go yuLET ME IN | JeongCheol Fanfiction (Chapt. 1)

PDA Presents

A/N: Well, the genre is marriage life. But don't ever think if JeongCheol are married in this story.

.

.

.

God will never make any mistake

But the time when I first met you, it really is a big mistake

God's plan is made not to ruin the world

But our feelings will never be accepted by world

.

.

.

Bus hijau itu berhenti didepan halte tersepi diantara pemberhentian lain yang pernah dilewatinya. Tak ada emperan toko atau tanda-tanda kehidupan lain di sisi kanan-kiri jalan. Hal itu membuat Jeonghan bertanya-tanya, apa Bus itu benar mengantarkannya ke alamat yang sesuai dengan yang tertulis dikertas ini. Matanya berkeliling, tubuhnya memutar 360 derajat. Yang terlihat hanya hamparan rerumputan liar dan lampu-lampu jalan yang menjulang tinggi. Dimana deretan perumahan mewah itu bersembunyi?

Seperti yang dikatakan Kakak perempuannya, ia sudah menikah dengan seorang pria kaya dan kini tinggal di sebuah kompleks elite di pinggir kota. Saudara tirinya itu memang cantik dan baik, tapi setiap orang bisa saja berbuat iseng. Setelah melihat lokasinya, Jeonghan jadi meragukan tawaran tumpangan yang diberikan oleh Dasom tempo hari.

Apa kakak perempuannya itu hanya berniat bercanda saja? Oh, tidak mungkin. Jeonghan cepat-cepat menggeleng dan membuang jauh segala prasangka buruk yang tumbuh lancang di kepalanya.

Saat itu juga ia merasakan handphonenya bergetar didalam saku celana. Jeonghan menarik nafas lega setelah melihat nama "Dasom Noona" terpampang dilayar.

"Kau sudah sampai dihalte, Jeonghan?"

"Ya, aku sudah sampai. Dan yang kutemui disi hanyalah... Rumput."

Jeonghan menginjak-injak rumput dipinggiran jalan dengan lesu. Terdengar suara kekehan jahil menyambutnya dari seberang sana.

"Kau jalanlah dulu sedikit, di sisi kiri kau akan menemukan portal bertuliskan 'Melle Residence'."

Sesuai arahan yang didengarnya, Jeonghan melangkah lebih jauh kedalam dan benar saja, ia menelan ludah dengan susah payah saat melihat apa yang terpampang didepannya.

"Ketemu?"

"Ini besar. Sungguh besar..."

"Hahaha... Masuklah dan katakan saja namamu pada penjaga didepan sana. Sampai jumpa."

Klik.

"Ah, hallo? Noona? Hallo?"

Tch, Jeonghan berdecak menatap layar handphonenya yang bertuliskan "call ended". Sambungan telepon mereka diputuskan sepihak. Biar sudah menikahpun, kakak tirinya itu tetap saja menyebalkan.

"Mm, permisi. Aku... Aku ingin menemui kakak perempuanku yang tinggal di daerah sini. Namaku Yoon Jeonghan."

Jeonghan berdiri gugup sambil meremat tali tas yang diselempangkan dibahunya.

Melihat koper yang ditariknya sejak tadi, tidak seharusnya Jeonghan berkata jika ia "ingin menemui kakak perempuannya" pada pria berseragam ini. Sudah jelas dirinya terlihat seperti seseorang yang "ingin menumpang di rumah kakak perempuannya". Jeonghan mengelus tengkuknya dan tersenyum kikuk.

"Oh, kau pasti anggota keluarga dari kediaman Kim."

Sahut pria yang satu-satunya berjaga di pos sebesar ini. Hal ini tidak sesuai dengan ekspektasinya yang membayangkan sekelompok orang bersenjata tengah berjaga didepan portal. Kau tahu, kompleks ini sungguh besar dan megah. Hanya orang idiot yang mau mengamanatkan masalah keamanan pada pemuda yang bermalas-malasan di sofa. Matanya bahkan tak lepas dari benda layar sentuh yang tengah ia mainkan.

Hal itu menambah deretan kata "aneh" mengenai kesan pertamanya terhadap tempat ini.

"Di blok ini hanya ada satu Kim, begitu juga dengan marga lainnya. Tidak akan sulit menemukan rumah Tuan Kim walau tanpa perlu ku antar."

Alis Jeonghan mengerut semakin dalam. Petugas ini banyak bicara, namun tak ada satupun informasi tentang rumah kakaknya yang bisa ia tangkap.

"Ngomong-ngomong, aku harus berjalan kemana?"

Jeonghan pikir ia memang harus berjalan sendirian untuk mencari rumah Dasom.

"Kau tidak ingin ku antar?"

"Tidak perlu. Lagipula, kelihatannya kau sedang sibuk."

Jeonghan tersenyum paksa dan pura-pura merasa tak enak. Dalam hati ia mencibir, tidak ada gunanya meminta bantuan pada orang yang bahkan enggan memandang wajahnya saat mereka bicara.

"Baiklah, jika itu maumu."

Bola mata Jeonghan memutar jengah. Akhirnya, pria itu mau menyingkirkan handphone dari hadapannya dan beralih menatap Jeonghan.

"Oh, wow. Kau..."

Alis Jeonghan bertautan. Sekarang apa lagi? Pria didepannya seperti kehilangan setengah kesadaran, terpaku dan mulutnya sedikit tenrganga. Apa dia baik-baik saja?

"Hey, kau tidak apa-apa?"

Jeonghan memiringkan kepalanya menatap heran.

"Kau pria... kan?"

"Sayangnya, iya."

