Okay, here I am—totally obsessed to write a Sherlock fict, in the middle of my exam biweek! I'm damned, I know—but I'm satistfied.

Fict ini—my first hereterinspirasi sepenuhnya dari episode paling Tear-Jerker dari seluruh episode di Sherlock, The Reichenbach Fall. Dan jujur, awalnya saya mau bikin totally LockJohn—Oh, please, didn't they both look so good together? Practically everybody in the series, including the scriptwriters, ship them, don't they?—tapi gak jadi. Mending canon total dan gantung aja, deh. :3 #dilemparmikroskop #tangkep

FYI, I listened to "Safe And Sound" by Taylor Swift feat The Civil Wars and "Stay" by Miley Cyrus while I was writing this fict. Good mood makers for this fict, both of them.

Oke, tanpa banyak bicara, selamat membaca. ^^

DISCLAIMER :

Sherlock series punya BBC dan scriptwriter ter-awesome sejagad, Abang Steven Moffat dan Kangmas Mark Gatiss.

Novel Sherlock Holmes canon punya Eyang Sir Arthur Conan Doyle.

#sokakrab #dihajarmassa

WARNING :

Almost no pairing, sedikit loveinterest!LockRene dan ambiguousfrienship!LockJohn; SPOILER BANGET—dari awal sampai akhir, setidaknya 4 episode; kinda sappy; flashback scene yang gak kronologis. You've been warned. Don't like, don't read.

.

.

Hujan mengguyur deras di luar jendela.

"Ada hal yang ingin kau katakan, tapi kau tak mengatakannya," ujar wanita berkulit gelap—psikiater yang sudah delapan belas bulan tak dikunjunginya—itu perlahan.

"Yeah."

Dia sudah tak sanggup berkata-kata.

"Katakanlah sekarang."

Dia sudah tak sanggup mengatakannya...

"Tidak. Maaf, aku tak bisa."

...karena apapun yang ada di benaknya, tak ada gunanya lagi untuk dikatakan sekarang.

Percuma.

.

Sherlock Series and the characters within ©BBC

.

MISSING WORDS

©sherry-me

.

Menurutmu,

kata-kata macam apa yang akan membuatmu menyesal setengah mati

karena kau belum mengatakannya

dan merasa percuma

saat kau tak bisa mengatakannya lagi

untuk selamanya?

.

.

.

Hari itu tak ada suara mencurigakan dari flat 221B Baker Street. Tak ada suara letusan pistol, tak ada lantunan gesekan Stradivarius yang memukau, tak ada ribut pertengkaran—satu bersuara bariton dan satu tenor—ala suami istri yang membuat sang landlady di lantai bawah geleng-geleng kepala, tak ada pekik kaget saat ditemukan benda mencurigakan dalam kulkas.

Tak ada.

Hanya sunyi.

Ia tak pernah sempat mengatakannya

tidak di flat mereka, di rumah mereka, di 221B Baker Street

Kesunyian menyesakkan yang memeluk seluruh pori-pori John Hamish Watson tanpa ampun.

Ia menyandarkan diri ke kursi favoritnya di ruang tamu—kursi yang sama yang ia duduki kala ia diajak olehnya ke TKP untuk pertama kalinya—dan memejamkan mata.

.

Ia beranjak berdiri dari duduknya dengan sigap—sesigap yang eks-Kapten dari Fifth Northumberland Fusiliers itu bisa.

"Sudah melihat banyak luka, kalau begitu. Kematian mengenaskan..."

"Well, ya."

Nada suara itu rendah, menggoda—terdengar sensual dari satu sisi, "Kau cukup kesulitan juga, aku berani bertaruh."

Nada suaranya terdengar datar memang—seolah tak peduli, "Tentu saja. Ya. Cukup untuk seumur hidup—sudah terlalu berlebihan," tapi itu hanya samaran dan dia mengetahuinya.

Bibir itu melengkung, membentuk seringai menggoda nan menawan, "Want to see some more?"

Ia mengerang—lupakan kebohongan terang-terangan barusan, "Oh, God, yes."

.

Terlalu sesak. Mengingat segala hal tentang pertemuan pertama mereka—termasuk tawaran paling menggoda sekaligus berbahaya yang pernah ia terima seumur hidupnya, termasuk flat yang ia miliki atas nama pribadi kini, termasuk adegan "diduga sebagai pasangan Sherlock untuk yang pertama kalinya" oleh landlady mereka—terlampau menyesakkan.

tidak di tengah kesibukan mereka bertualang ke mana-mana

Ia mendongak—menatap hampa sekelilingnya. Ia menarik napas dan merasa kian kosong saat tak mencium aroma yang biasanya mengapung di flat mereka—tampaknya Mrs. Hudson sudah membersihkan flat mereka saat ia mengurung diri di kamarnya di lantai atas, berduka—tak ada bau busuk potongan tubuh yang jadi bahan eksperimen; tak ada aroma mencurigakan bahan kimia aneh ataupun serpihan dari tubuh korban pembunuhan; dan yang paling penting, tak ada aroma tubuhnya.

