tubuhnya dengan kecepatan tinggi.
"Cukup, tidak ada gunanya. Lebih baik kau bersihkan jalan di depan."
Si remaja perempuan itu langsung mengubah arah tembaknya ke depan. Membunuh beberapa orang yang menghalangi jalur lintasan mereka. Kepala, kaki itu semua titik yang efektif untuk menghentikan pergerakan mereka dalam situasi ini.
Saat perempuan berambut pirang terang sibuk menembak ke depan, pemuda di depannya tiba-tiba menambah laju kecepatan kendaraannya. Bertepadan dengan sebuah cakar raksasa yang hampir memutus kepala mereka. Membuat jarak dengan makhluk yang tidak lebih dari lima meter dari mereka lebih jauh lagi. Namun, hal itu justru membuat perempuan yang tengah ia bawa hampir terjatuh, untung saja remaja perempuan itu dengan cepat memeluk erat pinggangnya. Membuat bagian depan tubuh dan bagian punggung mereka bersentuhan, bahkan gadis itu nampak merona kecil.
.
.
.
"Ittai! Apa yang kau lakukan!"
"Tentu saja memukulmu, baka!"
"Memangnya apa yang aku lakukan, hah!"
"..."
"Tunggu, apa lagi yang kau lakukan? Hentikan tanganmu, oy! Kita sedang dalam kecepatan tinggi!"
"..."
"Jangan! Jangan bagian itu! Tidak! Tidak! Tidak ...!"
.
.
.
.
.
Nothing Has Change With This World
©Masashi Kishimoto
.
.
.
.
.
Derap langkah kaki terdengar nyaring di lorong sebuah bangunan yang tampak kosong. Beberapa orang tengah berlari di sana, diikuti oleh sosok besar berpakaian hitam di belakangnya. Wajah panik dan lelah bercampur dalam satu ekspresi, penyebabnya tidak lain adalah orang, atau makhluk yang mengejar-ngejar mereka. Bahkan mereka tidak dapat bersembunyi lama darinya, seolah sosok besar itu memasang sebuah pelacak. Satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan adalah, berlari dan terus berlari.
"Semuanya! Cepat masuk ke dalam!" seorang pria menginterupsi para remaja di belakangnya setelah melihat sebuah lubang saluran yang cukup untuk satu orang.
"Bukankah ini saluran untuk pakaian?" seorang remaja dengan sebuah tato segitiga merah di kedua bagian sisi wajahnya bertanya dengan cepat.
"Ya, dan ambil ini kemudian pastikan di bawah aman!" pria dengan rambut putih tadi dengan cepat memberikan sepucuk senjata yang terpasang pada holster miliknya.
"Sasuke, kau dan aku akan menahannya selagi mereka turun. Senjata milikmu akan sangat berguna dalam situasi seperti ini."
Kembali, dia menginterupsi pada pemuda lainnya. Sebenarnya, rombongan mereka tidaklah terlalu banyak. Hanya enam orang, dengan dua perempuan dan empat laki-laki. Namun, yang membuat mereka harus seperti ini adalah makhluk yang terus mengejar-ngejar sedari tadi. Siluetnya telah nampak pada garis pandang mereka, makhluk itu semakin cepat setiap langkahnya. Terus seperti itu hingga jalannya sudah menjadi lari.
Anak tadi telah mesuk ke dalam saluran pakaian itu, dengan sebuah Glock-19 yang tadi diberikan. Sisa remaja lain membantu memperlambat pergerakan makhluk itu dengan semua benda di sekitar mereka. Kalau bisa menghentikannya, selamanya jika perlu, tapi itu hanyalah sebuah angan bagi mereka. Sosok dengan pakaian serba hitam itu luar biasa kuat, tidak perlu dijelaskan seberapa kuatnya. Singkat saja, makhluk itu masih dapat bertahan dalam ledakan sebuah truk berisi penuh bensin. Tanpa sebuah luka berarti, kecuali topinya yang saat itu terbakar hangus hingga memperlihatkan kepala pelontosnya.
