Bleach © Tite Kubo
.
Timeline:
Setelah Rukia jadi letnan, tapi sebelum masuk Xcution Arc
.
.
.
Seorang gadis berkeliaran di tengah malam bukanlah pemandangan wajar di Dunia Manusia. Namun jangan samakan di Soul Society, terutama di kota para prajurit Shinigami, Seireitei. Dua puluh empat jam non-stop tidak ada kata tidur. Tanpa memandang gender, mereka berjaga di penjuru kota. Jangan konyol dengan bertanya apa yang mereka kenakan. Tentu saja, seragam militer mereka, shihakusou.
Tapi apa yang kalian pikirkan jika seorang gadis prajurit, bangsawan pula, berjalan di bawah langit malam sambil mengendap-ngendap. Tanpa mengenakan shihakusou, tapi kimono layaknya warga Rukongai. Tanpa Zanpakutou. Tanpa secuil pun identitas selaku seorang Shinigami. Apalagi dengan adanya seorang pemuda yang menunggunya di gerbang.
Mereka prajurit rahasia? Musuh? Perampok? Atau mereka hanyalah sepasang kekasih yang ingin ... ehem ... kalian tahulah.
Berbagai spekulasi berkecamuk di kepala, dan jawaban yang benar adalah ...
.
.
.
Petualang Malam Junrinan
.
(Toushiro Hitsugaya & Rukia Kuchiki)
.
Bagian I
.
.
.
Toushiro memberi waktu Rukia mengatur napas sebelum berjalan tanpa bilang apa-apa. Ia tampak tidak ambil pusing dengan pertanyaan yang menggelayut di benak gadis itu. Mengapa mengajaknya bertemu di tengah malam seperti ini? Mengapa harus datang dengan memakai kimono biasa? Mengapa tidak boleh membawa Zanpakutou? Atau mengapa kapten muda itu sangat suka memerintahkan ini-itu tanpa memberitahu dulu alasannya? Dan mengapa-mengapa lainnya.
Rukia merasa jadi orang bodoh mengikuti ke mana pun langkah Toushiro tanpa tahu ke mana pemuda itu akan membawanya. Menyusuri jalan, berbelok di gang sempit, kembali ke jalan biasa, berbelok lagi, kembali lagi, berbelok lagi. Sampai tujuh kali sebelum tiba di sebuah kedai ramen yang bisa-bisanya buka di jam segini.
Untuk apa mereka ke sini?
Dan jawabannya adalah ajakan Toushiro ke dalam, "Ayo masuk."
Rukia mematung, mematung, dan mematung. Tidak mengekori.
Ia meninggalkan laporan yang menggunung di divisi hanya demi ramen? Menunda tanggung jawab seorang letnan hanya demi ramen? Mencoreng kredibilitas, probabilitas, stabilitas, mobilitas, aksesibilitas, dan kawan-kawan –bilitas lainnya (yang cuma menghabiskan waktu jika disebutkan) hanya demi ramen? Demi Raja Roh dan antek-anteknya, ia tidak akan berleha-leha dengan ramen.
Rukia mengambil langkah mundur dan berbalik.
"Kuchiki," sampai Toushiro menarik lengannya dan memaksa menghadapnya, "aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi ini sebentar saja, aku janji."
"Anda yang ingin makan ramen, kenapa harus mengajak saya?" Rukia protes, benar-benar enggan. "Anda punya banyak bawahan, harusnya ajak saja salah satu dari mereka."
"Tidak ada yang mau."
"Pembohong. Bukan tidak ada yang mau, tapi Anda yang tidak mengajak mereka."
"Kalau sudah tahu, kenapa bertanya lagi."
Meski begitu, Rukia yang masih bermuka semasam asam duduk juga di bangku sebelah Toushiro yang sedang memesan ramen pada pelayan wanita. Kira-kira sepuluh menit kemudian, si pelayan datang lalu menyajikan dua mangkuk dan sumpit.
"Kau tahu, Ukitake mengkhawatirkanmu."
"Mengkhawatirkan tentang apa? Saya baik-baik saja."
