Seperti pria dewasa pada umumnya, pagi Sawamura Daichi dimulai dengan mandi, bercukur, gosok gigi, dan...

"Astaga, roti panggangku!"

...sedikit keributan di dapur.

Gara-gara pengumuman mendadak kalau kedai shoyu ramen langganannya direnovasi mulai kemarin, ia memutuskan untuk sedikit berinovasi sekaligus memperbaiki kemampuan memasaknya yang, bisa dibilang, di bawah rata-rata. Tapi panggilan telepon dari sang bos membuatnya lupa untuk membalik roti di atas pemanggang. Walhasil hancurlah karya pertamanya, sekaligus basah kuyup karena asap dari pemanggang mengaktifkan mesin pendeteksi kebakaran. Sarapan pagi ini: roti arang dan susu kalengan, sekaligus agenda tambahan untuk membersihkan kekacauan yang ia buat.

Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya Daichi menyadari bahwa kelemahannya dalam urusan dapur sesungguhnya adalah anugerah dewa yang terlambat ia sadari.

.

.

One Day at Karasuno Brunch Restaurant

Haikyuu! © Haruichi Furudate

.

.

"Kau baik-baik saja, Daichi?" Azumane Asahi bertanya dengan hati-hati―sepertinya hanya dirinya yang berani menanyakan itu kepada Sawamura Daichi yang ekspresinya kusut masai di pagi hari. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada tanda-tanda "baik-baik saja" yang terpancar dari pria muda itu.

"Eh―uh, yah, aku baik-baik saja," mulut Daichi memang berkata begitu, namun perutnya berkata lain; kelar berujar, gas di sistem pencernaannya bergetar dan melantunkan suara sumbang (dan memalukan). Daichi ingin menusuk lambungnya dengan pensil mekanik, kalau saja itu takkan membunuhnya atau setidaknya membuatnya kesakitan. Alhasil pilihan terakhirnya adalah menonjok enam persegi yang melindungi sistem pencernaannya―yang ia tidak tahu, membogem perut laparnya sendiri di depan rekan sekantornya itu membuat si saksi mata ngeri.

"Da-daripada menyakiti diri sendiri, kenapa kau tidak memanaskan sandwich atau katsudon di microwave?" Asahi menunjuk ke benda kotak putih yang bertahta di atas rak makan ruangan mereka. Di sebelahnya, ada rak yang berisi aneka makanan yang siap dipanaskan.

Sepuluh menit kemudian―tepatnya setelah Daichi menganggap itu ide bagus―Asahi sadar kalau ia memberi ide yang salah.

Atau lebih tepatnya, memberi ide yang benar, tapi ke orang yang salah.

Lantai dua kantor percetakan berguncang akibat debuman dari satu titik; tepatnya dari tempat Daichi berdiri. Microwave yang (harusnya) menjadi pemecah masalah kelaparan Daichi menjelma menjadi bom atom mini―pintu menjeblak terbuka dengan asap menguar dari dalam, potongan katsudon dan nasi berceceran di segala tempat dalam radius satu setengah meter, ditambah percikan api kecil di beberapa titik (yang untungnya lekas padam). Dan Daichi, pengguna microwave terakhir, mematung lima langkah dengan mulut ternganga di depan alat masak nan malang itu. Asahi pun―dalam jarak yang lebih jauh antara kakinya dengan sumber ledakan―ekspresinya tidak begitu berbeda.

"Daichi..." Asahi, setelah arwahnya melayang selama beberapa sekon, tergopoh-gopoh mendekati rekan kerjanya itu. "A-apa yang kaulakukan?"

"Aku... hanya melakukan saranmu," Daichi memasang ekspresi "aku-akan-dipecat-apa-yang-harus-kulakukan".

"Tapi rasanya tidak pernah seperti ini sebelumnya!" kepanikan Asahi naik tingkat. "Apa―tadi kau tidak lupa melepas bungkus plastiknya, kan?"

Raut kalut Daichi bertransformasi menjadi kernyitan bingung. "Memangnya harus dilepas dulu plastiknya?"

Kini Asahi tahu sebab-musabab kecelakaan ini. "Kau belum pernah menggunakan microwave, ya?"

