"Lebih baik aku pergi dari sini!" ucap seorang gadis kepada ibunya penuh amarah. Gadis itu membawa sesuatu, tak banyak yang dia bawa, hanya sebuah tas ransel berukuran sedang.
"Hinata kau mau kemana?" seorang ibu menatap putrinya dengan penuh tanda tanya dan perasaan sedih yang meyelimuti dirinya. Ibu itu menggenggam erat pergelangan tangan putrinya.
"Aku tidak tahu kemana aku harus pergi, yang terpenting aku bisa sejauh mungkin untuk tidak mendengar pertengkaran kalian," ucap gadis itu tegas.
JOURNEY OF SPRING/ CHAPTER 1
Author : Naragirlz
Genre : Romance, Friendship, Family
Pairing : Naruhina
Rating : T
WARNING
DON'T LIKE DON'T READ, EYD BERANTAKAN DAN ABAL. KARAKTER HINATA DISINI SANGATLAH KUAT DAN SANGAT OOC.
.
.
Hinata menyipitkan matanya, ia memandang ayah tirinya dengan garang. Tak banyak yang dilakukan pria itu saat ini. Pria itu hanya berkacak pinggang dan ikut memandangnya dengan tatapan murka. Hinata sangat membenci ayah tirinya. Ayah tiri yang hanya bisa menghabiskan uang dari hasil kerja keras ibunya.
Ayah tiri yang hanya bisa memukul ibunya. Ayah tiri yang hanya bisa berlaku kasar padanya. Bagi seorang pria dewasa yang menyandang status sebagai ayah, seharusnya dia tahu apa yang harus di pertanggung jawabkan terhadap keluarga. Kalau bukan karena ibunya, dari dulu Hinata sudah menjebloskan ayah tirinya kedalam penjara atas tuduhan penganiayaan.
"Aku mohon, jangan pergi tinggalkan Ibu."
Ibu gadis itu masih beringsut menggenggam erat lengan putrinya dengan berlinang air mata. Hinata sebenarnya tidak tega meninggalkan ibunya, tapi jika dia terus berada didalam rumah neraka ini, pikirannya akan semakin stress dan bahkan dia bisa menjadi gadis gila.
"Aku tidak akan pergi jika Ibu segera menceraikan pria itu."
Hinata menatap pria setengah baya itu dengan tatapan tak bersahabat. Bagaikan singa yang siap mencengkram mangsanya dan mencabik-cabik dagingnya. Hinata masih ingat kejadian satu tahun yang lalu ketika pria itu berlaku tak senonoh padanya. Kejadian tragis itu tak Hinata ceritakan kepada ibunya, karena dia tidak mau menambah beban pikiran orang yang dia sayang. Untung perbuatan tak terpuji ayah tirinya itu tak berhasil karena Hinata meninju hidung pria itu sampai berdarah dan sampai mengalami patah tulang.
Ketika ibunya bertanya tentang lukanya, pria itu berkilah dia hanya terjatuh dijalan saat mengendarai motor. Itu sungguh lucu bukan. Hinata menunggu jawaban dari Ibunya. Ia penasarang, apakah ibunya akan menceraikan ayah tirinya atau tidak. Hinata melihat jelas ibunya lagi menangis dan tertunduk membisu.
"Baik aku sudah tahu jawaban Ibu. Ibu lebih memilih mempertahankan pria itu daripada aku putrimu. Aku tidak tahu apa yang Ibu pikirkan selama ini. Jika aku menjadi Ibu, aku sudah menendangnya jauh-jauh. Maafkan aku Ibu," gumam Hinata pelan.
Hinata melepaskan genggaman tangan ibunya. Perlahan dia melangkahkan kaki keluar rumah. Dengan cekatan gadis itu menyumpalkan earphone dikupingnya dan mendengarkan musik dengan volume penuh . Hal ini dia lakukan agar dia tak mendengar panggilan ibunya. Caranya pun berhasil.
Hinata tak bisa mendengarkan suara ibunya sedikitpun. Air mata yang tertahan akhirnya keluar membasahi kedua pipi Hinata yang merona merah. Tenggorokannya sakit karena menahan tangis yang sudah lama ia pendam. Cuaca bulan april yang sedikit dingin, tak membuat Hyuga Hinata enggan keluar dari rumah. Ini adalah pilihannya yaitu kabur dari rumah. Gadis itu benar-benar tak tahu kemana ia harus pergi dan kemana ia harus tidur.