Toushiro meletakkan sumpit sebelum menatap Rukia dengan segala simpati yang ia punya. "Sebaiknya kau timbang berat badanmu dan bercermin sebelum berkata baik-baik saja."
Karena desakan penasaran, Rukia meminjam cermin dari pelayan yang kembali datang untuk menyuguhkan dua cangkir teh. Wajah yang terpantul adalah wajah berhias mata dengan lingkaran hitam semirip panda, pipi secekung pipi tengkorak andai tanpa kulit. Singkat cerita nyaris serupa dengan sosok yang baru keluar dari peti mati.
"Benar, kan?"
Begini jelasnya. Ukitake curhat padanya tentang Rukia ketika mengunjungi divisinya sambil membawa hadiah permen (kebetulan hari itu adalah ulangtahun si kapten termuda). Katanya, virus kelewat rajin menyerang si gadis bangsawan setelah diangkat jadi letnan. Sebulan penuh tidak pulang ke Kuchiki Mansion; jam tidurnya cuma tiga jam tiap hari; sering tidak mau peduli pada cacing-cacing perut yang acap mengeluh; dan parahnya lagi, lebih kerap lupa ketimbang ingat sudah mandi atau belum.
"Beristirahatlah, biarpun sebentar saja," Toushiro mengulurkan sumpit yang terus dibiarkan bergeming. "Aku mengerti bagaimana besar keinginanmu untuk memenuhi tanggung jawab sebagai letnan. Dulu aku juga begitu saat masa-masa awal sebagai kapten."
"Dulu? Seolah sekarang Anda tidak begitu."
Hahaha~ beginilah jadinya jika keadaan si penasehat sebelas-dua belas dengan yang dinasehati.
"Iya, iya, kau benar," tapi Toushiro memilih mengalah ketimbang membela diri. Ia tidak mau Rukia pergi dari sini.
"Jadi karena saya yang terlalu rajin—"
"Terlalu-terlalu-terlalu rajin."
"—iya, terlalu-terlalu-terlalu rajin, Anda mengajak saya ken—maksud saya, makan ramen tengah malam?"
"Begitulah."
Terjawab sudah alasan mesti datang tanpa identitas sebagai prajurit. Toushiro ingin Rukia santai, tanpa beban, bebas pikiran dari tetek-bengek kerjaan Shinigami. Setidaknya untuk enam jam ke depan, mereka akan hidup a la warga Rukongai, yang artinya bukan menyantap ramen saja jadi rencana si jenius malam ini. Masih banyak lagi.
"Anda melakukan ini karena permintaan Ukitake-taichou atau ... karena mencemaskan saya?"
Lama sekali Toushiro menjawab, sampai berlirih, "Alasan yang kedua, kupikir."
Namun Rukia yang pendengarannya sangat baik tersenyum senang. Lalu bersemangat melahap sesumpit mie ukuran besar.
Deal sudah diterima. Kencan malam—eh salah, petualangan malam di Junrinan dimulai.
.
.
.
.
.
Apa fortuna dan cucu-cucunya sedang mengembara ke tempat lain? Hingga Toushiro harus dinaungi kesialan ketika bermaksud membayar dua mangkuk ramen. Tengoklah dompet yang ia bawa. Sejak kapan isinya cuma kertas bon: bon makan, bon belanja, bon salon, bon pedicure medicure, bon sepatu, dan—ya ampun, bon pembelian 100 botol sake. Tidak ada pelaku yang melintas di kepala Toushiro, kecuali ...
"Matsumoto ..."
Kemungkinan paling besarnya adalah dompet mereka tertukar.
"Ada apa, Hitsugaya-taichou?"
Nah, bagaimana ini? Toushiro dalam keadaan pinch. Rela jadi tukang cuci piring semalaman penuh, dan ikut merusak kegembiraan si gadis bangsawan? Atau meminta bantuan gadis manis itu dan ikut meluluhlantakkan harga dirinya sebagai seorang lelaki?
Toushiro berbalik, dan menatap Rukia dengan putus asa. "Kuchiki, maaf ..."
Selalu ada pengorbanan untuk sebuah prioritas. Di lain kesempatan, harga diri Toushiro selalu jadi nomor satu, tapi untuk kali ini kesenangan Rukia lah yang terdepan.