Jawab Jeonghan dingin ketika meladeni reaksi idiot semacam mempertanyakan gender pada orang yang berdada rata. Orang-orang akan memandangnya dengan mata tak percaya, meneliti tubuhnya dari atas hingga bawah, dan berakhir dengan kalimat;

"Kau cantik."

Maka Jeonghan hanya akan membalasnya dengan "Terima kasih."

Jeonghan selalu berusaha menganggap hal itu sebagai pujian, walau harus memajang senyum palsu untuk memperhalus aktingnya sebagai pemuda berhati malaikat.

"Sebaiknya kau ku antar sampai kerumah Keluarga Kim."

"Tidak perlu. Cukup tunjukkan saja jalan mana yang harus kutempuh."

"Tapi rasanya tak etis membiarkan kau jalan seorang diri."

"Terima kasih, tapi tidak."

Jeonghan tersenyum namun matanya melayangkan tatapan penolakan yang telak.

Jeonghan sudah malas menerima tawaran yang sudah tidak ia perlukan lagi. Dan ya, fisiknya ini sedikit banyak mempengaruhi isi otak bocah yang sok gagah hanya karena seragam hitam keamanannya. Jika dia tidak "cantik", apa pria ini akan tetap menolongnya? Sayangnya, tidak.

Pria itu mengangkat bahu karena tak memiliki alasan lain untuk memaksa Jeonghan, dan memutuskan hanya memberitahu pemuda itu belokan mana saja yang mesti ia lalui dan dimanakah ia harus berhenti.

Jeonghan membungkuk singkat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian kembali menggeret kopernya berjalan memasuki portal megah yang membentengi deretan rumah besar didalam sana. Keadaan begitu terang dengan lampu jalan yang berdiri tiap 2 meter disisi kanan dan kirinya. Jeonghan terlalu fokus untuk mengingat-ingat belokan mana yang harus ia tempuh hingga tak sadar jika ada seseorang-dengan sepeda- sedang mengikutinya sejak tadi.

Langkah Jeonghan berhenti, begitu pula dengan laju sepeda dibelakangnya. Roda-roda itu berdecit dan Jeonghan menyadari ia tidak sendirian dijalanan yang sunyi ini.

Anak kecil?

Mereka saling bertatapan dari tempat masing-masing, cukup lama. Jeonghan tak berani mendekat walau sebenarnya ia ingin sekali bertanya mengapa anak itu bersepeda diluar sendirian malam-malam begini.

Tapi Jeonghan terlalu takut. Ia bukannya tak suka pada anak kecil, tapi ia hanya tidak tahu bagaimana cara mendekati mereka tanpa perlu membuatnya menangis. Sejauh ini, ia hanya berani memberi senyum pada anak-anak TK disekitar rumahnya dari kejauhan. Setelah itu, ia akan berlari sebelum sempat melihat reaksi anak kecil yang hanya akan diam menatap punggungnya menjauh dengan heran.

"H-hey."

Jeonghan mencoba menyapanya, dan maafkan jika ia sedikit terbata. Ia gugup. Jeonghan takut jika anak itu tiba-tiba mengayuh sepedanya mengelilingi jalan dan berteriak minta tolong. Jeonghan benar-benar membayangkannya dan ia meringis ngeri.

Bocah laki-laki itu tetap diam, tanpa ekspresi. Tubuhnya kecil tapi tatapan itu tak selugu bocah lain seusianya. Dia terlihat sangat... Rumit. Jeonghan pikir begitu.

"Kau pulang saja, ya. Ibumu pasti khawatir."

Jeonghan masih berusaha mengajaknya bicara, namun nihil. Ia menyerah. Sampai kapanpun, Jeonghan tak akan bisa membuat anak kecil meresponnya sebaik yang selalu Seungkwan-sahabatnya-lakukan.

"Ya sudah, kalau begitu sampai jumpa."

Jeonghan berbalik dan akhirnya ia bisa melepaskan udara yang selama ini terjebak di rongga dadanya. Ia mulai menghitung berapa banyak kata yang sudah ia ucapkan pada bocah itu, dan ini yang terpanjang selama hidupnya.

Roda kopernya kembali berderit dan Jeonghan melanjutkan langkah menuju tempat tinggal-tumpangan-barunya. Belum satu meter ia berjalan, Jeonghan kembali berbalik dan mendapati bocah laki-laki itu masih dibelakangnya. Ia tak bergeming saat Jeonghan berhenti dan kembali mengayuh sepedanya saat Jeonghan berjalan. Kesimpulannya, bocah itu terus saja mengikutinya dari belakang.

"Boleh kutahu dimana rumahmu? Sepertinya kau takut untuk pulang sendirian."

"Tidak, aku tidak takut."

Akhirnya anak itu mau bicara. Kali ini Jeonghan berusaha mendekatinya, membuang sedikit demi sedikit halusinasi tentang anak kecil yang akan berteriak tiap ia dekati karena bocah ini sama sekali tidak terlihat seperti itu.

Jeonghan meletakkan tas selempangnya dijalan dan berjongkok dihadapan bocah laki-laki yang masih diam memegang kemudi sepedanya.

"Lalu, kenapa kau terus mengikutiku?"

"Aku menyukaimu."

A-apa?

"Kau wanita yang cantik."

Setan apa yang merasuki anak ini? Kenapa dia bicara dengan kalimat orang dewasa seperti itu?

"Ah... Benarkah?"

Jeonghan mencoba mengontrol rasa terkejutnya dan menanggapi bocah itu dengan tenang. Setidaknya ia harus memaklumi, anak-anak di era sekarang sudah jauh berbeda dibanding dirinya dan masa kecilnya dulu. Serat-serat impuls mereka berkembang cepat dan sudah banyak mempelajari hal-hal yang dibawa oleh modernitas dan globalisasi.