"Maafkan aku Ibu, aku hanya pergi sebentar dan aku akan segera pulang," gumamya.
ooOOoo
Hari sudah menjelang malam. Hinata masih duduk termenung sendirian di halte bus. Dia menyandarkan kepalanya ditiang halte dengan pandangan kosong. Banyak hal yang ia pikirkan, banyak hal yang membebani pikirannya sampai-sampai dia tak kuat menanggung beban dikepalany, Hinata menyandarkan kepala hampir sekitar setengah jam. Berkali-kali bus berwarna hijau berhenti namun Hinata enggan untuk bangkit dan naik. Dia lebih memilih diam dan terjerumus jauh dalam lamunannya.
Hinata merasakan ada seseorang yang duduk tak jauh darinya. Kepalanya menoleh pelan dan matanya dengan detail memperhatikan orang itu. Sosok pria muda bertopi merah, berjaket biru denim dan dirangkapi oleh jumper putih polos. Cuaca dinginlah yang membuat pria itu berpakaian tebal dan berlapis-lapis, beda dengan Hinata yang hanya mengenakan jaket dan syal tebal berwarna ungu muda yang dilingkarkan dilehernya. Kalau Hinata perhatikan lagi dan jika ia tak salah, pria itu lebih muda darinya. Pria itu menoleh kepadanya secara tiba-tiba. Hal ini membuat Hinata malu dan kelabakan. Spontan dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Bis berikutnya datang. Pria muda itu berdiri, berjalan perlahan menuju bis. Hinata menoleh ke kanan dan ke kiri namun tak ada satupun orang disekitarnya. Suasana menjadi sunyi, sepi, dingin dan mencekam. Dia berlari menuju bis yang terparkir didepannya. Bayangan konyol keluar dari otaknya. Dia tak bisa membayangkan jika diantara jalan yang sunyi dan sepi itu tiba-tiba munculah sesosok zombie yang haus akan darah dan daging manusia. Oh, ayolah Hinata, zombie hanya ada di film-film hollywood pikirnya dalam hati.
Ketika ia melihat kedalam bis, tak ada penumpang satupun, hanya ada dia dan pria muda itu. Hinata duduk di depan sebelah kiri didekat jendela. Sedangkan pria muda itu duduk di depan sebelah kanan didekat jendela. Tak ada suarapun diantara ketiga orang itu termasuk sopir yang ada didalam bis. Walau berada dijalan namun suasana sepi dan sunyi, ini tak beda jauh dengan kuburan.
"Apa kalian berdua bertengkar?"celetuk sopir bus tiba-tiba. Hinata dan pria itu saling pandang, keduanya terkejut mendengar perkataan sopir bus yang salah kaprah. Bagaimana mau bertengkar bahkan kenalpun tidak. "Anak muda selalu seperti itu, apalagi sepasang kekasih seperti kalian, yang lebih mengedepankan keegoisan dan amarah daripada musyawarah untuk menyelesaikan masalah. Berbaiklah, suasana bis jadi tak enak karena kalian berdua terdiam."
"Ojisan, kau salah paham. Kami bukan sepasang kekasih seperti yang kau kira," protes pria muda itu dengan mengibas-ngibaskan telapak tangannya.
"Iya Ojisan, kami baru bertemu di halte bahkan kami tak saling tahu nama masing-masing," imbuh Hinata.
"Sudahlah kalian jangan malu mengakuinya. Sebentar lagi kita akan sampai ke halte Shibuya." sopir itu masih kukuh dengan pemikirannya, kalau mereka adalah sepasang kekasih yang bertengkar.
Hinata dan pria muda yang masih belum diketahui namanya itu, hanya terdiam dan tak mau berdebat dengan seorang Ojisan yang umurnya lebih tua dari mereka. Perlahan roda bis berwarna hijau berhenti. Pintu terbuka secara otomatis. Mereka berdua pun berjalan keluar dari bis.
"Arigatou Ojisan," Hinata berkata dengan sopan, dia membungkukan badannya sambil tersenyum manis pada pria tua yang ramah bahkan terkesan lucu jika ingat pemikirannya tentang Hinata dan pria tak dikenalnya tadi.