Alih-alih keberatan, si bungsu Kuchiki tersenyum gembira seolah tidak pernah kenal yang namanya harga diri laki-laki yang tidak rela ditraktir oleh perempuan. Tidak kepalang tanggung, ia berkata, "Akhirnya saya bisa membalas traktiran Anda selama ini."
Maklum saja setiap kali mereka makan bersama (sebagai sahabat, tentu), Toushiro tidak memberinya kesempatan untuk mengeluarkan uang sepeser pun.
Tapi, Toushiro tetaplah Toushiro. Rona malu bukan main tidak meluruh barang secuil pun.
Yah, nasib malang memang tidak pernah memilih korban.
.
.
.
.
.
Lalu rencana selanjutnya adalah ...
"Memangnya ada yang buka pemandian air panas di jam segini?"
"Ada. Terbuka 24 jam. Bahkan gratis di awal Januari."
Gratis adalah kata favorit Toushiro malam ini setelah insiden anak yang tertukar—koreksi, dompet yang tertukar. Ironisnya, pemberian alamat pemandian diusulkan oleh pelaku sama, Matsumoto, yang merupakan pelanggan tempat itu.
Tidak lama, mereka akhirnya tiba di tujuan dengan pintu berpapan bertuliskan ...
"Tutup?"
"Tidak mungkin," Toushiro berharap setengah mati kalau tulisan di papan adalah 'Buka'. "Permisi! Permisi!" Tidak tanggung-tanggung, pintu kayu itu digedornya (bukan diketuk). Ia bahkan berniat mendobraknya.
"Hitsugaya-taichou, kita bisa datang lain kali." Sampai ketika Rukia mengembalikan akal sehatnya, menariknya menjauh dari sana.
Toushiro menghela napas sekesal-kesalnya. Hari apa ini? Apa hari ini, Hari Mempermainkan Toushiro Hitsugaya?
"Kita pulang saja ke Seireitei," kata Rukia, menenangkan, ketika lanjut berjalan. "Saya cukup puas malam ini."
Tapi kata cukup tidak cukup memuaskan si kapten muda. Bukan malaikat saja yang tahu, Toushiro juga tahu kalau Rukia masih menginginkan kesenangan lebih dari ini.
Namun, bagaimana ketika dompet hanya berisi kertas-kertas yang lebih cocok menghuni tempat sampah. Menyalahkan Rangiku juga tidak adil, Toushiro ikut andil karena tidak memeriksanya terlebih dulu.
Pikiran-pikiran jengkel memenuhi kepala si jenius bagai kecoa yang mondar-mandir. Hingga ketika ia yakin bahwa kesialan memang teman karibnya saat ini sewaktu ...
Byuuur!
... sebaskom air cucian mengguyur mereka dari lantai dua sebuah rumah. Bukannya mandi air panas, malah mandi—coba dicium, ya ampun, air sisa cucian piring.
"Kalian tidak apa-apa, kan?" si terdakwa alias si penyiram alias seorang wanita bertanya.
"Tidak apa-apa!" timpal Rukia cepat, tidak menyempatkan Toushiro yang sedang dalam mood buruk untuk menjawab.
"Salah kalian juga, sih! Makanya jangan pacaran malam-malam!"
Bukan kata maaf yang terdengar, tapi tuduhan.
Rukia berdiri di depan Toushiro, memerhatikan wajah merah padam si pemuda. Ia terkikik geli sambil meraih seutas mie yang mendarat di rambut putih basah si kapten.
"Jangan tertawa," tapi cukup untuk membuat si prodigy tersenyum tipis. "Kau sama sekali tidak berbeda," seraya memungut daun bawang di pipi Rukia.
Senyum lebar masih terpajang di paras manis si gadis bangsawan sampai ketika sosok di balik kegelapan di depan sana menarik perhatiannya.
"Ada apa?" Toushiro setengah berbalik.
Cahaya bulan menerobos kegelapan, berangsur menampakkan dua pasang kaki. Tidak, tiga. Tidak, empat. Oh, tidak, enam pasang kaki.
Hollow? Arrancar? Atau ... Espada?
Tenang. Tidak ada yang benar.