Sherlock...

Aroma aftershave-nya yang spicy, aroma musk samar yang entah kenapa selalu melingkupinya, dan bahaya. Ya, karena Sherlock Holmes adalah bahaya itu sendiri—dan bahaya itulah yang membuatnya menarik pelatuk hanya dalam waktu kurang dari 48 jam sejak mereka pertama bertemu di Rumah Sakit St. Bartholomew. Ia membunuh demi Sherlock. Demi menyelamatkan Sherlock yang waktu itu hampir menenggak kapsul berisi racun—atau tidak, ia, mereka tak pernah tahu apakah botol yang Sherlock pilih waktu itu adalah botol yang baik atau buruk—yang disodorkan sopir taksi sialan itu dalam permainan kematian konyolnya.

tidak di Rumah Sakit St. Bartholomew tempat mereka pertama dan terakhir kalinya bertemu

.

"Tembakan bagus."

Tenggorokannya terasa kering. Ia bisa menebaknya?

"Ya. Ya, tentu saja. Melewati jendela begitu..."

"Well, kau tahu."

Bukan nada menuduh. Pria bermata kelabu itu tahu.

"Kau perlu melenyapkan bubuk mesiu dari jari-jarimu. Aku tidak yakin kau meluangkan waktu untuk ini, tapi mari hindari membawa ini ke pengadilan."

Ia berdeham lagi. Menoleh ke kanan dan ke kiri, meyakinkan diri tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya. Tentu saja. Aku baik-baik saja."

Ia berdeham sekali lagi.

"Well, kau baru saja membunuh seseorang."

"Ya, aku..."

Ia terdiam, dan menatap pria di hadapannya dengan tatapan menyelidik.

"Itu benar. Iya kan? Tapi dia bukan orang yang baik," pembelaan diri—dia harus membela diri.

Pria berambut cokelat di hadapannya mengangkat alis sempurnanya sekilas, "Tidak, dia memang bukan. Sangat. Iya kan?"

"Tentu saja, sopir taksi yang sangat buruk," imbuhnya lagi—mencoba memperkuat usahanya membela diri.

Dan pria itu tertawa pelan. Terkekeh.

"Itu benar. Dia sopir yang buruk," dan dengan itu ia sendiri mulai terkekeh, sementara pria itu mulai beranjak menjauhi TKP, "Kau harus melihat rute yang ia tempuh untuk sampai ke sini."

"Stop! Kita tidak boleh tertawa, ini di TKP. Hentikan itu," ujarnya seraya menahan tawa dan menyusul langkah-langkah panjang pria itu.

Ironis, dia baru saja membunuh—demi menyelamatkan pria yang kini berjalan di sampingnya—dan dia bisa tertawa begini. After-effect dari keterbiasaannya akan konsep merenggut nyawa dalam peperangan di Afghanistan mungkin?

"Kau orang yang baru saja menembaknya."

"Pelankan suaramu!" Ia terkekeh lagi, sebelum meminta maaf pada petugas yang menatap aneh ke arah mereka, "Sorry. It's just… a nerves. I think."

Pria yang berjalan di sampingnya itu juga menambahi—sambil tetap terkekeh, "Maaf."

"Kau akan meminum pil sialan itu kan?" tanyanya—membuat pria itu menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya.

"Tentu tidak. Mengulur waktuku. Tahu kau akan muncul."

Ia tak percaya dan menyahut, "Tidak. Kau tidak begitu. That's how you get your kicks, isn't it? Kau membahayakan hidupmu untuk membuktikan bahwa kau pintar."

"Kenapa aku mau melakukannya?"

Ia menyahut tanpa ragu, "Karena kau idiot."

Pria itu mengulum senyum—menahan tawa yang hampir meluncur ke ujung lidahnya—sebelum menawari, "Makan malam?"

"Kelaparan," jawabnya simpel.

.

Tawanya, suara tawanya yang hangat namun jarang terdengar—bagaimanapun Sherlock mencap dirinya sendiri sebagai high-functioning sociopath.

Bloody hell... ia benar-benar merindukannya.

Terdengar suara langkah kaki perlahan yang familiar di tangga.