"Tapi sayangnya, aku ini laki-laki."

Jeonghan mengelus kepala bocah itu dan tersenyum. Ini menyenangkan. Walau kesan pertama mereka bertemu sedikit aneh, namun ini pertama kalinya Jeonghan bisa merasa akrab dan nyaman saat didekat anak-anak.

"Senyummu mengagumkan. Aku makin menyukaimu."

"Hey, berhentilah bicara seolah kau ini sudah dewasa. Mari, kuantar kau pulang."

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, anak laki-laki itu mengayuh sepedanya pelan mengiringi langkah Jeonghan. Dia bilang rumahnya adalah kediaman Choi yang berjarak 5 blok dari sini.

"Kau memanjangkan rambutmu?"

"Ya, begitulah. Dengan wajah seperti ini, rasanya lebih pantas jika aku memiliki rambut yang panjang."

"Jangan salahkan orang-orang jika mereka menganggapmu wanita."

Langkah Jeonghan berhenti. Jujur saja, ia sempat mengira jika obrolan ini terjadi antara dirinya dan anak umur belasan tahun. Tapi kenyataannya?

"Berapa umurmu?"

"7 tahun."

"Tch, dunia ini benar-benar. Dengar ya, Choi..."

"Seungho."

"Choi Seungho, jika kau ingin memuji kecantikan seseorang, carilah gadis kecil seusiamu."

Jeonghan memberi pengertian sambil mengelus kepala bocah itu. Bagaimanapun, Seungho tetaplah seorang anak berusia 7 tahun.

"Tapi yang aku suka adalah dirimu. Mengapa aku harus mencari orang lain?"

"Tapi lihat, umurku 20 tahun dan kau sendiri masih anak-anak."

"Kalau begitu, tunggulah sampai aku dewasa."

Tuhan... Anak ini benar-benar.

"Ya sudah, terserah kau saja."

Jeonghan sulit percaya jika barusan ia sempat berargumen dengan bocah berumur 7 tahun. Seungho benar-benar anak yang aneh, tapi disaat yang sama Jeonghan jadi tahu jika anak itu juga genius.

"Ini rumahmu?"

Jeonghan mendongakkan wajah dihadapan hunian yang ia sendiri tak yakin berapa tingkatkah ini. 3? 4? Terlalu megah dan tinggi.

"Ayo masuk. Kau akan suka jika mengobrol dengan Ayahku. Dia pria yang menyenangkan."

"Tidak usah. Lagi pula aku sedang buru-bu..."

"Seungho,"

"Hey, Ayah."

Tiba-tiba pagarnya terbuka otomatis dan seseorang yang berdiri dikejauhan pelan-pelan mendekat.

"Sebentar lagi kita makan malam, sayang. Ayo masuk."

Seorang pria berdiri diambang pagar dengan kemeja putih yang lengannya tergulung dan celana hitam. Rambutnya legam, matanya besar namun terkesan tajam. Dagunya runcing dan tegas tapi senyumnya sungguh menawan.

Tunggu. Kenapa Jeonghan begitu konsentrasi pada penilaiannya terhadap pria ini?

"Ayah, lihatlah siapa yang datang bersamaku."

Pria yang dipanggil "Ayah" itu menoleh. Jeonghan terkesiap. Entah untuk alasan apa, ia hanya bisa membulatkan mata dan membisu. Nafasnya berhenti.

"Ah, nona. Terima kasih sudah mau mengantarnya pulang."

"Jangan panggil dia 'nona', Ayah... Dia laki-laki."

"Oh, benarkah?"

Mata lelaki itu membulat. Jeonghan merasa sedikit tertindas melihat ekspresi dan nada bicara pria didepannya yang seakan sulit untuk percaya pada kenyataan.

Apa pria itu akan kecewa saat tahu dirinya adalah laki-laki? Jeonghan berharap aspal dibawahnya segera menelannya hidup-hidup.

"Kau baru pindah kesini? Namaku Choi Seungcheol."

Jeonghan mengangkat alis mencoba mencerna pertanyaan Seungcheol. Isi kepalanya benar-benar sudah kacau sampai ia lupa bagaimana caranya berjabat tangan.

"Ah, iya. Namaku Yoon Jeonghan, dan aku akan pindah kerumah kakak perempuanku, Kim Dasom tepatnya."

Tentu saja, Seungcheol bisa menebaknya hanya dengan sekali melihat koper yang Jeonghan bawa sejak tadi.

"Mampirlah, kami sebentar lagi akan makan malam."

"Tidak usah, terima kasih. Mmh... aku sedang buru-buru. Aku akan langsung pamit pergi. Selamat malam."

Jeonghan membungkuk cepat dan tangannya masih mengepal erat satu sama lain. Kegugupan ini membuatnya gila. Ayahnya Seungho hanya terlalu tampan untuk ukuran seorang pria yang kaya raya. Dunia benar-benar tidak adil. Dia sungguh sempurna.

Ah, sial. Sekarang Jeonghan mengakuinya.

"Sampai jumpa."

Seungcheol membalas membungkuk singkat sambil memendam rasa herannya.

"Yoon Jeonghan-ssi... 10 tahun lagi, kau akan jadi pengantinku! Lihat saja nanti!"

Seungho melambaikan tangan dan meneriakinya dengan nada serius. Benarkah itu serius? Tapi dia hanya bocah berumur 7 tahun, Jeonghan bersumpah!

