FIND YOU

Rate : T

Cast : Sehun, Jongin, Tomoteo (Hotshot), dan yang lain menyusul

Genre : Hurt/Comfort

2016PeachSundae


Hujan selalu mengoloknya semenjak ia mulai tinggal di Manhattan. Jarang sekali sinar matahari menyapa lewat celah jendela apartementnya, mengharuskannya membawa payung transparan selama ia pergi keluar.

Ia mendesah pelan, kejadian seminggu yang lalu terus menghantuinya. Rasa tidak percaya membuatnya berfikir bahwa itu hanya ilusi semata, namun mengingat rasa hangat tubuh tan itu membuatnya yakin kembali bahwa Jongin masih hidup. Memijit pelipisnya, Sehun meraih tas ranselnya dan pergi ke kampus.

Tangan pucatnya merasakan dinginnya air hujan yang menetes dari ujung payungnya. Bau khas hujan sedikit membuatnya tenang hingga ia mulai mengayunkan kakinya sampai halte. Kadua matanya menatap lurus kosong, ia akui bahwa sekarang dirinya berubah menjadi aneh tapi ia tidak tau bagaimana untuk menghilangkannya.

Jadi ia harus bagaimana?

.

.

.

Timoteo menggaruk kepalanya gatal sembari berusaha mengalahkan Sehun pada game andalannya. Mengerang keras, ia membanting controller ke karpetnya "Ya! Kau tidak bisa melakukan itu!" protesnya tidak terima bersamaan dengan tulisan Fatalies dengan adegan brutal sebelumnya.

Sehun memutar kedua bola matanya malas, menarik tas ranselnya dan mengeluarkan beberapa buku dari perpusatakaan serta kertas-kertas yang ia tata rapi. "Karena aku sudah mengabulkan keinginanmu sekarang kita bahas tugas."

Mau tak mau Timoteo menurut dengan wajah tertekuk, bergeser ke meja kecil untuk mengerjakan tugas. Keheningan menyelimuti mereka jika Timoteo tidak menanyainya untuk minum apa. Sehun menjawab 'terserah' dengan masih berkonsentrasi dengan kertas bagiannya. Ia mengendikkan bahu dan segera menuju dapur, berteriak kesakitan karena cubitan dari ibunya akibat teriakannya saat bermain game mengganggu acara gosip bersama dengan tetangganya.

Sehun tetap fokus terhadap pekerjaannya dan tidak menyadari keadaan Timoteo yang berdiri di hadapannya. "Hei, bisa kau singkirkan buku-buku tebalmu? Lenganku pegal membawa nampan ini!" Protesnya merasa kebas pada kedua tangannya.

"Ck, kau mengganggu saja!" balas Sehun protes dengan suara tak kalah menyebalkan dari Timoteo.

Masih dengan mulut yang mengaduh pelan Timoteo duduk bersila dan mengambil tumpukan kertas bagian miliknya dengan malas. "Ah malas sekali!" teriak Timoteo seperti anak kecil, merenggangkan tubuhnya. "Besok sajalah Sehun kita mengerjakannya," pinta Timoteo tak digubris Sehun.

"Berhentilah merengek! Menyesal aku mengajakmu sebagai teman kelompok."

"Hehehe, salahmu menerimaku."

"Lalu siapa yang merengek ingin menjadi teman kelompokku?"

Timoteo memutar kedua bola matanya malas, merasa sebal dengan mulut Sehun yang mengingatkannya kembali pada tingkahnya waktu itu. Mau tak mau dan dengan mulut yang mengatup ia kembali menghadapai tugasnya. "Hei Sehun."

Argh! Sehun jengah mendengar mulut cerewet Timoteo, hanya dengan lirikan Sehun menanggapi panggilan Timoteo. "Sebenarnya kenapa kau ingin mejadi arsitek?"

Sehun meletakkan pensilnya, menatap Timoteo dengan pandangan polosnya. "Tidak tahu."

"Heis!" Timoteo memukul pelan pundak Sehun. "Ayolah! Aku benar-benar penasaran!"

Yang ditanya hanya menatap menerawang, sedangkan yang bertanya masih menunggu bibir tipis itu terbuka. "Aku ingin membuat rumah untuk seseorang."

"Huh?"

Sehun tersenyum tipis, memainkan pensilnya. "Entah lah, aku hanya ingin membuat rumah yang sesuai dengan keinginannya."

"Apa ini ada hubungannya dengan kekasihmu itu?"

.

.

.

Langit mulai gelap dan Sehun mulai bergegas pulang ke apartementnya. "Kenapa tidak menginap saja Sehun?" pertanyaan itu mennghentikan Sehun mengenakan sepatunya. Dengan senyum tipis di wajahnya Sehun hanya menggeleng. "Wajahmu lebih pucat dari sebelumnya, apa kau makan dengan baik?"