"Dear? Are you all right?"

Pertanyaan yang sama entah untuk keberapa ratus kalinya. Sungguh ia ingin menjawab dan membentak, "Shut up! How am I supposed to be all right after all of that shite, Mrs. Hudson?"

Tapi tidak. Tidak bisa. Ia tidak boleh bersikap rapuh dan kurang ajar begitu. Terutama tidak di hadapan landlady mereka yang sudah menyayangi mereka bak anak sendiri. Lagipula, Sherlock takkan suka jika ada orang yang berkata kasar pada wanita tua itu—meski Sherlock merasa tak masalah jika dia sendiri yang berkata kasar. Sherlock itu sungguh egois dan kekanak-kanakan bukan?

Sherlock...

tidak pula di kantor Scotland Yard di mana ia selalu menemaninya tanpa absen

"I'm fine, Mrs. Hudson. Thank you."

Wanita tua itu merapatkan bibirnya dan tersenyum—senyum eks-dokter tentara di hadapannya itu terlalu menyakitkan untuk dilihat.

"Kau mau secangkir teh?" tawarnya, "Aku akan membuatkannya untukmu kalau kau mau."

Ia menggelengkan kepala, "Tidak. Tidak perlu. Sudah waktunya kita berangkat bukan?" dan mengedikkan kepala ke arah jam dinding.

"Oh, baiklah..."

Ya, sudah waktunya mereka berangkat menemui Sherlock...

tidak di mana pun

... di makamnya.

.


.

.

Ia tak pernah sempat mengatakannya

tapi sungguh ia ingin

Sebuket bunga tergolek di atas pangkuan Mrs. Hudson. Bunga yang ia tak perlu tahu namanya. Toh, ia sendiri tak yakin Sherlock mengetahui nama bunga itu—walau ia yakin pria itu tahu ratusan bahkan ribuan jenis tanaman beracun dan cara menganalisis 243 jenis abu rokok berbeda.

Matanya terpaku ke luar jendela taksi. Entah sudah berapa kali ia mengalami hal ini. bepergian ke berbagai penjuru London dengan taksi, bersama Sherlock.

Ia tersenyum tipis saat taksi melintas sebuah perempatan jalan—di mana jika terus lurus ia akan sampai di Northumberland Street, persis di mana restoran Angelo berada. Tempat pertama kali ia makan malam dengan Sherlock—bukan makan bersama karena pria itu tak makan apapun dan, well, aktivitas itu tidak berada dalam konteks romantis—sebelum mati-matian mengejar taksi yang mereka, bukan, Sherlock pikir dinaiki pelaku yang tengah diburunya. Tempat di mana ia dikira pasangan Sherlock untuk yang ketiga kalinya dalam 48 jam oleh orang yang sama sekali belum ia kenal. Yeah, lucu kan?

Juga tempat di mana ia pertama kali berbincang dengan Sherlock tentang kehidupan pribadi pria itu—tentang kehidupan cintanya.

.

Ia hanya memulai percakapan sebenarnya, sembari makan dan menunggu pelaku yag mungkin akan muncul di seberang jalan.

"You don't have a girlfriend, then?"

Pria itu menjawab dengan nada bosan, datar, tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.

"Pacar? Tidak. Itu bukan bidangku."

Ia mengangguk sekilas, sebelum tersadar dengan keanehan dalam jawaban barusan, lantas mendongak dan menatap pria itu intens.

"Oh, right," ia terdiam sejenak, ia harus memperjelas keadaan kalau begitu, "Do you have a boyfriend? Which is fine, by the way."

Pria itu mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap matanya, "Aku tahu itu bukan masalah."

Ia tersenyum—canggung, dipaksakan, "So, you've got a boyfriend, then."

Yang langsung dibalas dengan, "Tidak."

"Baiklah. Oke," ia terkekeh, mencoba menetralisir suasana dan tanpa sengaja menjilat bibirnya—gugupkah ia?

"Kau tak terikat, seperti aku."

Ia berdeham—semua terasa terlalu canggung, "Baiklah. Bagus," dan melanjutkan acara makannya.

Pria di hadapannya melirik ke arahnya, tampak sedikit ragu dan ingin mengucapkan sesuatu.

"John, erm... kurasa kau harus tahu bahwa aku menganggap aku menikahi pekerjaanku dan bahwa aku tersanjung atas ketertarikanmu...," Ia menggelengkan kepalanya—ayolah,yang benar saja?—sementara pria di hadapannya itu terus saja bicara, "Aku tidak sedang benar-benar mencari..."

Ia segera memotong perkataannya, tidak sanggup mendengar tuduhannya—enak saja, ia straight, "Tidak. Aku tidak bertanya. Tidak..."

