Cuap-cuap Penulis di Awal Tulisan

.

Ini kesannya seperti serius, though trust me it won't. Mungkin saya adalah penulis tak bertanggung jawab, menelantarkan banyak fanfic sementara sekarang udah nulis lagi fanfic baru, ugh, yeah. Sejauh ini bahkan saya menelantarkan novel saya yang sudah rampung dan menunggu di sunting dan dipangkas (ada yang mau baca?). So here we come, another fanfic.


Chapter 1

Hetalia Axis Power © Himaruya Hidekazu

Random Life of High School Couple

Lazuardi Loo


.

.

.

Selamat datang di Finlandia. Sebuah negara dengan pendidikan nomor satu. Tempat dimana berbagai siswa dari penjuru negara bersekolah dan mengenyam pendidikan untuk mendapat pengajaran dari pendidik paling berkualitas. Pendidikan dimana siswa tidak ditekan dalam ujian, mandiri untuk mengevaluasi diri, serta membiasakan siswa untuk belajar sendiri dan mencari tahu.

Dan disana pulalah, kisah ini bermulai.

"Kamu tak terbiasa dengan dingin, Kirana?" tanya Tino, tuan rumah negara tersebut, memandang Kirana yang menggigil saat di kelas.

"Kirana berasal dari Indonesia, jadi suhu dingin jelas membuat tubuhnya kaget!" Alfred mengacak-acak rambut Kirana.

"Jangan bersikap seperti itu Alfred!" Arthur memandang Alfred dengan galak melihat sikapnya yang sangat tidak gentleman pada Kirana.

"Kau mau teh?" tawar Arthur yang tampak membawa sebuah termos berukuran sedang berisi minuman panas yang Kirana yakini berisi teh mahal; bisa ceylon, earl grey, darjeeling, atau teh mahal lainnya. Entahlah.

"Sepertinya enak," Kirana mengangguk, beranjak berdiri. "Aku mau."

Arthur menuangkan teh hangat itu di gelas kecil yang menjadi tutup termos. Kirana menerimanya dengan senyum terkembang. Saat Kirana berniat menghirup teh tersebut, seseorang menuangkan vodka di atas tehnya. Kirana terhenyak, mendongak. Dilihatnya Ivan tersenyum tanpa dosa.

"Kalau pake vodka, tehmu pasti bisa membuat tubuhmu lebih hangat, da!" ucapnya riang.

Semua orang yang melihat kejadian tersebut hanya bisa tertegun memandang Kirana dengan tatapan penuh iba. Gadis itu tak terbiasa dengan minuman beralkohol sejak ia kesini, dan semua orang tahu itu. Sayangnya, Ivan bukan orang yang bisa ditolak atau diajak berkompromi...

"T-terima kasih..." ucap Kirana pasrah, dan akhirnya meneguk teh yang masih mengepul tersebut.

Siap-siap merasakan sensasi tenggorokan terbakar, batin Kirana saat meminum teh tersebut.

Benar saja, saat teh tersebut masuk, ia merasakan tenggorokannya panas. Bukan karena teh itu panas, tapi karena kuatnya alkohol dalam vodka milik Ivan. Ia tak habis pikir kenapa pria itu bisa membawa vodka ke sekolah tanpa khawatir tertangkap guru.

Ah. Ya, mungkin para guru sudah terintimidasi duluan dengan aura membunuh Ivan, batinnya lagi. Saat tehnya habis, tubuhnya mulai terasa hangat dan ringan. Lehernya mulai berkeringat. Ia melepas jaket bulunya, menyisakan sebuah kaos lengan panjang yang agak ngepas ditubuhnya serta celana jeans yang membalut kaki kecilnya dengan pas.

"Mulai panas..." ucapnya saat melihat pandangan para pria yang tampak melongo melihat tubuhnya.

"Kirana, jangan buka jaket seenaknya!" ucap Faqih, siswa dari Malaysia sembari memandang Kirana dengan tatapan galak. "Awak tak lihat tuh lelaki menatapmu lekat-lekat macam tu!"

"He? Laki-laki memerhatikan aku?" tanya Kirana heran, memandang pria yang ada di sekitarnya. Sontak, mereka mengalihkan pandangan mereka dan berpura-pura sibuk dengan apapun yang ada di dekatnya. Arthur dengan tehnya, Ivan yang asik memainkan botol vodkanya, Tino yang bersiul kecil, dan Alfred yang merapi-rapikan rambutnya seolah tak melihat apapun. Padahal mereka berempat punya pikiran sama; Kirana memang seksi.

