Haizaki mendengus pelan. Kedua kakinya ia naikkan ke atas sofa biru mengikuti tubuhnya. Kedua matanya terpejam, menikmati harum lavender yang memenuhi indera penciumannya.
"Aku tidak mau mengambil pekerjaan ini, berikan saja pada yang lain." kata Haizaki santai, bibirnya sedikit tertekuk kebawah.
Bosnya melotot tajam, tubuh tegapnya berdiri menjulang di hadapan Haizaki yang tengah terbaring. Haizaki membuka kedua mata abu-abunya dan menatap balik dengan alis menukik tajam.
Biru kelam bertemu abu-abu.
Selama beberapa detik mereka beradu pandangan, seolah yang mereka lakukan adalah hal yang wajar. Karyawan yang kebetulan lewat didepan mereka hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Haizaki dan bosnya—Aomine Daiki—yang selalu ribut setiap Aomine memberi tugas yang tidak srek pada Haizaki. Yang mengherankan adalah Aomine tetap mempertahankanya di perusahaan ini. Alasanya? Hanya Aomine yang tahu.
"Jangan membuatku memukul tampang dungumu Haizaki." peringat Aomine. Haizaki bisa melihat jelas Aomine tadi sempat menarik sudut bibirnya keatas, mencemooh dirinya. Dan Haizaki benci itu. Dia, Haizaki benci saat orang lain meremehkan dirinya, apalagi oleh bos belagu macam Aomine, Haizaki tak terima dan tanpa pikir panjang mengambil tugas yang diberikan Aomine padanya.
Sigh!
Dan Haizaki merutuki kebodohanya yang jatuh pada perangkap Aomine untuk ke sekian kalinya. Aomine mundur kebelakang, menjauh dari Haizaki, kemudian berbalik menghadap ke jendela, mata biru kelamnya memandang pemandangan di luar ruangan miliknya. Sebuah pemandangan kota besar pada umumnya.
"Berkasnya ada di meja dan aku sudah menyiapkan satu tiket untukmu, happy holiday with me baby." kata Aomine, dia bisa merasakan tatapan menusuk Haizaki dibelakang punggungnya. Dan Aomine suka itu, mengingatnya saja sudah membuatnya mendengus geli.
"Baby kepalamu." balas Haizaki misuh misuh kemudian bangkit dari rebahannya dan pergi meninggalkan ruangan milik bosnya.
"Hahaa." Aomine tertawa keras yang untungnya ruangan ini kedap suara meskipun dilapisi dengan kaca transparan.
.
.
.
Kuroko no Basuke – Fujimaki Tadatoshi
Take off - Rangga Sengak
.
WARNING : HOMO, M/M, GAJE, TYPO, OOC, OC.
[NijiHai]
.
.
.
Haizaki mengepak bajunya ke dalam tas. Bibirnya mengumpat tak jelas.
"Aomine brengsek, Aomine brengsek." gumannya cepat.
"Hei dude."
Haizaki mendengus, tubuhnya berbalik menghadap orang yang memanggilnya dengan sebutan dude yang kebetulan juga memandangnya dengan seringai yang jelas-jelas menyebalkan di mata Haizaki.
"Apa dude." balas Haizaki tak kalah sengak.
"Salah jika aku menyapamu, kau kan adikku." katanya santai.
Haizaki menatapnya tak suka, memang benar orang di hadapannya adalah kakaknya, kakak kandungnya. Kakaknya memiliki wajah yang hampir sama dengannya, dia memiliki rambut keabuan sedikit lebih gelap ketimbang Haizaki, mata kelabunya juga lebih tajam dan kelam, terkesan macho, dan yang paling Haizaki benci adalah tubuh kakaknya yang lebih tinggi darinya, padahal menurut teman-teman Haizaki dia sudah sangatlah tinggi tapi dibanding kakaknya, nol besar.
Haizaki mengamatinya, kakaknya memakai celana trainng panjang dan t-shirt putih, di pundaknya tersampir sebuah handuk kecil, rambut kelabu kelamnya sedikit basah, nafasnya naik turun sedikit tak beraturan.
"Habis lari?" Tanya Haizaki mendadak kalem.
"Seperti yang kau lihat." balasnya sedikit tertarik dengan pertanyaan Haizaki.
"Tumben." lanjut kakaknya.
"Apa?" Tanya Haizaki tak mengerti.
"Tumben nanya." jawab kakaknya, senyum jahil tercetak dibibirnya. Haizaki hanya mendengus, sialan pikirnya kesal.
Hening beberapa saat.
"Tugas kemana?" Tanya kakaknya memecah keheningan diantara mereka berdua. Matanya melirik kearah tas besar yang tergeletak di atas ranjang.
"Rusia." jawabnya cuek.
