Star
Choi Seungcheol, Kim Mingyu, Jeon Wonwoo
Brothership
Choi Mingyu melipat lututnya di depan dada. Memandangi kumpulan bintang di atas sana. Sudah dua jam lebih ia duduk di balkon kamarnya tanpa berniat untuk beranjak. Dingin yang menyapa tubuhnya tak ia hiraukan –bayangkan saja, ia hanya mengenakan kaos tipis dan celana training panjang berwana hitam.
Entah sesuatu apa di dalam pikirannya saat ini. Rasanya ada yang ingin mendesak keluar dan meledak. Dadanya nyeri bukan main, ada hampa menusuk-nusuk relung hatinya. Mingyu meremas dada sebelah kirinya, lalu memukul-mukulnya. Setitik kristal bening meluncur bebas dari kedua netra gelapnya.
Mingyu menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan kakinya, lalu terisak sepuasnya di sana. Suara tangisnya teredam lutut tertekuknya. Ia ingin meraung, namun urung. Bukankah kakak supernya tak menginginkan ini? Tapi bagaimana lagi?
"Ya Tuhan," Mingyu melirih.
"Hyung, kau mendengarkanku, kan?" Mingyu mendongak, menatap satu bintang yang bersinar terang sekali. Ia usap kedua pipinya, mencoba menghilangkan jejak airmata di sana. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan resah yang masih bergelayut dalam hatinya.
"Mengapa kau memilih menyerah padahal ada harapan yang perlu dipertahankan, hyung? Apa kau tak berpikir bahwa aku masih membutuhkan pijakan? Langkahku goyah sejak kau memutuskan untuk pergi, hyung," suara Mingyu bergetar, matanya memanas, tapi ia menahannya dengan menggigit bibir bagian bawahnya hingga hampir berdarah.
"Aku merasa bahwa aku sendiri, hyung. Aku merasa bahwa tak ada lagi yang perlu kuperjuangkan. Apa aku harus menyerah sepertimu?" mendadak sebuah bintang yang tadinya bersinar terang, perlahan meredup. Mingyu mengerjapkan matanya, jantungnya tiba-tiba berdetak cepat sekali.
"Itu jawaban Seungcheol hyung, Mingyu," Mingyu menoleh. Ia menemukan sosok laki-laki tinggi bermata sipit berjalan ke arahnya.
Mingyu masih menatap lelaki di hadapannya tanpa berkedip. Mengapa pemuda itu ada di sini? Sejak kapan?
"Ia tak akan pernah mau kau menyerah, bukan begitu, adik manis?" Mingyu menegang ketika rambutnya diusak lembut oleh lelaki di depannya itu.
Ya Tuhan, mengapa sosok di hadapannya itu mirip sekali dengan hyung supernya? Senyumnya, tatapannya, sentuhannya. Sebuah kristal bening kembali menggantung di ujung pelupuk matanya.
"Kau tak perlu menangisinya, Mingyu. Yang pergi biarlah pergi, kau tak perlu menahannya. Kakakmu terlalu lama berjuang sendirian, biarlah ia bahagia," kali ini Mingyu tak dapat menahan tangisnya lagi. Ia terisak. Sosok di hadapannya meraih kepalanya, lalu ditenggelamkan ke dalam dada bidangnya. Mingyu menangis kencang sekali, bak seorang bayi.
Choi Mingyu hanya tak pernah sendiri. Ia selalu terlengkapi dengan hadirnya seorang kakak yang sempurna –atau terlewat sempurna untuknya. Ia hanya terlalu takut untuk melangkah sendirian –mengingat selama ini ia punya pegangan.
"Kau memang kehilangan Seungcheol hyung, namun kau masih punya aku. Sepupu terganteng sepanjang masa," Mingyu mendongak, menatap lekat-lekat kakak sepupu tampannya itu. Ia tertawa kecil.
"Maukah kau jadi bintangku, hyung? Menggantikan tempat Seungcheol hyung, walau ia tetap nomor satu buatku."
"Tentu, adik manis."
Mingyu tersenyum tulus.
"Seungcheol hyung, terima kasih kau mengirimkan satu bintang untukku."
"Terima kasih, Wonwoo hyung."
.
.
Yang pergi biarlah pergi. Jangan kau tahan ia mencari kebahagiaan yang abadi. Bahagianya bahagiamu juga, bukan?
FIN
Halo, Dee kembali lagi. Sequel super pendek dan super mengecewakan. Semoga cerita ini bisa dinikmati yaa~
Review boleh? hihi xx
Terima kasih^^