Namun diantara pandangan nakal mereka, ada satu sosok yang hanya tertegun memandang sosok Kirana dibalik manga yang dibacanya.

Rambut yang hitam ikal terurai hingga pantat.

Tubuh yang pendek dan kecil namun berisi.

Kulit yang lebih gelap dan matanya yang besar dan berbulu mata lentik.

Jiwanya selalu bergetar tiap kali melihat sosok Kirana.

.

.

.

Kiku masih ingat betul, saat itu adalah tahun ajaran baru. Sebagai bagian dari Organisasi Sekolah, ia bertugas untuk memberi materi pada masa orientasi. Tanpa sengaja, di jam istirahat, gadis itu memperhatikan buku komik yang dibacanya.

"Ah, itu manga yang sudah kutunggu sejak lama? Sudah keluar ya disini?"

"Eh?" Kiku menoleh pada Kirana dengan wajah bingung. Bukankah gadis ini adalah adik angkatannya?

Kirana memandang sampul komik itu degan tatatapan menaksir-naksir. "Kok kayaknya agak aneh ya?"

"Aneh?"

"Ya, aneh. Eh tunggu. Ini versi jepang nya ya?" Kirana memandang Kiku dengan wajah berbinar dan Kiku hanya mengangguk.

Gadis ini sebenarnya kenapa?

"Boleh... aku melihatnya?" tanya Kirana lagi.

"H-hai, Dozo..." Kiku memberikan komik di tangannya dengan wajah bingung. Kirana menerimanya, membuka beberapa halamannya, kemudian berdecak kagum.

"Wah, manga dari negara asalnya memang beda! Sampulnya juga bagus! Sayang isinya bahasa jepang semua..." seketika wajah riang Kirana berubah menjadi meringis, seolah penuh sesal. "Aku tak bisa membaca kanji..."

"Eh, ma..."

Kenapa aura gadis itu bisa langsung berubah dari cerah langsung gelap seketika.

"Sial... andai komik di Indonesia bisa sebagus itu..." gerutunya sembari mencebik.

Kiku kehilangan kata-kata.

Kirana mengembalikan komik itu pada Kiku, sebelum matanya memandang lekat-lekat ke arah Kiku, menaksir-naksirnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tubuh yang tak begitu tinggi, rambut hitam dengan potongan yang agak aneh, kulit yang putih dan sangat kontras, ditambah dengan sikap malu-malu dan kaku...

"Ah... maaf kalau aku baru menanyakan ini tapi... kau orang Jepang ya?"

Demi kami-sama! Kemana saja gadis ini sepanjang waktu orientasi dan pengenalan anggota osis tadi, huh?

"E-eem, hai. Dan kau..."

"Oh, aku Kirana Danadyaksa, dari Indonesia. Dan kau?" Kirana mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.

"Hajimemashite, watashi wa Honda Kiku desu. Dozo yoroshiku onegaishimasu," Kiku beranjak dari kursinya, membungkuk kecil.

Kirana memiringkan kepalanya, kemudian ikut membungkuk. Ia merasa tak enak, dan memilih mengikuti cara pria itu berkenalan.

"Salam kenal juga... jadi, apa... kau satu angkatan denganku?"

"Iie, aku dari kelas XI Science."

"Oooh... jadi, kau adalah senpai ku?"

"Hai."

"Ah, jadi aku sebaiknya memanggilmu Honda-senpai, benar? Kalau tidak salah, memanggil nama depan pada orang yang baru kenal di Jepang kurang sopan, bukan begitu?"

"Eh, hai."

"Kalau begitu, mulai sekarang aku akan memanggilmu Honda-senpai. Honda adalah... nama keluargamu, benar? Tadi kau menyebut nama Honda lebih dulu sebelum Kiku?"

"Benar."

"Ha... baguslah. Aku tidak salah tebak kalau begitu. Salam kenal juga dariku, ya, Honda-senpai!" Kirana tersenyum lebar.

Kiku mengangguk sekali, tertegun. Di depannya ia bisa melihat jelas, rambut hitam ikal mayang yang terurai di sisi bahunya, serta tatapan hangat gadis itu. Kulitnya yang gelap serta senyumnya yang lembut.

Tiba-tiba saja, hatinya terasa menghangat.

Dan semenjak itu ia sadar. Ia sudah jatuh hati pada Kirana pada pandangan pertama.

.

.

.