Aura menakutkan menguar dari raga Daichi (kalau ini dalam anime, sejumlah hitodama sudah melayang-layang di sekitar pria itu). Dengan sengaja, ia berjalan ke samping Asahi, jarak nol senti. "Sejujurnya..." ia mendesis, "...aku sama sekali tak bisa memasak."

Asahi berusaha keras tidak tertawa usai pengakuan itu. Sebagai gantinya, ia batuk-batuk dengan sengaja. "Itu tidak buruk-buruk amat, kok. Tapi baru kali ini aku melihatmu kelaparan. Kukira selama ini kau sarapan sendiri di rumah."

Daichi menggeleng nelangsa. "Biasanya aku sarapan di kedai shoyu ramen dekat rumahku. Tapi terakhir kulihat kedai itu sudah tutup karena direnovasi."

"Kau tidak beli roti atau semacamnya saat berangkat kemari?"

"Tidak sempat."

Asahi menghela nafas. Setelah tenang, ia berujar, "Di dekat sini ada restoran kecil dengan harga terjangkau, namanya Karasuno Brunch Restaurant. Aku pernah makan di situ, dan tidak mengecewakan."

Promosi singkat itu membuat rasa penasaran Daichi tergelitik. "Aku tidak pernah tahu."

"Memang baru berdiri seminggu, sih. Kalau tidak salah letaknya juga searah dengan jalan yang biasa kauambil saat berangkat," jika Asahi sudah merekomendasikan sesuatu, sulit untuk tidak percaya atau tidak tertarik. "Tapi karena kita tidak boleh keluar selama jam kerja, bagaimana kalau kau kutraktir meronpan di kantin?"

.

.

Kalau bukan karena rekomendasi sang kawan seperjuangan (dan faktor darurat perang, tentunya), Daichi takkan memasuki bangunan minimalis berdesain kalem dengan plang nama "KARASUNO BRUNCH RESTAURANT" di atapnya. Sekilas tidak seperti restoran―lebih mirip kafe milik pengusaha berjiwa muda dengan tata ruang simpel namun berseni. Warna khaki, beige, dan putih mendominasi interior. Hanya ada sebelas meja; lima untuk empat orang dan lainnya untuk sepasang pelanggan, dan semuanya berbentuk bundar dan berwarna broken white. Daichi memilih tempat di dekat jendela, di meja untuk dua orang, dan langsung membuka buku menu.

"Selamat pagi! Mau pesan apa, Tuan?"

Pria muda itu mendongak, dan sekon berikutnya ia membeku―jika malaikat menjelma menjadi manusia, mungkin wujudnya seperti pelayan di hadapan Daichi. Figur menawan bersurai perak, berwajah bulat manis, beriris cokelat ekspresif, lengkap dengan tanda kecantikan di bawah mata kirinya. Pandangan Daichi perlahan jatuh ke torso si pelayan yang berbalut seragam putih berompi hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu sewarna rompi, lalu ia sadar jika yang berdiri di hadapannya adalah laki-laki, sama seperti dirinya. Dan laki-laki itu menantinya memilih pesanan.

"Eh―maaf," Daichi berdeham kecil sebelum matanya kembali menjelajahi buku menu. "Caramel coconut pancakes dan lemon tea," ia sembarang saja memilih, berhubung hampir seluruh makanan di menu masih asing baginya, dan pilihannya jatuh kepada menu termurah.

"Caramel coconut... lemon tea..." pelayan itu bergumam selagi mencatat pesanan. "Masih ada yang lain lagi... um..."

"Sawamura. Daichi Sawamura," kata Daichi. "Dan ya, cukup itu saja pesananku." Indera penglihatan Daichi sempat menangkap citra benda kecil yang tersemat di dada kiri si pelayan―sebuah tanda pengenal dengan tulisan "SUGAWARA" di situ.

"Oke, pesanan Anda akan segera datang, Sawamura-san!" pelayan bernama Sugawara itu berujar ceria sebelum melesat ke dinding pembatas antara konter dan dapur, dan sekilas terlihat bercakap-cakap dengan seseorang yang melongokkan kepala dari balik pintu dapur; mungkin si koki. Daichi tak mendengar―dan tak peduli―apa yang mereka bicarakan, karena manik kembarnya sibuk memindai figur Sugawara.