Suara bising khas peluru yang terlontar dari larasnya terdengar di tengah sunyinya malam. Targetnya jelas adalah sosok besar itu, walaupun tidak terlalu berpengaruh. Namun, setidaknya cukup untuk memberikan mereka waktu agar dapat turun ke bawah. Suara dentuman besi terdengar samar dari lubang saluran di belakang mereka. Tanda bahwa mereka semua dapat turun sekarang.
"Sakura, Hinata. Kalian turun lebih dulu, setelah itu Toneri akan menyusul. Kemudian Sasuke, sensei akan turun terakhir," lagi, dirinya memberi interupsi kepada anak didiknya. Fokus matanya masih tetap pada makhluk di depan mereka yang terlihat memegangi matanya. Sorot mata pria itu bergulir ke samping, dimana salah satu muridnya tengah tersenyum kecil sembari tangannya mengokang senjata untuk mengeluarkan selongsong yang kosong.
"Tapi, Kakashi-sensei!"
"Tidak ada waktu lagi Sakura! Cepatlah sebelum makhluk itu bangkit kembali!" dengan cepat pria bernama Kakashi itu memotong ucapan muridnya. Dan benar saja, makhluk itu bangkit kembali segera setalah peluru itu menembus matanya.
Genggam tangan Kakashi semakin erat pada senjatanya. Hanya tersisa lima belas butir peluru, dan jarak antara mereka dengan makhluk itu tidak lebih dari sepuluh meter. Dengan cepatnya regenerasi dari makhluk itu, serta pelurunya bahkan tidak dapat menembus lebih dari satu sentimeter dari permukaan kulitnya.
'Ini benar-benar bencana. Aku hanya membuang-buang amunisi, tidak ada gunanya untuk terus melakukan ini. Hanya senjata milik Sasuke yang dapat menembus permukaan kulitnya, namun itu tidak didukung dengan jumlah amunisi yamg ia miliki.'
Kakashi memandang senjata Sasuke. Sebuah senjata api laras panjang dengan peluru berkaliber 7, 66 mm. M24 SWS, cocok untuk seorang seperti Sasuke. Itu juga berarti, dirinya masih bisa menahan makhluk itu dengan sebuah desert eagle yang masih terpasang pada holster di belakang rompi miliknya.
'Namun tetap saja, dampaknya hanya dalam jangka pendek. Dan tidak menutup kemungkinan jika kami akan berhadapan dengan makhluk ini lagi,' cengkraman tangannya melemas, senjata miliknya ia sarungkan kembali.
"Sasuke, cukup! Segera susul teman-temanmu!"
Tangan kirinya bergerak, menurunkan senjata laras panjang milik muridnya. Tatapannya tegas, seperti seorang kapten yang sedang memerintahkan bahawannya. Kemudian pandangan keduanya saling bertemu. Pandangan tegas dan keras kepala, itu terlihat dari keduanya.
"Tidak! Aku akan tetap disini, membunuh makhluk itu!" senjatanya kembali ia angkat, mensejajarkannya dengan makhluk yang tengah mereka lawan saat ini.
"Itu tidak berguna, Sasuke! Kau tahu sendiri tidak ada satu pun dari senjata milik kita yang dapat melemahkannya lebih dari dua puluh detik! Karena itu pergilah! Aku akan mengulur waktu untukmu."
"Tidak sebelum aku membunuhnya!"
"Sudah kubilang untuk pergi!"
"Tidak jika makhluk itu belum mati!"
"Maka pikirkan perasaan Sakura!"
"Memangnya apa pedulimu!"
"Karena kalian adalah kunci dari outbreak ini!"
Perdebatan singkat mereka terhenti, dengan pemuda berambut hitam yang menatap Kakashi terkejut. 'Kunci dari outbreak ini? Apa yang dia maksud?'
"Aku akan menjelaskannya nanti. Untuk sekarang cepat susul mereka. Kau yang akan memimpin dari sini," sudut bibirnya terangkat di balik maskernya sembari wajahnya ia arahkan kembali ke depan.
