Salju terus berjatuhan, menyembunyikan semua yang tampak kasat mata di bawah tumpukannya yang tebal dan tak transparan. Memperdingin suasana kota Tokyo di malam hari dengan butiran-butiran salju yang terus berhujanan. Mengotori jalan-jalan, bangunan, gedung, pohon, lampu-lampu di jalan, dan semua hal yang dapat terlihat dengan tumpukan es berwarna putih itu. Membuat bercak bunga kristal pada permukaan jendela datar yang menempel di tiap-tiap bangunan rumah maupun tempat umum.
Kalau saja tidak ada lampu yang menyala di bangunan itu, mungkin saja objek tak kasat mata itu berubah menjadi kasat mata. Kalau saja tidak ada kehangatan terpancar dari pintu masuknya yang kian dibuka dan ditutup, mungkin saja tempat itu menjadi sebuah tempat sepi yang tak berguna. Tapi dengan makanan-makanan hangat seperti sup, spageti, roti bakar panas, dan lain-lain—tempat itu memiliki daya tarik sendiri. Belum lagi minuman-minuman panas yang mampu menghangatkan badan. Alangkah nikmatnya menikmati sepotong roti bakar bersama cokelat panas sementara keadaan di luar berkebalikan dengan apa yang dirasakan.
Cafe itu bergaya minimalis, sengaja didesain dengan suasana hangat nan nyaman. Memiliki beberapa jendela dan tanda nama besar yang berada di luarnya. Pintu masuknya yang terbuat dari kayu dibuat dengan kokoh dan terlihat apik. Sedangkan suasana di dalamnya juga sangat mengundang orang-orang yang kedinginan untuk masuk dan menghangatkan diri dengan berbagai makanan dan minuman, ataupun musik-musik indah yang mencairkan suasana.
Chapter 1: Himself
Coffee — Bitter and Sweet?
Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
Coffee — Bitter and Sweet? © Ayano Suzune
"Ia datang lagi." Telinga Sakura menegak ketika ia mendengar salah satu wanita yang bertugas untuk menjaga bar wine membuka bibirnya—membuat kalimat sederhana itu keluar dari mulutnya.
"Tepat pukul sembilan malam, seperti biasanya." Kalimat itu disahut oleh sebuah kalimat lagi. Kali ini keluar dari bibir wanita yang lain.
Wanita yang pertama—Ino—mengangguk setuju.
Sakura memutuskan untuk tidak mengikuti arah pembicaraan kedua wanita yang mulai bergosip seperti biasanya. Ia membawa buku menu, berjalan ke arah si Pelanggan setia yang selalu datang pukul sembilan malam. Batinnya mengatakan bahwa sesungguhnya ia tak perlu repot-repot membawa buku menu yang memiliki ukuran sekitar tiga puluh sentimeter dan lima puluh sentimeter. Papan kayu itu tak akan dilihat oleh si Pelanggan.
"Ini buku menu—"
"Saya pesan kopi hitam satu."
Wanita berambut merah jambu benar. Batinnya tidak salah. Lelaki yang kini duduk di meja yang berada di pojok ruangan itu selalu memesan secangkir kopi hitam. Pria itu tidak langsung menyesap kopi hitam seharga berapa ratus yen itu. Hampir semua pelayan wanita di cafe kecil itu pernah melayani—lebih tepatnya menawarkannya gula. Tapi tetap saja, dengan lambaian tangan seolah mengusir dan tatapan menusuk, ia masih saja keras kepala untuk tidak membubuhi minuman penuh kafeinnya dengan serbuk-serbuk gula putih.
Bunyi dentingan antara piring kaca yang menahan sebuah gelas berukuran normal di atasnya dengan meja kayu yang sudah mulai tua kembali lagi terdengar saat Sakura meletakkan piring dan gelas kecil di atas meja lelaki itu. Dengan agak heran, wanita itu mengambil sebuah kantong gula putih dan hendak membukanya—yang dengan cepat ditahan oleh lelaki itu.
Sakura berhenti melakukan kegiatannya dan menatap ke arah lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Ia masih tak dapat melihat wajahnya, lelaki itu menundukkan kepalanya. Gosip yang selalu dibicarakan oleh Ino dan teman-temannya mungkin memang benar. Lelaki itu tampan—ia dapat memastikan hal itu saat lelaki itu mendongak, berusaha untuk menatap matanya balik.
Untuk sesaat, ia dapat melihat dua mata yang melekat di wajah lelaki itu. Emerald-nya seakan dihujam tatapan tajam onyx—yang tak lain dari lelaki itu sendiri.
