Given the choice between the experience of pain and nothing. I would choose pain.

(William Faulkner)


"Masamune-dono,"

Sebuah perih menerkam,

"Tuanku, bertahanlah,"

Mengoyak, menggigit,

"MASAMUNE-DONO!"

….dan membunuhku.

"…AAAAAAAAARRRRGGGGGHHHHHHH!"


Sebelum ia tiba dari ufuk timur, awan-gemawan mundur malu-malu. Memberikan jalan bagi dirinya yang bercahaya keemasan, mewarnai segala keindahan alam semesta dengan gurat-gurat sinar lembut di angkasa.

Angin bergandengan dengan embun di udara, berlari bersama, membelai tiap wajah yang menengadah.

Membawa aroma kematian.

"Masamune-sama," ujarnya, sambil mengerinyitkan dahi, "Apa maksud Anda? Hamba tidak mengerti."

"Kau tak perlu mengerti," jawabku, "Tugasmu hanyalah mendampingiku dalam semua ini. Kau tak perlu ikut campur."

Laki-laki itu berdiri dari duduknya, sambil mengepalkan kedua tinjunya.

"Tapi, Tuanku! Padahal luka Anda belum pulih sepenuhnya! Anda tidak bisa melakukan ini! Pertarungan ini tidak seimbang!"

Kusunggingkan senyuman tipis.

"Tidak seimbang? Kojuuro, kau memang benar. Tapi pihak yang ada di atas angin adalah aku, bukan dia."

"Bagaimana bisa Anda berkata seperti itu?"

"Dia belum mengerti apa itu rasa sakit," kataku.

Kojuuro melongo.

"Akan kuajari dirinya yang masih terlalu hijau untuk mengerti apa itu rasa sakit. Apa itu perih. Apa itu pedih. Apa itu nyeri. Apa itu penderitaan."

Kojuuro terdiam seribu bahasa.

"Ambilkan pedang-pedangku, Kojuuro. Sekarang."


Satu bulan yang lalu. Senja hari di Provinsi Oushuu. Sang cahaya siang hendak melangkah menuju peraduan.

Semilir angin meniup wajahku, bagai bisikan gadis kecil yang polos, namun menggoda. Menebarkan wangi bunga serunai di padang yang gersang di hadapanku.

Serunai, untuk mereka yang mendahului kita.

"Masamune-dono," kata seseorang di belakangku.

Aku menoleh. "Kau. Mau apa?" ujarku, ketus.

Pemuda berpakaian merah tersebut menundukkan kepalanya, tidak menatapku.

"Maaf, saya—"

"Tidak ada gunanya maaf. Ini bukan permainan anak-anak. Ini medan perang. Tidak ada maaf, tidak ada ampun, tidak ada penyesalan. Jangan bersikap naif."

Ia menunduk, makin muram.

"Masamune-dono," katanya, "Saya kemari untuk memberitahukan tentang lengsernya aliansi Takeda dengan Date."

Giliranku yang menatapnya dengan pandangan terkejut.

"Oyakata-sama mengutusku untuk menyampaikan ini padamu. Setelah semuanya beres, Takeda akan memutuskan hubungan aliansi dengan Date."

Aku terdiam, masih menatapnya—lurus.

"Dengan ini," lanjutnya, "Mulai sekarang, kita adalah musuh—lagi. Masamune-dono, saya menantikan lagi pertandingan dengan Anda."

"Pertandingan? HAH!" aku tergelak, keras—disusul dengan tatapan heran darinya.

"Jangan konyol. Kau masih menganggap semua pertarungan yang kita lakukan sebagai pertandingan? Maksudmu, kau tidak akan membunuhku jika kita berhadapan nantinya? Hanya bertanding? Itu saja? Kau terlalu naif!"

"Masamune-dono…saya…."

"INI MEDAN PERANG!" bentakku—emosi, "SAMPAI KAPAN KAU MAU BERSIKAP SEPERTI ANAK-ANAK YANG MAIN PERANG-PERANGAN?"

Ia nampak tergagap—namun tangannya mengepal.

"Baiklah," gumamnya, "Begitu kita bertemu lagi, saya takkan berbelas-kasihan pada Anda."

"Apa bisa semudah itu, tolol?"

Ia menatapku, heran.

"…kau tahu apa itu rasa sakit?" ujarku, sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Ia masih melongo, memandangiku.