Ia menegaskan kata "tidak", "Aku hanya ingin bilang, semuanya baik-baik saja."

Pria itu mengangguk.

"Baguslah," sebelum menambahkan dengan canggung, "Terima kasih."

Dan ia membuang muka. Bloody hell, apa-apaan pembicaraan barusan?

.

Senyum itu masih merambati bibirnya. Matanya masih terpaku keluar jendela menelusuri jalanan. Namun senyum itu mendadak pudar saat taksi berbelok dan gedung itu memasuki area pandangnya.

Gedung olahraga yang di dalamnya terdapat kolam renang tempat Carl Powers dibunuh berada.

Gedung di mana ia diculik, dipasangi bom dan dipaksa mengucapkan skenario palsu yang dibisikkan Moriarty via earpiece di telinganya. Skenario yang seolah bilang bahwa ia-lah pemain di balik layar dari permainan maut yang melibatkan Sherlock.

.

Aku bisa melihat pandangan mata Sherlock—kilasan, bukan amarah, tapi rasa sakit. Untuk sesaat, dia tampak seperti bocah mungil yang tersesat. Aku seharusnya takut pada kenyataan bahwa ia meragukanku untuk sekejap, meski jujur saja, itu terasa sangat manusiawi untuknya. Dia ternyata menghargai pertemanan kami. Dia—terlepas dari dirinya yang seperti itu—peduli. (1)

.

terlepas dari semua penyangkalannya

Gedung di mana untuk pertama kalinya Sherlock berkonfrontasi langsung dengan Jim Moriarty. Yang mengancam bahwa ia akan membakar habis 'hati' Sherlock. Yang sempat berlalu, memberi mereka kesempatan bernapas lega, memberi Sherlock kesempatan untuk merenggut rompi Semtex yang dipasangi bom dari tubuhnya—dan ia masih ingat ia malah berkomentar, "Kau, melepas pakaianku di kolam renang yang remang-remang. Orang-orang akan bicara."—sebelum kembali, berkata bahwa ia berubah pikiran dan mengarahkan banyak laser ke tubuh mereka. Yang akhirnya pergi setelah menerima telepon. Yang setelah lama sejak itu ia baru menyadari, bahwa yang mungkin menelepon consulting criminal itu dan mencegah mereka terbunuh adalah The Woman, Irene Adler.

Irene Adler, the dominatrix, The Whiplash, wanita yang sempat membuat Sherlock tampak seperti orang linglung selama berbulan-bulan. Dan membuat ia merasakan sengatan kecemburuan yang ia sendiri tak sadari—walau jauh setelahnya ia akhirnya sadar. Bagaimana tidak? Dia tahu persis hitungan pesan yang diterima Sherlock dari Sang Wanita sementara dia lupa siapa dari sekian pacarnya dalam beberapa bulan terakhir yang punya anjing peliharaan.

Isn't it obvious?

.

Dua pasang mata itu saling bertatapan intens. Seolah hanya ada mereka berdua di dunia saat itu—mengabaikan keberadaannya yang jelas-jelas tak ada semeter dari mereka—dan ia tak suka itu.

Sebelum ia sadari, ia sudah berucap, "Hamish. John Hamish Watson," dan membuat kedua orang di depannya menoleh serta menatap aneh ke arahnya.

Ia meringis, berusaha mencari alasan atas gangguannya terhadap aktivitas mereka barusan, "Kalau-kalau kalian mencari nama bayi nanti."

Ia meninju mukanya sendiri dalam kepalanya.

Brilliant move, John.

.

terlepas dari semua pembelaan dirinya

Heh, wanita itu bahkan pernah menculiknya ke suatu pabrik di pinggir kota—ala Mycroft, hingga membuatnya bertanya-tanya, jangan-jangan Mycroft punya hubungan tertentu dengan Sang Wanita.

Tentu saja, dia kaget setengah mati. Wanita yang dinyatakan sudah mati itu melenggang penuh kepercayaan diri di hadapannya. Dan itu hanya untuk meminta bantuannya—demi mengambil kembali apa yang sudah ia serahkan pada Sherlock. Tentu saja ia tidak terima. Tidak tahukah wanita itu, bahwa ia sudah membuat seorang Sherlock… patah hati?