"Anak itu sulit sekali makan." Timoteo ikut bergabung setelah meletakkan gelas dan cemilan ke dapur. "Pantas saja dia kurus kering seperti itu."

"Sebaiknya kau ikut makan malam karena bibi yakin kau akan memesan makanan cepat saji."

Tanpa babibu, Timoteo mengambil alih secara paksa tas selempang milik Sehun dan menarik tangannya. "Lebih baik kau menurut saja, kau mau mendengar ibuku berbicara panjang lebar untuk membujukmu?" bisik Timoteo berusaha tidak menggerakkan bibirnya terlalu kentara.

Sehun mengangguk dan ikut duduk. Timoteo membantu ibunya membawa beberapa mangkuk makanan dan duduk sebelum ibunya membawa panci yang entah isinya apa namun baunya mengingatkannya pada makanan ibunya di Korea. Setelahnya ibu Timoteo memimpin doa dan acara makan malam kali ini terasa lebih hidup karena Timoteo banyak berceloteh kepada Sehun.

Berusaha menanggapi Timoteo dengan baik, sekilas Sehun dapat menangkap tatapan sedih dari wanita tersebut. Seketika ia ingat dengan pembicaraannya saat mengerjakan tugas.

"Lalu kau sendiri?" Sehun mengalihkan pembicaraan, takut terlalu larut dalam kesedihan. Kali ini pembicaraan mereka bisa dikatakan cukup serius karena ini menyangkut dengan perasaan mereka masing-masing.

"Karena seorang arsitek bisa menghasilkan uang yang cukup banyak. Jadi aku memilihnya."

Kali ini Timoteo juga ikut memasang senyum tipis, sebuah mimik wajah yang belum pernah ia lihat selama ia bertemannya. Kemudian ia ingat bahwa selama ia datang ke negara paman Sam ini ia tidak pernah melihat ayah Timoteo. Ia juga tidak berani bertanya macam-macam bila menyangkut masalah keluarga, secara itu adalah masalah pribadi yang tidak bisa secara bebas bisa kau ceritakan ke orang lain.

"Apa aku boleh bertanya?" Sehun dengan tatapan lurusnya membuat Timoteo mengangguk, "Apa kau punya masalah dengan keluargamu?" dan dengan keberanian yang semakin menipis Sehun ragu kalau Timoteo akan menjawabnya. "Kalau kau tak mau membicarakannya tak masalah, aku hanya penasaran saja."

Kemudian Timoteo menggeleng cepat. "Mereka sudah bercerai sebelum kau datang kemari."

Hati Sehun serasa tercubit mendengarnya. "Maafkan aku, aku tidak tau."

"Tak masalah, lagi pula aku ingin menceritakan bebanku tapi aku tidak memiliki orang terperacaya." Dan pemuda tersebut mencoba menahan air matanya, "Sebentar lagi ini bukan rumahku, rumah ini sudah di lelang oleh ayah dan aku harus pindah. Tapi tenang saja aku tidak akan pindah keluar kota sehingga aku masih bisa menemuimu."

"Hais! Mau bertemu atau tidak aku sudah bosan melihat wajahmu." Ejek Sehun menarik bahu Timoteo, memberinya brother hug. "Kalau kau butuh bantuan aku bisa menolongmu, jangan ragu-ragu memintanya tapi jangan hal yang merepotkan."

"Sebenarnya kau berniat menghiburku tidak hah?" protesnya yang sudah menggosok kedua matanya yang lembab. Dan tanpa menjawabnya pun Timoteo yakin bahwa Sehun ini benar-benar orang yang mau membantunya.

Senggolan pada lengannya membuat Sehun kembali ke alam sadarnya.

"Apa masakannya tidak enak?" tanya bibi Kim.

"Tidak-tidak hanya saja aku sedikit merasa home sick." Tutur Sehun kembali menyuap nasi. "Masalahnya masakan bibi sama enaknya dengan buatan eomma."

.

.

.

Menepuk-nepuk bantalnya, Sehun mulai memposisikan dirinya senyaman mungkin. Ahkirnya ia menginap sebagai ucapan terimakasih, selimut babyblue yang kurang panjang ini membuat Sehun menekuk kaki panjangnya. Suara air dari kamar mandi belum juga berhenti dan entah kenapa ia menunggu kedatangan Timoteo. Perasaannya sedikit tidak nyaman mengingat tingkat kejahilan temannya ini berada di tingkat akut. Bisa saja, foto wajah tampannya saat tidur sudah berada di instagram dengan puluhan atau ribuan komen dan like yang banyak.