"Iya sama-sama, cepatlah susul pacarmu itu, jangan biarkan dia meninggalkanmu ditengah keramaian Shibuya. Walaupun bukan kau yang salah, tapi apa salahnya untuk meminta maaf terlebih dulu. Mengalah bukan berarti kalah," ucap sopir itu panjang lebar kepada Hinata.
"Ojisan sudah aku katakan kalau dia bukan kekasihku." Sekarang Hinata benar-benar kesal dengan sopir bis umum ini. Dia mendengus menahan amarah yang berkecamuk didadanya. Suasana hatinya jadi semakin buruk karena perkataan Ojisan yang sama sekali salah.
Bis yang ditumpanginya berlalu meninggalkannya. Hinata melihat pria muda itu berjalan menuju kearah kiri. Ada yang aneh dari cara pria itu berjalan, dia berjalan dengan sangat pelan dan memeluk tubuhnya sendri. Wajahnya juga menggambarkan sebuah ketakutan yang luar basa. Aneh sekali. Hinata mengangkat kedua bahunya, pertanda dia tidak begitu peduli dengan pria itu. Matanya beralih lurus kedepan, Hinata tersenyum melihat keramaian yang tepat berada didekatnya.
ooOOoo
Shibuya adalah kawasan perbelanjaan tersibuk di Tokyo. Dan akan bertambah sibuk saat penjualan musiman dan pada hari Minggu. Shibuya memiliki department store banyak. Banyak department store dengan target pembelinya adalah anak muda (misalnya 109 Shibuya). Department store lainnya di Shibuya misalnya Shibuya Mark City, Seibu, Loft, Parco dan Marui. Selain department store, Shibuya terkenal dengan tiga jalan perbelanjaan: Koen Dori, Spanyol Slope (Supeinzaka) dan Pusat Gai. Sulit untuk menemukan daerah lain di dunia yang memiliki pusat belanja lebih dari Shibuya.
Shibuya adalah salah satu tempat favorit Hinata untuk melepas penat yang melanda dirinya. Kekagumannya terhadap suasana Shibuya tak pernah mati. Disana terlihat jelas toko-toko besar dan megah berbaris rapi, bahkan ada beberapa toko yang bangunannya bergaya khas eropa dengan pilar-pilar berukir. Shibuya dikenal dengan pusat perbelanjaan dan tempat kumpulnya para remaja di Jepang. Toko pakaian mendominasi area ini. Dari distro hingga butik. Shibuya juga dikatakan sebagi pusat fashion-nya Jepang. Harajuku yang dikenal sebagai tempat remaja Jepang dengan kostum nyentriknya berada tidak jauh dari Shibuya.
Di Shibuya ada hal yang menarik, salah satunya terdapat patung anjing yang terkenal dengan kesetiaannya terhadap majikan yang diberi nama Hachiko. Patung Hachiko terletak di depan Stasiun JR Shibuya adalah tempat paling populer sebagai tempat bertemu atau meeting point. Hachiko adalah anjing yang dipelihara oleh Hidesaburo Ueno, seorang Profesor di Universitas Tokyo, tahun 1924. Setiap hari Hachiko mengantar 'tuannya' ke stasiun Shibuya ketika akan berangkat kerja dan setiap pukul 4 sore Hachiko sudah menunggu tuannya yang pulang bekerja di depan stasiun.
Rutinitas antara tuan dan peliharaannya ini berlanjut hingga 1 tahun. Hingga pada bulan Mei 1925 Hidesaburo Ueno meninggal dunia akibat serangan stroke ketika sedang berada di kampusnya. Hachiko yang tidak tahu apa yang terjadi dengan tuannya, tetap menunggu di depan stasiun setiap sore mengharap melihat wajah tuannya diantara wajah orang-orang yang keluar dari stasiun. Penantian setiap sore ini dijalani Hachiko selama 9 tahun berikutnya hingga akhirnya Hachiko meninggal dan jasadnya ditemukan warga di sekitar stasiun Shibuya.
Kisah kesetiaan Hachiko mulai terkenal ketika ceritanya dipublikasikan oleh salah seorang mahasiswa sang Profesor pada tahun 1932. Kisah ini membuat masyarakat Jepang terkesan, dan menjadikan Hachiko sebagai simbol kesetiaan nasional, baik itu kesetiaan perorangan, kesetiaan dalam keluarga ataupun kesetiaan pada Institusi Kekaisaran. Orang tua dan para Guru di Jepang sering menjadikan Hachiko sebagai salah satu contoh teladan dalam hal kesetiaan.