Andai pelayan itu seorang wanita, ketertarikannya masih bisa dibilang wajar, mungkin hanya akan diledek "mata keranjang" atau semacamnya. Masalahnya objek ketertarikannya kali ini adalah Homo sapiens jantan. Dari suara dan tingkah laku, tak diragukan lagi kalau Sugawara berkromosom XY. Namun fisiknya, dalam prasangka Daichi, sanggup membuat kaum hawa cemburu. Kulit halus dan postur rampingnya menjadi bukti ketidakadilan dunia―bagaimana mungkin seorang pria bisa sejelita ini tanpa berusaha? Rambut peraknya yang dipotong cepak pun tak mengurangi keanggunan Sugawara.

Untuk pertama kalinya, Sawamura Daichi merasa ada yang salah dengan dirinya.

.

.

"Selamat pagi! Mau pesan apa, Tuan?"

Sebagai pelayan restoran yang baru dibuka beberapa hari, Sugawara Koushi diwajibkan memberi kesan positif kepada setiap pelanggan. Seperti pagi ini, saat seorang pria muda memasuki restoran yang ia kelola bersama dua rekannya, Ukai Keishin dan Takeda Ittetsu. Sugawara tidak bermasalah dalam menghadapi pelanggan; pengalaman menjadi pelayan magang sudah dimilikinya bahkan sebelum restoran ini dibangun. Yang menjadi masalah, pelanggan kali ini seakan memiliki kekuatan magis untuk merebut seluruh atensinya. Sugawara berjuang untuk menjaga suaranya agar tidak gemetar, yang baginya malah terdengar seperti anak kecil riang yang bermain peran menjadi pelayan. Ia berulang kali menarik nafas dan berkomat-kamit dalam hati: Dia laki-laki, Koushi, dia laki-laki sepertimu, dan mungkin saja sudah berkeluarga.

Sugawara sendiri tidak tahu kenapa tubuhnya bak dilanda gempa lokal, padahal yang duduk di hadapannya hanyalah pria kantoran normal dengan dandanan formal: busana kerja gelap, rambut cepak rapi, dan aroma parfum cokelat yang tak berlebihan. Tapi ia akui, sebagai seorang pegawai kantoran, pria itu lumayan tampan. Wajah persegi yang jantan, bahu lebar berotot yang bahkan tak mampu disembunyikan seragamnya, kulit terbakar mentari, manik kembar yang gelap dan berwibawa...

...dan apakah manik kembar itu tengah memandangnya tajam?

"Eh―maaf," pria itu mengalihkan pandangan ke buku menu, lalu menyebutkan pesanannya. Dan mencatat pesanan sudah menjadi tugas seorang pelayan―Sugawara bersyukur tulisannya tidak menjadi cakar ayam karena vibrasi di jemarinya. Dan lagi, ia harus berlagak ceria saat mengatakan jika pesanan sang pria―namanya Sawamura Daichi, omong-omong―akan segera datang, hanya sebagai kamuflase untuk kegugupannya yang aneh.

Tugas berikutnya yaitu melaporkan pesanan ke Takeda selaku koki di sini. " Satu caramel coconut pancakes dan satu lemon tea untuk meja nomor satu," ia menyerahkan catatan menunya.

"Pelanggan kali ini memilih menu yang mudah dibuat, ya," Takeda berkomentar seraya menerima kertas pesanan. "Ngomong-ngomong, Sugawara-kun, pipimu merah. Kau sakit?"

"Ah―apa?" Sugawara tersedak udara. Kedua tangannya terkibas-kibas di udara, gestur penyangkalan yang kalut. "T-tidak... a-aku baik-baik saja, kok..."

"Kalau tidak enak badan, biar Ukai-kun saja yang menggantikan―"

"Sudah kubilang aku tidak apa-apa!" volume suara pemuda bersurai perak itu meninggi―lalu refleks ia menutup mulutnya dan menoleh ke belakang. Untunglah pelanggannya tadi tampak tak terganggu. Saat matanya kembali ke Takeda, air mukanya serius. "Sekarang ini yang penting adalah pesanannya. Kau tidak mau pelanggan kita menunggu, kan?"