Oh, ia sendiri tidak yakin apakah benar Sherlock patah hati. Dia jarang makan, itu sudah biasa. Dia jarang bicara, kecuali untuk mengoreksi siaran televisi, itu mulai aneh. Dia menulis lagu sedih, itu baru pertanda. Meski dia bilang menulis lagu membantunya berpikir, tapi tetap saja—ini Sherlock! Seorang Sherlock yang tidak berkata cerdas namun tajam menusuk perasaan, seorang Sherlock yang tidak melompat gembira saat mendapat kasus yang menurutnya menarik—itu bukan Sherlock-nya.

Dan seiring semua kata-kata itu ia meluncur dari bibirnya, sengatan aneh terasa menusuk perasaannya...

.

"Apa kau cemburu?"

Bibir berpulas merah darah itu melengkung membentuk senyuman. Terasa sinis sekaligus maklum—senyum yang ganjil.

"Kami bukan pasangan," sanggahnya refleks.

"Ya, kalian pasangan," ujar wanita berbusana serba hitam itu cepat—dia bahkan tidak mau susah-susah melepas matanya dari layar ponselnya—membuatnya tersentak.

"There," wanita itu menunjukkan layar ponselnya padanya, "'Aku belum mati. Ayo makan malam.'"

Bersamaan dengan jemari lentik bersampul sarung tangan kulit itu memijat tombol 'send', ia membantah tergagap, "Siapa yang tahu tentang Sherlock Holmes, tapi sebagai catatan, jika ada orang di luar sana yang masih peduli..."

Ia menatap lurus wanita itu, "I'm not actually a gay."

Wanita itu menyeringai, "Well, I am. Look at us both."

.

ia sepenuhnya menyadarinya

Beberapa saat setelah kasus itu terselesaikan, Sherlock tak pernah lagi menyinggung apapun tentang Sang Wanita. Sherlock tak pernah mengucapkan nama wanita itu. Tidak pula setelah ia memberitahu pria itu bahwa Irene Adler mendapat Program Perlindungan Saksi di Amerika—yang jelas bohong karena Mycroft sendiri bilang padanya bahwa wanita itu sudah mati dipenggal di Karachi. Oh, well, dia tahu Sherlock masih menyimpan ponsel wanita itu di laci meja di kamar tidurnya, tapi tidak. Tidak sekalipun ia menyinggung nama wanita itu. Pun ia tidak menunjukkan tanda-tanda depresi—tidak makan, tidak bicara, dan menulis lagu sedih—yang ia tunjukkan sebelumnya.

Sementara dia? Dia sendiri menyadari—setelah perenungan yang tidak pendek, tentu saja—wanita itu benar tentang satu hal.

Bahwa ia cemburu.

.


.

.

Taksi itu berhenti dengan suara decit ban keras. Ia tersentak dan mendongak.

Mata sewarna langitnya menangkap bangunan tua berbata merah dan hamparan luas dengan beragam bentuk nisan mencuat dari atas tanah.

Ia sudah sampai di pemakaman.

.

ia menyadarinya

segala hal yang selama ini terbentang jelas di hadapannya

Langkahnya terasa berat. Sangat.

Terakhir kali ia ke sini adalah di hari pemakaman. Dalam pakaian serba hitam—jas, kemeja, dasi, semua hitam—yang tampak culun dipakainya. Dia bisa membayangkan komentar sinis Sherlock jika melihatnya berpakaian seperti itu.

Hanya sedikit orang yang datang ke pemakaman Sherlock—bukannya ia tidak tahu Sherlock hanya mempunyai sedikit teman. Ia, Mrs. Hudson, Lestrade, Molly, Donovan dan Anderson—aneh melihat Sersan Donovan dan petugas forensik Anderson tidak berkomentar sarkas di hadapan Sherlock—Sarah, Angelo, dan beberapa orang lainnya. Herannya, tak ada tanda-tanda kemunculan keluarga Holmes. Tak ada Mummy yang sering disebut dalam pertengkaran kekanak-kanakan Holmes bersaudara dan tak ada... Mycroft Holmes.

Bukankah Mycroft bilang bahwa ia peduli pada Sherlock di kali pertama mereka bertemu? Kenapa ia malah tidak hadir?

"Semua barang-barang itu. Semua peralatan ilmiah itu, aku meninggalkannya dalam kotak-kotak. Tak tahu harus melakukan apa—mungkin aku akan membawanya ke sebuah sekolah."

Terdengar gumaman Mrs. Hudson, mendistraksi pikirannya dari kilasan-kilasan kejadian hari itu.

Hari naas itu.

.

Taksi hitam itu berhenti tepat di depan Rumah Sakit St. Bartholomew. Ia berlari keluar dari taksi saat ponselnya berdering. Sherlock. Segera ia mengangkatnya.

"Halo?"

"John."

Suara yang bergema di telinganya itu terdengar lelah, terengah-engah. Tidak seperti dia yang biasanya.