Hinata terus berjalan menyusuri jalanan di Shibuya. Pertokoan dengan arsitek menarikpun meramaikan suasana pusat perbelanjaan ini. Mata Hinata mendadak hijau melihat baju-baju bagus dengan model terbaru. Tanpa sadar kaki Hinata membawanya masuk ke dalam. Tangan Hinata tanpa ragu menggapai dan membelai gaun biru pastel dengan pita putih didekat lingkaran pinggangnya. Gaya yang simple namun masih feminin dan terlihat anggun adalah gaya yang paling disukai Hinata. Matanya hampir keluar, mulutnya menganga lebar ketika tahu harga gaun itu hampir mencapai ratusan ribu yen. Hinata menelan ludah dan perlahan berangsur keluar dari toko.
"Mahal sekali, mana bisa aku membelinya," gerutunya pelan. Senyum tipis Hinata terlihat jelas diwajahnya sambil menikmati hiruk pikuk Shibuya. Dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mengelilingi pusat perbelanjaan termahsyur ini. Krruuukk! Tiba-tiba terdengar suara aneh, tangan kanan Hinata menyentuh dan mengelus-ngelus perutnya. "Memang sudah waktunya untuk makan malam, saatnya makan."
ooOOoo
Hinata mendengus pelan. Dia berjalan menuju restoran ramen favoritnya. Ramen adalah makanan yang berbahan pokok mie. Jika Hinata lapar seperti sekarang, tak ada makanan lain yang ia inginkan kecuali ramen. Langkah Hinata terhenti tepat didepan restoran ramen bernama "Teumsae Ramen". Restoran ini memang tergolong kecil dibandingkan restoran yang lain . Restoran ini dibuka pada tahun 1981 di Shibuya, dua puluh tahun restoran ini berdiri dan sudah menarik banyak pengunjung.
Bagi Hinata ramen disini berbeda dengan kedai ramen yang lain. Faktor pembedanya adalah rasanya yang sangat pedas dan juga lezat. Mienya yang kenyal, kaldu yang super pedas dengan banyak bumbu cabai merah, telur serta tauge membuat lidah pengunjung Shibuya ketagihan. Hal yang menarik dari restoran "Teumse Ramen" ini dibandingkan restoran lain adalah interior dekorasi yang disuguhkan. Di atap restoran banyak sekali tempelan kertas yang menjuntai kebawah berisi tentang pesan dan kesan pelanggan terhadap restoran ini. Entah itu berisi kritik dan saran, gambar-gambar lucu yang tak penting bahkan pesan dari janji cinta sepasang kekasih ada diantara ratusan kertas yang tergantung diatap.
Harganya pun juga terjangkau sekitar seribu sampai tiga ribu lima ratus yen. Untuk malam ini pengunjung tidak begitu banyak, mungkin pengaruh dari jam yang mendekati tengah malam. Hinata melangkahkan kakinya tanpa ragu. Dia memilih tempat duduk disebuah meja yang sangat panjang dengan kursi pendek berbentuk bundar. Tangannya meraih tas dan menaruhnya dibawah. Sedetik kemudian datanglah seorang pelayan menawarkan menu yang disajikan.
Berbagai jenis Ramen disuguhkan. Tanpa harus melihat buku menu terlebih dahulu, Hinata memesan ramen ekstra pedas dengan tambahan ayam goreng saus barbeque diatasnya. Pelayan itu tersenyum dan pergi menjauh dari Hinata. Senyum kebahagiaan darinya terlihat jelas namun senyum itu tak bertahan lama ketika diluar jendela, Hinata melihat ibu-ibu berjualan jajanan ringan khas Jepang. Hinata tak mau memandang ibu itu lama-lama karena hal ini membuat dia teringat ibunya.
Hinata tak ingin menangis disaat seperti ini dan ditempat umum. Bunyi lonceng pintu menggema keras direstoran kecil itu, tanda jika ada pengunjung yang datang. Mata Hinata tak henti-hentinya melihat semua kertas yang bergantung tepat diatasnya. Matanya tertarik untuk memandang kearah lain, terlihat seorang pria mengambil tempat duduk tepat didepannya. Hinata melebarkan matanya ketika tahu siapa yang ada dihadapannya sekarang. Iya, dia adalah pria muda yang ia temui di Halte, pria muda yang dikira adalah kekasihnya oleh Ojisan sopir dari bis itu.