Jantungnya berhenti berdetak—meski hanya untuk sedetik dan ia merasakan sesak di dadanya. Darahnya berdesir sedikit lebih cepat dari biasanya. Hal yang ia lakukan kemudian adalah mencoba untuk menstabilkan keadaan tubuhnya. Dalam hitungan detik, tubuhnya sudah kembali normal—bekerja sebagaimana biasanya. Namun ia masih belum dapat melepaskan sensasi aneh yang berada di tangannya.
Tangan kanannya terasa mati rasa saat lelaki itu menahan pergelangan tangannya. Cengkeraman yang dihasilkan agak kuat, membuat Sakura terpekik pelan tadi. Namun yang dirasakannya bukanlah sakit yang menjalari tubuhnya, melainkan sensasi aneh yang didapatnya saat kulit tangan lelaki itu menyentuh kulit tangannya sendiri. Persendiannya terasa kaku dan tangannya sulit digerakkan.
Tangan lelaki itu—dingin, kaku, kelam, hampa. Seakan tak ada yang terjadi dengan tangan itu. Seakan tangan itu tak pernah digunakan untuk apa-apa. Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan tangan-tangan lelaki lain yang dulu mencoba untuk merayunya, mendekatinya.
Sakura melemahkan pegangannya terhadap bungkusan kertas yang melindungi serbuk-serbuk gula putih di dalamnya itu. Melihat respon Sakura yang lambat, lelaki itu melepaskan tangannya dari pergelangan Sakura. Bekas merah berada di pergelangan tangan wanita itu—yang tak disadari oleh siapa pun.
"Jangan masukkan sedikit pun gula ke dalam kopiku." Kalimat singkat yang bernada perintah itu keluar dari bibir kering lelaki itu. Suaranya parau dan berat, seperti kebanyakan lelaki lainnya. Sakura terlihat gelagapan dan akhirnya ia membungkuk minta maaf.
"Maaf." Setelah mengucapkan sepatah kata itu, ia melengos pergi—menuju dapur untuk mengambil beberapa pesanan lainnya dan melayani pelanggan lain. Tanpa ia sadari, lelaki itu memerhatikannya dalam diam.
Pukul sebelas malam.
Saat itulah lelaki itu baru menyesap kopinya yang tinggal setengah—sedikit demi sedikit untuk melawan rasa pahitnya yang amat menyengat. Ketika jam dinding mulai berdentang—menunjukkan pukul sebelas malam, barulah lelaki itu bangkit dari duduknya dan memberikan sejumlah uang kepada pelayan yang datang padanya sebagai bayaran dan juga tip.
Hari ini juga tidak ada yang berubah. Dengan perlahan ia meneguk minuman berkafeinnya itu sedikit demi sedikit kemudian bangkit dari duduknya. Tenten—salah seorang pelayan di sana datang untuk membereskan cangkir dan piring yang digunakan lelaki itu, juga membersihkan meja. Pada saat itu juga lelaki itu memberikan selembar uang seribu yen dan segera melengos pergi sebelum wanita berambut hitam itu bertanya atau mengucap sepatah kata.
"Sakura, apa yang kau lakukan dengannya tadi?" Ucapan Ino yang membuyarkan keheningan membuat Sakura menolehkan kepalanya kepada teman rekan kerjanya itu. Dahi Sakura mengernyit.
"Apa yang kulakukan?" Ia mengulangi perkataan wanita berambut pirang panjang itu.
Ino mendengus dan menatap Sakura dengan pandangan mengejek. "Kau tahu maksudku, kau tadi melakukan sesuatu dengannya, kan? Jawab dengan jujur saja, Sakura."
"Dengan siapa?"
"Lelaki-yang-selalu-datang-pada-pukul-sembilan-malam."
"Dia?"
"Siapa lagi?"
Sakura terdiam mendengarkan perkataan Ino. Sedangkan di sana hanya ada Hinata yang kini mencuci piring. Sakura yakin—meskipun Hinata tampak sibuk dengan pekerjaannya, ia pasti ikut memasang telinga karena gadis berumur lima belas tahun itu juga penasaran dengan si lelaki yang selalu datang dan pulang tepat waktu.
"Ia hanya menahanku agar tidak memberikan gula di kopinya, Ino." Sakura mengerang—mengeluh karena Ino memikirkan hal lain dari kenyataan itu. Ino mendelik. Ia siap mengajukan beberapa pertanyaan lagi pada Sakura layaknya wartawan. Namun pertanyaan-pertanyaannya itu hanya mencapai ujung lidahnya saja. Sakura berjalan menjauhinya dan mengambil kain lap yang tidak terlalu basah dan melemparkannya pada Ino. Wanita berambut pirang itu menangkapnya dengan gesit.