Sasuke masih memandang gurunya diam. Dia mengerti kalimat itu, bahkan lebih dari sekedar paham. Itu sebuah kalimat perpisahan, entah sejak kapan kalimat itu masuk dalam kategori perpisahan. Tapi di tengah neraka ini, apa yang gurunya sampaikan merupakan sebuah kalimat perpisahan. Dan itu sungguh terdengar buruk baginya.
Sasuke bahkan tidak mengerti, sedikitpun dirinya tidak mengerti. Tentang apa yang mereka alami. Tentang apa yang sedang terjadi. Tentang semua hal di dunia ini! Dia tidak mengerti. Kenapa harus dirinya? Kenapa harus saat ini? Saat dimana dia dan teman-temannya sekarang sedang menikmati libur musim panas. Apa yang Dewa rencanakan? Apa sebegitu marahnya Dewa hingga menciptakan kengerian ini? Tapi kenapa?
"Kau ... Berhutang penjelasan padaku, Kakashi-sensei," nadanya getir. Sasuke tidak ingin kehilangan orang-orang disekitarnya lagi. Tidak dengan situasi seperti ini. Dia telah kehilangan banyak orang-orang yang berharga. Jadi setidaknya, bolehkah dia berharap pada guru yang sudah menjadi penyelamat mereka ini kembali dengan selamat?
"Kembalilah agar aku dapat menghajar wajah di balik topeng konyol mu!"
Bertepatan dengan itu, Sasuke meluncur ke bawah. Menyusul teman-temannya, meninggalkan sang guru sendirian menghadapi makhluk itu.
"Hah ..."
Pria dengan rambut putih bak uban melawan gravitasi itu menghela nafas singkat. Tidak paham dengan sifat salah satu muridnya itu, apa mungkin Sasuke adakah tipe orang tsundere? Mengingat apa yang terjadi antara dirinya dan pemuda itu barusan.
"Seorang guru yang dituntut oleh muridnya sendiri? Lucu sekali," sebenarnya Kakashi ingin sekali tertawa dengan keras. Bukan karena tingkah muridnya barusan, melainkan karena ironi yang terjadi saat ini. Menghadapi makhluk itu sendirian merupakan sebuah tindakan bunuh diri. Apalagi dengan jumlah amunisi yang efektif pada makhluk itu hanya tersisa belasan, dan tidak menjamin dapat menumbangkannya.
"Selamat tinggal dunia, mungkin ini akhirnya. Bahkan disaat seperti ini aku masih ingin membaca novel karya Jiraya-sensei, yang orangnya saja aku tidak tahu selamat atau tidak."
Tubuhnya kemudian meloncat ke samping cepat, menghindar dari sebuah kepalan tangan yang terarah langsung padanya. Menghancurkan sebuah dinding di belakang Kakashi. Keringat dingin mengucur dari wajahnya, sebuah pukulan biasa dapat menembus beton. Bagaimana jika tadi ia tidak sempat menghindar? Tubuhnya tercerai-berai?
"Kau bahkan tidak memberi kesempatan untukku beristirahat, makhluk sialan."
Bertepatan dengan akhir dari kalimat yang ia ucapkan, sebuah pukulan kembali melayang padanya. Namun, kali ini pria yang menjadi guru dari kelima remaja tadi tidak menghindarinya. Dirinya justru menerjang ke arah makhluk itu, dengan sebuah desert eagle yang teracung tepat ke arah kepala makhluk tanpa rambut itu.
"Matilah, agar aku dapat melanjutkan tugas ini dengan tenang, botak!"
.
.
.
.
.
.
.
Nothing Has Change With This World
©Masashi Kishimoto
Rated: M
Genre: friendship, horor, action, tragedy, gore, romance
Arc I: Their Reason
.
.
.
.
.
.
.
Pagi yang cerah di awal musim panas. Orang-orang bahkan nampak keluar dengan semangatnya, tidak ingin melewatkan sedikitpun hari pertama libur panjang ini.
Begitu pula dengaku. Hari ini aku memiliki janji dengan teman-teman, karena hal itu juga aku memakai pakaian rapih. Soalnya jarang sekali aku dapat kesempatan seperti ini. Makanya, hari ini tidak boleh dilewatkan.