Kiku tertegun melihat Kirana mencolek-colek kucing milik penjaga sekolah yang tampak sedang berjemur di lorong dekat kantor guru. Kiku mengerutkan kening. Ini kan masih jam pelajaran, kenapa ia tak dikelas? Ia berjalan menghampiri Kirana.

"K-Kirana-san, kenapa ada di lorong?"

"He, Honda-senpai..." Kirana tersenyum tanpa dosa.

Samar-samar ia mendengar suara keras dari kantor kepala sekolah.

"Ini sudah ke lima kalinya ia menggambar-gambar tidak jelas begini di kelasku! Mana mungkin aku diam saja, Pak Filch?"

"Sabarlah, Bu Irene. Mungkin ia bosan dengan kelasmu. Lagipula kecuali pelajaran hafalan, gadis itu memiliki nilai tinggi dalam ilmu hitungan. Ia memang anak yang lebih pintar dalam ilmu eksak, jadi tak heran jika ia bosan dengan sejarah bukan? Jangan lupa, ia juga kandidat untuk kejuaraan Fisika dunia nanti."

"Aku tak peduli, Pak Filch! Aku mau kebijakan baru agar ia tak mengambil kelas Sejarah, sosiologi, ataupun filsafat!"

"Aku setuju!" seru Pak Riddick.

"Aku juga!" seru Ibu Helen menimpali.

Kiku menoleh ke arah Kirana setelah mendengar suara tersebut dari kantor. Gadis itu kini tampak memeluk kucing ras ragdoll tersebut dengan wajah polos.

Sesaat Kiku serasa kehilangan nafas. Kirana + kucing berbulu tebal = kanpeki.

Kombinasi sempurna yang melengkapi kepuasan seleranya.

Seketika ia seperti merasakan alarm mental dalam kepalanya yang berkali-kali membunyikan sirene...

Cuteness overload, cuteness overload, cuteness overload, cuteness overload...

Tidak, Kiku, tidak. Kau tak boleh melantur!

"Kirana-san... apa, yang kudengar tadi benar?"

"Eh, apanya?" Kirana menoleh.

"Kau menggambar sepanjang pelajaran sejarah?"

"Y, ya... memang benar," Kirana kini melepas pelukannya, memainkan buntut Emi, nama kucing tersebut, mengalihkan pandangannya dari arah Kiku.

"Itu tak baik, Kirana-san. Lagipula, disini, kau akan menghadapi ujian gabungan saat kelas dua, dan terima atau tidak, kau akan menghadapi semua mata pelajaran..."

"Bohong! Bukankah yang kutahu sekolah disini tak ada ujian?" tanya Kirana heran.

"Ujian itu hanya sekali, saat kau kelas dua SMA. Diluar itu tidak ada ujian akhir sekolah maupun ujian tengah semester... tapi tetap berat."

"Haaaaa, menyebalkan! Jadi aku tetap harus berhadapan dengan sejarah dan sosiologi? Biologi? Hissssshhhh... tak adil!"

Kiku memandang Kirana lekat-lekat. "Apa kau tak menyukai pelajaran hafalan?"

Kirana mengerutkan kening. "Memangnya kenapa senpai?"

"T-tidak... hanya saja kalau kau memang bersalah dengan pelajaran tersebut, aku bisa membantu."

"Senpai? Mengajariku? Hehehehe... kapan-kapan saja senpai. Aku belum ingin," Kirana mengibaskan tangannya, tertawa meledek.

Maksud tawa mengejek itu apa? Ia meremehkanku?

"Ma, kau bisa tetap menghubungiku jika suatu saat kau membutuhkanku, jadi... sampai nanti," Kiku membungkuk kecil, kemudian meninggalkan Kirana sendirian.

Sepeninggal Kiku, Kirana memandang sosok itu penuh tanda tanya, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Emi.

"Emi, menurutmu kenapa pria itu tiba-tiba menawarkan diri untuk mengajariku?"

.

.

.

Kantin bergaya dinning hall dengan deretan meja panjang itu biasanya selalu penuh di jam istirahat. Sayangnya, karena Kirana mendapat skors untuk tak mengikuti dua mata pelajaran diikuti istirahat, walhasil, ia pun melewatkan jam makan siangnya sehingga ia baru ke sini saat jam pulang sekolah sehingga ia tak punya teman sekelas untuk menemaninya makan. Setelah mengambil seporsi nasi dengan bumbu kikil dan kikil yang masih panas dengan nasi putih mengepul, Kirana celingukan, berharap mendapat teman untuk makan.