Jeonghan berlari dengan kepala tertunduk. Ia menolak untuk mengakui jika wajahnya terasa panas dan darahnya berdesir hebat. Dihari pertama ia pindah ke tempat ini, siapa yang menyangka jika ia akan bertemu dengan seorang bocah yang terobsesi padanya dan Ayahnya yang sempurna? Sempurna untuk membuat jantung Jeonghan berdebar setelah sekian lama. Ia bahkan lupa bagaimana sensasinya, sensasi gila saat jatuh cinta.

Jatuh cinta? Tidak secepat itu, Yoon Jeonghan. Bukankah ia sudah berjanji untuk berhenti menyukai pria? Setidaknya, bukan tertarik pada seorang pria yang telah memiliki anak.

.

.

.

"Ayo cepat masuk Jeonghan..."

Dasom menarik tangannya dengan bersemangat saat mereka melewati pintu utama untuk kedalam. Beberapa Maid berjejer didepannya. Mereka kompak membungkuk saat ia tiba bersama Dasom dan salah satunya datang mengambil koper dari tangan Jeonghan.

"Wow..."

"Bagaimana? Ini keren, bukan?"

"Kukira pembantu dengan seragam renda hanya ada di televisi."

Dasom terkekeh, karena pada awalnya dia juga mengira begitu. Tapi lihatlah sekarang. Ini kehidupan barunya. Semua benar-benar nyata dan Jeonghan belum melihat hal yang lebih menakjubkan dari sekedar rumah besar dan lampu-lampu kristal dilangit ruangan.

"Kau harus bertemu dengan suamiku. Dia sangat tampan dan menakjubkan. Aku akan menyombongkannya padamu!"

Dasom kembali menarik tubuh kurus Jeonghan, melewati berbagai lorong rumah yang memiliki banyak pintu disisi kanan kirinya. Figura menempel disana-sini. Pajangan mahal sudah seperti barang biasa yang bisa kau pecahkan kapanpun kau mau. Ini benar-benar keren.

"Sayang, dia sudah datang."

Mereka tiba diruang makan. Meja panjang dengan belasan kursi berjejer disana, dan seorang pria berkulit tan duduk bersama secangkir kopi dan makanan lain yang terlihat belum pernah ia sentuh.

Pria itu berdiri. Senyumnya kecil dan Jeonghan tak menganggap itu sebagai sambutan yang ramah. Yang ada, ia jadi merasa takut dan sungkan. Inilah sang pemilik rumah, raja di kediaman megah ini dan suami kaya raya yang selalu dibangga-banggakan oleh Dasom.

"Ayo Jeonghan, beri salam padanya."

"Se-selamat malam... Namaku Yoon Jeonghan."

Jeonghan membungkuk beberapa derajat dan pria itu membalasnya. Suara sepatu dan lantai menghentak tanda datangnya sosok itu mendekat.

"Aku Kim Mingyu, selamat datang dirumah kami."

Tangan panjangnya terulur. Jeonghan meraihnya perlahan dan mereka pun berjabat tangan.

"Kalian harus mengobrol dimeja makan sementara aku mengambil cake perayaan yang kubuat tadi siang."

Dasom menepuk bahu Jeonghan dan mencium pipi Mingyu sekilas sebelum berlalu meninggalkan mereka.

Jeonghan membisu. Ia menunduk saat menyadari mata Mingyu meneliti setiap inchi tubuhnya dengan mata yang setajam elang.

"Kau..."

Tubuh Jeonghan mengejang. Tangan Mingyu berhenti bergerak saat menyentuh helaian rambutnya yang panjang.

"Mengaggumkan."

Kepala Jeonghan terangkat seketika. Irisnya melebar menatap Mingyu dengan sejuta perasaan yang tak dapat ia jelaskan.

Pria itu tersenyum dan Jeonghan bersumpah, rasanya seperti sebuah pelecehan saat Mingyu meletakkan tangannya yang dingin diatas pipi pucatnya. Tatapan itu meruncing penuh distraksi.

"Kau bahkan 100 kali lebih cantik dari istriku, Yoon Jeonghan."

.

.

.

Jeonghan jatuh terperosok dibalik pintu kamar barunya yang terkunci setelah melewati 1 jam panjang berada dalam pesta makan malam yang mereka sebut sebagai "Welcome Party."

Namun Jeonghan tak merasa sedikitpun menjadi bagian dari keluarga ini. Dirinya lebih pantas disebut sebagai tawanan saat Kim Mingyu terus saja menatapnya dengan sepasang mata runcing yang seakan ingin memangsanya hidup-hidup. Ia tidak menyangka jika suami yang selalu dipuja-puja oleh Dasom selama ini ternyata tak lebih dari seorang bajingan. Satu-satunya yang membuat pria itu nampak hebat hanya karena harta dan ketahtaannya.

Hari ini merupakan hari paling mengerikan sepanjang 20 tahun Jeonghan hidup di dunia. Ia sudah pernah merasakan bagaimana kelaparan, di bully teman sekolah, bahkan dicampakkan seorang pria, namun rasanya bahkan tak seburuk bila dibandingkan dengan apa yang terjadi hari ini. 2 orang pria datang dengan senyum yang berbeda, dan memenuhi isi kepalanya seketika hingga rasanya ingin pecah.

Choi Seungcheol adalah pria yang sempurna. Dia pria baik-baik yang sayangnya, dia terlalu baik untuk bisa Jeonghan harapkan. Mengejar Seungcheol sama halnya dengan kata tak mungkin, tapi bayangan pria itu tak bisa lari dari serat-serat impulsnya hingga sekarang.