"Maksud Anda?"

"Rasa sakit akan membuatmu berkembang," kataku, "Kalau melihat keadaanmu yang menyedihkan sebagai seorang prajurit seperti ini, sepertinya kau tidak pernah merasakannya."

"….saya pernah terkena anak panah dari salah seorang prajurit Uesugi. Panah beracun. Rasanya sakit sekali," katanya.

"Lalu?" tanyaku, tidak sabar.

"Saya demam selama 2 minggu akibat racun dari panah tersebut. Saya pernah merasakan adanya batas antara hidup dan mati."

"…..hanya itu?" ujarku, sambil mengedikkan kepala, "Bukan rasa sakit yang itu, bodoh. Sama sekali tidak cukup. Kau masih jauh dari kata berkembang. Kau masih anak-anak. Bocah."

"Masamune-dono—"

"Ini,"kataku, sambil menyibak rambutku.

Memperlihatkan mata kananku yang terbungkus penutup hitam.

"Kau lihat ini? Aku sudah merasakannya sejak kecil."

Pemuda itu tertegun.

"Aku sudah merasakan sakit berkali-kali—sampai rasanya muak. Sekarang, indera-inderaku serasa mati. Aku tidak bisa lagi merasakan nyeri. Sedikitpun."

Ia gemetar, kentara sekali menahan emosi yang menggelegak dalam dirinya.

"Masamune-dono…Anda—"

"Pertarungan denganmu," potongku—tajam,"Aku menantikannya. Sungguh."

Semilir mengayunkan kelopak serunai dari tangkai-tangkainya.


Beberapa tahun yang lalu, waktu aku masih bocah, penyakit cacar menyambarku—menenggelamkanku dalam keputus-asaan, mencengkeramku dalam penderitaan yang tak terperi.

Waktu-waktuku kuhabiskan dengan berbaring, berbaring, dan berbaring. Hanya Kojuuro—pelayanku—yang setia menemani di sisiku.

Rasa sakit menggelayuti seluruh indera tubuhku. Jiwaku, ragaku, semua menggeliat kesakitan. Sakit, sakit. Sakit sekali!

"Kojuuro," bisikku, "Bantu aku."

Kojuuro bangkit, membantuku duduk.

"Sudah…cukup," kataku—meringis, menahan nyeri yang menggerogoti kepalaku.

"Aku akan menghentikan semuanya. Cukup sampai di sini."

Dengan gerakan cepat, kusambar kelopak mata kananku, membuat Kojuuro terperanjat.

"MASAMUNE-SAMA!"

Tanpa keraguan, kutarik lepas sebungkah bola bening—keluar dari kelopak mataku. Darah berceceran di mana-mana. Bersamaan dengan menyemburnya darah segar dari wajahku, rasa sakit yang amat sangat menyerangku. Membuatku nyaris gila.

Sebuah jeritan panjang—keluar dari mulutku. Untuk pertama kalinya aku merasakan isakit/i.

Kojuuro bertindak cepat. Disambarnya sehelai kain panjang untuk menutup lukaku.

"Ko…juuro…" kataku, terbata. Lidahku kelu mendadak, akibat rasa nyeri yang dengan ganas mengoyak seluruh tubuhku. Aku mengejang, berkeringat. "…maaf….aku….."

"Anda tidak perlu minta maaf," katanya, tegas—dengan sedikit getar di suaranya, "Itulah yang terbaik yang dapat Tuanku berikan pada diri Tuan sendiri. Sedangkan, ini adalah yang terbaik yang dapat Hamba berikan pada Tuanku."

Aku gemetaran di pelukannya.

Terisak-isak.


Setitik kecil cahaya muncul di sudut kanan atas jendela mataku—tepatnya, hanya mata kiriku. Mata kananku sudah lama tidak mengenal cahaya. Aku mendesah, agak nyaring. Kutemukan diriku berbaring di kasur. Perban membungkus ulu hatiku. Sebuah anak panah menancap di sana, beberapa waktu yang lalu.

Setelah bertempur dengan Takeda beberapa minggu, pemimpin klan Date—Masamune, berhasil dilukai oleh beberapa prajurit rendahan.

Berita yang bagus, pikirku—sinis.

Pintu kayu bergeser. Kojuuro muncul. Ekspresinya nampak terkejut.