Nah disana. Di salah satu sisi dinning hal, Kirana menemukan Arthur, Alfred, Ludwig, Feli, Gilbert dan Ivan sedang berkumpul. Meski mereka senior, Kirana cukup dekat mengenal mereka semenjak orientasi sekolah. Ia tak paham kenapa mereka tiba-tiba memperkenalkan diri mereka pada Kirana saat itu, tapi semenjak itu, mereka jadi akrab.

"Yo, semuanya! Kalian baru makan siang?" sapa Kirana ramah.

"Hei, dudettes! It's rare to see you in this time!" Alfred menepuk kecil bahunya saat Kirana duduk di sebelahnya. "Sehabis ini kita akan keluar untuk main! Kau mau ikut?"

"Eh, kemana?"

"Kemana saja? Jalan-jalan! Kami bawa dua mobil, Ludwig dan aku akan menyupir!"

"Hmmm... boleh juga sih! Apa kita... akan ke bar untuk minum-minum seperti para orang eropa umumnya?" tebak Kirana usil.

"If that's what you want, why not?" Alfred mengangkat bahu.

"Ide bagus!" Arthur menyela.

"Dan kita akan minum banyak bir setelah ini! Jangan lupa ajak Elizaveta! Ia sangat kuat minum, walau tentu saja tak bisa mengalahkan ku yang awesome ini, kesesesese!" Gilbert menyambar kentang gorengnya

"Broer, kau sudah sering kalah telak minum bir dengan Elizaveta..." bisik Ludwig pelan.

"Wesssst! Tak seharusnya kau menjatuhkan harga diriku yang awesome ini di depan gadis cantik!" Gilbert menyikuti Ludwig.

"Haaaah..." Ludwig memijat keningnya menyikapi sikap kakaknya yang terlalu oresama tersebut.

"Kita bisa mengadakan kontes minum nanti, da," Ivan memakan pirozhki isi dagingnya sembari tersenyum.

"Then it settled!" Alfred bertepuk tangan sekali.

"Sejujurnya aku tak biasa dengan acara minum-minum begini, tapi kurasa... jika sesekali tak masalah," Kirana memakan kikilnya dengan senyum tersungging.

Sementara mereka tertawa tergelak, tanpa sengaja mata Kirana bersirobok dengan Kiku yang menikmati bentonya di meja sebrang. Saat sadar Kirana memandang ke arahnya, Kiku menundukkan wajahnya dan menyembunyikan wajahnya dibalik kotak bekalnya sembari memakan bekalnya cepat –cepat.

Shimatta, ia melihat ke arahku!

Sementara itu, Kirana tersenyum melihat sikap Kiku.

Pria itu memang selalu menyendiri walau ia tahu, bahwa dominannya, pria yang berada di sekitarnya adalah teman sekelas Kiku. Yah, tipikal pria Jepang bukan? Pendiam dan individualis.

Alfred yang heran melihat Kirana tak lagi terfokus dengan pembicaraan, menoleh ke arah Kirana, kemudian mengikuti arah pandangannya.

"Kenapa kau memandangi Kiku?"

"Eh? Tidak, aku hanya tak sengaja..." Kirana meminum jus jeruknya sembari menggeleng.

"Kau suka padanya, frau?" Gilbert mendekatkan tubuhnya ke arah Kirana.

Gadis itu tersedak. "Yang benar saja! Aku memang suka dengan hal-hal berbau jepang, tapi untuk menyukai pria kaku sepertinya jelas tidak mungkin!"

"Sebenarnya kalau kau menyukainya tak apa, Kirana..." Feli tersenyum. "Kiku pria yang baik kok, Ve~"

"Ya, tapi Kirana lebih pantas mendapatkan yang lebih baik, seorang pria yang lebih macho layaknya hero sepertiku!" sambar Alfred.

"Hero sepertimu? Belum tentu Kirana mau dengan kau, tahu?" sentak Arthur tak suka.

"Kenapa, Artie? Kau cemburu jika aku dengan Kirana?" goda Alfred sembari tersenyum menggoda pada Arthur.

"He, a-apa? A-aku, c-cemburu denganmu? Yang benar saja! Bloody hell, never in your wildest dream, wanker!" pekik Arthur dengan pipi memerah. Ia bangkit dan berniat menarik kerah Alfred.