Oh, ini adalah hari paling membahagiakan dalam hidupku. Berjalan bergandengan untuk pertama kalinya dengan kekasih, bercengkrama dengan suka ria bersama sahabat paling luar biasa di dunia.
Kami menunggu yang lainnya di stasiun, seperti yang dijanjikan. Meski kata yang lainnya terdengar banyak, yang kami tunggu hanya satu orang lagi saja. Biasanya dia datang tepat waktu, bahkan tidak jarang datang lebih awal dari yang lainnya.
"Ah, itu dia. Shion ..."
Nah, itu dia orangnya. Namikaze Shion, orang yang sudah kami tunggu selama sepuluh menit. Untuk orang sepertinya, jarang sekali datang terlambat seperti ini. Maa, biarkan saja. Lagi pula setiap orang punya privasinya masing-masing.
"Wah ... Kau terlihat cantik hari ini. Bukankah begitu, Sakura?"
Hinata bertanya padaku, tentang penampilan Shion hari ini. Bahkan dia tidak memujiku tadi ... Hinata kau jahat. Tapi yah, terlepas dari semua itu. Penampilan Shion hari ini dapat dibilang, cantik. Sangat cantik, berbeda sekali dengan dia saat di sekolah. Mungkin karena Shion merias dirinya?
Ok, mari kita lupakan pembahasan tentang bagaimana cantiknya Shion. Yang pasti, hari ini kami akan bersenang-senang!
"Ara, aku pikir ada yang lebih terlihat lebih cantik hari ini. Hm ... kira-kira siapa itu, Sasuke-kun?" Shion bertanya pada Sasuke namun pandangannya mengarah padaku. Aku terdiam sejenak, sebelum ku palingkan wajah ke arah Sasuke yang justru berpaling ke arah lain.
Wajahku merona ketika mengerti apa yang Shion ucapkan, apalagi tingkah Sasuke barusan. Entah kenapa, hatiku merasa hangat. Tidak, perasaan apa ini? Aku ingin melihatnya lagi!
"Sudahlah. Semuanya telah datang juga, jadi bagaimana jika kita langsung berangkat?"
"OUUU!"
.
.
.
.
.
Seharusnya, saat itu adalah dimana kami menghabiskan waktu luang. Bersenang-senang bersama, tanpa takut akan kejadian yang akan datang.
Bahkan masih segar di ingatanku saat aku membayangkan kami semua akan menghabiskan seluruh musim panas bersama.
Bersenang-senang, berbahagia, dan tertawa. Tanpa beban dan hanya berpikir tentang persahabatan yang kami jalin.
Namun, itu hanya khayalan semata. Sebuah mimpi indah yang tidak akan terwujud.
Nyatanya, hari itu, di awal liburan musim panas. Semua berubah menjadi petaka yang tidak akan terpikirkan oleh siapapun. Memaksa semua orang bertahan hidup dalam lautan mayat hidup.
Dan itu juga berlaku pada kami. Sekumpulan remaja SMA biasa, di tengah kengerian yang terjadi. Saling melindungi dalam ketakutan nyata.
.
.
.
.
.
"Kita harus keluar dari sini! Tempat ini sudah tidak aman lagi." Kiba nampak memberikan sebuah usulan, namun semuanya hanya tertunduk mendengarnya.
"Memangnya apa yang kita lakukan dari tadi? Bermain anjing kuncing?" Sasuke membalasnya dengan nada sini dan mendapat balasan berupa decihan dari Kiba. Yah, memang benar jika diingat lagi dari tadi kami hanya berlarian saja tanpa arah, menghindar dari makhluk-makhluk yang berusaha menangkap kami.
"Yah, setidaknya aku sudah memberikan saran," balasnya ketus.
Semua tertunduk lesu, selain rasa lelah yang menjalar. Rasa takutlah yang justru mendominasi tubuh kami. Dalam setiap sel pembuluh darah kami, putus asa juga ikut menghantui kami.
"Setidaknya aku belum mau mati, tidak dalam kondisi seperti ini," semua memandang Shion, menatap gadis itu dengan kesal yang besar.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, katakan! Kita semua sudah mencapai batas dan tinggal menunggu waktu saja!"