Mata mereka beradu sepersekian detik, namun tak lama mereka saling mengalihkan pandangan. Hinata melirik pria didepannya dengan rasa ingin tahu. Tangan kanan pria itu melepas topi merah yang daritadi menempel dikepalanya. Detail wajah pria itu sangat terlihat jelas. Alis tebal, hidung mancung, mata yang tajam dengan iris berwarna biru safir, bibir merah yang tipis serta kulit yang sedikit kecoklatan menambah kesan seksi dari dirinya. Ketampanan pria itu membuat Hinata terlena dan tak sadar bahwa pria muda yang dihadapannya sekarang menatapnya tak senang.
"Apa? kenapa kau memandangku seperti itu?" ujar pria itu secara tiba-tiba.
Pria itu merasa tak nyaman dengan pandangan seperti itu, apalagi pandangan dari seorang gadis. Tapi dia tidak heran, karena dia sering mendapatkan pandangan sejenis ini setiap hari dari gadis-gadis yang menganguminya. Pria muda itu mengakui kalau dirinya memang sangat tampan. Hinata tersentak, dengan sigap dia mengalihkan pandangannya ke pelayan yang membawa pesanannya. Ramen yang berkuah dengan warna merah serta dilapisi ayam diatasnys membuat air liur gadis itu hampir keluar.
"Silahkan. Selamat menikmati," ucap pelayan penuh keramahan.
"Arigatou gozaimasu." Hinata tersenyum ramah kepada pelayan.
Matanya berbinar melihat hidangan didepannya. Ada dua peralatan makan disamping mangkok berisi Ramen yaitu sendok dan sumpit. Tanganya begitu terampil mengambil sendok disamping mangkok Ramen. Yah, makan mie dengan menggunakan sendok memang sangat tak lazim untuk orang Jepang. Kebanyakan dari mereka menggunakan sumpit dan untuk menikmati kuahnya mereka menyesap kuah pedas langsung dari mangkoknya.
Namun Hinata punya cara lain, dia menggunakan sendok untuk mengambil mienya karena dengan sendok, mie yang bisa dimakannya akan lebih banyak daripada menggunakan sumpit. Untuk merasakan kuahnya, dia menggunakan cara orang Jepang pada umumnya. Hinata mulai menyeruput mienya satu persatu. Dia sama sekali tak menyadari jika pria muda didepannya melihat dirinya tanpa henti.
"Ramen jenis apa yang dimakan oleh gadis ini?" tanyanya pada pelayan sembari melihat gadis itu makan. Dia baru pertama kali ini melihat seorang gadis yang cara makannya seperti pria.
"Oh, ini adalah ramen dengan ayam saus barbeque," jawab pelayan.
"Baik, aku pesan yang sama persis dengan gadis itu."
Hinata mendengar percakapan pria itu dengan pelayan, namun dia tak peduli. Pelayan manis itu mundur selangkah lalu kemudian mengangguk kecil kepadanya sambil tersenyum. Pria muda itu menopangkan dagunya ditelapak tangan kirinya sembari memperhatikan gadis didepannya yang sibuk memakan ramen dengan rakus. Semakin diperhatikan dia semakin sadar kalau gadis didepannya adalah gadis didalam bis itu. Sesekali gadis itu mengibas-ngibaskan tangan kananya didepan mulut. Sepertinya dia merasakan pedas yang luar biasa. Pria itu nyengir tipis melihat tingkah lucu orang yang ada didepannya. Gadis itu mengambil satu botol air mineral berukuran besar, lalu menenggaknya.
"Hei, kau benar-benar payah. Baru tiga sendok, kau sudah minum air. Kau baru pertama kali berkunjung di restoran ini ya?" celetuk pria muda itu secara tiba-tiba. Hinata memicingkan matanya kearah pria muda itu. Ujung bibir Hinata tertarik ke atas serta mengumpat pelan. "Kau tidak tahu kalau restoran ini terkenal dengan rasa pedasnya yang begitu luar biasa?"