Kirana tersenyum penuh arti pada mereka. Di dalam otaknya, sudah terbayang imajinasi liar dua pria itu diikuti adegan boys love yang biasa ia baca dan simak lewat Youtube. Aaaaaah, ia hanya bisa berteriak dalam hati melihat keduanya. Give me more pwease...

"Sudahlah, cemburu saja, Artie..."

"He, what do you mean, love?" tanya Arthur heran. Arthur dan Alfred menoleh ke arah Kirana dimana Arthur dalam posisi hendak menjambak rambut Alfred meski sebenarnya itu tak serius sementara Alfred berusaha melepaskan tangan Allastor Kirkland itu dari kepalanya sembari tertawa geli.

"Supaya aku bisa mendapat pemandangan gratis boys love versi dunia nyata..." Kirana tersenyum evil sembari mengaduk jus nya.

"Damn! Kiku is really bad influence for her, nooooo!!" seru kedua pria itu dengan tatapan ngeri.

Dari jauh, Kiku tersenyum nakal memandang layar kamer DSLR yang selalu dibawanya. Sesaat, ia teringat dengan ucapan Arthur tadi saat menyebut-nyebut namanya sebagai salah satu pembawa pengaruh buruk pada Kirana.

Yah, bohong kalau seorang perempuan pecinta anime tak menyukai yaoi. Atau setidaknya, mereka belum menjadi anime lover sejati.

Yaoi is live, yaoi is love. Setidaknya itu apa yang menjadi ideologi para Fujoshi. Jadi jangan salahkan dirinya.

Saat itu ingin rasanya Kiku memberikan bro-hug pada Kirana kalau ia tak ingat siapa dirinya.

"Eh, Kirana... aku tahu ini memang aneh tapi... kau bisa memilihku dibanding para pria ini jika kau mau, da," Ivan tiba-tiba angkat bicara, dan seketika kalimat itu menyumpal semuanya untuk tutup mulut.

Kiku membeku mendengar kalimat itu. Eh? Ivan?

.

.

.

Di salah satu bar langganan Gilbert, akhirnya anak-anak SMA itu berkumpul. Yang lain saling menyemangati Ivan, Gilbert dan Elizaveta. Kirana yang cukup kaget dengan budaya tersebut hanya bisa ternganga melihat senior-seniornya menenggak belasan gelas bir tapi masih tetap sadar.

"Eli, ayo, gelas ke 15! Jangan mau kalah! Kalahkan Ivan!" Alfred menyemangatinya.

"Hm... kalau kau bisa, silahkan saja, da," Ivan menikmati birnya dengan santai, seolah tak terpengaruh dengan bir tersebut.

Gilbert terkapar di mejanya. Tangannya masih ingin mengangkat gelas bir, tapi kesadarannya sudah setengah hilang.

"Kau lemah, Gilbert! Bukankah kau selalu menyombong bahwa kau bisa mengalahkanku? Hik," Elizaveta mendorong kepala Gilbert.

"Tapi tetap saja, aku akan lebih awesome dari semua orang disini, frau, hik..."

"Kau ini lucu, mengatakan hal seperti i-hik-tu padahal kau sudah tak ber-hik-daya..."

"Dua gelas lagi!" Ivan mengangkat gelasnya dengan wajah merona. Kirana terperangah. Bagaimana bisa pria itu meminum hampir 18 gelas bir tanpa terlihat mabuk?!

"Ivan! K-kau... benar-benar kuat!" puji Kirana dengan tatapan penuh kekaguman.

"Ehe..." Ivan tersenyum kecil pada Kirana.

"Tentu saja ia kuat. Untuk orang yang biasa meminum vodka layaknya air putih, bir bukanlah apa-apa buatnya," Ludwig mengangkat bahu, lalu meminum birnya.

"Ah, begitu rupanya..."

"Yah, seperti yang sudah kita asumsikan dari seorang pria Russia. Aku benci mengakuinya, tapi ia memang kuat... mengabaikan sikapnya yang kadang-kadang agak menerikan dan tak terduga..." Ludwig memainkan gelasnya.

"Ivan hebat ya, Kirana... ve~" Feli yang lebih memilih meminum wine merangkul bahu Kirana.

"Kau sendiri, tak minum bir?" tanya Arthur pada Kirana sembari menyambar chips, makanan kesukaannya tiap kali ke bar.

"Sudah tapi tak habis, jadi aku berhenti. Aku tak biasa meminum hal seperti itu..."