"Sekali-kali panggil aku kakak, sumpah dulu ketika kecil kau itu begitu imut dengan memanggilku kakakn" gurau kakaknya, kemudian mengikuti Haizaki yang berjalan ke kamar mandi.
"Tak sudi." tolak Haizaki, tubuhnya berhenti didepan pintu kamar mandi kemudian menghadap kearah kakaknya, sebelah alisnya terangkat.
"please, jangan konyol dengan mengikutiku." lanjut Haizaki marah.
"Kenapa? Kau kan adikku." Tanya Kakaknya, dahinya sedikit menyengrit memandang kearah Haizaki, yang entah kenapa wajahnya tampak memanas.
"Bukan itu dude." katanya cepat, kemudian masuk kekamar mandi dan menutup pintunya cepat.
Kakaknya hanya bengong menatap pintu kamar mandi yang tertutup didepannya.
"Dasar adik aneh."
.
.
.
"Kampret ngapain ngikut kesini Zuki dodol."
Kakaknya—Haizuki duduk disebelah Haizaki dengan tangan bertopang dagu memandang kearahnya, beberapa mata sempat memperhatikan mereka sesaat kemudian berlalu.
"Aku khawatir padamu dik." Cengiran lebar terpatri diwajah Haizuki, tangan kanannya risih mengusap rambutnya kebelakang.
Haizaki mendengus sebal, antara ingin menampar wajah sok baik Haizuki atau mengucapkan terima kasih padanya karena sudah khawatir.
Haizaki merenung, suasana di bandara yang ramai tak menggoyahkan konsentrasinya.
Kedua tangannya bertautan satu sama lain, saling meremas pelan. Suasana hangat begini, dan orang yang mengkhawatirkannya sudah lama tidak Haizaki rasakan. Ingin rasanya ia memeluk Haizuki, kakak-saudara-sekaligus keluarga satu-satunya yang masih ia punya.
Haizaki menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikirannya yang mendadak mellow. Dan apaan itu tadi, kenapa dia berpikiran ingin memeluk kakaknya yang dodol macam Haizuki.
"Aku sudah 19 tahun bego." Haizaki membuang mukanya kesamping. Cuih! Amit-amit kalau tadi dia ingin memeluk Haizuki.
"Bagiku kau itu masih bocah 10 tahun, meskipun tidak imut seperti dulu, sini kakak peluk."
Benar kan? Haizuki itu kampret.
Tak pantas untuk di manis-manisin, apalagi dipeluk.
Big no!
Herannya gerombolan cewek-cewek yang duduk didepan Haizuki malah cekikikan tak jelas kearahnya.
Mata mereka buta kali ya, buta oleh pesona si kampret Haizuki.
Haizaki saja ingin melempar muka Haizuki dengan sepatunya, sayang sepatunya masih kinclong alias baru, kata mama tetangganya dulu kalau buang-buang sesuatu yang masih baru itu kayak orang bego yang dibegoin sama nafsu, nafsu bego.
"Najis." sewot Haizaki, tangannya mendorong tubuh Haizuki yang semakin menempel dengan tubuhnya.
"Nggak manis banget adikku ini." rajuk Haizuki sembari mentoel dagu Haizaki, sebelah matanya mengedip ganjen kearah gerombolan cewek-cewek yang duduk didepannya.
Anehnya gerombolan cewek itu klepek-klepek hingga ada yang jatuh pingsan.
Plastik mana plastik.
Haizaki ingin muntah.
.
.
.
Aomine berjalan arogan, dasi bewarna hitam yang ia pakai meliuk-liuk tertiup angin.
Semua mata kaum hawa tertuju padanya.
Berlebihan memang.
Siapa yang bisa menolak pesona seorang Aomine Daiki.
"Yo baby, yo senpai." sapanya seenak udel.
Haizaki hampir mencekik leher Aomine jika kakaknya tidak menggencet tubuhnya dengan tubuh Aomine.
Konyol.
Haizaki ingin menyembunyikan wajahnya, hilang sudah kegantengannya.
Najis.
Iya Najis.
Bersentuhan dengan Aomine si bos buluk itu akan membuat cakepnya berkurang satu persen.
"Bagaimana kabarmu senpai." Tanya Aomine pada Haizuki.
Haizaki memutar matanya, bosan. Malas terlibat percakapan antara kakaknya dan bosnya ini, paling ujung-ujungnya nanti juga ngomongin dirinya, secara Haizaki kan cakep.
'Haha' kikinya dalam hati.
"Oh jadi kita masih menunggu satu orang lagi sebelum kita berangkat?" Tanya Haizuki, matanya sedikit melirik ke arah adiknya.
"Apa lihat-lihat." sewot Haizaki.
"Iya aku tahu kok, kalo aku ini cakep." lanjutnya kelewat pede.