"Kalau kau punya waktu untuk bicara, lebih baik kita bersihkan cafe ini sekarang. Setelah itu kita dapat pulang dan beristirahat." Sakura memberi instruksi. Ia sendiri mengambil kain lap kering dan berjalan ke samping Hinata. Setelah mengetahui maksud Sakura untuk mengeringkan peralatan-peralatan yang baru saja diangkat dari bak cuci piring, gadis bermarga Hyuuga itu hanya mengucapkan ucapan terima kasih singkat yang ditambah dengan senyum tulus.
Cafe itu dibuka dari jam sebelas siang sampai jam setengah dua belas malam. Dua belas jam lebih tiga puluh menit adalah waktu di mana Sakura harus mengerahkan tenaganya untuk bekerja melayani pelanggan.
Terkadang ia juga membuat sundae yang merupakan menu khusus miliknya. Terdiri dari tiga scoop es krim berbeda rasa yang ditumpuk secara hati-hati di sebuah gelas tinggi, krim busa di tumpukan es krim tersebut, dan ceri merah yang memperindah image sundae tersebut. Tak lupa dua batang astor cokelat yang diletakkan di pinggir gelas. Jika pelanggan menginginkannya, Sakura tak akan segan menyiram sundae itu dengan sirup cokelat kental.
Dari dua belas jam yang ada, waktu yang paling menarik adalah pukul sembilan malam. Pekerja-pekerja yang kebetulan mendapat shift malam akan kembali berbisik-bisik seperti biasanya, begitu sosok kelam itu berjalan memasuki cafe—mengambil meja yang berada di pojok ruangan, meja yang seharusnya hampir semua orang hindari.
Tak ada yang berubah darinya. Ketika memasuki cafe dan duduk di sana, ia akan menatap ke depan dengan pandangan menerawang sampai salah seorang pelayan menghampirinya dan memberinya buku menu—yang ditolaknya dengan cepat hanya dengan menyebutkan satu minuman yang menjadi pesanannya sehari-hari di sini.
Entah apa yang menarik dari minuman yang penuh kafein itu. Tanpa membubuhkan gula yang tertata rapi di atas meja, ia selalu menyesap minuman itu pelan-pelan. Dan pada saat jam berdentang—mengingatkan kalau waktu sudah hampir mencapai tengah malam, sosok itu akan membayar dengan selembaran uang seribu yen dan pergi dari tempat itu.
Tidak-ada-yang-berubah dari lelaki itulah yang menarik perhatian Sakura. Raut wajah, tempat, pesanan makanan—semua tak berubah. Semuanya seakan sama. Seakan di dunia ini ia tak melakukan apa-apa.
Kedua emerald Sakura menatap sosok Ino yang mendekat ke lelaki itu dan memberikan buku menu itu kepadanya, berharap bahwa buku itu kini berada di tangan yang berbeda. Namun semuanya masih tetap sama. Lelaki itu menolak dan menyebutkan nama kopi hitam yang tidak terlalu digemari di sini karena rasanya yang amat pahit. Tapi Sakura tahu—Ino tak akan puas dengan jawaban pendek semacam itu.
"Apa Anda hanya ingin kopi hitam saja?" Ino mengerutkan keningnya ketika lelaki itu hanya menyebutkan satu nama minuman yang gambar, nama, serta harganya tertoreh di buku menu. Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap meja kayu yang berada di hadapannya.
"Aku tidak akan mengulang pesananku dua kali." Sebelum Ino membuka mulutnya untuk bertanya kedua kalinya, lelaki itu menjawab dengan suaranya yang rendah.
Ino kembali mengerutkan kening, tentu saja ia tidak puas dengan jawaban pendek semacam itu. "Di sini banyak menu yang enak, Tuan. Seperti misalnya kue-kue, yang paling populer ada cheese cake, red velvet cake, brownies, cream cake, dan sebagainya. Bagaimana jika Anda memesan salah satu di antara makanan itu sebagai teman untuk kopi hitam Anda?" Ino menawari lelaki itu dengan menu-menu andalan yang berada di cafe itu.
Tapi senyum dan semangatnya yang menggebu-gebu perlahan lenyap—saat lelaki itu mengangkat wajahnya dan memberikan pandangan tidak suka pada wanita pirang itu. "Aku tidak akan mengulang pesananku dua kali." Sama seperti jawaban sebelumnya, ia menjawab. Kemudian ia merogoh sakunya dan mengeluarkan benda kecil yang tak lain dari ponsel miliknya.