"Ah, ya. Negaramu adalah negara tropis, jadi jelas saja minuman fermentasi tak begitu dibutuhkan... disana jelas-jelas negara panas..." Ludwig mengelus dagunya.

"Ivan 21 gelas, Gilbert 13 gelas, dan Elizaveta 16 gelas! Ivan pemenangnya!" Alfred berseru, mengangkat tangan Ivan, sementara pria asli Rusiia itu hanya tersenyum manis.

"Aaah, tentu saja, da..." Ivan mengalihkan pandangannya ke arah Gilbert, lalu menepuk-nepuk punggungnya. "Sebaiknya kau segera beristirahat setelah membayar semua tagihan, Gilbert!"

"Jangan mengaturku yang awesome ini! Aku baru mau tidur jika Elizaveta yang menemaniku!"

"Tolol, siapa yang mau tidur denganmu, hah?" Elizaveta memukul keras punggung Gilbert. "Tidak sudi aku tidur denganmu!"

"Tolonglah Elizavetaa..." Gilbert berniat menarik tangan Elizaveta yang ia sangka duduk di sebelahnya, tapi malang, tangan Kirana yang malah ditarik. Kirana mengejang saat Gilbert berusaha menciumnya, dan yang lainnya memekik berusaha melepaskan Kirana.

"Gilbert, lepaskan dia, itu Kirana!"

"Nggh? Kirana? Kau tak perlu bicara ngawur... aku tahu kau memang suka pada Roderich, tapi tak bisakah kau melihat sedikit ke arahku? Aku sudah menyukaimu sejak kecil..."

"GILBERT!" Elizaveta menutup mulut, mendengar sebuah kenyataan yang mengagetkan dipadu sikap Gilbert yang salah sasaran cukup untuk membuatnya panik.

"Veee, Gilbeeeert... akhirnya kau menyatakan perasaanmu juga, ve~" Feliciano dengan santai menggoyang goyang gelas wine-nya.

"Broer..." Ludwig memijat-mijat keningnya.

"Berhentilah tersenyum dan bantu Kirana lepas dari Gilbert, Feli! Arthur!"

Arthur dan Feli menurut. Mereka berusaha melepaskan tangan Gilbert dari tubuh Kirana yang kini berusaha menghindari ciuman Gilbert. Mengabaikan kenyataan jika ia berada di posisi Kirana, dengan keras Elizaveta menarik tangan berotot Gilbert dan Feli pun menarik tubuh Kirana tepat setelah Elizaveta mengendorkan pelukan Gilbert dari Kirana. Malang, kini malah gantian Arthur yang jadi korban, dan pipi pria beralis tebal itukini jadi sasaran cium Gilbert.

"Hey, hey Gilbert! Apa kau gila!"

Kirana yang baru lepas dari pelukan Gilbert tak mau melewatkan kesempatan ini. Dengan ponselnya, ia menjepret foto adegan BL yang belum tentu akan ia dapatkan lagi di depan matanya.

"Apa yang kau lakukan, Kirana! Bantu Arthur!"

"T-tapi ini terlalu sayang untuk dilewatkan!"

"Hentikan obsesi anehmu itu dan bantu aku!" seru Alfred yang terlihat begitu berang.

"Broer, broer, itu Arthur... jangan mempermalukan dirimu, broer..." Ludwig yang ikut turun tangan berusaha melepaskan tangan kakaknya dari Arthur. Dan terima kasih atas kekuatan fisik Ludwig, akhirnya Arthur terlepas dari dekapan Gilbert.

"Elizaveta... kumohon... izinkan aku tidur denganmu malam ini... hanya malam ini!" racau Gilbert dengan tangan menggapai-gapai ke udara.

Wajah Elizaveta yang sudah memerah karena minum bir kini semakin merona mendengar ucapan Gilbert. Ia jelas kaget mendengar kenyataan tersebut, dan akhirnya memandang Feli.

"Feli... apa kau memang sudah tahu ini cukup lama?"

"Si. Hanya saja, kau terlalu tidak peka untuk menyadarinya..."

Kirana hanya mengedipkan matanya beberapa kali. Jujur, selama ia hidup, baru kali ini ia melihat orang mabuk berat sampai bicara melantur dan mengungkapkan rahasia terdalam mereka. Yah, tentu saja, ini eropa, bukan? Hal-hal ini jelas tak pernah ia lihat sebelumnya, kecuali lewat film-film.

"Ludwig, aku akan membawanya. Kau tak keberatan kan?"