Sedangkan Kim Mingyu, dia pria tampan dan kaya namun hal itu tetap tak bisa merubah apapun. Dia hanya seorang bajingan yang akan memburunya cepat atau lambat. Jeonghan meredam suara tangis itu dengan menggigit kuat lengan jaketnya. Dasom tak boleh tahu soal ini. Saat dikamar mandi, Mingyu tiba-tiba datang menyusulnya dan meremat dadanya penuh nafsu dari belakang. Tangannya melayangkan tamparan untuk Mingyu namun hal itu tak membantu. Yang ada, pria gila itu tersenyum dan menciuminya dengan lancang. Mingyu... Dia benar-benar seorang maniak.

Jeonghan tak tahu bagaimana caranya ia menghadapi hari esok. Jeonghan ingin segera pindah dari tempat mengerikan ini, namun ia tak punya alasan untuk pergi. Ia tak punya kerabat di Seoul selain Dasom, dan kuliahnya yang baru juga akan dimulai besok pagi. Semua memakai uang Mingyu, dan Jeonghan merasa muak saat harus mengakuinya.

Takdir macam apa ini? Jeonghan mengumpat pada Tuhan dan semakin hari ia semakin membenci hidupnya. Ia gay, miskin, dan selalu dilecehkan. Apa Tuhan tak pernah mendengar disaat ia mengeluhkan ini semua?

Seseorang tiba-tiba datang mengetuk pintunya.

"Jeonghan, seseorang bernama Choi Seungcheol menelponku. Dia bilang, dia ingin bertemu denganmu besok untuk membicarakan sesuatu."

.

.

.

Only my shadow knows how I feel about you

Only my shadow goes to where I dream of you and me

Should I go... or wait?

Is it too soon... or too late?

Only my shadow knows

.

.

.

Jeonghan mematut pantulan dirinya yang direfleksikan oleh cermin, mengikat setengah bagian rambutnya yang panjang dengan telaten. 3 tahun sudah ia merawat rambut blondenya hingga jadi sepanjang ini. Bibirnya tiba-tiba tersenyum tanpa ia sadari.

Satu-satunya hal yang ia suka dari dirinya adalah wajah ini. Jeonghan menyukai wajah cantiknya, kulit pucatnya, tubuh rampingnya, semua maha karya Tuhan yang menjadi miliknya. Bukan semacam rasa kagum atau narsisme berlebih terhadap diri sendiri, namun lebih kepada rasa syukur terhadap apa yang ia miliki. Seseorang akan dengan mudah mencintainya dengan fisiknya yang menawan, walau tak sedikit pula orang yang begitu membencinya karena dia seorang pria dengan perawakan wanita.

Jeonghan tersenyum miris tiap kali teringat akan masa sekolahnya yang tidak begitu menyenangkan. Pandangan orang-orang seketika berubah saat tahu ia memacari siswa idola di sekolah mereka. Tak ada yang bisa menerima begitu saja jika kapten tim basket memiliki pacar seorang lelaki cantik. Bagaimanapun, menjadi gay sama halnya dengan menjadi sampah dimata orang-orang.

Jeonghan dengan mudah menyingkirkan kembali potongan kelam masa lalunya dengan sekali hembusan nafas panjang. Ia menyisir surainya yang lurus dalam satu arah. Matahari sudah cukup tinggi dan ini adalah hari pertamanya masuk kuliah.

Paginya ketika terbangun, hal pertama yang Jeonghan lihat dilangit kamar adalah senyuman semu dari pria bernama Choi Seungcheol, orang yang berhasil melumpuhkan setiap sistem syarafnya dalam semalam. Dan ranjang empuk serta selimut beludrunya tetap terasa mumuakkan, karena semua adalah milik Mingyu.

Nama Mingyu membuatnya terpaku pada kelopak matanya yang berkantung, efek menangis semalam suntuk. Kim Mingyu menambah deretan hal yang paling ia benci di dunia ini. Jeonghan meraba bibirnya dan tiba-tiba rasa mual menjalar sampai ke pangkal tenggorokkannya. Ia jadi teringat pada ciuman busuk itu. Air matanya hampir saja jatuh kalau ia tak sempat mendengar suara hentakan heels datang memasuki kamarnya yang tidak terkunci.

"Pagi, Jeonghan."

Dasom mencium pipinya dan tersenyum dibalik pantulan cermin. Dadanya semakin terasa sakit. Dasom, kakak perempuan tercintanya ini tidak boleh tahu apa yang terjadi semalam.

"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu."

Jeonghan membalas dengan menatap Dasom dari cermin, mengisyaratkan wanita itu untuk merasa bebas menanyakan apapun padanya.

"Dari mana kau bisa mengenal Choi Seungcheol?"

Dadanya sedikit tersentak mendengar nama itu. Jeonghan menyamarkan rasa gugupnya dengan tersenyum tipis.

"Ceritanya rumit. Tapi intinya, aku hanya tak sengaja bertemu dengannya semalam. Memangnya kenapa?"

"Kau... Apa kau tertarik padanya?"

"Sedikit."

"Jeonghan, kukira kau bisa memilih orang yang tepat. Choi Seungcheol itu, dia..."

"Tenang saja, Noona. Aku sudah berhenti untuk mengejar orang yang tak mungkin bisa mencintaiku, seperti Choi Seungcheol. Dia pria yang baik, dan aku takkan mungkin merusaknya."

Jeonghan tersenyum, dan sepanjang hidupnya, ini senyuman terpahit yang memerlukan banyak pengorbanan untuk membuatnya terlihat nyata. Jeonghan tidak menyangka, berkata demikian menciptakan rasa nyeri luar biasa di ulu hati. Ia hanya berharap, ucapannya barusan bukan sekedar bualan palsu. Ia tak ingin merusak kehidupan Choi Seungcheol hanya karena cinta sepihak yang ia rasakan.

"Aku percaya padamu, Jeonghan."

"Terima kasih."