"Hei, Sherlock. Kau oke?"

Ia cemas. Cemas.

"Berbalik dan berjalanlah kembali ke arah kau datang," perintahnya tegas.

"I'm coming in."

"Lakukan saja seperti yang kusuruh!" bentaknya.

Ia termangu.

"Please."

Buruk. Firasatnya sangat buruk. Sesuatu di perutnya terasa jungkir balik.

"Di mana?"

Ia kembali berjalan, menoleh ke kanan dan kiri, kebingungan.

"Berhenti di sana."

Ia menghentikan langkahnya.

"Sherlock?"

"Oke, mendongaklah," volume suara di seberang mengecil, "Aku ada di atas atap."

Matanya melebar. Tidak. Tidak.

"Oh, God."

.

semua begitu jelas

semua begitu nyata

"Akankah kau...?"

Ia menyela pertanyaan Mrs. Hudson—ia sudah tahu apa yang wanita tua itu tanyakan, "Aku tak bisa kembali ke flat lagi, tidak sekarang."

Wanita itu memeluk lengannya—berusaha menghibur. Yang jujur saja, percuma.

"Aku marah," ujarnya kemudian—sudah cukup.

"It's ok, John. Tak ada yang aneh dengan hal itu. Itu yang ia perbuat pada semua orang. Semua tanda di meja dan suara berisik itu, menembakkan pistol pukul setengah dua dini hari..."

"Yeah," ia hanya menunduk—itulah hal yang ia rindukan.

"... spesimen mengerikan di kulkasku. Bayangkan, menyimpan potongan tubuh di mana seharusnya ada makanan."

"Ya," ia memejamkan mata—ia ingat semua itu.

"Dan perkelahian itu! Membuatku marah dengan semua pembawaannya," nada suara wanita itu meninggi.

John berpaling ke arah landlady-nya itu, mencoba menenangkannya, "Dengar, aku tidak semarah itu, oke?"

"Oke," wanita itu mengangguk dan berbalik seraya meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, "Aku akan meninggalkanmu sendiri untuk, kau tahu..."

Wanita itu beranjak dari sisi John dengan isak tertahan.

Oh, Sherlock...

.

Suara itu terbata,"Aku... aku tak bisa turun, jadi kita harus melakukannya seperti ini."

Napasnya mulai terasa sesak. Astaga...

"Apa yang terjadi?" tanyanya.

"Sebuah permintaan maaf."

Aneh, bagaimana bisa suara pria di atas atap itu terdengar begitu tenang sementara ia bernapas pun susah payah?

"Semua itu benar."

"Apa?" ia terkejut.

Apa maksud pria itu?

"Semua yang mereka katakan tentangku," hening sesaat, "Aku menciptakan Moriarty."

Kata-kata itu terdengar bak godam di telinganya. Dunia serasa berhenti berputar. Dan ia merasa pening.

"Kenapa kau mengatakan ini?"

.

hanya saja ia tak pernah mau mengerti

ia tak pernah mau memahami

Ia mengeluarkan tangannya dari saku jaketnya dan mengepalkannya kuat-kuat. Ia menoleh sekilas untuk melihat apakah Mrs. Hudson sudah cukup jauh agar ia tidak bisa mendengarnya, sebelum berdeham.

"Erm... hmm... kau pernah mengatakan sekali padaku... bahwa kau bukanlah pahlawan."

Oh, ayolah. Kenapa tenggorokannya terasa tidak nyaman di saat yang tidak tepat begini?

"Erm, ada waktu di mana aku bahkan tidak berpikir bahwa kau itu manusia, tapi izinkan aku mengatakan ini padamu, kau itu..."

Kenapa rasanya ada gumpalan asing di jalan napasnya? Hingga ia sulit bicara dan merangkai kata?

"... orang terbaik... manusia yang paling..." ia menggelengkan kepala sekali, "...manusia yang pernah kukenal dan tak seorang pun akan bisa meyakinkanku bahwa kau berbohong padaku, jadi..."

Ia menggerakkan bibirnya aneh—berusaha melegakan mulutnya, karena ia ingin mengatakan suatu hal yang penting. Sangat penting.

ia tak pernah cukup berani untuk mengakui

dan ketika ia ingin mengatakannya

.

"Aku palsu."

Tuhan, benarkah yang ia dengar? Sherlock terisak?

"Sherlock!" hardiknya.

"Koran-koran itu benar. Aku ingin kau mengatakan pada Lestrade, aku ingin kau mengatakan pada Mrs. Hudson dan Molly. Sesungguhnya, beritahu siapapun yang ingin mendengarkanmu... bahwa aku menciptakan Moriarty untuk tujuan pribadiku."

