Disclaimer:
Detective Conan © Aoyama Gosho
Menunggu dan Mencari © reycchi
.
Warning:
Modified-Canon, OOC, typo(s), bad end.
.
Anggap saja saat ini, Conan terjadi pada tahun 2014.
Selamat menikmati.
.
Menunggu dan Mencari
I - Menunggu
by Aoshima Mina (reycchi)
.
.
.
.
.
24 November 1984
Halo, aku Fusae Campbell, umur 20 tahun. Kini aku berdomisili di Amerika.
Setelah rengekan tidak berarti, akhirnya aku berhasil membujuk orang tuaku untuk membelikan tiket penerbangan ke Tokyo, tiga hari sebelum hari ini.
Dan aku berhasil tiba di sini hari ini.
Menunggu, diiringi kopi panas dan makan siang paket lengkap yang kudapat di rumah makan cepat saji terdekat. Aku menggelar tikar, makan siang ditemani guguran daun gingko dan hembusan angin yang menerpa helai rambut pirangku.
Matahari sudah di atas, memberi kehangatan yang tidak ada efeknya bagi tubuhku. Angin musim gugur jauh lebih menusuk daripada sinar matahari, entah mengapa.
Aku tersenyum menatap langit. Ini sudah sepuluh tahun, bukan? Seharusnya dia datang, bukan?
Ribut kemudian memenuhi udara. Aku menolehkan kepala, samar-samar melihat anak-anak kecil berlari keluar dari sekolah. Ada yang tertawa, ada yang hanya memaku senyum, ada pula yang berbicara tanpa henti. Tersenyum aku melihat tidak ada satupun dari mereka yang betah mengerucutkan bibir.
Tidak sepertiku dulu, syukurlah.
Beberapa anak berjalan ke arahku. Tanpa menyapaku—mungkin takut dengan wanita berambut pirang tak dikenal—mereka berjalan menuju kandang hewan-hewan peliharaan sekolah. Tertawa-tawa sambil memberi makan ayam dan kelinci yang ada.
Lagi, aku tersenyum. Bukankah itu yang sering kulakukan dulu?
.
.
.
24 November 1994
Sudah sepuluh tahun lewat, bisnisku sudah mulai berjalan. Saat ini, produk yang sudah kuluncurkan hanya satu model dompet dan tas.
Menikah? Memang itu yang ditanyakan oleh seluruh kenalanku. Sayangnya, untukku yang sudah melewati usia tepat menikah ini tidak dapat menemukan pria yang cocok.
Ah, pria yang bagiku cocok itu bahkan tidak datang menemuiku sepuluh tahun yang lalu.
Mungkin dia sibuk seharian itu, batinku berusaha menenangkan diri. Ah, sebenarnya lebih tepat kalau aku katakan bahwa aku berusaha menghibur diri dengan berpikir bahwa dia memiliki perasaan yang sama denganku.
Ah... entahlah.
Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup lama. Apa mungkin dia sudah melupakanku?
Jika jawabannya iya, mengapa aku lagi-lagi menunggu di sini?
Jika jawabannya tidak, mengapa ia tidak kunjung datang?
Aku menghela napas sambil mengunyah nasi kepal yang tadi kubeli. Menunggu memang sudah menjadi kebiasaan bagiku, hanya saja rasanya tidak semenyesakkan ini. Rasanya tidak...
Semenyakitkan ini.
Tapi...
Melihat senyum dan tawa anak-anak yang asyik mengelus-elus kelinci milik sekolah itu...
Kini, aku tersenyum.
Tidak masalah menunggu selama aku tidak menunggu sesuatu yang sia-sia dengan kegelisahan dan rasa khawatir.
Ya... aku akan baik-baik saja.
Walau hari ini ia tidak datang.
.
.
.
24 November 2004
Hari ini hujan.
Beruntungnya, aku membawa payung. Ah, tidak, sebenarnya aku memang selalu membawa segala macam perlengkapan ke sini. Aku tidak pernah melewatkan satu barang penting pun, sebab aku tidak tahu kapan ia akan datang.
Hari sudah hampir sore saat aku melihat seorang gadis kecil berambut hitam berdiri di bawah pohon gingko yang rimbun. Gadis itu menatap langit dengan kecewa sambil melipat tangannya di punggung. Dilihat dari tas kecilnya, tampaknya gadis itu tidak membawa payung.
"Nona kecil sedang menunggu apa?" tanyaku ramah.
Gadis itu mendongak melihatku dan menjawab, "ah, aku hendak pulang, tapi tiba-tiba hujan."
"Pakai payung Tante saja," ucapku sambil menyodorkan payungku padanya.
"Nanti Tante basah, dong?"
"Tidak apa-apa," jawabku dengan senyum. "Begini saja. Kalau kamu ingin berterima kasih pada Tante, saat sudah besar nanti kamu harus berjanji untuk membeli barang desain Tante dengan tanda daun gingko ini."
Gadis itu hanya menatapku dengan tatapan kagum.
"Sekarang memang belum begitu terkenal, tapi Tante akan berusaha."
"Oke, aku janji," balasnya sambil menyodorkan kelingking—yang segera kusambut dengan kelingkingku.
"Terima kasih, Tante!" serunya setelah menerima payungku. Bergegas ia berlari bersama teman laki-lakinya yang berpayungkan tas sekolah.
Hingga matahari terbenam, hingga hujan reda, hingga sekolah itu kosong...
Masih, ia tidak datang.
.
.
.
24 November 2014
Hari ini, aku kembali datang.
Tidak, aku tidak kecewa datang kali ini. Kebetulan, hari ini adalah hari diluncurkannya produk baru Fusae sehingga aku memang harus hadir di Tokyo. Setelah selesai dengan acara pembukaannya, aku pamit pergi dengan alasan bertemu dengan seseorang.
Benar, aku hendak menemuinya yang tidak kunjung datang setelah tiga puluh tahun berlalu.
Aku melirik arlojiku. Sebentar lagi, matahari akan pergi, bersama denganku yang harus kembali ke Amerika. Aku tidak ingin kesia-siaan dalam menunggu, sungguh. Aku ingin bertemu dengannya walau hanya satu kali. Aku ingin menemuinya, menyatakan perasaanku, mengobrol dengannya, tersenyum dengannya...
Dan segalanya.
Aku berdiri sambil menatap langit. Daun gingko di tempat ini memang selalu indah, entah mengapa. Puluhan tahun aku lewati tempat ini, walau berubah, keindahannya tidak pernah pudar.
Lalu aku mendengar suara gesekan antara daun dengan kaki.
Aku menoleh.
Mata kami bertemu.
Dia... dia...
Dia datang.
Hiroshi Agasa, dia benar-benar datang.
.
.
.
.
.
FIN
.
Maaf karena ketidak-elitan(?) ending. Rencananya mau ada chapter 2 yang ngebahas pov lain. Ini... semoga dapat mengisi kekosongan akun ini...
Sekian, silakan ripiu :'3