Dasom memeluknya dan Jeonghan membalasnya dengan dekapan yang lebih erat. Ia begitu menyayangi wanita ini. Mereka menjadi saudara karena Ayah Jeonghan menikah untuk kedua kalinya dengan Ibu Dasom. Tak ada hubungan darah diantara mereka, namun hanya Dasom yang paling mengerti dirinya dibanding siapapun didunia ini.

.

.

.

Jam kuliahnya berakhir cepat. Tak sampai sore Jeonghan sudah bisa keluar dari ruang kelas yang membuatnya merasa sesak karena dihujani berbagai jenis tatapan dari orang-orang. Beberapa gadis mulai lancang mencibir kearahnya saat laki-laki tampan di kelas mendekatinya. Tch, untungnya ini bukan sesuatu yang baru bagi Jeonghan. Ia akan selalu tersenyum manis pada setiap pria yang tertarik padanya dan memberi seringai meremehkan pada gadis yang menatapnya tajam. Karena Jeonghan bukan lagi remaja belasan tahun yang akan dengan senang hati menundukkan wajah tiap kali ditindas oleh teman sebayanya.

Siang ini cukup mendung, hingga Jeonghan merasa sedikit khawatir akan kehujanan sebelum sempat duduk didalam Bus. Kaki rampingnya berlari kecil menuju halte saat guntur kecil mulai menyahut.

"Butuh tumpangan?"

Sebuah sedan hitam berhenti disampingnyaa. Matanya menyepit dan kepalanya sedikit merunduk untuk melihat wajah si pengemudi yang menawarinya tumpangan.

"Yoon Jeonghan-ssi!"

"Omo.."

Jeonghan reflek mundur selangkah, ia kaget. Pemuda kecil dengan seragam sekolah tiba-tiba mengejutkannya dari balik kaca mobil yang terbuka. Seungho?

"Ayo, masuklah kedalam."

Pria yang mengenakan jas menunjuk kursi dibelakangnya dan tersenyum. Jeonghan tak punya refleks untuk mengangguk ataupun mengiyakan. Tubuhnya terlanjur membeku. Irisnya melebar karena sulit mempercayai apa yang dilihat oleh matanya saat ini.

Choi Seungcheol?

.

.

.

Dan disinilah mereka sekarang, di restoran cepat saji tengah kota yang selalu ramai bahkan di jam-jam sibuk sekalipun. Seungcheol datang dengan nampan berisi penuh makanan. Ayam, kentang goreng, dan minuman sodanya.

"Seungho, ambil jus jerukmu."

Bocah kecil itu mendesah malas dan terpaksa menaruh kembali gelas soda yang ia inginkan. Jeonghan tersenyum simpul menahan tawa.

"Aku kan bukan anak kecil lagi."

Gumam bocah itu sebelum menyereput jus jeruknya.

"Aku bisa mendengarmu, Choi kecil."

"Ayah..."

"Tidak ada orang dewasa yang memaksa mau makan direstoran cepat saji."

"Baiklah, Ayah yang menang."

Seungcheol benar-benar terkekeh dan mengacak surai legam anaknya dengan gemas.

Jeonghan memandang mereka tanpa berkedip sedetikpun. Perasaan hangat itu menjalar begitu saja dihatinya, bibirnya tak bisa berhenti tersenyum dan kupu-kupu kecil masih menari-nari diperutnya.

"Jeonghan-ssi?"

"Ah, ya?"

Jawab Jeonghan kikuk. Rupanya, ia terlalu lama tenggelam dalam lamunanannya sendiri. Lamunan tentang betapa bahagianya ia bila bisa menjadi bagian dari keluarga Choi.

"Kau juga harus makan. Kuharap kau tidak keberatan dengan makanan cepat saji seperti ini."

"A-ah... Tidak masalah. Aku suka kentang goreng."

Jeonghan mencomot sepotong kentang goreng dan langsung menggigitnya.

"Ah, panas.."

"Kau tidak apa-apa?"

"Em... aku baik-baik saja..."

Ini memalukan sekali, sungguh. Jeonghan merutuki kebodohannya sendiri dalam hati, sedangkan tawa kikuknya dirasa tak cukup membantu untuk menghilangkan kecanguggunan diantara mereka.

"Kau itu sungguh menggemaskan, Jeonghan-ssi. Aku makin menyukaimu."

Sela Seungho dengan nadanya yang selalu dan selalu terdengar serius. Bibirnya masih mengulum sedotan jus jeruknya. Sorot matanya yang tidak lugu menatap lurus kearah Jeonghan, membuat Seungcheol memperhatikannya dengan seksama.

Celaka... Batin Jeonghan terasa tak enak.

"Ehem..."

Jeonghan berdehem pelan, membuat Seungcheol mengakhiri segala pemikiran rumit dikepalanya dan beralih menatap pemuda blonde itu.

"Ah, maaf Jeonghan-ssi. Sebenarnya, hal inilah yang ingin kubicarakan padamu."

Screw it. Dugaannya benar. Jeonghan tak tahu harus menjawab apa jika Seungcheol nanti bertanya bagaimana caranya anak kesayangannya itu bisa terobsesi pada lelaki berwajah cantik yang berumur 20 tahun. Karena, ia sendiri benar-benar tidak tahu apa yang salah dengan Seungho. Bocah itu hanya terlalu... Rumit. Seperti anak yang dewasa sebelum waktunya.

"Semalam, Seungho tidak pernah berhenti bercerita tentangmu. Bahkan tadi disekolah-..."

"Aku melukis wajahmu, Jeonghan-ssi. Dan kupajang lukisannya di ruang kelas."

Seungcheol jadi kehabisan kata-kata. Ia memalingkan wajah, terpejam sejenak sambil memijit keningnya berusaha tenang.