Hinata tak berkutik dan tak mau menjawab pernyataan yang tak penting. Dia terus memakan ramennya. Pria muda itu terlalu menganggapnya remeh, dia pikir hanya dia saja yang tahu tempat ini. Sudah hampir sepuluh tahun dia menjadi pelanggan tetap restoran Teumsae Ramen ini. Dia juga tahu kalau restoran ini mengandalkan rasa pedas pada ramen. Hidangan untuk pria muda itu datang. Air liurnya seakan mau tumpah dari mulutnya melihat ayam barbeque serta kuah merah yang kental yang ditaburkan diatas mie.
Pria muda itu mengambil sumpit, sesaat dia melihat gadis yang ada didepannya, memakan ramen dengan menggunakan sendok. 'Hem, sepertinya memakai sendok terlihat lebih enak,' batin pria muda itu. Dia kemudian mengganti sumpit dengan sendok. Buru-buru dia menyendok mie beserta kuahnya. Satu sendok ramen pedas bersarang dimulutnya. Mata pria muda itu melebar, segera dia menelan ramen kedalam kerongkongannya dengan susah payah. Pria muda itu berjingkat, ia meletakkan sendok dengan kasar dan mengibas-ngibaskan kedua tangannya didpepan mulutnya.
"Air mana air? aku butuh air?" katanya terbata-bata. Hinata dengan santai menggeser air mineralnya kedepan tempat pria muda itu sembari tertawa kecil. Tangan panjang pria itu meraih botol mineral dengan cekatan. Tanpa berpikir panjang dia menenggak rakus air yang diberikan padanya. "Wow, Ramen ini sangat pedas. Sepuluh kali lebih pedas dari biasanya, makanan macam apa ini?".
"Kau benar-benar payah. Baru satu sendok, kau sudah minum air," ujar Hinata santai sembari mengaduk-aduk ramen lalu melahapnya. Pria muda itu mengerjapkan mata. Dia tak mengira gadis ini mendadak menjadi seorang plagiat. Kata-kata itu sama persis dengan kata yang diucapkan sebelumnya. "Kau tidak pernah makan makanan ini sebelumnya? Atau kau tadi membohongiku."
"Hei, aku memang pelanggan setia disini. Aku tak tahu Ramen pedas dengan level medium bisa menjadi seperti ini," ucap pria muda itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
"Level medium?" Hinata terkekeh. Pria muda itu memicingkan mata, dia tak tahu apa yang membuat gadis aneh ini tertawa. "Ini bukan ramen level medium tapi ini adalah Ramen level super ekstra pedas" .
"Benarkah? kenapa kau tidak memberitahuku?" protesnya.
"Memangnya, kau tadi bertanya padaku?" ucap Hinata menimpali. Pria muda itu menghela nafas untuk menahan emosinya. Hinata terdiam sesaat, senyum simpul terulas jelas dibibirnya. Pikiran picik tiba-tiba berkeliaran diotak Hinata. "Kenapa? kau tidak sanggup menghabiskannya?" Hinata mengatakan semua itu dengan perasaan senang. "Cih, aku pikir kau ini laki-laki sejati."
"Hei, kau meledekku? kau tak tahu siapa aku? aku adalah Namikaze Naruto, putra dari keluarga Namikaze perusahaan "Que Group" perusahaan perfilman dan drama terkaya di Jepang,"ucap Naruto penuh semangat membanggakan dirinya sendiri di depan Hinata.
Hinata terdiam sejenak, matanya memandang lekat-lekat wajah pria didepannya. Dia heran jaman sekarang masih ada orang yang mengaku-mengaku menjadi pemilik perusahaan-perusahaan bonafit di Jepang. Hinata tidak semudah itu dibohongi oleh seorang pria.
"Kalau kau adalah putra pemilik perusahaan Que Group, kalau begitu aku adalah putri dari Yoshimoto Creative Agency yang merupakan agensi artis terbesar dan terkaya di Jepang," ucap Hinata singkat.
"Jadi kau meledekku dan tak percaya padaku?" tanya Naruto penasaran.
"Kenapa aku harus percaya pada seorang pria yang baru aku kenal dan tidak jelas asal usulnya." Hinata membantah perkataan Naruro tanpa rasa takut.
"Chhhhh, kau ini benar-benar, aku jamin kau akan menyesal setelah mengetahui siapa aku sebenarnya."