Ia tak mau mendengarnya. Tidak.

"Oke, diam, Sherlock. Diam. Saat pertama kali kita bertemu... saat pertama kali kita bertemu," ia menambahkan penekanan di klausa terakhir, "Kau tahu segala hal tentang kakakku kan?"

Ia bisa mendengar senyumnya di seberang sana—senyum perih, "Tak seorang pun bisa sepandai itu."

"Kau bisa," sahutnya yakin.

Dadanya sakit—terasa seperti ada yang berusaha merenggut jantungnya—sementara di seberang sana dia terkekeh. Matanya tak lepas memandang sosok di atas atap—tak peduli secepat apa darahnya mengalir di nadinya sekarang dan sekeras apa jantungnya berusaha mendobrak rusuknya.

"Aku menyelidikimu. Sebelum kita bertemu, aku mencari tahu segala hal yang kubisa untuk membuatmu terkesan."

Ia menggelengkan kepalanya.

"Itu hanya trik. Hanya trik sulap."

Ia menggelengkan kepalanya lebih keras, "Tidak. Cukup, hentikan itu sekarang."

"Tidak! Tetap di tempatmu berada!"

Dia membentaknya lagi—dan ia mulai mundur. Takut, luar biasa takut jika dia akan melakukan tindakan gila—tindakan yang ia takuti setengah mati.

"Jangan bergerak!"

"Baiklah..."

Ia mengangkat tangannya—tanda ia akan patuh. Ia akan patuh, selama dia tidak melakukan hal ia takutkan.

"Tetap arahkan pandanganmu padaku! Please, akankah kau melakukannya untukku?"

.

.

"Melakukan apa?"

"Panggilan ini, ini...," jeda sesaat—yang seolah merenggut napasnya, "Ini adalah catatanku. Itu yang orang-orang lakukan bukan?"

Ia menggeleng. Tidak, Sherlock. Jangan...

"Meninggalkan catatan..."

"Meninggalkan catatan," suaranya mengeras, "Kapan?"

Jangan, please, Sherlock. Jangan...

"Selamat tinggal, John."

Ia seolah tak mengenali suaranya sendiri. Ia tercekat. Ini tidak benar. Tidak...

"Tidak. Jangan..."

Dia menurunkan tangannya dan membuang ponselnya ke lantai di belakangnya. Di bawah sana, ia berteriak sekuat tenaga melihat itu semua.

.

.

"SHERLOCK!"

Dan ia memejamkan mata, merentangkan tangannya, lalu melompat...

.

semuanya sudah terlambat

semuanya sudah terjadi

Ia menjilat bibirnya—pertanda ia gugup.

"There."

Ia menundukkan kepala, lantas menoleh ke belakang sekali lagi, memastikan bahwa Mrs. Hudson sudah benar-benar jauh—apa yang akan ia ucapkan terlalu intim untuk didengar orang lain, sebelum melangkah mendekati nisan pualam hitam itu.

Tangannya—ujung jemarinya gemetar—menyentuh permukaan halus itu.

"Aku sangat kesepian... dan aku berhutang banyak padamu..."

Ia menarik napas—dan berbalik. Menjauh. Dia sungguh tak mampu. Tak bisa. Ia tak bisa mengucapkannya.

"Tapi, please, ada satu hal, satu hal lagi, satu keajaiban lagi, Sherlock..."

Ia kembali berbalik setelah berjalan dua langkah—karena ia harus mengatakannya—dan menatap ke tanah di hadapan pualam hitam itu.

Ke arah di mana tubuh itu dibaringkan.

.

.

Semuanya seolah terjadi dalam gerak lambat. Tubuh berbalut mantel hitam itu melayang di udara dan jatuh... jatuh...

"Sherlock..."

Ia tidak mempercayai matanya.

... dan menghantam bumi. Menghantam keras trotoar dengan derak mengerikan.

Dan dunianya terhenti. Membatu.

Seorang remaja menabraknya dengan sepeda saat orang-orang mulai mendekat dan berkerumun di sekitar tubuh yang jatuh itu. Ia jatuh berdebam, namun segera bangkit kembali.

"Sherlock, Sherlock..."

Napasnya tak beraturan, kepalanya luar biasa sakit—mungkin gegar otak ringan, ia tak mau tahu soal itu sekarang—namun ia tetap berjalan mendekatinya.

"Aku dokter, biarkan aku lewat. Biarkan aku lewat, please!"

Ia menerobos kerumunan... dan anyir darah menghantam indra penciumannya.