"Dia... Dia begitu terobsesi padamu."

Jeonghan juga tak bisa berbuat apapun selain bungkam seribu bahasa. Tapi kemudian...

"Maafkan aku..."

Wajahnya tertunduk, perasaan menyesal yang luar biasa bergejolak begitu saja didadanya.

"Mungkin karena penampilanku yang terlalu feminim, bocah sekecil Seungho jadi salah paham..."

Tangan kurusnya meremat satu sama lain diatas pangkuan. Jeonghan berusaha keras mengontrol nada bicaranya agar Seungcheol tidak menyadari jika air matanya sudah turun.

"Ayah kejam. Ayah sudah membuatnya menangis."

Cetus Seungho dengan nada dingin. Seungcheol seketika beranjak dari kursinya dan mendekati Jeonghan.

"Ah, Yoon Jeonghan-ssi... Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."

Seungcheol menunduk mencari sorot mata Jeonghan untuk ditatapnya dan meminta maaf secara langsung. Namun yang ada, Jeonghan semakin tak bisa berkutik saat merasakan pundaknya yang disentuh oleh Seungcheol terasa kebas dan panas. Tangan Seungcheol...

"Maafkan aku, Tuan Choi."

Tanpa sempat menghapus air matanya, Jeonghan segera beranjak berdiri dan berlari meninggalkan tempat itu.

"Jeonghan-ssi!"

Pandangan Jeonghan mengabur karena tangisnya sendiri. Untung ia tidak salah mencari pintu keluar dan mengabaikan tatapan orang-orang yang penasaran tentang apa yang terjadi.

"Jeonghan-ssi!"

Grab!

Seungcheol menarik lengannya dan tubuh Jeonghan tersentak berbalik menghadap pria itu. Jalan raya yang tak pernah lengang mengaburkan suara isakan kecil Jeonghan.

"Maafkan aku, sungguh."

Pinta Seungcheol, yang benar-benar merasa bersalah. Jeonghan cepat-cepat menghapus air mata bodohnya dan berusaha tersenyum, untuk Seungcheol.

"Kau tidak perlu meminta maaf, Tuan Choi. Akulah yang salah. Karena aku, Seungho-..."

"Istriku sangat berterima kasih padamu."

Seperti ada sebuah dentuman keras yang menghantam kepalanya, iris Jeonghan berubah gelap dan menerawang jauh dalam kekosongan.

"I-istri...?"

Jadi Seungcheol bukan seorang duda?

"Iya, istriku. Ibunya Seungho. Dia bilang, Seungho tak pernah bercerita banyak hal dengannya sebelum bertemu denganmu semalam. Sebelum tidur, Seungho minta ditemani oleh ibunya untuk menceritakan apa yang ia lihat tentang dirimu. Xiyeon sangat bersyukur saat Seungho sudah bisa terbuka dengan kami, karena kau..."

.

.

.

"Seungho sejak kecil memang tidak banyak bicara. Dia pendiam, dingin, dan lebih senang berkutat dengan buku-buku dibandingkan denganku, Ibunya."

Seorang wanita cantik, bahkan sangat cantik, menceritakan sedikit tentang karakter putra semata wayangnya dengan mata yang berbinar. Pikirannya bagai menerawang jauh pada setiap masa yang ia lewati bersama Seungho.

Tiba-tiba tangannya yang pucat mendekat pada telapak tangan Jeonghan yang tergeletak diatas meja, menggenggamnya dan menatap pemuda itu dengan sorot mata penuh pengharapan.

"Terima kasih, Yoon Jeonghan-ssi. Berkat kau, Seungho bisa berubah sedikit demi sedikit. Meski obsesinya salah tentangmu, tapi seiring waktu, aku percaya jika Seungho bisa merubah cara pandangnya."

Perempuan itu tersenyum dengan rasa tulus yang dengan mudahnya menyentuh lubuk hati Jeonghan. Jam analog masih berdetak dengan tidak sabaran. Seungho sudah tidur karena sekarang sudah pukul 9 malam.

Dan Jeonghan tetap tak mengerti kenapa ia masih disini, duduk diruang yang entah apa namanya dikediaman Choi. Bahkan bertemu, dan berbicara langsung dengan seseorang yang tak ingin ia temui seumur hidup. Wanita, istri dari pria yang dengan semena-mena ia sebut sebagai cintanya. Tuhan...

"Terima kasih, Yoon Jeonghan-ssi."

Seungcheol, pria itu berdiri dibelakang istrinya dan menaruh tangan kokohnya diatas bahu kecil Xiyeon. Sekujur tubuh Jeonghan terasa menggigil, pandangannya berkunang-kunag dan tak ada kata yang bisa mewakilkan apa yang dirasakan oleh dadanya saat ini.

Jeonghan tersenyum, pahit. Getaran dibibirnya ia samarkan dengan sedikit anggukan, tanda bahwa ia menerima semua ucapan terima kasih yang mereka tujukan padanya.

Tuhan, hentikan saja nafasku jika suatu saat keegoisan membutakan mata ini dan aku... Aku menghancurkan kebahagian mereka.

Jeonghan sadar, berkorban demi orang lain sama artinya dengan membantai mimpi-mimpimu sendiri. Dan ia harus siap membiarkan mimpinya tentang Choi Seungcheol itu musnah digerus oleh pahitnya kenyataan.

.

.

.

Siang yang berganti malam kini terasa bagaikan cambuk bagi Jeonghan. 3 hari berlalu dengan setengah nyawanya yang pergi. Ia tak menyangka jika merelakan cinta yang bahkan tak pernah sempat ia miliki tak jauh berbeda dengan menelan aphrodisiac kemudian mati. Tubuhnya duduk diruang kuliah namun jiwanya tak pernah berada disana untuk mendengarkan.