"Atas dasar apa aku harus menyesal? Kenal denganmu saja tidak."
Hinata beranjak dari tempat duduknya, perlahan dia berjalan menuju kasir untuk membayar ramen yang sudah ia santap. Hal serupa juga dilakukan oleh Naruto. Hinata keluar lebih dulu lalu disusul oleh Naruto. Hinata memantapkan hatinya untuk berjalan kearah kanan dan mencari motel untuk menginap selama beberapa hari. Tabungannya lebih dari cukup untuk menyewa motel dalam hitungan hari.
Lain halnya dengan Naruto yang kebingungan harus pergi kemana. Langkah Naruto berhenti tepat satu kaki didepan pintu masuk. Lalu lalang segerombolan orang yang ada didepan matanya memunculkan perasaan takut yang luar biasa bersarang dalam dirinya. Dalam gerombolan orang-orang itu, Naruto seperti melihat kejadian dua belas tahun yang lalu, saat dia dipaksa untuk mengikuti dua paman yang menghadangnya ketika bermain diluar toko yang penuh dengan orang-orang, sedangkan ibunya sibuk memilihkan baju-baju untuknya.
Sejak saat itu Naruto tak pernah sendirian, dia selalu dijaga oleh dua bodyguardnya. Hal ini merupakan hal wajib, pasca penculikan yang dialaminya saat berusia sepuluh tahun. Maka dari itu dia tak pernah hafal seluk beluk jalan di Jepang. Setelah tragedi penculikan itu, kedua orang tua Naruto sangat protektif kepadanya. Naruto bisa bebas seperti malam ini karena ada kesempatan untuk melarikan diri dari dirumah.
Naruto benar-benar resah dan takut, dia sangat panik. Keinginannya untuk berkelana sendirian membuat Naruto terlena dan lupa kalau dia adalah penderita Agoraphobia. Agoraphobia adalah seorang yang takut akan keramaian. Dari kejuhan, tanpa sengaja Naruro melihat Hinata berjalan santai menjauh dari sisi kanannya. Melihat Hinata, Naruto seolah mendapat pencerahan.
"Hei, kau gadis ber-syal ungu yang disana berhentilah. Aku bilang behenti!" teriak Naruto dengan keras, dia tidak sadar kalau semua orang melihat aneh kearahnya .
Hinata mengerutkan keningnya, ia merasa mengenal suara tenor itu. Perlahan Hinata membalikan badan, dia terkejut melihat Naruto memegangi dadanya dengan tubuh yang sedikit membungkuk serta keringat dingin membasahi keningnya. Hinata berlari kecil menuju kearah Naruto.
"Kau kenapa? apa kau sakit?" tanya Hinata panik.
Naruto tak menjawab pertanyaan Hinata. Tiba-tiba ia mengenggam tangan kanan Hinata begitu saja. Naruto sedikit demi sedikit sudah bisa mengatur nafasnya. Dalam keramaian seperti ini, jika Narutp berpegangan pada orang lain, kondisinya akan sedikit tenang dan lega. Memang ini terdengar aneh tapi itulah yang dialaminya.
"Hei, apa yang kau lakukan? lepaskan tanganku!" tegur Hinata pelan.
Mata Hinata melirik diantara kerumunan orang yang berlalu lalang. Mereka menatap aneh Hinata dan Naruto, bahkan ada seseorang yang menertawakan tingkah mereka dan berkata "mereka sepasang kekasih yang lagi bertengkar ya?". Sepersekian detik Hinata tersenyum kecil kepada seseorang yang melihat kearahnya.
"Istriku, kenapa kau meninggalkanku? Kau tega sekali. Apa kau tak tahu kalau aku sangat merindukanmu?" rayu Naruto berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi dan seolah-olah Hinata lah yang salah.
"Apa yang kau katakan?" Hinata semakin bingung dengan ulah pria yang baru dikenalnya ini.
Tanpa basa-basi lagi Naruto menarik tangan gadis itu dan berjalan menjauh diantara kerumunan orang-orang. Tangan Naruto terus menganggam erat tangan kanan Hinata, seolah tak mau dilepaskan. Hinata benar-benar kesal dibuatnya. Memangnya dia siapa berani pegang-pegang tangannya. Pacar juga bukan. Saat Hinata yakin mereka sudah berada dijalan yang tak begitu ramai, ia menghempaskan tangan Naruto secara kasar.