.

.

Kalau saja Daichi adalah bos, Asahi sudah naik jabatan mulai hari ini.

Rekomendasi rekan kerjanya itu adalah yang terbaik dari seluruh saran yang pernah diberikan. Coconut pancake pesanannya membuat mulutnya rela berlama-lama mengunyah demi gurih-manis kelapa dan karamel yang mengalir di esofagusnya. Lemon tea? Tidak diragukan lagi; segar dan nyaman di organ pencernaannya. Rasanya tidak ada ruginya kalau ia menguras isi dompetnya lebih banyak lagi demi hidangan restoran kecil ini.

Sayangnya, yang mengantar pesanannya bukan pelayan manis tadi, namun orang lain.

"Sepertinya kau sangat menikmati pesananmu."

Kali ini yang berdiri di hadapannya adalah pria dewasa, mungkin tiga atau empat tahun lebih tua darinya, berwajah sangar dengan dandanan berandalan―rambut dicat pirang dengan poni dibando kencang-kencang ke belakang, telinga ditindik, dan... apakah itu kotak rokok yang mengintip di saku celana panjangnya? Dilihat dari seragamnya, pria itu bukan pelayan seperti Sugawara―kemeja biru berdasi hitam dan celana bahan sewarna dasi. Setidaknya kekecewaan Daichi terobati dengan lezatnya menu sarapan yang disantapnya.

"Ya," Daichi mengangguk setelah menelan bubur pancake di rongga mulutnya. "Enak sekali."

"Masakan Takeda-san memang tiada duanya," pria itu―namanya Ukai, menurut tanda pengenal di dadanya―menyeringai. "Bahkan saat masih SMA dia sudah punya usaha katering kecil-kecilan."

"Ngomong-ngomong, pelayan tadi mana?" tanya Daichi. Sekon berikutnya, pipinya memanas seakan baru saja menanyakan hal yang tabu. "M-maksudku... tadi dia yang menanyakan pesananku, jadi..."

"Oh, Sugawara, maksudmu?" jawaban santai Ukai seakan melemparkan jantung Daichi ke telinga. "Kata Takeda-san dia kurang sehat, jadi aku yang menggantikan―"

"Aku sudah tidak apa-apa, kok," suara dari belakang punggung Ukai menginterupsi. "Terima kasih sudah menggantikanku."

Itu Sugawara, dan Daichi tidak melihat tanda-tanda kurang enak badan dari figurnya. Berarti seseorang yang dipanggil Takeda itu salah diagnosa. "Ah, kau..."

"Syukurlah kau tampak baik-baik saja," Ukai tersenyum; di balik tampang sangarnya, rupanya ia adalah orang berhati bersih. "Tapi kata Takeda-san kau―aduh!" ucapannya tersela oleh karate chop yang bersarang di pinggang kirinya. Kalau sudah begitu, kunci mulut menjadi satu-satunya opsi.

"Maaf atas ketidaknyamanan tadi," lemparan senyum Sugawara membuat perut Daichi menegang. "Ini Ukai Keishin, manajer restoran kami." Penjelasan itu malah membuat Daichi gagal paham―baru kali ini ada bawahan yang tega menghajar bosnya sendiri.

"Maaf, mungkin ini permintaan yang sangat mendadak, tapi..." Daichi menggaruk belakang kepalanya, "...apa makanan di sini bisa dibawa pulang?"

Vakum suara beberapa sekon, lalu Ukai berujar, "Tentu saja. Tapi kau harus menunggu agak lebih lama."

"Tidak masalah, kantorku baru buka pukul delapan dan sekarang masih jam tujuh," kata Daichi. "Aku ingin pesan menu yang sama."

.

.

"Pancake-nya enak. Dan lemon tea-nya juga sempurna," Daichi me-review menu pesanannya dua jam lalu. Pelayannya juga manis, dan namanya Sugawara, ia menambahi dalam hati. Dan ditutup dengan, "Aku harus ke sana lagi besok."