Gadis itu masih memasang wajah tenang, seolah situasi yang kami alami saat ini bukanlah masalah besar. Hey, aku juga berhak protes jika seperti ini! Siapa juga yang mau berakhir seperti makhluk-makhluk itu, tapi kami sudah kehabisan akal dan tenaga. Jadi apalagi yang bisa kami lakukan selain menunggu waktu.
"Dinginkan kepala kalian, dan cobalah pahami situasi."
"Justru kaulah yang tidak memahami situasi! Kita terjebak, dan sudah tidak ada harapan lagi!" Kiba masih tetap menyulut dengan argumennya. Namun seperti yang terlihat, Shion masih tetap mempertahankan sikap tenangnya. Dan itu mengundang beberapa tanda tanya untuk kami.
"Itu artinya kau memiliki sebuah jalan keluar, bukankah begitu?" Neji akhirnya angkat bicara setelah diam cukup lama. Yah, ia sedari tadi hanya terus mengikuti instruksi saja. Jikapun berbicara, hanya menjawab seadanya saja.
"Tentu saja aku punya, jika tidak untuk apa aku menyanggah Kiba? Meski aku memang tidak berencana mati di tempat ini sih." Shion tersenyum lebar dengan sebelah mata tertutup.
Ekspresi itu, dirinya seolah memberi sebuah harapan kembali untuk kami. Mengisi kembali tekad-tekad yang telah mulai redup. Menyakinkan kembali, bahwa di luar sana masih ada tempat untuk kami bernaung dengan aman.
Sesuatu yang tidak dapat aku lakukan, dan itu membuatku tidak percaya diri. Bagaimana sosoknya yang seorang perempuan dapat kembali membangkitkan semangat kami bertujuh. Namun, itu semua tidak penting saat ini. Yang pasti adalah, kami harus keluar dari sini.
.
.
.
.
.
Disaat semua sedang putus asa. Sosoknya seolah menjadi malaikat penyelamat.
Dirinya memberi sebuah jalan keluar untuk kami, membimbing kami kelaur dari tempat ini.
Saat semua hanya terpaku pada satu hal. Dirinya memikirkan banyak hal, mencari sebuah solusi di tengah situasi yang biasa membuat siapa saja putus asa.
.
.
.
.
.
"Sasuke-kun!" seorang gadis berambut merah muda pendek menghambur, pada seorang pemuda dengan rambut hitam model raven.
Sasuke tidak membalas perlakuan dari kekasihnya, ia hanya tertunduk dengan poni rambut menutup sebagian wajahnya. Membuat orang lain tidak dapat menerka ekspresi dari Sasuke. Semuanya tentu menyadari itu.
"Sasuke, Kakashi-sensei. Dimana dia?" dan pernyataan dari pemuda lainnya, membuat tubuh Sasuke bergetar. Meskipun tidak disadari oleh yang lain, namun gadis yang tengah memeluknya menyadari itu. Bahkan getaran tubuh Sasuke sangat terasa olehnya.
"Tidak ... Jangan bilang ... Kakashi-sensei, telah ..."
Gadis itu menutup mulutnya, tidak kuat untuk melanjutkan apa yang ingin dia katakan. Sasuke sendiri masih tetap diam, tidak merespon. Namun diamnya pemuda itu seolah menjadi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan kekasihnya.
Seketika semua orang juga ikut terdiam, menundukkan kepalanya. Bahkan salah satu gadis dengan rambut lavender panjang di sana, sudah mengeluarkan isakan tangis. Semua hal yang telah terjadi, semua hal yang sudah dilewati, membuat mereka lebih peka terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Juga karena hal itu, rasa empati di hati mereka juga bertambah seiring dengan banyaknya hal yang sudah terjadi.
"Setidaknya, kita harus tetap bergerak. Bersembunyi sudah tidak ada gunanya," Sasuke sebisa mungkin berusaha mengembalikan semangat teman-temannya. Setidaknya, karena dia yang akan memimpin mereka sekarang.