"Apa maksud semua itu? kenapa tiba-tiba kau memegang tanganku? Aku pikir kau sakit, karena aku wajahmu tampak pucat dan panik seperti itu. Tadinya aku benar-benar bermaksud untuk menolongmu tapi ternyata kau malah mempermainkanku. Apa kau suka mempermainkan wanita seperti itu?" ucap Hinata kesal.
Naruto tak bisa mengatakan apa-apa, dia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Naruto menghela nafas sejenak untuk menenangkan diri. Dia tak boleh terpancing emosinya oleh perkataan gadis ini. Jangan sampai Naruto marah kepadanya lalu pada akhirnya Hinata tak membolehkan dirinya ikut. Naruto tak mau petualangannya berakhir sampai disini. Lebih baik dia menjelaskan alasan yang sebenarnya, kenapa tiba-tiba dia melakukan hal itu.
"Hei, kenapa kau diam saja? kau juga memanggilku dengan sebutan Istriku, memangnya kau itu suamiku!" tanya Hinata penuh amarah.
"Baiklah aku akan menjelaskan semuanya kepadam, kenapa aku tiba-tiba bersikap seperti itu." Naruto sejenak terdiam memperhatikan gadis itu lalu kembali berkicau. "Begini, aku adalah penderita penyakit agoraphobia."
"Apa itu agoraphobia?" tanya Hinata polos.
"Agoraphobia itu adalah penyakit yang membuat seseorang takut pada keramaian. Shibuya begitu ramai dan aku tak bisa berada ditempat seperti ini sendirian maka dari itu aku melakukan hal itu. Aku tak bisa sendirian ditempat seramai ini, harus ada orang yang bersamaku. Maafkan aku," jelas Naruto panjang lebar.
"Penyakit yang membuat orang takut keramaian? aneh sekali."
"Ini memang terdengar aneh, tapi kau bisa mencarinya diinternet tentang agoraphobia. Penyakit itu memang benar-benar ada."
"Baiklah kalau begitu aku percaya padamu dan aku memaafkanmu. Aku pergi!" Hinata kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari motel karena hari sudah malam dan semakin malam angin malam semakin terasa dingin.
"Tunggu!" seru Naruto. Hinata menghela nafas panjang, dia sangat kesal dengan kelakuan orang ini. Panggilan pria itu membuat Hinata berhenti dan kembali membalikan badannya.
"Ada apa lagi kau memanggilku? kau ini menyebalkan sekali," tanya Hinata frustasi.
"Bolehkah aku ikut denganmu? aku benar-benar tidak bisa bepergian sendirian." Naruto memasang muka memelas dengan mata sedikit berkaca-kaca, ia berharap gadis ini mengijinkannya untuk ikut bersamanya.
"Kalau kau tak bisa bepergian sendirian kenapa kau keluar? lebih baik kau pulang," saran Hinata yang lebih condong untuk mengusir Naruto.
"Aku tidak mau pulang. Aku kabur dari rumah. Aku bosan dirumah sendirian."
"Huuuff, kau penderita agoraphobia tapi kau kabur dari rumah? ini sungguh lucu."
"Memang ini sangat lucu, jadi ijinkan aku untuk ikut bersamamu. Aku mohon."
Lagi-lagi dan untuk kedua kalinya, Hinata terkejut dengan tingkah Naruto. Sekarang pria itu berlutut didepannya dan mengenggam erat kedua tangannya. Beberapa orang yang yang berjalan melewati mereka berdua terkikik dan berbisik-bisik satu sama lain. Hinata kemudian melihat-lihat keadaan sekitar, ternyata banyak orang yang memperhatikan mereka. Ini sungguh memalukan.
"Baiklah-baiklah, aku mengijinkanmu untuk ikut denganku. Ayo cepat bangun ini memalukan sekali." Hinata sudah kehabisan akal menghadapi pria aneh ini. Baru beberapa jam dia bersamanya sudah membuat tensi darahnya naik apalagi kalau seharian. Hinata benar-benar tak bisa membayangkan hal itu. Naruto terkekeh pelan dan berdiri dari pose berlututnya.
"Terima kasih banyak kau telah mengijinkanku hehehe."
TO BE CONTINUE