"Dia temanku. Dia temanku... Please..."

Suaranya mengiba—sakit. Dadanya, kepalanya, hatinya, semuanya terasa sakit. Orang-orang—sepertinya petugas paramedis dan para pejalan kaki, ia tak mau tahu—berusaha menghalanginya. Tapi ia terus mendekat ke sosok yang berlumuran darah itu. Ada banyak—banyak sekali darah merendam tubuh itu. Ia berhasil mendekat dan menyentuhnya.

Ia menggenggam pergelangan tangan pucat itu, meraba nadinya... tapi tak ada detak di sana. Tak ada detak terasa di sana.

Dan kepalanya terasa luar biasa sakit.

Ia tak bisa menerima ini. Tidak...

Tandu tiba di depan matanya dan ia ditarik mundur oleh orang yang tak dikenalnya—ia limbung, sementara petugas medis membalik tubuh di depannya.

Tubuh di hadapannya itu tak bergerak. Kelopak mata pucat itu tertutup, menyembunyikan iris kelabu menawan yang ada di baliknya. Darah mengalir dari kepalanya. Membasahi scarf kesayangannya, membasahi mantelnya, membasahi rambut ikal cokelatnya yang lembut...

Sungguh, ia tak mampu lagi. Pandangan matanya mulai kabur. Dan suaranya terasa bergema di kepalanya.

"Oh... Jesus. No. God, no..."

Ia masih melihat tubuh itu dinaikkan ke atas tandu dan didorong masuk ke dalam rumah sakit—dibawa pergi darinya, direnggut darinya. Ia masih bisa berdiri tegak saat orang-orang meninggalkannya sendiri di jalanan, sebelum semuanya mendadak gelap...

.

.

semuanya sudah terlambat sama sekali

karena ia sudah pergi

"Untukku. Jangan..."

Suaranya tercekat. Tenggorokannya seolah terbakar.

"... mati."

Ia mengangkat kepalanya, sebelum kembali menunduk—menahan air mata yang hendak tumpah, "Maukah kau melakukannya hanya untukku?"

Suaranya serak—pita suaranya seolah aus, "Just stop it. Hentikan ini..."

Kepalanya terkulai. Lunglai. Dan akhirnya... air mata menuruni pipinya.

Kesedihannya, kemarahannya, kekesalannya... mencair. Tangannya terkepal erat sementara butiran bening itu menuruni rahangnya. Jatuh. Ke tanah kering di bawah kakinya. Ia menarik napas. Dan melarikan jemarinya ke matanya. Ia terisak.

John Hamish Watson... menangis. Untuknya yang pergi di depannya. Untuknya yang begitu berharga bagi dirinya—yang mati di depan matanya.

Ia menangis... untuk Sherlock Holmes.

Tak lama, tangisannya terhenti. Matanya masih basah, namun ia sudah mendongak. Selayaknya seorang tentara, ia menegakkan kepala dan menatap lurus ke depan, sebelum berbalik dan berderap pergi.

karenanya ia takkan mengatakannya

tidak sampai dia menunaikan satu keajaiban lainnya

Ia tak menoleh sama sekali. Ia hanya berjalan dan terus berjalan pergi.

kembali ke sisinya

.

.

Ia tak menyadari ada sepasang mata kelabu yang menatapnya dari balik nisan tua berlumut, di bawah rerimbunan pohon.

Ia tak melihatnya.

Di sana ada sesosok tinggi berambut ikal cokelat, dengan mantel hitam membungkus tubuh dan scarf melingkari lehernya, memandang semua yang John lakukan tadi—John menangis di depan makamnya, for God's sake—dengan tatap penuh luka.

Sosok itu mengalihkan arah tatap matanya sejenak—memfokuskan diri untuk melakukan rencananya selanjutnya—sebelum berpaling dan beranjak pergi.

.

.

"Keep your eyes fixed on me! Please, will you do this for me?"

.

"One more miracle, Sherlock... for me... Don't be... dead. Would you do that just for me?"

.

.

He was my best friend and i'll always believe in him. (2)

.

.

TAMAT

Catatan :

(1) Diterjemahkan secara bebas dari posting berjudul The Great Game tertanggal 1 April di blog resmi John Watson, www . johnwatsonblog . co . uk

(2) Dari posting tanpa judul tertanggal 16 Juni di blog resmi John Watson, www . johnwatsonblog . co . uk

I've warned you. Sappy, isn't it? Well, saya bikinnya tengah malem di tengah masa-masa ujian. Jadi maklum saja kalau kacau, kurang deskripsi, diksinya berantakan, and so on.

Mind to review? :3

Luv,

sherry