"Tapi, Kakashi-sensei ... Kakashi-sensei ...," Hinata tidak melanjutkan ucapannya, tubuhnya telah dirangkul oleh pemuda dengan rambut putih. Air matanya tumpah, membasahi kaos yang dikenakan remaja itu.
"Tenanglah Hina. Kita sudah melewati banyak hal, juga kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Jadi, untuk menghormati mereka. Setidaknya kita harus terus bertahan hidup dalam outbreak ini," pemuda berusaha menenangkan gadis dalam pelukannya. Dia tidak ingin lagi terlihat tidak berdaya diantara teman-teman, jika masih tidak bisa pun. Setidaknya, dia ingin berguna untuk gadis yang tengah ia peluk.
"Seperti yang dikatakan Toneri, kita harus terus bergerak. Apalagi, kitalah yang akan menjadi kunci dari semua ini."
"Sasuke-kun, apa maksudmu? Apa maksud dari kunci yang kau katakan?"
"Aku juga tidak mengerti. Tapi, itu yang Kakashi-sensei katakan padaku," Keempat remaja disana menatap penuh tanda tanya pada Sasuke, terlebih dengan kata yang dia tekankan dalam kalimatnya barusan.
"Ok, cukup. Kita hanya membuang-buang waktu saja saat ini, lebih baik kita segera bergerak sebelum ada makhluk yang berusaha menghabisi kita lagi."
"Tapi kemana? Tidakkah kau pikirkan itu? Kita sudah- bahkan selalu berlari sejak saat pertama kali neraka ini dimulai!"
Kiba dengan cepat menimpali ucapan Sasuke. Sebenarnya dia sudah lelah terus menerus berlari tanpa arah, ditambah dengan makhluk besar dengan topi fedora yang terus mengikuti mereka sejak keluar dari pusat perbelanjaan. Kakinya sudah tidak kuat lagi jika harus dipaksa berlari tanpa tujuan kembali.
"Tidak, tunggu. Ku rasa aku tahu kita harus kemana," Toneri angkat bicara, membuat perhatian yang lainnya untuk melihat ke arahnya. Bahkan Hinata yang sedang ia dekap pun ikut melenggakkan kepalanya.
"Aku yakin kau juga menyadarinya kan, Hina?"
Alih-alih melanjutkan ucapannya, Toneri justru bertanya pada Hinata. Lalu gadis mengangguk atas respon yang dia berikan pada Toneri, membuat pemuda itu mengusap rambut Hinata dengan tangan kanannya.
"Kurasa, aku menyadarinya ... Terutama saat Kakashi-sensei mengatakan gudang amunisi."
"Jangan, bilang-"
"Tepat seperti yang kau pikirkan, Sakura-chan. Menilik dari ucapannya juga kemana Kakashi-sensei membawa kita. Maka, tujuan kita sudah sangat jelas, yaitu-"
"Markas angkatan darat, kah ..."
Toneri tersenyum teman-temannya menyadari apa yang dia maksud. Itu artinya, mereka mendengarkan apa yang dikatakan oleh Shion. Dan ia senang saat sosok teman berharga baginya tidak dilupakan, 'Meskipun kau sudah tidak bersama kami. Tapi, aku merasa sosokmu justru sangat dekat."
Di antara semua yang ada saat ini, Kiba mengepalkan tangannya diam-diam. Dirinya merasa tidak berguna saat ini, bahkan Hinata dan Sakura berusaha untuk membantu mereka keluar dari sini. Tapi justru dirinya malah tersulut emosi. Bukan hanya saat ini saja. Tetapi sedari awal neraka ini dimulai.
"Tapi jarak dari sini sampai ke sana adalah lima jam, ditambah dengan mayat hidup yang aku yakin Berhamburan di luar saya. Lima jam pasti tidak akan cukup," semuanya berfikir keras saat ini. Mereka sudah bergerak selama lima jam lebih tanpa henti, tenaga mereka sudah terkuras habis. Jika dipaksakan juga, satu jam mungkin tidak akan kuat.