Haizuki dan Aomine ngakak bareng melihat kepedean Haizaki.
"Maaf terlambat."
Haizaki mengenalnya, meskipun tidak terlalu dekat. Pemuda bersurai cokelat yang berdiri membungkuk didepan Aomine. Dia asisten baru si buluk Aomine—Furihata Kouki.
Asisten bergetar.
Begitulah julukannya.
Seingat Haizaki sih begitu.
Maklum dia cuma nguping pembicaraan teman-teman kerjanya, mau tanya tapi gengsi.
"Sudahlah tadi bosmu juga terlambat, tidak usah dipikirkan." terang Haizuki sembari tersenyum ramah seakan bisa membaca keadaan.
Halah!
Haizaki hafal betul watak kakaknya, jika ada orang baru yang ia temui. Kakaknya bakalan sok baik.
Dasar iblis jelek bermuka dua.
"Ayo berangkat."
.
.
.
"Welcome to Rusia." Kata Aomine dan Haizuki bebarengan.
Haizaki tak memperdulikan Aomine dan kakaknya yang jadi akrab kebangetan.
Dengan mata berbinar Haizaki mengedarkan pandangannya di luar jendela bus yang mereka tumpangi, ia sedikit melirik kearah Furihata yang juga melakukan hal yang sama dengan dirinya.
Setelah sebelumnya pesawat mendarat dan mereka ke luar dari bandara Rusia.
"Dik jangan jauh-jauh ya nanti kamu di culik lagi." peringat kakaknya. Haizaki menggeram, tak terima dipermalukan oleh kakaknya sendiri.
"Jangan tertawa ya, mau kuberi ini." ancam Haizaki sembari menaikkan tinjunya keatas, Furihata yang tadi sempat tertawa mendadak diam. Sedangkan Aomine dan Haizuki masih tertawa keras tak memperdulikan ancaman Haizaki. Untung di bus itu hanya terisi mereka berempat.
"Kita menginap dimana?" Tanya Haizuki pada Aomine. Aomine melirik ke arah Furihata, Furihata yang mengerti langsung menjawab pertanyaan Haizuki.
"Kita akan menginap di rumah rekan bisnis yang mengadakan pertemuan ini."
"Di Moscow." lanjutnya.
"Ngapain nanya-nanya, kau kan tidak ada hubungan dengan pekerjaan ini, jadi hush.. pulang sana." kata Haizaki sinis.
"Ehem.. sebenarnya aku yang mengundangnya." jelas Aomine.
Wajah Haizaki berubah masam.
"What are you doing Ahomine?" sungut Haizaki, tangannya menggebrak kursi bus yang ia duduki. kesal.
"Sopanlah pada bosmu, dan aku membutuhkan kakakmu untuk beberapa hal, see dia ikut dengan kita." jelas Aomine lagi. Kakaknya nyengir sok polos.
Sedangkan Furihata terdiam dalam lamunannya sendiri.
"terserahlah."
.
.
.
"Silahkan masuk, tuan Ivan sudah menunggu di ruangannya."
"Halo Ivan, lama tak bertemu." Sapa Aomine dan kakaknya bebarengan setelah pelayan tadi mengantar mereka ke sebuah ruangan milik tuannya ini.
Haizaki sedikit mengamati lelaki yang tersenyum ganjil ke kakaknya dan Aomine. Haizaki tak bisa menjelaskannya, yang pasti lelaki ini aneh dan mencurigakan.
Lelaki itu mungkin berusia 24 tahunan, hampir sama dengan kakaknya dan Aomine. Dia bersurai pirang kotor, wajahnya good looking, badanya juga sebelas dua belas dengan kakaknya dan Aomine.
Haizaki menaikkan sebelah alisnya ketika menyadari Lelaki bersurai pirang kotor yang tengah bercengkrama dengan bos dan kakaknya sangatlah akrab.
Cih.
"Oi Furihata." Panggilnya pada Furihata. Furihata terdiam dengan tubuh bergetar dan matanya berkeliling ke seluruh ruangan. Seperti menghindari tatapan seseorang.
Haizaki mengedarkan pandangannya dan mendapati seorang pemuda bersurai merah yang tengah duduk manis menatap intents ke arah Furihata.
Haizaki merasa aneh sendiri.
"Diam saja."
Tubuh Haizaki tersentak mendapati kakaknya yang tiba-tiba merangkul tubuhnya. Dia sendiri tak menyadari kalau Kakaknya, Aomine dan Lelaki asing tersebut selesai bercengkrama dan kini tengah menatap ke arahnya.
"Yuk kekamar, pengen incest-an nih."
"Ada yang mau ikut, sixsome kayaknya asyik." lanjut Haizuki edan.
"Males, Zaki gayanya minta di BDSM mulu." Aomine menimpali, wajah jahatnya mulai muncul. Haizaki bahkan bisa melihat dua tanduk di kepalanya.