Itu hanya tiga ekor anjing.
.
.
.
.
.
Di TKP-P, Tempat Kejadian Perkara-Penyiraman, Toushiro dan Rukia harus dihadapkan pada ketidakmujuran yang lain.
"Hitsugaya-taichou ..." Rukia berbisik ketika enam lubang hidung trio karnivora tampak mengendus.
"Ah, aku tahu."
Tahu kalau sekujur tubuh yang dipenuhi bau ikan, nasi, sayuran, ramen, daging, dan bau makanan yang tidak dikenali Toushiro telah mengundang lapar si binatang bertaring. Air liur mengalir dari gigi-gigi tajam yang menggeram; siap menerkam, mengoyak, dan melumat tubuh mereka.
Rukia perlahan mundur—Kres!, sampai tanpa sengaja menginjak plastik bungkusan makanan. Yang sama saja menjadi sinyal komando si penyerang untuk benar-benar menyerang. Tindakan paling jenius adalah ...
"Lari!" sambil menyeret Toushiro yang tampak lebih berminat memerhatikan para karnivora itu ketimbang menyelamatkan diri.
"Oi, Kuchiki!" teriak Toushiro dengan tangan masih digenggam. "Apa yang kau lakukan?"
"'Apa yang saya lakukan?' Pertanyaan bodoh apa itu? Anda ingin jadi santapan mereka?"
Menikung ke gang sempit dengan barang rongsokan berseliweran di sepanjang bibir gang. Toushiro yang telah bebas, memungut sepotong papan yang tidak kalah panjang dari lengannya.
"Itu gampang saja. Kita tinggal hajar."
Rukia menoleh padanya, "Anda lupa peraturan Anda sendiri ya, kalau kita tidak boleh menggunakan kemampuan Shinigami sebelum matahari terbit?"
Keluar dari gang, mereka berjumpa sungai berarus tenang yang memantulkan bulan purnama di atas sana. Disusurinya jalan selebar dua meter yang diapit sungai dan gubuk tak berpenghuni. Gonggongan yang bersahut-sahutan masih setia mengekori.
Toushiro berkata enteng, "Mereka hanya anjing jalan. Dengan benda ini, kurasa sudah cukup."
Tiba-tiba Rukia berhenti di tengah jembatan. Dikatakannya sambil melotot tidak percaya, "Bagaimana Anda bisa bicara sesantai itu? Anda tidak kasihan melukai anjing tidak berdosa?"
Andai Toushiro bukan Toushiro, ia sudah menepuk jidatnya. Tidakkah Rukia tahu kalau kebaikan hatinya pada binatang sedang tidak dibutuhkan sekarang?
"Jadi menurutmu, baru setelah kita jadi makanan, aku boleh membuat mereka babak belur?"
"Eh? Itu ..."
Saran saja. Mereka lebih baik lanjutkan debatnya di lain tempat dan waktu. Karena para karnivora yang sedang mengidap kelaparan akut telah dalam posisi menerkam siap menyantap. Berjarak tiga langkah dari daratan, kuku-kuku tajam sudah tidak sabar mengoyak sepasang daging mangsa di hadapannya.
Beruntung kecakapan Toushiro bekerja dengan ciamik. Ketimbang melempar senjata alias papan langsung ke wajah mereka, ia melayangkan ke atas, lalu bergerak cepat ke langkan jempatan. Kaki bertolak, melayang, dan dengan timing yang sempurna tendangan keras mengirim si papan menubruk tiga ekor sekaligus. Gubuk tanpa penghuni di belakangnya pun harus rubuh tak berdosa.
Rukia tercengang mematung. Bukan kondisi yang bagus ketika si trio karnivora masih mampu berdiri. Maka Toushiro yang kini menarik gadis itu. Menembus hutan belantara; melewati barisan pepohonan berbatang menjulang, bersanding dengan dahan, cabang, dan rimbunan daun lebat. Hingga sinar bulan perlu upaya keras untuk menyusup. Napas tersengal satu-satunya yang terdengar, selain hentakan lari menyisir daun-daunan kering yang tidak absen mengiringi pelarian mereka.