"Aku, tahu jalan pintas untuk kesana. Setidaknya hanya menghabiskan tiga atau dua jam saja," di tengah itu semua, Kiba memberikan sebuah jalan keluar. Jalan yang setidaknya dapat sedikit meringankan beban mereka. Dan juga setidaknya dapat membuat Kiba merasa tidak menjadi beban untuk keempat temannya.
"Jika begitu, Kiba ... Pimpin jalannya."
Sebuah cengiran lebar terlihat jelas di wajahnya. Kedua tangannya mengepal lagi, namun bukan karena sebuah rasa putus asa. Melainkan sebuah keinginan kuat untuk membantu teman-temannya keluar dari sini. Yah, sekarang dirinya tidak boleh mementingkan diri sendiri lagi. Dia harus mementingkan yang lainnya di atas kepentingan pribadi. Karena itu, adalah arti dari sebuah ikatan yang sebenarnya.
'Bukankah begitu, Shion ...'
.
.
.
.
.
.
.
Nothing Has Change With This World
©Masashi Kishimoto
Rated: M
Genre: friendship, horor, action, tragedy, gore, romance
Main cast: Naruto U., Sasuke U., Sakura H., Shion H.
Chapter 1
The Game has Just Only Begun
.
.
.
.
.
.
.
Seseorang dengan setelan berupa kostum bewarna hitam terbuat dari serat khusus, guna mempermudah pergerakan si pengguna. Kerah tinggi dengan sebuah penutup mulut. Sebuah tactical shoulder holster terpasang rapih di tubuhnya, juga sebuah katana yang tersarung di belakamg pinggang orang itu.
Rambut pirangnya menari diterpa angin, dengan mata biru yang bersinar di gelapnya malam. Matanya terpaku pada sebuah bangunan tua di depannya, sebuah mansion yang nampak sudah lama ditinggalkan. Itu terlihat dari kerusakan juga banyaknya lumut dan lalang pada bangunan tersebut.
Tangan kanannya bergerak, menekan sebuah tombol pada sebuah handsfree yang terpasang pada telinga kanannya. Mulutnya nampak mengucapkan sesuatu, mengirim pesan pada orang yang tersambung dengan alat komunikasinya.
Kepalanya kemudian mengangguk, mungkin dirinya telah mendapatkan jawaban atau sebuah perintah dari orang yang dia hubungi. Karena dilihat dari manapun, penampilannya jelas bukan terlihat seperti orang biasa. Lebih seperti seorang agen, apalagi dengan mendatangi sebuah tempat yang tidak ada satu orang pun terlihat di sekitar situ.
Sosok pirang itu nampak menghela nafas pendek, sebelum kedua kakinya menuntun orang itu mendekat pada bangunan kosong di depannya. Tangan kiri orang itu mengambil sebuah senjata api pada holster yang berada di bagian kanan tubuhnya. Menggenggam erat senjata yang ia pegang, sebelum akhirnya ia menutuskan untuk mendengat lebih cepat. Jarak dirinya dengan bangunan itu tidak lebih dari sepuluh meter, namun sesuatu dalam dirinya menutuskan untuk segera memasuki mansion itu.
Tangan kanannya segera memegang kenop pintu mansion itu, dengan tangan kiri yang ia arahkan ke depan, guna mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
"Hm? Tidak ada apa-apa-"
"WAAAAA!"
Tepat, setelah dirinya masuk ke dalam mansion itu. Sebuah jebakan terbuka di bawah kakinya, memaksa orang itu untuk mau tidak mau terjun bebas ke bawah.
"Guh!"
Ia tidak tahu seberapa tinggi dia jatuh, yang pasti. Punggungnya merasakan sakit yang luar biasa akibat dari benturan tadi. Namun itu tidak lama, hanta berlangsung tidak lebih dari dua puluh detik. Hingga sosok itu memutuskan untuk kembali bangkit dan memposisikan sentajanya ke depan.
Welcome to The Laboratory
Please insert your identity
Sebuab suata mekanik terdengar dari segala penjuru arah, dan bertepatan dengan itu. Tempat yang semula gelap, berubah menjadi sangat terang dengan banyaknya lampu yang terpasang.
"Jadi, dari sini aku harus mulai ..."
.
.
.
.
.
.
.
TBC
