APH © Hidekazu Himaruya

After © Alex

Warning: OOC/AU. Using Belgium POV


Aku berdiri di depan rumah tua bergaya victoria yang dibeli ayah sehari setelah kepergian ibu dari rumah dan kelahiranku, mengamati lekak-lekuk jalanan tua yang masih sama dari aku terlahir ke dunia yang keras ini hingga sekarang—13 tahun.

13 tahun huh? Lama sekali aku tak bertemu ibuku...


Aku memilin rambutku kuat-kuat, rasa sakit langsung menjalar ke kulit kepalaku dan aku yakin itu mulai berdarah, tapi aku mencoba tidak memperdulikannya. Mataku hanya tertuju pada satu objek. Di ujung ruangan baca disamping Grandfather Clock, ayahku sedang membaca buku. Tangan kanannya memegang gelas tinggi berisi cairan merah (aku berani bertaruh itu adalah wine merah yang diberikan bangsawan Prancis mata duitan brengsek kemarin). Rambut pirangnya tersisir rapi, jas maupun kemejanya yang tersetrika tak menampakkan seikitpun kekusutan. Dia terlihat seperti bangsawan aristrokat Inggris—terlepas dari fakta bahwa dia adalah gentleman Inggris dan yah... orang Inggris.

"Berhenti memandangku seperti itu Bella." suaranya pelan, terdengar angkuh. Tatapannya tajam, membuat semua yang melihatnya terhipnotis. "Dan berhenti memilin rambutmu, itu bisa menyebabkan luka dan infeksi." Aku menunduk, mencari salah satu buku tebal untuk menutupi rasa maluku. Sial.

Menit demi menit kami lewatkan dengan keheningan. Ayahku kembali terlarut dengan buku Kriminologi dan Psikologi Forensik, aku tidak. Aku menyesal telah mengambil buku yang salah.

Suara ketukan pintu memecahkan keheningan membosankan ini. Alfred, asisten dan teman kuliah ayah di Cambridge dulu.

Mereka membicarakan sesuatu dengan suara yang lumayan pelan. Aku hanya mendengar sepotong demi sepotong kata: hemoglobin, batangan protein, seng, dan udang.

Lalu ayah pergi bersama Alfred ke ruang bawah tanah—yang kusebut dengan dapur bawah tanah karena Ms. Elizaveta (asisten ayah juga) sering memasak makanan berbau menjijikkan saat malam hari dan ayah maupun Alfred juga sering mengadakan eksperimen disana.

Aku mengikuti ayah keluar ruangan tapi tatapan tajam mata hijau menghipnotiskan Ms. El—panggilan Ms. Elizaveta—mengatakan bahwa aku lebih baik tidur saja di kamar. Seolah seperti robot yang telah diset untuk mengikuti perintah 'tuan'nya, aku berjalan ke kamar, membaringkan tubuh di atas kasur busa berukuran size-king dan tidur hingga esokan paginya.

"Bagaimana madu dibuat?" tanyaku pada siang itu, saat pelajaran dimulai di ruang berukuran 5 x 6 berdinding warna coklat kayu ek: ruang baca. Ayah sengaja tak menyekolahkanku di sekolah umum dengan dalih keselamatanku dan ia ingin putrinya mendapat pengetahuan yang cukup untuk masa depannya nanti. Aku tahu ayah terlalu overprotektif dan aku tak keberatan. Lagipula aku bisa saja memancing ayah untuk menceritakan soal ibu—yang biasanya selalu beliau alihkan dengan puisi-puisi Poe atau teori-teori fisika—.

Mata ayah melebar. Ia mulai. "Semua dimulai dari lebah."

Lalu beliau menjelaskan prosesnya, dari nektar ke sarang hingga pengumpulan madu di pengumpulan madu. "Lebah pekerja adalah lebah betina yang mandul." katanya. "Lebah jantan biasanya tak berguna. Fungsi mereka hanyalah kawin dengan ratu dan biasanya mereka akan mati beberapa bulan kemudian." Bibirnya berkedut saat mengucapkan kata mati seakan-akan kata itu tak dikenalnya. Lalu beliau menjelaskan tarian lebah saat mereka kembali ke sarang: Ayah menggunakan tangannya untuk membuat lengkungan naik dan turun, suaranya membuat suara tarian itu terlalu bagus untuk menjadi nyata.

Ketika sampai di bagian penggembala lebah, beliau berjalan ke salah satu rak buku dan kembali membawa sebuah ensiklopedia. Beliau menunjukkan seorang pria yang memakai topi putih berpinggiran lebar, dengan cadar menutupi wajahnya, memegang alat dengan slang untuk mengasapi sarang.

"Apa Ibu pernah memelihara lebah?" tanyaku. "Aku melihat Ms. El mengeluarkan sebuah botol berlabel 'madu bunga lavender dan ia mengatakan itu buatan ibu." kataku buru-buru menambahkan.

Alisnya berkedut sedikit. Matanya menatapku—pandangan kekecewaan. "Kurasa cukup sekian untuk hari ini."

Sial.


WHAT THE FUCK IS THIS?! ;=A=; Prussia-sama, maafkanlah aku atas ketidak-AWESOME-an cerita gaje ini–dilempar karung makanan Gilbird-. Mana pendek lagi huhuhuhu.

Prussia: Apa-apaan ini! Si Kirkland alis ulet bulu disini awesome! Tapi lebih awesome aku sih–tertawa nista-

Author: Mangap~

Prussia: Sudahlah! Aku kecewa padamu!

Author: PRUSSIA-SAMA, jangan tinggalkan aku! –ngesot kejar Prussia-

Btw special thank you buat Alex—bukan lo Denden!-buat idenya, love u pul brat! katanya alm. Mbah Surip. Terus buat Denden makasih udah gangguin nee-san dan ngasih nama Belgium: Bella. Dia bukan Isabella es teh 12!–asah golok-.

Dan dan dan... Teganya kau HIDEKAZ HIMARUYA menggambar sipalgiatbenderasialan MONACO duluan! Tak sudi aku memanggil kau dengan embel-embel sensei, sama, senpai, san pun aku sudah tak sudi! Huaaaaaa! –lebaynya kumat-