Mencoba meraih handphone yang berada di meja nakas, benda persegi itu mulai bergetar dan layarnya menampakkan sebuah nama yang familiar olehnya. Sehun tersenyum, ibunya mulai lagi. Seperti biasa setiap malam ia akan mendapat panggilan dari ibunya serta suara berat milik ayahnya juga menyapa pendengarannya.

"Sudah dulu ya eomma, Timoteo menatapku curiga."

Mendapati tatapan mencurigakan dari Timoteo, Sehun meletakkan kembali handphonenya.

"Belum tidur?"

Sehun menggeleng, "Entah kenapa aku belum mengantuk."

"Mau nonton film?"

"Tidak, aku tidak mau melihat kumpulan blue film milikmu. Kau tau otakmu akan semakin mengecil kalau kau sering menontonnya." Yang diberi nasehat hanya mengendikkan bahunya, menjatuhkan tubuh kurusnya pada kasur empuk. Merasa tidak ada balasan, Sehun menengok dari bawah. "Sialan!" upat Sehun dengan suara pelan.

Anak satu ini sudah berada di negeri fantasi, meninggalkannya yang kesulitan tidur. Sehun mencoba menutup matanya, membayangkan apa saja hingga ia bisa tidur dengan pulas. Namun ia rasa itu sedikit sia-sia, ia masih bisa mendengar dengan jelas bunyi jam akibat keheningan. Merubah posisi pun ia tetap tidak bisa tertidur hingga ia mendesah pelan karena stress.

.

.

.

Pepohonan menjadi obyek pertama yang Sehun lihat, memutar badannya tetap saja hanya pepohonan yang menjadi obyek pandangannya. Buta arah dan tidak mengenali wilayah ini, Sehun berlari tak tentu arah. Bunyi dedaunan yang terinjak menjadi suara musik alami dalam perjalannya hingga saat semak-semak yang menutupi langkahnya membawanya kepada sebuah danau berwarna biru legam. Mata tajamnya mengamati danau tersebut, hingga ia menemukan sosok yang ia kenal.

Melangkah dengan cepat ia meraih bahu orang tersebut. "Jongin." Ucapnya dan wajah yang benar-benar ia rindukan tepat berada di hadapannya. "Jongin!" Sekali lagi Sehun menyebut nama Jongin, membawa tubuh tan tersebut dalam dekapannya.

"Iya, ini aku Sehun. Jongin yang selama ini kau cari." Jongin membalas pelukan Sehun. "Tapi kenapa kau tidak menepati janjimu." Sejenak Jongin melepas pelukannya dan cairan bening mulai membasahi pipinya. "Kenapa Sehun?"

Sehun menggeleng lemah, tenggorokannya terasa tercekat melihat wajah manis Jongin. Tangisan yang memilukan itu membuatnya berjalan mundur, merasa bersalah karena tidak menepatinya. "Ini pasti mimpi." Sehun meyakini pemikirannya, namun tubuhnya terdorong dan membuatnya terjatuh ke dalam danau.

Ini terasa nyata, dinginnya air menembus hingga ke tulangnya bahkan ia mulai kehabisan nafas. Mencoba untuk tidak panik ia berusaha berenang hingga ke permukaan, namun sesuatu menariknya lebih dalam mengakibatkan Sehun kehabisan tenaga untuk melawan sesuatu yang menariknya. Gelembung-gelembung udara tercipta lebih banyak karena Sehun merasa dadanya semakin berat terlebih Jongin hanya menatapnya tanpa ada niatan untuk menolong.

Namun sebelum kesadarannya menghilang Sehun dapat melihat Jongin mengucapkan sebuah kalimat yang tidak begitu jelas. Tapi ia tau bahwa Jongin mengucapkan selamat tinggal sebelum semuanya berubah menjadi hitam.

TBC


Hai semua! Ahkirnya bisa nulis ff lagi dan nulis sequel ini, tapi kayaknya ini lebih ke bentuk ff yang kedua dari pada sequel ya? Maaf sekali karena baru bisa kembali ke dunia penuh imajinasi ini~

Hem sepertinya ada perubahan (menurutku) dalam bahasa yang aku pakai, tapi aku harap kalian suka sama ff ini. Maaf kalau ff Loser membuat kalian kecewa, jujur aja aku juga kecewa kok bisa bikin ff kaya gitu. Semoga ff ini nggak membuat kalian kecewa dan kesalahan di ff Loser nggak bakal terjadi dalam ff ini. Aku nggak terlalu berharap banyak untuk ff ini tapi semoga kalian suka, jadi dimohon dukungannya ^^

Pai~ Pai~

21:14

21/11/2016