"Biar aku saja, Eli. Ia cukup berat, lagipula ia kakakku... ayo, kau juga... kuantar pulang. Feli... ayo pulang," Ludwig memapah Gilbert dan mengajak Elizaveta dan Feli pulang setelah membayar semua tagihan mereka. Sebenarnya itu tanggung jawab Gilbert, namun melihat kakaknya sudah mabuk begitu, mungkin ia bisa hitung-hitungan dengan Gilbert nanti.

Di depan pintu bar, Ludwig menoleh ke arah Alfred.

"Alfred, aku serahkan yang lainnya padamu. Kau juga bawa mobil 'kan?"

"No problem!" Alfred mengacungkan jempolnya.

"Ha..." Kirana tercenung melihat kepergian mereka, dan yang lainnya kembali meminum bir mereka. Sesaat semuanya kembali hening, sebelum akhirnya Ivan merubah posisi duduknya, dan pindah di sebelah Kirana.

"Kirana... apa kau keberatan jika aku mengantarmu pulang?" tanya Ivan tiba-tiba saat gadis itu meminum sari apelnya.

"Eh? Tapi bukannya... Alfred akan mengantar kita?" tanya Kirana heran.

"Tak masalah. Aku ingin bicara berdua denganmu," Ivan tersenyum tipis, "boleh?"

Kirana mengerutkan kening, namun akhirnya mengangguk. "Boleh saja. Bagaimana jika kita pergi sekarang? Kukira ini juga sudah cukup malam..."

Ivan memandang jam tangannya, kemudian mengangguk. Ia menoleh ke arah Alfred dan Arthur, "Alfred, Arthur, aku akan mengantar Kirana pulang, dan ini sudah cukup malam. Kami duluan, da?"

"Eh? Kirana?" Alfred mengerutkan kening, khawatir. Kalian pasti pahamlah, ini Ivan gitu lho. "Kau tak apa? Aku bisa mengantarmu?"

"Tak masalah, lagipula aku berdua dengan Ivan..."

"B-baiklah..." Alfred mengangguk, sementara Arthur hanya tersenyum dan melambai ke arahnya. "Take care, love."

"Terima kasih," Kirana merona mendengar panggilan pria itu padanya. Ah, sikap gentleman pria Inggris memang sudah terkenal kan? Hanya Kirana saja yang belum terbiasa.

Saat keduanya keluar dari bar, Kirana mengusapkan kedua tangannya untuk menghangatkan diri. Ivan yang sadar bahwa gadis itu kedinginan, melepaskan jaket yang dikenakannya, lalu memakaikannya di tubuh Kirana.

"Kau tak minum apapun untuk menghangatkan tubuhmu, Kirana... jadi kau butuh kehangatan lebih," ucapnya saat mendapat tatapan penuh pertanyaan dari Kirana.

"Ah, terima kasih tapi... bagaimana denganmu?"

"Aku sudah biasa dengan dingin. Lagipula ini bukan musim salju, jadi aku akan baik-baik saja tanpa jaket. Kau tahu sendiri kan Rusia selalu bersalju setiap harinya, da?" Ivan memiringkan kepalanya.

"Ah, ya. Benar..." Kirana mengangguk, teringat.

Saat keduanya menaiki bus yang sama, Kirana memandang ke arah Ivan. Pria bertubuh tinggi itu sebenarya berhati lembut. Hanya saja, ia banyak mendengar bahwa pria ini agak mengerikan saat ia marah, meski hingga saat ini ia belum pernah melihat Ivan merah. Bagaimana tidak? Ivan selalu tersenyum hampir setiap kali ia melihatnya.

"Jadi, bagaimana kesanmu selama disini, da?" tanya Ivan pada Kirana. "Yah, kau tahu... ini di Eropa, sementara kau sendiri dari Asia."

"Hm... bagaimana ya. Aku sebenarnya cukup mudah beradaptasi dengan keadaan, kecuali dengan Feliciano yang dengan mudahnya menyentuh fisik... atau syok saat melihat orang-orang berciuman di tempat umum... bagiku itu adalah pemandangan yang sangat..." Kirana mengibaskan tangannya, tak mau melanjutkan kalimatnya lagi. Ivan tertawa kecil.

"Yah, mungkin itulah apa yang disebut dengan cultural shock... tapi lama-lama kau pasti akan terbiasa, da..."

"Ya, diluar hal-hal tadi aku nyaman-nyaman saja. Bagaimana dengan kau sendiri?"