"Syukurlah kau menyukainya," kata Asahi. Tadinya ia berencana mengundurkan diri dari kantor dan kabur ke luar negeri andaikata Daichi terserang diare sekeluarnya dari restoran. "Kau belum mencoba beef and mozarella waffle? Itu menu favoritku."

"Mungkin kapan-kapan," kata Daichi. "Aku juga membeli dua porsi pancake, satu untukku dan satu untukmu," ia mengangkat kantong plastik berlabel logo Karasuno Brunch Restaurant: gagak oranye dengan topi koki di kepalanya.

Asahi merasa nasib baiknya naik seratus tingkat. "Benarkah? Itu... untukku?" pria itu kelihatan ingin mencubit pipinya sendiri.

Daichi mengangguk. "Hanya balas budi yang tidak seberapa. Dan mereka menempatkannya dalam kotak khusus, jadi bisa tetap hangat sampai lewat jam makan siang sekalipun," ia mengeluarkan satu kotak pancake...

...dan sesuatu yang kecil dan tipis terjatuh dari atas kotak.

Hanya secarik kertas yang dirobek dari memo, namun mengundang kernyitan dalam di dahi kedua pria kantoran itu. Saat Daichi melihat lebih dekat, memo itu berisi sederet angka acak yang ditulis tangan―nomor telepon. Dan di bawah nomor telepon anonim itu, ada dua kalimat dengan tulisan tangan yang sama.

Khusus yang bernama Sawamura Daichi, mohon hubungi nomor ini pukul sembilan malam tepat. Jangan sampai terlambat.

.

.

Pukul sembilan malam, Sugawara Koushi mendapat telepon dari nomor tidak dikenal.

Omake

"TAKEDA-SAAAAANNN!"

Gagak-gagak tak bersalah berhenti berkaok dan segera kabur dari tempat mereka bertengger―sebegitu hebatnya efek teriakan yang berasal dari dapur Karasuno Brunch Restaurant. Beruntung yang namanya dipanggil tidak sampai tuli permanen.

"Ada ap―ekh!" belum juga Takeda menjawab, kerah kemejanya sudah dijambak oleh Sugawara, sumber gelombang suara seratus desibel tadi. Padahal masih pukul enam pagi, tapi pelayan yang satu ini sudah tersulut sumbunya―dan Takeda tidak tahu kenapa.

"Apa kau yang menaruh memo itu?! Apa kau pelakunya?! Ayo mengaku!" Sugawara membombardir si koki dengan pertanyaan; atau bisa dibilang, tuduhan. Sementara wajah Takeda makin pucat seiring makin banyak tuduhan yang dilontarkan.

"A-aku tidak mengerti maksudmu..." percuma saja membela diri; raut wajah Sugawara makin mengencang.

"Tadi malam aku ditelepon seorang pria yang mengaku mendapat nomorku dari pesanan yang dibawanya. Dan dia adalah pelanggan kemarin! Yang memesan pancake dan lemon tea! Yang bernama Sawamura Daichi! Bukankah kau dan Ukai-san yang menyiapkan pesanannya?!"

Oh, begitu rupanya.

"Kalau begitu terus, bisa-bisa Takeda-san kena serangan jantung," suara bernada santai mengalun dari pintu dapur. Itu Ukai, masih mengenakan kaus oranye buluk meskipun bawahannya sudah diganti dengan celana panjang hitam. Sebatang rokok yang menyala terjepit di antara bibirnya. "Yang memberikan memo itu aku, kok." Satu tiupan asap, dan ia melanjutkan, "Karena aku tahu kau tertarik dengan pria yang kemarin."

Satu lagi karate chop harus diterima Ukai sebagai balasan atas ucapan terus terangnya.

Fin

.

.

Happy belated birthday, Imorz-saaan~

Hahaha... maafkan daku yang telat ngasih fic Birthday Disaster (yang bener-bener jadi disaster karena bertepatan dengan UTS dan segala macam kesibukan). Maaf kalau fic kali ini gaje dan kurang memuaskan, hasil dari diuber sejuta deadline *nangis di pojokan*. Selamat menikmati~ jangan lupa kritik dan saran buat daku yang masih pemula ini~