"Sekali-kali gaya kuda lumping okeh tuh." lanjutnya mulai eror.
Dasar bos gila.
Pengen banget ya kena bogem.
"Elah, Kuda lumping mah basi, bagusan juga gaya maju terus pantang mundur."
Lu pikir mau perang.
Zuki kampret.
Bertambah lagi orang gila yang Haizaki kenal.
Shit!
Lihat, lelaki bersurai merah yang sejak tadi mengamati Furihata kini sedikit menoleh ke arah Haizaki. Walaupun cuma sekian detik dan kembali mengamati Furihata.
Furihata saja tidak sempat menarik nafas lega.
"Dia adikmu ki?"
Haizaki hampir tersenyum lebar ketika lelaki bersurai pirang kotor memotong pembicaraan tak penting antara kakak dan bosnya.
"Oh iya, kenalin ini Haizaki, adik kembarku." terang Haizuki, sebelah tanganya yang tadi merangkul tubuh Haizaki kini ganti menepuk-nepuk puncak kepala Haizaki.
Haizaki menepisnya dan menjauh dari jangkauan kakak kembarnya.
Haizuki pundung ditempat dan Aomine hanya tergelak kecil.
"Dan ini asisten baruku, Furihata." sambung Aomine setelah meredakan tawanya.
"Aku Ivan, anggaplah rumah sendiri. Dan dia Akashi, sepupuku." Kata Ivan tersenyum miring, Sedangkan sepupunya hanya menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya masih ada satu orang lagi, sayang dia berhalangan hadir." lanjutnya aneh.
.
.
.
Satu kesamaan Haizaki dengan bosnya yang tak sudi ia akui.
Hantu.
Ini semua gara-gara kakaknya yang waktu kecil sering menakut-nakuti Haizaki dengan boneka yang ia sebut pocong yang ia dapat dari pamannya yang pulang liburan dari Indonesia. Karena boneka terkutuk itu, Haizaki sampai sekarang menjadi phobia Hantu.
Ia merutuk ketika pembagian kamar tadi ternyata semuannya mendapatkan kamar sendiri-sendiri.
Haizaki gengi untuk protes.
"Kau sudah tidur?"
Haizaki bersorak dalam hati ketika mendengar suara yang ia yakini adalah suara kakaknya di depan pintu. Buru-buru ia turun dari ranjang dan membuka pintu.
"Aku be-"
Kosong.
Tubuh Haizaki merinding.
Pikirannya mulai menebak-nebak, hal paling masuk akal adalah kakaknya sedang usil padanya.
Sigh!
Haizaki merutuk pelan, dia baru sadar kalau hanya kamarnya yang berada di lantai ke tiga.
Haizaki menutup pintu kamarnya kemudian berjalan keluar, menelusuri koridor di lantai tiga.
"Zuki?" panggilnya sembari mengusap tengkuknya yang merinding. Suasana koridor yang hanya diterangi lilin di beberapa tempat membuat koridor ini tampak gelap.
Haizaki merapatkan jaketnya. Nafasnya mengepul akibat dinginnya udara di tengah malam.
Diujung koridor, Haizaki yakin tadi dia melihat cahaya. Memberanikan diri, Haizaki mengikuti asal muasal cahaya tersebut.
Mata keabuannya mengintip. Di dalam ruangan itu sepertinya tidak ada orang dan anehnya perapian di dalamnya menyala.
Semakin menakutkan saja.
"Hal- emmm-"
Tubuh Haizaki di tarik kebelakang, mulutnya di bekap tak berperasaan yang mengakibatkannya tak bisa bernafas dengan baik.
Haizaki bisa merasakan punggungnya menempel dengan dada seseorang. Tapi siapa?
Tubuhnya memberontak berusaha melepaskan diri, tapi gagal. Suasana gelap begini, menambah ketakutan Haizaki.
brukk
Kali ini tubuhnya diputar hingga wajah dan tubuhnya menempel pada dinding. Tubuhnya ditekan keras, dengan tangan yang masih membekap mulutnya, Haizaki tak bisa berteriak. Tangannya saja tak berkutik karena kuncian orang yang menekan tubuhnya semakin membuatnya merapat pada dinding.
Haizaki merasa lemah tak berdaya.
Kenapa begini?
'Kakak tolong aku.' teriaknya dalam hati, dia hampir pingsan karena oksigen yang semakin menipis.
.
.
.
Bersambung dulu ya :3
Kapan-kapan dilanjut.
Pusing, ini cerita kok kabur banget jalan ceritanya.
Mana bang niji belum muncul lagi :3
Hiks...
Bodo ah, sebodo suami gue bang jaki.
Siksa aku bang.
Elah.
.
.
.
[update : 17/04/2015]