Sampai bertemu pagar kayu setinggi dua kali tinggi Toushiro. Ide paling brilian selalu datang ketika jalan buntu menghadang. Yaitu, menumbangkan si pagar tua yang KO dalam sekali tendangan. Bangunan sebesar mansion yang tidak kalah reyot berdiri menyambut mereka dalam gulita malam.
"Tempat apa ini?"
"Entahlah."
Gelitik penasaran menarik mereka untuk mendorong gerbang raksasa setinggi gerbang yang biasa ditemui di semua divisi. Cahaya bulan merangsek masuk, menyinari luasnya bangunan berkayu bertingkat dua dengan berbagai peralatan dan mesin yang memenuhi setiap sudutnya. Mirip pabrik. Atau ... memang pabrik? Pabrik terlantar, tepatnya.
Masuk lebih dalam. Tanpa sengaja sekaligus tanpa sadar, Toushiro menyenggol tuas. Suara roll terdengar setelahnya.
"Suara apa itu?"
Rukia yang tak jauh di belakangnya mengangkat bahu.
Toushiro mendongak, mencari sumber suara. Didapatinya tali-tali yang terbentang bergerak berlawanan dari posisinya. Ia mundur selangkah sampai menabrak tiang yang dua kali tinggi dirinya. Si tiang runtuh dan berhamburan macam kapas.
Toushiro memungut wujud sebenanya dari si tiang. "Kertas? Ini ... pabrik kertas."
Suara roll mendadak lenyap, diganti suara guyuran sedetik kemudian, dan diakhiri dengan decakan kesal Rukia di belakang sana.
"Kuchiki?"
Toushiro menghampiri, dan menemukan Rukia bermimik jengkel dibalik wajah yang berlulur. Ya, gadis itu baru saja mandi bubur kertas. Tepat di atas mereka adalah gentong kayu yang menghadap ke bawah. Tampaknya ada yang mengaktifkan mesin penyimpan bubur kertas. Tahu kan, siapa.
Toushiro benar-benar ingin tertawa sampai ketika gonggongan pengejar sudah tidak jauh dari sana. Ia mengurungkan niat sambil menarik Rukia yang masih sibuk mengeluh bergerak menuju pintu belakang. Tapi alih-alih keluar dari pabrik, pintu tersebut membawa mereka ke ruangan lain yang tidak kalah luas dengan ruangan sebelumnya.
"Ini ... juga pabrik kertas?"
Dari baunya, Toushiro menggeleng. "Bukan. Ini pabrik tinta."
Lalu berjalan cepat, melewati peralatan-peralatan yang masih memenuhi pabrik tua itu. Sampai kesialan pun menjemput Toushiro. Ia tersandung oleh papan dan jatuh dengan tidak elitnya. Wajah mendarat lebih dulu.
"Hitsugaya-taichou?"
Toushiro bangkit dari kubangan-entah cairan apa, tapi dari baunya ...
"Hit-Hitsu—" Rukia membekap mulut, menahan geli.
"Aku tahu apa yang ingin kau katakan, tapi katakan itu nanti setelah kita keluar dari sini."
Yah, Toushiro tahu apa yang ingin Rukia katakan sekaligus tahu apa yang ditahan gadis itu. Tengoklah rupanya. Sulit meredam gelak tawa menyaksikan wajah tampan nan rupawan kapten divisi ke-10 kecebur kubangan tinta.
.
.
.
.
.
To be Continued
.
.
.
.
.
A/N: Yeah. Ide aneh ini mendadak nyempil di kepala, disertai dgn judul yg tidak kalah anehnya. Saya ubah sepuluh kali tuh, tapi tetap aja aneh.
Seperti biasa, fic dgn romance yg nanggung dan setengah2, makanya saya tempatkan di genre friendship. Selain juga karena HitsuRuki di sini masih sahabatan, tepatnya TTM-an
Karena ini cuma TwoShots, doakan sy bisa publish ch akhirnya besok. Karna udah selesai, tinggal edit dikit doang, hehe. Lalu yg nunggu NMtB, sedang masa pengerjaan, udah setengah jalan kok.
Oke, ada temen2 yg mau review fic super aneh ini?
Ray Kousen7
12 Mei 2013