Sampai malam itu, Jeonghan pulang dengan keadaan setengah mabuk karena 2 botol soju yang diteguknya bersama beberapa teman lama. Langkahnya berjalan gontai menuju kamar. Tak ada sosok Dasom yang menyambut kedatangannya malam ini. Jeonghan ingat jika semalam wanita itu sudah pergi ke London untuk agenda belanja tahunannya. Ia pun langsung berbaring ketika sudah sampai diranjangnya yang besar dan aroma mawar yang kuat langsung menusuk indera penciumannya.

Atap diatasnya terlihat dingin dan bisu. Tawanya menggema sarkastik saat bayangan Seungcheol perlahan-lahan terbentuk dengan sempurna diatas sana. Tangannya terulur, mencoba meraba paras semu yang sangat sulit ia gapai.

Tapi Kim Mingyu merusaknya.

Kim Mingyu menghancurkan lamunan indahnya tentang Seungcheol dengan seringaiannya yang keji.

"Membayangkan sesuatu?"

Tubuh pria itu berada diatasnya. Kesadaran Jeonghan sudah melayang terlalu jauh hingga ia tak tahu bagaimana caranya menyingkirkan tubuh orang ini dari hadapannya.

"Kau terlihat lebih menggairahkan saat mabuk."

"Mmh..."

Bibir Mingyu membungkam mulutnya dengan ciuman penuh tekanan. Tangan Jeonghan terkunci dikedua sisi kepalanya. Dayanya tak cukup banyak untuk meronta lebih keras dari ini.

"Aku mendengar kau menyebut nama Seungcheol semalam."

Mingyu menjalarkan sentuhannyan pada pipi hingga ke perpetongan leher Jeonghan. Tatapannya menyulut ingin mengintimidasi.

"Kau menyukainya, benar?"

Jeonghan membalas tatapan Mingyu dengan seluruh kebencian yang ia miliki. Matanya memerah dan panas, air mata mengalir begitu saja menuruni pipinya yang pucat.

"Jangan bermimpi terlalu jauh, Yoon Jeonghan. Aku sudah mengenal Seungcheol sejak masa sekolah. Dia tipe pria yang takkan mudah tergoda walau kau bertingkah jalang sekalipun."

Slap!

Satu tamparan keras Mingyu terima dipipi kirinya.

"Kau meremehkanku? Kau menaruh ludah diatas semua harapan-harapan yang aku miliki? Kau boleh melakukannya, Mingyu. Tapi satu hal, kau kira aku tak cukup jalang untuk mendapatkan Seungcheol? Kau salah besar."

"Menyerahlah. Masih ada aku, Yoon Jeonghan."

"Aku lebih baik mati dari pada harus melebarkan selangkanganku untukmu."

Dan tepat setelah Jeonghan mengatakan itu, Mingyu melebarkan seringaiannya dan mulai memainkan jari diatas perinci kulit perut Jeonghan yang terlihat dibalik bajunya yang sudah tersingkap.

"Tunjukkan padaku seberapa jalang dirimu ini. Aku sudah tahu semuanya, Jeonghan. Kau, dan semua pria yang pernah menjadi kekasihmu. Mereka adalah korban dari iblis yang tertidur nyenyak didalam tubuhmu ini. Dia akan terbangun tiap kali kau menemukan pria yang sempurna untuk kau jadikan mangsa."

.

.

.

Jeonghan terbangun saat fajar menyingsing dan mendapati tubuh telanjang Mingyu yang terbalut selimut masih tertidur lelap tepat disampingnya. Mereka melakukannya. Jeonghan menjambak kuat surainya saat ingatan tentang kejadian semalam berputar jelas dikepalanya. Rasanya benar-benar pening. Jeonghan segera beranjak kekamar mandi dan mengunci diri disana.

"Aaagghh!"

Jeonghan masih berusaha keras menjambak rambutnya dan berteriak frustasi. Tubuhnya kini sudah terendam dalam bathub yang berisi air dingin. Air matanya tak kunjung surut. Hidupnya benar-benar hancur sekarang.

Suara-suara Mingyu yang memuakkan kembali terngiang-ngiang dikepalanya. Mingyu tahu semuanya? Siapa pria itu? Apa yang sebenarnya ia inginkan dari Jeonghan?

Tawa skeptis tiba-tiba meluncur dari bibirnya yang pucat. Jeonghan membayangkan Seungcheol. Membayangkan bagaimana ia mengambil pria itu dari tangan Xiyeon dan membuatnya menjadi miliknya. Hidupnya akan bahagia dan sempurna.

"Berhenti mengharapkan Choi Seungcheol? Heh. Kau salah Mingyu. Aku akan memilikinya. Choi Seungcheol... Dia akan bertekuk lutut mencintaiku, secepatnya."

.

.

.

Jeonghan memasukkan dokumen lamaran pekerjaannya di slot meja resepsi, kemudian mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan tempat itu. Bukan sebuah proposal yang penting. Ia hanya melamar sebagai pengantar kopi dan pengelap meja di gedung perkantoran mewah di Seoul.

"Sampai bertemu lagi, Choi Seungcheol."

Jeonghan melanjutkan langkahnya dengan ringan, menikmati semilir angin dan birunya langit diatasnya dengan senandung lembut. Besok, ia tinggal menunggu jawaban untuk proposalnya dan menjalankan semua sesuai rencana.

.

.

.

To Be Continued

A/N: Saya usahakan update chapter selanjutnya besok malam. Wish you love it!

And don't forget to leave your review here