"Ah, aku tak ada masalah... budaya kami dan mereka tak beda jauh, da," Ivan menggeleng kecil. "Lagipula di tempatku aku banyak bergaul dengan eropa dan mereka tak begitu berbeda, jadi tak ada yang aneh."

"Ah, begitu rupanya..."

Bus yang mereka tumpangi pun berhenti di halte yang tak jauh dari kediaman Kirana. Setelah Kirana turun dari bus bersama Ivan, keduanya berjalan menysuuri trotoar menuju rumah Kirana. Gadis itu tinggal di sebuah flat yang tak begitu jauh dari sekolahnya, tapi lumayan jauh dari bar sebelumnya.

"Baiklah, kurasa sampai sini..." Kirana memandang pintu flatnya, dan Ivan mengangguk.

"Meski sebentar, aku senang bisa berdua denganmu, Kirana."

Pipi Kirana memerah. Pria itu cukup tahu cara untuk merayu wanita, eh? Atau itu hanya perasaannya saja yang memang tak biasa dengan sikap lembut pria-pria asing?

"Terima kasih sudah mengantarkanku, pulang, Ivan..."

"Tak masalah. Sudah seharusnya juga, da," Ivan menepuk rambut Kirana.

Saat keduanya terdiam sejenak, Ivan mendekatkan tubuhnya ke arah Kirana. Tiba-tiba, sebuah kecupan tipis menyapu kening Kirana, dan Kirana terpaku.

P-pria itu tadi... mengecup keningku?

Astagaaaa, pipiku panas! Pipiku panas! Pipiku panas!

"Eh, Ivan..." Kirana tertunduk lesu, menggaruk kepalanya, sementara Ivan hanya mengangkat kedua alisnya, menyembunyikan rasa gelinya melihat gadis berkulit gelap itu salah tingkah.

"Selamat malam, Ivan..."

"Da, do opyat' zhe, krasivo (ya,sampai nanti lagi, cantik)," Ivan mengelus kepalanya dengan lembut.

"Eh?" Kirana memiringkan kepalanya, tak mengerti.

Ivan tertawa, mengeluarkan suara kecil 'ehe' miliknya, sebelum akhirnya membuka mulut. "Maksudku, sampai nanti lagi."

"Ah ya. Hati-hati di jalan pulang..."

Ivan mengangguk.

Sepeninggal Ivan, Kirana membuka pintu kamarnya dengan hati menghangat. Ia memang tahu bahwa pria rusia terkenal dengan sikap mereka yang memperlakukan perempuan dengan begitu hormat, tapi ia tak menyangka ia akan semerona ini dengan sikap Ivan.

Ah, malam ini indah...

TBC


Kiku : Jadi ceritanya... aku disini, jadi pengagum Kirana?

Lazu : Udah jelas kan?

Kirana : Eh Lazu, kenapa aku jadi fujoshi?

Kiku : Mungkin biar cocok denganku?

Kirana : *ngerutin kening sambil mikir dalem* kok aku jadi lebih mirip kayak penulisnya ya?

Lazu : *siul-siul ga jelas...*

Kiku : Terus selanjutnya, mau gimana? Cerita ini... mau dibawa kemana?

Lazu : Nggak tahu. Kemana yah. Agak ke-inspired juga dengan tulisan LittleOrchids45 (Hope you read it, mbak, I'm inspired by your writing!) , gabungkan dengan pengalaman pribadi, mungkin akan mixed.

Kiku : *masih manteng serius* pengalaman pribadi? Pengalaman yang mana Lazu-san?

Lazu : *sadar ucapannya gantung, melirik ke arah lain* aku nggak akan bilang sekarang, tapi... cerita ini nggak sekedar fluff...

Kirana : tunggu, kayaknya... gue membaui adegan buruk dan bad experience...

Lazu : ma... *tutup setengah wajah pake kipas lipet*

Kirana : Lazu, ane nggak mau tahu! B-brani ngasih adegan ngaco, gue santet! Gue ga ridho?! *cekek cekek author*

Lazu : *megap-megap* K-Kiku...tasuketteeeee...

Kiku : *mandangin kedua cewek dengan wajah tambeng, kemudian berdiri dan membungkuk* mengabaikan percakapan absurd mereka, ma, kuharap kalian menikmati cerita ini. Silahkan komentar, review, suggest ide cerita mau gimana baiknya (akan dipertimbangkan) tapi tak menerima flame. Arigatou gozaimasu. *ojigi ala samurai*

Mata ashita, minna!