"Masamune-sama!" serunya, kaget, "Anda sudah sadar!"

"Kojuuro…aku…sudah berapa lama aku pingsan?"

"Anda sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari, Tuanku. Kami terpaksa mundur ke Oushuu karena perlawanan yang tidak seimbang dengan Takeda. Sekarang, anda berada di kediaman Anda di Oushuu."

Kugigit bibirku. Kesal.

"Bantu aku, Kojuuro," ujarku, sambil berusaha bangkit dari tempat tidur.

Kojuuro terperanjat.

"Tu—Tuanku! Tidak bisa! Anda baru saja siuman, Hamba tidak bisa membantu Anda!"

"Peduli setan," pangkasku, "Aku harus bangun...maju bertempur. Ke tempat dia menungguku."

Kojuuro menatapku—wajahnya pucat.

"…Sanada Yukimura?" gumamnya—dengan getar yang tidak kumengerti di suaranya.

Aku nyengir kecil.

"Kojuuro," kataku, "Apapun yang terjadi nantinya, kau tidak boleh ikut campur. Sama sekali. Ini adalah urusanku dengannya. Hanya aku dan dia. Takkan kubiarkan seorangpun mengganggu—termasuk kau."

"Masamune-sama," ujarnya, sambil mengerinyitkan dahi, "Apa maksud Anda? Hamba tidak mengerti."

"Kau tak perlu mengerti," jawabku, "Tugasmu hanyalah mendampingiku dalam semua ini. Kau tak perlu ikut campur."

Laki-laki itu berdiri dari duduknya, sambil mengepalkan kedua tinjunya.

"Tapi, Tuanku! Padahal luka Anda belum pulih sepenuhnya! Anda tidak bisa melakukan ini! Pertarungan ini tidak seimbang!"

Kusunggingkan senyuman tipis.

"Tidak seimbang? Kojuuro, kau memang benar. Tapi pihak yang ada di atas angin adalah aku, bukan dia."

"Bagaimana bisa Anda berkata seperti itu?"

"Dia belum mengerti apa itu rasa sakit," kataku.

Kojuuro melongo.

"Akan kuajari dirinya yang masih terlalu hijau untuk mengerti apa itu rasa sakit. Apa itu perih. Apa itu pedih. Apa itu nyeri. Apa itu penderitaan."

Kojuuro terdiam seribu bahasa.

"Ambilkan pedang-pedangku, Kojuuro. Sekarang."

Tiba-tiba, Kojuuro menjatuhkan dirinya di hadapanku. Berlutut. Miris.

"Nanti," isaknya, "Nanti siapakah yang pantas untuk memimpin klan Date selain dirimu, Tuanku? Anda tak tergantikan—oleh siapapun. Tuanku—Hamba mohon—jangan lakukan ini."

Aku bangkit sepenuhnya dari tempat tidur. Berdiri di hadapannya.

"Kau bisa menggantikanku."

"TIDAK!" serunya—keras, lantang, penuh kepedihan. "Hamba hidup hanya untuk melayani Tuanku!"

"Kalau begitu," kataku—dingin, "Ambilkan pedang-pedangku."

Kojuuro tidak membantah lagi.


Awalnya berupa bisikan-bisikan kecil saja, namun semuanya menjadi begitu jelas—ketika pemuda itu berteriak lantang di dekat telingaku.

"MASAMUNE-DONO!"

Mataku yang tinggal satu tidak mampu menangkap wajahnya dengan jelas. Kabur. Berupa bayang-bayang tipis yang bergoyang di pelupuk.

"Anda tidak boleh mati! Jangan—jangan sekarang!"

Dilepaskannya ikat kepala berwarna merah terang yang melilit di dahinya, dan dengan tergesa-gesa, ia membebat luka di dadaku yang menganga—mengalirkan merah amis yang pekat.

"…'Sakit'…." bisikku, lemah, "…kau bisa merasakannya…?"

Ia mengangguk—keras. Air matanya berlelehan—membanjiri wajahnya.

"Sanada…Yukimura…..aku senang….bisa…berhadapan….denganmu…."

"Masamune-dono…? Masamune-dono? TIDAK! TIDAAAAAAAAKKKK!"

Kegelapan dan kesakitan menjemputku—sekali lagi.


All they that take the sword, shall perish with the sword.

(The Bible, Matthew)