Saat itu pula Sakura tahu kalau Ino menyerah untuk merayu lelaki itu.
.
.
"Menyebalkan sekali orang seperti dia! Sudah bagus aku menawarinya berbagai makanan manis dan enak yang berada di sini. Daripada ia selalu menyesap kopi hitam itu pelan-pelan!" Ino mendengus sambil marah-marah saat ia sampai di dapur cafe yang sudah dipenuhi oleh orang-orang sibuk yang sibuk bekerja. Tampaknya mereka terlalu sibuk, kasihan Ino, ia dibiarkan begitu saja dengan emosinya yang meluap-luap.
Sebuah tangan menepuk bahu Ino pelan. "Sudahlah. Biarkan saja ia mendapatkan apa yang ia inginkan," Sakura tersenyum lucu—membuat sahabatnya mendengus lagi.
"Menyebalkan sekali. Sakura, aku akan buatkan kopi hitamnya. Kau bisa antarkan pada lelaki itu, kan?" kata Ino dengan terburu-buru. Ia berjalan menuju meja dapur yang menyediakan berbagai macam peralatan untuk membuat kopi; termos berisikan air panas, cangkir-cangkir dan piring-piring kaca, kopi sachet dengan berbagai macam jenis, sendok-sendok kecil dan tak lupa gula-gula yang terletak di dalam toples maupun dibungkus apik dengan kertas.
Sakura buru-buru menyusul Ino ketika melihat sahabatnya itu sudah mengambil sebungkus kopi dan menuangkannya ke dalam cangkir gelas. Sambil memerhatikan serbuk-serbuk kopi yang berjatuhan ke dalam cangkir berbahan kaca, wanita berambut merah jambu itu menganggukkan kepalanya pelan.
Sebagai sentuhan terakhir dalam pembuatan kopi itu, Ino mengaduk cairan berwarna cokelat yang nyaris hitam pekat itu dengan sendok yang baru saja diambilnya tadi. Setelah itu, ia membiarkan cangkir kaca berisikan kopi yang masih panas itu berpindah tangan pada sahabatnya.
Sakura berjalan menjauhi Ino dengan piring dan gelas kaca yang berada di tangannya. Ia membawa pesanan sederhana itu keluar dari dapur dengan hati-hati, lalu menuju meja yang berada di pojok ruangan.
"Pesanan Anda." Sakura meletakkan kopi dan gelas itu di meja kayu yang berada di hadapan si pemilik rambut raven.
Gerakan Sakura terhenti saat emerald-nya menangkap pandangan tajam sang onyx. Lelaki itu menatapnya sebentar. Lima detik. Setelah itu ia memalingkan tatapannya pada minuman penuh kafein yang berada di dalam cangkir kaca kecil.
"Hn." Sepatah kata yang hanya merupakan sahutan singkat keluar dari bibir lelaki itu tanpa membuatnya harus membuka mulutnya. Ia mengambil sendok yang berada di pinggir piring—mulai mengaduk minumannya dan menyesapnya sedikit, kemudian meletakannya lagi dan membiarkannya di sana.
Sakura tahu—seharusnya ia kembali ke dapur dan kembali bekerja. Ino dan kawan-kawan masih memerlukan bantuannya—melihat dari keadaan cafe yang semakin lama semakin dipenuhi pengunjung.
"Apa lihat-lihat?" Sakura semakin tak bisa memberikan jawaban saat ia menemukan onyx itu kini memerhatikan gerak-geriknya lagi. Sebisa mungkin ia menggeleng, lalu membungkukkan kepalanya.
"Maaf mengganggu Anda. Saya pergi sekarang." Dengan berlari kecil, wanita itu menuju dapur yang terletak tak jauh dari sana sambil mendekap nampan kayu yang tadi digunakannya.
Sedangkan si empunya onyx hanya menatapnya dalam diam—seperti biasanya.
.
.
To be continued
A/N
Bukannya ngelanjutin fic yang lalu, saya malah buat fic baru ; w ;
Gomen, minna, atas ke-absurd-an fic ini. Mungkin masih ada kesalahan ya, di fic ini. Saya jarang minum kopi soalnya, tapi kemarin saya bela-belain nyoba minum segelas penuh demi ngebuat fic ini uwu /curcol
Nah, saya masih pemula di fandom Naruto. Maaf kalau... OOC? Dan ini AU, saya masih memikirkan untuk buat fic canon, tapi yah... ._.v
Akhir kata, review? Supaya saya bisa semakin berkembang dan semangat menyelesaikan fic ini~ xD
Arigatou gozaimasu~ ^^
